Selasa, 14 Mei 2019

Magic Weeding



"Teteh-teteh, ini ada undangan dari sahabat kita, Teh Meimei mantu"  Begitu, kabar di group wa kita, Mei.  Dan ucapan selamat pun bertubi-tubi muncul di group kita.  Group yang menghubungkan aku, kamu, serta semau sahabat seperjuanan dulu.  Sahabat Keluarga Remaja Masjid.  Sahabat Usroh, Sahabat yang disatukan dalam satu ikatan yang sama, ikatan cinta karena Allah.

***
Dulu, aku sebenarnya tidak terlalu dekat denganmu, Mei.  Tapi aku selalu mengagumimu.  Kamu manis, lembut, pintar dengan mata caramelmu yang teduh.  Aku cerewet, si tomboy yang berusaha belajar anggun,dengan mata hitam pekat yang biasa.  Kamu pendiam, akhwat sholihah yang sangat qonaah.  Aku perusuh yang suka protes dan tukang iseng.  Kamu masuk di jajaran rangking 5 besar dari atas, aku masuk rangking 10 besar dari bawah.  Kita emang ngga level.  Tapi kamu tidak tahu kan Mei, aku selalu menjadikan kamu sebagi contoh, sebagai ukuran sikap & keberhasilan aku.  Aku ingin seperti kamu.  cukup seperti kamu, tidak lebih dan tidak kurang, dalam sikap, dalam ilmu, dalam prestasi.  itu saja.  Kalaupun akhirnya rangkingku berhasil mengunggulimu, itu juga karena kamu, Mei.  Karena aku meniru semua yang ada padamu.  Meniru sikapmu, ketekenunanmu.

Makanya saat kita kumpul ketika mengkaji usroh, saat kita kumpul mengerjakan aneka tugas di masjid, aku selalu menjaga jarak darimu.  Itu aku lakukan supaya bias melihat apa yang kamu lakukan.  Lalu aku meniru semuanya Mei.  Karena dengan meniru kamu, aku ingin sempurna seperti kamu.

Rupanya yang menyadari bahwa kamu sempurna bukan hanya aku Mei, mungkin semua sahabat kita.  termasuk juga guru kita, Ustadz Syarif.  makanya aku tak heran ketika mendengar bahwa Ustadz Syarif melamarmu Mei.   Jika yang lain heboh ketika lamaran itu terkuak diantara usroh kita, aku hanya berfikir, kamu pantas mendapatkannya.  Mungkin yang lain iri, tapi aku tidak.  Mereka iri karena mereka pun pantas mendapatkan perhatian & keistimewaan ustadz Syarif, tapi aku sadar diri, aku tidak pantas.

Sayangnya aku harus pergi ke kota hujan untuk melanjutkan pendidikan.  Dan kamu, Mei, juga melanjutkan pendidikan bidanmu, sembari mempersiapkan pernikahanmu dengan Ustadz Syarif.  Itu yang aku bayangkan.  Kamu tengah menyiapkan hari-hari bahagiamu Mei.

Satu tahun telah berlalu sejak hijrahku ke kota hujan.  Namun undangan darimu tak juga aku terima Mei.  Sayang waktu itu komunikasi hanya lewat surat yang harus lama mengantri di kantor pos sebelum abang pos mengirimnya ke alamat yang dituju.  Maka akupun kehilangan kabar darimu.  Aku sempat bertanya, apakah karena jauh, lalu aku terlupakan?  Tapi eratnya ikatan usroh kita sepertinya tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Mei, sore itu ayahku datang menengok aku di sini.  Seperti biasa, ayah membawakanku banyak makanan ringan kesukaanku.  Ayah juga membawakan aku pepes ikan dan ayam goreng yang dimasak dengan tangannya sendiri.  Masakan terlezat yang pernah ada di dunia ini.  Ayah juga ternyata membawa undangan.  Undangan berwarna salem bertuliskan namamu.  Namun yang membuat aku tersentak, nama ikhwan yang tercetak, bukan ustadz Syarif.  Ada nama lain yang sama sekali tidak aku kenal.  Ayahku datang jauh-jauh ternyata untuk menyampaikan undangan darimu Mei.

Sayangnya, aku tidak bias menghadiri akad nikahmu, Mei.  Jalan di Puncak memang dari dulu terkenal sering macet.  Semenatara  aku dan ayah, tidak memungkinkan untuk berangkat lebih pagi lagi.   Sepanjang perjalanan aku membayangkan wajah lembut nan cantikmu.  Mata karamelmu yang indah.  Ah, tentu kamu makin sempurna dalam balutan gaun pengantinmu.  Aku tak sabar ingin mengucapkan selamat & do'a untukmu, Mei.

