Tidak ada anak yang nakal. Itu salah satu “pedoman” yang selaku aku & teman-temanku pegang selaku guru. Jika ada anak tidak bisa diam, berarti dia punya
Jika dan sebaris jika lainnya terjadi padaseorang anak, maka akan ada sebaris analisa serta cara untuk membuat anak kembali pada dunia cerianya, kembali pada fitrahnya.
Itu yang selalu aku pegang ketika menilai anak-anak dikelasku, juga anak-anakku. Pernah aku dulu dibikin pusing tujuh keliling,delapan putaran oleh perilaku seorang siswa. Jika sudah begini maka biasanya aku meyerah & pihak sekolah memanggil pihak orang tua. Orang tua yang bisa diajak kerjasama biasanya akan sangat mengerti, setelah itu, dengan kerjasama yang baik, perilaku siswa sedikit demi sedikit terlihat perubahannya ke arah yang positif. Tapi jika orang tua tidak bisa diajak kerjasama, akhirnya hanya do’a saja sebagai jalan ikhtiar & usaha untuk merubah keadaan yang ada. Jangankan tidak bisa diajak kerjasama, orangtua yang melibatkan polisi dalam rangka “membela” anaknya pernah aku alami juga. Pengalaman yang tidak terlupakan ketika segala macam umpatan dan cacian kepadaku dihujamkan. Aku hanya mampu berdo’a merintih, dan menangis dalam sholat malamku, Ya Allah, bukakan pintu hati orang tua siswaku itu, & beri petunjukk kepada muridku si “fulan itu”. (Fulan yang mungkin tak pernah aku lupakan, juga beberapa siswa istimewa yang selalu mengundang perhatian kini malah sering aku rindukan)
Rintihan itu beberapa hari ini juga menyayat hatiku sebagai seorang ibu, ketika seorang teman (barangkali hanya bercanda) “bergidik” menceritakan bagaimana ulah anakku. Bagaimana suaranya yang keras(ciri sanguinis) dan gayanya yang Bossy(ciri korelis) juga sikapnya yang tidak bisa diam(karena dia kinestetis) telah membuat sebaris kesimpulan bahwa anakku seolah layak diberi label…. apa ya? tidak terucap sih, cuma, apa yang tersirat sangat bisa ditafsirkan & membuat temanku yang lain terdiam. Kalau aku bukan diam lagi…. tenggelam kali, tenggelam dalam kesedihan. Dan ternyata kesedihan itu membawa efek domino, luka-luka lama yang kucoba lupa malah terasa pula (dasar melankolis)
Tapi dalam rintihan aku mencoba merenung. Permenunganku adalah instrospeksi, Ya Allah, apakah aku pernah berbuat dzalim pada siswaku,apakah aku pernah “bergidik” menghadapi mereka? rasanya tidak. Tapi yang aku baru ingat kali ini adalah(telmi deh, koq baru ingat) , barangkali aku juga sering tanpa sadar bercanda & melukai hati orang lain (maklum, sanguinis itu biasanya ngomong dulu baru mikir). Karenanya, pada kesempatan kali ini, jika ada yang pernah merasateluka oleh candaanku, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala khilaf, sungguh tak pernah terbersit dalam benak untuk membuat siapapun hatinya terluka dan tersayat.
Kemudian dari hasil permenunganku (ini nih, aku telmi banget karena baru nyadar setelah beberapa hari) barangkali Allah ingin agar aku merubah cara mendidik anak-anakku, barangkali Allah ingin agar aku mencurahkan sepenuhnya kasih sayang & kesabaran (yang mungkin selama ini sangat kurang) pada anak-anaku. Barangkali Allah tengah bertanya padaku “limma taquluuna maa laa taf’alun?” mengapa aku mengatakan sesuatu yang tidak aku kerjakan? Mengapa selama dulu ketika menjadi guru curahan perhatian & kasih sayang pada anak orang lebih besar daripada ke anak sendiri? Barangkali inilah jalan dari Allah agar aku bisa menerapkan teory yang selama ini aku pahami, pada anak-anaku sendiri.
Bolehjadi kita menyangka sesuatu itu buruk, padahal Allah jadikan banyak kebaikan didalamnya. Ya Allah terimakasih atas petunjukkMu ini.
Ah, lega kini rasanya.
baca postingan teteh mengingatkan aku akan muridku yg selalu bikin ulah dan kalau dinasehati ada aja alasannya,bikin pegel aja hati ini.
BalasHapustfs teh mengingatkan aku utk lebih sabar dlm menghadapi anak sendiri.
Sama-sama Mba Aas,
BalasHapusMungkin semua yang pernah jadi guru sama kali ya Mba, lebih sabar dalam menghadapi anak orang lain dibanding anak sendiri, tapi mudah-mudahan kita bisa berubah,
Subhanallah...
BalasHapussaya nanti belajar sama bu rani ya...
cara mendidik anak2 yang baik....^_^
jadi inget Fredy , ^_^
BalasHapusInspiring writing, Teh^_^ Wacana Tee jd sedikit terbuka sekarang...Thanks a lot...
BalasHapussaya juga
BalasHapusmo belajar ke teteh
walau ga punya ana
ponakan bisa di jadikan uji coba
untuk nerapin ilmu dr teteh
mau kan teh?
Lho, Bu Sofi, ini kan teory dari ak Edy, masa bu Sofy udah lupa???
BalasHapusKelamaan bulan madu kali ya.... jadi teory-teory mendidiknya pada ilang :D
Fredy,... banyaka anak memang mirip Fredy & cara jitu menanganinya memang menjadikan dia sebagai "tangan kanan" kita.
BalasHapusHidup Fredy!
Sama-sama... ^_^
BalasHapusBetul, selamat melakukan percobaan ya.... ^_^
BalasHapusini kasus paling banyak terjadi,terkadang orang tua juga tidak menyadari ketika anak melakukn suatu yg salah,tidak diberi tau malah ditertawakan karena dianggap lucu.
BalasHapusini kasus yg banyak terjadi,terkadang anak melakukan suatu kesalahan tidak diberi tahu,malah ditertawakan karna dianggap lucu.
BalasHapusada beberapa yang ketinggalan bu rani...
BalasHapusketiduran waktu itu, hehehe....
waduhhh....bukan kelamaan bulan madu bu rani....
BalasHapuskelamaan terdampar di hutan kalimantan, hehehe.....
Jadi ingat Totto Chan ^_^
BalasHapusSubhaanallah...
BalasHapussyukron katsir for sharing, Teh...
jazaakillah khoyr.
Anak-anak memang selalu lucu ya Mba, tapi kita sebagai orang tua suka terlena dengan kelucuan mereka, sampai lupa mengarahkan...
BalasHapusWah, saya jadi takut kehutan deh....
BalasHapusYup, saya juga belajar nayak dari Totto Chan,
BalasHapusAfwan,...
BalasHapus