Mendekati waktu makan siang, tamu undangan memang sangat padat.  Aku bahagia bias hadir di sini.  Di pernikahanmu.  Aku semakin bahagia ketika beberapa sahabat kita ada juga di sini.  Diana, Asiyah, Minar, Euis,  aku bahagia bias memeluk mereka lagi.  dan aku tak sabar ingin segera memelukmu Mei, memeluk cantikmu dalam balutan gaun pengantin. Semua membangkitkan rindu pada masa-masa kita berkumpul dalam kajian usroh kita.

Aku berada diantrian para tamu untuk maju naik menuju tempatmu bertahta menjadi ratu sehari.  Langkah demi langkah semakin memuncakkan bahagiamu.  Hingga aku tepat berada dihadapanmu.  Kamu tahu Mei?  Tiba-tiba senyumku hilang.  Tiba-tiba binar mataku berganti embun.  Tiba-tiba buncah bahagia di dada berganti gemuruh badai berselangkan petir.  Mei.  Kemana sinar wajahmu?  Kemana teduh lembutmu?  Kemana semua sempurnamu?  Aku ingin menangis memelukmu, ketika kamu hanya memandangmu dan berkata : "Ara" … Hanya satu kata yang kamu ucapkan.  Kata dari sepenggal namaku, kata dari nama panggilanku.  Tapi aku tak mungkin menumpahkan semua pedih sedihku di sini.  Aku bergegas menikmati hidangan yang tengah disediakan.

Mataku mengembun.  Aku mencari Diana, Asiyah dan Minar, mereka tentu tahu apa yang terjadi padamu.  Bersyukur diriku, karena mereka masih belum beranjak dari tempatnya.
"Ara, kamu pasti bertanya apa yang terjadi"  Begitu Diana menatapku.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan diantara embun yang mulai menetes dari pelupuk.
"Ustadz Syarif harus secepatnya pergi ke Pakistan, sementara Mamah & Abah Meimei tidak mengijinkan.  Sepertinya semua terasa berat bagi Meimei"  Diana berhenti
"Lalu?" aku menatap Diana, Asiyah & Minar.
"Ustadz Syarif menikah dengan Miranda, akhwat putri gurunya ustadz Syurif, nampaknya Meimei belum siap menerima kenyataan, Ara, kamu tahu kan Meimei itu pendiam.  Karena diamnya semua kesedihan & kekecewaannya dipendamnya sendiri, hingga sering melamun.  Sayangnya, di asrama tempat Meimei kuliah, Meimei sering dibentak, tujuannya katanya supaya sadar & tidak melamun. Tapi  akhirnya jiwa Meimei tidak kuat hingga harus dirawat"  ah, tegar sekali Minar menceritakannya.  Semenatara aku, aku berjuang menelan suap demi suap hidangan diantara aliran air yang tak bias terbendung lagi dari kedua mataku.

Meimei.  Tahu kah kamu apa yang paling membuatku semakin terharu?  Suamimu.  Yang aku tahu, lelaki mencari wanita yang sempurna tanpa cacat.  Yang Aku tahu, lelaki akan sangat berhitung tentang pendamping.  Yang aku tahu, bukan hanya cantik & sholihah yang disyaratkan seorang lelaki bagi wanita yang akan dijadikan istri, tapi supel, cerdas, syukur-syukur berharta dan dari kerurunan yang istimewa.  Tapi suamimu, dia pasti lelaki yang luar biasa.  Atau dia adalah lelaki surga yang Allah pilihakan untukmu dengan semesta cinta di hatinya.


***

Meimei.  Akhirnya, cinta yang Allah titipkan di hati suamimu menjadi obat untuk jiwamu.  Aku, Minar, Diana & Asiyah yang terkagum dengan hidupmu, semakin kagum ketika Allah melengkapkanmu dengan seorang lelaki dari surga yang menyelamatkanmu.  Aku tahu, kamu dan suamimu yang mengalaminya tentu merasakan pasang surutnya pergantian suka dan duka.  Sementara aku hanya melihat bahwa hidupmu sempurna.  Di mataku, kamu memang selalu sempurna, Mei.  Kamu dan kehidupanmu ajaib.  Selalu penuh keajaiban.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar