Rabu, 30 Oktober 2019

Aku Bukan Cleopatra


Bagian ketiga

Aku Bukan Cleopatra
Bagian 3.

Adzan subuh baru 10 menit lalu berkumandang.  Tapi suara-suara dari dapur mulai terdengar ramai gemerincing. Sepertinya Bi Enay telah memulai tugas besarnya.
Kuselesaikan dulu hajatku pada ilaahi robi subuh ini. Larut dalam lantunan do'a-do'a saat bersujud.  Syahdu dalam dzikir menyebutkan indah asmaNya.

"Ada yang bisa Din bantu, Bi?"
"Eeeh, Neng Din, udah aja Neng mah luluran, biar bibi aja yang masak"
"Gapapa, Bi, lulurannya bisa nanti" jawabku
"Iya, Bi, biar nanti pas ditanya ini masakan siapa, kan bisa bilang kalau ini masakan Andiny" tiba-tiba mama sudah ada d belakangku.
"Apa yang kurang Bi?" tanya mama
"Sayuran, Bu, kalau ayam sama daging udah cukup"
Dan Bi Enay sepertinya mengeluarkan persediaan buat sepekan.
"Banyak amet, paling yang datang cuma 3 atau 4 orang, Ma" aku memandang mama.
"Sekalian nanti buat ngirim tetangga" jawab mama.

Jam 8 pagi. Masih pagi. Tapi semua hidangan sudah siap.
"Nanti aja ditatanya, nanti mau dihangatkan dulu"  pesan mama.
"Andini, coba pastikan, berapa orang yang datang" pinta mama.
"Baik ma"

Aku membuka handphone. Ada rasa yang tak kumengerti ketika ku coba mencari nama di daftar kontak : "Mas Adlan" Lalu kukirimkan pesan :
"Assalamualaikum, apa kabar Mas, semoga selalu dalam kebaikan. Mas, nanti ke rumahnya sama siapa aja?"
"Wa'alaikum salam... In syaa Allah berempat, Abi, Umi, Mas & Zamzam"
"Baik Mas"

Kucari daftar kontak yang Lain, Mak Oti, tukang pijat & lulur langgananku.
Tapi tiba-tiba, WhatsApp menunjukkan ada pesan masuk dari Nura.  Aah, anak ini kemana aja. Kalau udah ke gunung, susah banget dihubungi.
"Andin, aku dengar sesuatu tentang kamu yang bikin aku cukup kaget"
Nura, kenapa dirimu selalu to the point, tanpa basa basi?
"Apa Nur?"
"Kamu mau tunangan sama Adlan, kakaknya Zamzam? Ga salah?"
"Siapa yang ngasih tahu Nur, Zamzam?"
"Iya, siapa lagi"
"Iya Nur"
"Andini, dengerin aku ya. Aku akan katakan sesuatu"
"Jangan pake voice message, please"
"Oke, baca nih ya baik-baik, Zamzam itu suka & cinta sama kamu, bagaimana mungkin kamu malah memilih Adlan"
Allahu Akbar. Jantung & hatiku sengaja kuiringkan dengan takbir agar gemuruh & debarnya teredam.
Ya Allah, aku harus membalas apa?
"Nur pertama, bagiku Adlan adalah pilihan Allah untukku... Kedua, Zamzam tidak mencintaiku Nur.  Kalau dia mencintai aku, dia akan memperjuangkan aku, seberat apapun rintangan yang harus dia hadapi, bahkan kakak atau ibunya sekalipun. Kalau dia mencintai aku, dia akan meyakinkan ibunya,  kakaknya & keluarganya.  Kalau dia memilih untuk mundur,  berarti dia memang tidak mencintai aku.  Siapa yang benar-benar memperjuangkan aku,  itulah yang mencintai aku.  Bagaimana mungkin seseorang bisa membahagiakan aku,  kalau untuk memperjuangkannya saja tidak mau?"
"Andini,  aku telpon ya?"
"Maaf Nur,  mak Oti udah dateng,  nanti disambung ya, aku matiin dulu HP-nya”
Kadang melindungi diri dari aura negative,  dari siapapun itu,  apapun alasannya,  itu sangat penting.  Aku tahu,  aku layak bahagia & aku harus merancang kebahagiaanku dulu sebelum Allah menetapkannya.

Pintu diketuk. 
"Neng,  mak Oti masuk ya" suara perempuan setengah baya.
"Iya Mak, bentar"  aku bergegas ke pintu.
"Bawa lulur apa aja Mak?”
“Ada melati,  kenanga sama delima”
°Boreh ada Mak?”
°Ada,  tapi ini kan untuk acara spesial,  bagusnya yang tiga tadi"
”Boreh aja Mak“

Tangan Mak Oti lembut,  tapi bertenaga.  Nyaman rasanya kalau tangan itu sudah mengurut tubuh.  segar karena peredaran darah jadi lancar.  Ditambah aroma paduan rempah boreh yang khas.  Semakin menyegarkan & merilekskan.
“Jangan terlalu dipikirkan Neng,  jadi tegang nih otot-ototnya ”
Hmmm, aku yakin mak Oti tidak tahu apa yang sedang kupikirkan.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh.  Aku tahu,  Adlan pasti tepat waktu seperti adiknya.
“Itu kebiasaan keluarga kami“ begitu Zamzam pernah bilang.

Kemeja putih dengan jas abu muda.  Cukup membuat Adlan bercahaya dengan mata teduhnya.  Uminya bergaun brukat merah tua,  senada dengan dengan abinya.  Dan Zamzam dengan kemeja biru mudanya.   Keluarga yang tampak sangat hangat & akrab.

Keakraban yang cepat menular pada kami dirumah ini. Bapak nampak senang menyambut semuanya.
Bi Enay menghidangkan aneka kue-kue & minuman di meja.  Aku membantu.
Aku tahu.  Adlan menatapkku.

Ramah tamah yang hangat.  Semua tampak gembira dengan obrolan ringan pembuka.
Hingga tiba saatnya bapak bertanya.
"Bapak,  ibu & nak Adlan,  terima kasih sudah mau bertamu,  jika boleh bertanya,  apakah kedatangan ini membawa maksud tertentu?"
”Terima kasih telah menerima kami dengan baik. Kami datang ke sini dengan maksud yang baik,  yang harapannya akan membawa kebaikan untuk kita semua” begitu abi Adlan menjawab dengan kalimat pengantar.  Lalu Abi menatap Adlan.
"Saya,  Adlan Pak,  bermaksud meminang putri Bapak,  apakah bapak berkenan menerima?“ Adlan mengutarakan.
”Saya adalah bapak dari Andiny, saya memang walinya,  tapi untuk pinangan tentu yang bersangkutan sendiri yang harus menjawab“
Semua mata menatapkku.
“Bagaimana Andini, apakah bersedia?”

Kamis, 24 Oktober 2019

Aku bukan Cleopatra part 2




Sajadah, hanya selembar kain. Ia menjadi saksi atas semesta do'a yang terpanjat. Ia menjadi penampung atas setiap airmata yang tertumpah.
Seperti saat ini. Ketika tak tahu kepada siapa aku harus berbicara. Ketika tak ada teman yang mengerti tentang apa yang aku rasa. Maka di sini. Di atas selembar sajadah aku mengadukan semua pada Allah, Robb-ku. Bukan karena tak ridho atas taqdir yang Dia gariskan, hanya mencari pertolongan agar mata hati Allah bukakan, sehingga semua suratan terbaca indah adanya.

Sepekan. Waktu yang aku ajukan untuk memikirkan jawaban. Meminta petunjuk langit, kemana kaki harus melangkah. Maju kah? Atau sebaiknya mundur teratur. Mundur cantik, agar tak seorang pun tersakiti. Tidak juga aku.

"Andini, apa ada sesuatu yang merisaukanmu?" Mama nampaknya memperhatikanku. Rasanya ingin sekali aku menceritakan semuanya. Tapi tak bisa. Aku hanya menghormatinya sebagai istri ayahku. Aku memuliakannya, tapi entah kenapa, hingga saat ini aku tidak bisa memberikan hatiku.
"Tidak Ma, in syaa Allah Andin baik-baik saja" Hanya itu
"Andin berangkat dulu, Ma" aku mencium tangannya, ta'dzim.

Kendaraan ini sudah tua. Meski tidak setua usiaku. Tapi kendaraan ini adalah hadiah istimewa dari Bunda. Aku tak mau menggantinya.  Berkali-kali ayah membujukku agar mau menukarnya dengan yang lebih baru. Tapi aku menolaknya. Terlalu banyak kenangan bunda dalam kendaraan ini. Maka Ketika aku mengendarainya, aku merasa bersama bunda.
Kendaraan ini juga yang setia menemaniku menemui bunda.
Seperti saat ini. Aku ingin menemui bunda di makamnya.

Petugas makam seolah telah mengenalku dengan baik. Dua diantaranya selalu duduk di bawah pohon kemboja tua, yang tak terlalu jauh dari makam bunda. Seolah mereka berjaga & memastikan tak terjadi apa-apa saat air mataku tumpah ruah di sisi makam bunda.
Kutaburkan bunga di atas makam Bunda. Kelopak-kelopak mawar kini menyelimutinya. Berharap bunda kan berselimutkan keharuman di alam sana.
Kulantunkan al fatihah & do'a do'a. Semoga menjadi cahaya untuk bunda di alam sana. Dan derai itu mulai mengalir.
"Bunda, aku mencintaimu & kini Allah titipkan persaan cinta kepada orang yang tidak tepat, bunda aku ingin bahagia"
Aku tahu bunda tak bisa lagi sekedar memelukku. Aku tahu bunda tak bisa lagi menolongku. Aku sadar justru akulah yang kini harus menolong bunda dengan do'a & baktiku. Maafkan anakmu bunda.
Kembali kulantunkan do'a. Ku seka muka & mata yang telah sembab. Aku tahu, aku harus segera mengambil keputusan & memberikan jawaban.

Hari ini aku harus kembali ke perpustakaan lagi. Mengembalikan buku, serta mencari beberapa lierasi untuk rujukan proposal skripsi.  Bukan aku tidak mau membaca literasi aampingan untuk belajar tentang keislaman & menambah wawasan. Bukan karena aku sadar bahwa Zamzam tidak akan menunjukki aku lagi literasi mana yang pantas untuk dikaji. Bukan. Aku hanya harus bangkit dari mimpi & menata masa depanku.

Meja sirkulasi masih sepi. Barangkali aku memang terlalu pagi. Kuserahkan buku yang harus segera kembali.
"Banyak juga ternyata pinjamnya" suara itu mengagetkanku. Suara Zamzam.
"Iya, beberapa untuk persiapan proposal skripsi" aku mencoba menjawab setenang mungkin.
Zamzam tersenyum. Aku mencoba membalas.
"Aku mau cari literasi dulu ya" pamit Zamzam. Aku mengangguk.
"Semua pinjaman lierasi sudah kembali ya Mba" pustakawan cantik itu memastikan sembari melempar senyuman.

Ingin rasnya aku berbalik arah, membatalkan rencana. Tapi aku tak punya alasan.
Akhirnya aku memilih duduk di meja literasi digital. Mencoba mencari sesuatu di dunia maya.
"Andini, kalau aku minta waktumu, bisa kah?" Zamzam seperti memelas & aku tidak bisa menolak.
"Boleh, kita bicara di cafe maca aja ya?"
Zamzam mengangguk.

Nampaknya banyak yang sengaja sarapan di cafe ini. Waktu belum menunjuuk angka 10, tapi.di sini sudah ramai.
Selain aneka menu yang lezat, disini disedikan koleksi literasi yang terus berganti. Pengunjung bisa menikmati sajian sembari mencerap informasi.
Aku memesan capuchino. Zamzam juga.
"Sudah mulai menyusun proposal skripsi ya?"
"Iya, maunya sih lulus tepat waktu" jawabku
"Ambil tema apa rencananya?"
'Tentang pemamfaatan dunia digital untuk merangsang kecerdasan anak"
"Tema yang bagus, anti main stream, sebab.sekarang kan yang banyak beredar justru dampak buruk media digital untuk anak"
"Apapun akan selalu ada sisi baik & buruknya, aku ingin mengangkat sisi baiknya, toh kita tidak bisa lari dari dunia digital"
"Betul" kamu mendukung & aku bersyukur.
"Rencanya mau penelitian di mana?"
"Aku masih mencari benerapa alternativ tempat yang tepat"
"Adlan kakaku, dia konsultan IT di beberapa.sekolah ternama, dia yang merancangkan system IT untuk keuangan, administrasi, dll. Teamnya juga yang merancang & memaintenance IT di sini"
"Oooh" hanya itu yang bisa ku ucapkan.
"Dia sedang di ruangan manager IT, boleh kita ajak gabung ke sini ya?"
Hatiku mengatakan jangan, tapi kepalaku mengangguk.
Yaa Allah, kenapa hati & kepala malah tidak kompak?

Aku melihat ketefuhan di wajahnya. Aku melihat sinar di matanya.
Aku melihat tanda-tanda sujud di wajahnya. Aku mersakan aura yang sama pada kedatangannya, aura yang aku rasa jika berada di dekat ulama. Aku melihat kesungguhan dari cara berjalannya.
Lalu aku melihat hatiku.
Sepertinya hatiku tertutup banyak debu angan. Sepertinya hatiku penuh dengan sampah ego. Sepertinya hatiku terkelabui oleh cita yang tak pasti.

"Kalian sudah lama di sini?"
"Baru aja" Zamzam menjawab.
Aku menggeleng & meneguk capuchinoku.
"Mas, Andini lagi nyari tempat untuk penelitian nih, barangkali bisa di salah satu kliennya mas"
"Oh ya? Apa yang bisa saya bantu?" Adlan ramah bertanya.

                                          ***

Nampaknya Adlan memang lelaki yang sangat baik.
Aku tidak punya alasan untuk menolaknya.
Mungkin benar kata Zamzam, Adlan adalah lelaki sholih. Lelaki surga yang Allah turunkan ke dunia.
Tapi, siapalah aku? Aku tidak secerdas & sesholihah Asiyah. Aku tidak seterjaga Maryam, Aku tidak sesempurna Khodijah. Aku tidak setawdhu & sezuhud Fathimah.
Mereka wanita surga yang menciptakan surga dunia untuk orang-orang disekelilingnya. Aku? Aku belum melakukan apapun untuk persiapan surgaku.
Dan andai saja dia bukan kakaknya Zamzam, aku tak akan serisau ini.

Malam ini, aku berjanji mengabarkan hasil istikhorohku pada Zamzam.
Ku buka handphoneku.
Seperti kuduga, ada pesan dari Zamzam.
"Andini, apa kabar? Bagaimana dengan hasil iatikhorohnya? Apakah sudah ada petunjuk?"
"Kalau petunjuknya berupa mimpi, belum ada"
"Wa man yu-min billaah yahdi qolbah. Barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memberikan petunjuk pada hatinya. Itu yang pertama. Yang kedua, petunjuk itu Allah berikan berupa kemudahan dalam menjalaninya. Bagaimana?"
"Jika demikian, besok datang saja ke ayah"
"Jam berapa?"
"Ayah besok di rumah seharian"
"Kalau jam 10 pagi?"
"Iya Boleh"
"Baiklah, terima kasih atas jawabannya, akan aku sampaikan ke Adlan. Semoga Allah memudahkan & memberkahinya. Baarokalloohu lanaa wa lakum, aamiin"

Ayah?. Aku belum mengabari. Sore tadi ayah baru pulang dari Frankfurt. Aku hanya bercengkrama seperlunya, karena ku tahu, ayah pasti lelah.

Seperti kuduga. Seperti biasa, ayah tengah memandangi ikan-ikan kesayangannya. Kebiasaan ini selalu ayah lakukan menjelang tidur. Kebiasaan baru sejak Bunda meninggal. Ikan-ikan ini terlihat damai. Kedamaian & kebaikan itu selalu menular. Begitu ayah bilang.
Mama tahu ayah butuh waktu untuk merenung sendiri. Mama tidak akan membersamai ayah jika ayah tengah memandangi ikan-ikannya.
"Laki-laki butuh pergi ke guanya sendiri. Begitu mama bilang. "Setelah itu, is akan keluar membaca energi baru. Gua-nya ayah adalah aquarium ini"

"Ayah besok ga kemana-mana?" Ayah nampak kaget menyadari kehadiranku.
"Maaf kalau ayah jadi kaget" aku merasa bersalah.
"Tidak apa-apa Andini, besok ayah di rumah seharian. Ada yang bisa ayah bantu?"
"Besok ada tamu, mau ketemu ayah" antara risau, sedih & malu, aku mencoba menyampaikan.
"Tampaknya tamu istimewa" ayah menatapku.
Aku menubruk ayah. Memeluknya. Airmataku tumpah lagi.


Rabu, 23 Oktober 2019

Aku bukan Cleopatra





"Cleopatra?" Begitu kamu bertanya ketika memberikan bukuku yang terjatuh.  "Iya" aku hanya bisa menjawab pendek.
Sepertinya Cleopatra akhirnya membawa aku & kamu mendekat.
Enam tahun, bukan waktu yang sebentar. Saat berseragam putih biru dilanjut putih abu, kita berada di gedung yang sama.
Namun enam tahun itu, tak ada yang membawa aku & kamu untuk bertemu & akrab mendekat.

Di gedung inilah, gedung yang dalam kemewahannya menawarkan banyak litarasi  untuk ditelusuri, entah itu beebentuk lembaran yang dibukukan, atau jutaan lembaran ilmu yang disimpan di dunia maya. Apapun yang dicari, dengan bantuan pustkawan yang ramah & cantik, semua bisa ditemukan.  Tapi ternyata saat itu aku bukan hanya menentukan Cleopatra, aku juga menentukan kamu yang Allah ijinkan untuk mulai hadir dalam hidupku.

"Cleopatra, aku juga salah satu pengagumnya. Wanita hebat yang luar biasa" Kalimat itu yang kamu gunakan untuk membuka jalan kedekatan.  "Betul, wanita sempurna, cantik & melek politik" aku mengiyakan. Tapi kamu malah menyanggah "Sempurna? Kecantikannya mungkin iya. Kegigihannya mengejar ambisi, kemampuannya menaklukan & mengendalikan Caisar, dunia mengakuinya. Tapi ada yang lebih sempurna dari Cleopatra" Begitu kamu memaparkan.
"Oh iya? Siapakah dia? Ratu Elizabeth? Margaret Teacher? Indira Ghandi?" Aku penasaran
"Bukan, wanita yang lebih hebat itu sama-sama dari Mesir"
"Hmm, siapa ya, wanita hebat dari Mesir selain Cleopatra?"
"Dia pengukir sejarah Mesir yang diabadikan dalam Qur'an"
"Asiyah istri Firaun?" Aku memastikan.
"Asiyah binti Muhazim" kamu membetulkan.

Kamu tahu? Sejak itu aku betul-betul terpesona dengan Asiyah & kehidupannya.
Asiyah, ratu surga ternyata sangat jauh lebih hebat, lebih cerdas, lebih berwibawa, lebih mulia dari Cleopatra.
Kamu tahu? Dari Asiyah aku belajar bahwa wanita surga, ditengah badai ujian yang mendera, dia tetap selalu menciptakan surga untuk orang-orang di sekelilingnya.
Aku juga belajar bahwa wanita surga Allah hadirkan di dunia untuk mengawal & membersamai hidup lelaki surga yang Allah turunkan ke dunia. Asiyah sang ratu surga Allah hadirkan untuk melindungi, mendidik & menuntun Musa membumikan kalimat tauhid.  Kamu tahu? Aku bersyukur lewat kamu aku bisa mengenal Asiayah. Dari Asiyah, aku lalu mengenal wanita ratu surga lainnya. Aku bersyukur. Aku berterima kasih pada Allah yang lewat kedekatanmu denganku, Allah tuntun aku pada kebaikan.

Di sini, di perpustakaan paling mewah di negri ini, aku semakin asyik menelusuri aneka ilmu tentang keislaman. Tentang tokoh-tokoh yang pernah kau ceritakan.
Aku di sini. Di meja yang paling nyaman. Di sudut perpustakaan. Kamu tahu? Ruangan ini serasa lebih hidup & lebih berwarna ketika kamu pun hadir di sini. Seperti siang itu. Siang yang menghantarkan pertemuan kesekian antara kamu & aku.
"Hari ini kamu belajar apa?" Kamu menyapaku.
Aku hanya menunjukkan cover buku.
"Ibunda para ulama?" Kamu bertanya & aku mengangguk.
Di tempat ini kita memang tidak boleh intens berbincang.
Aku melihat sekilas cover buku yang kamu pegang. Ada kata "menikah" diantara deretan kalimatnya.
"Kamu mau menikah?"  Aku ingin menyampaikan tanya itu. Sayang kamu malah mengangkat telpon & menyampaikan isyarat untuk keluar.
"Apakah kamu akan menikah? dengan siapakah? Kapankah" tanya itu tiba-tiba menyerbu benakku. Tapi aku mencoba menepis. Kamu bukan siapa-siapaku. Hanya sekedar teman membaca. Itu saja. Pertanyaan & tepisan seolah bertarung, hingga hadirmu kembalipun tak kusadari.
"Andiny, ini kakakku, Adlan"  aku mengangguk "Andiny". Jawabku pendek.

Kamu & Adlan memilih tempat duduk. Tapi tak didekatku.
Aku mencoba tak peduli. Tapi tidak bisa.
Akhirnya aku memilih pulang. Sengaja aku tak pamit pada kalian, karena takut mengganggu obrolan yang tampak sangat hangat. Hanya saja, aku merasa kamu & Adlan mengantarkan kepulanganku dengan tatapan.


Satu putaran purnama berlalu. Dua kali aku singgah di perpustakaan sekedar ingin menulusuri barangkali ada koleksi baru yang memikat hati. Sembari berharap berjumpa lagi dengan kamu. Tapi kamu tidak ada. Bahkan chat sosmed dari kamu pun seolah ikut tetirah. Tak seperti biasanya.
Ingin rasanya menyapa duluan. Tapi untuk apa? Tentang apa? Tentang menikah? Itu bukan haiku.

Pekan keenam, akhirnya sapamu yang kutunggu datang juga.
"Andini apa kabar?"
"Alhamdulillaaah baik, Zamzam sendiri gimana kabarnya?"
"Alhamdulillaaah baik"
"Andini, kamu tahu apa itu taqdir?"

Aku tercenung. Kenapa tiba-tiba kamu membahas tentang taqdir?

"Ketetapan Allah yang sudah terjadi" aku mencoba menjawab sebelum kamu menjelaskannya.
"Taqdir adalah suratan kisah terindah yang Allah tuliskan untuk setiap hamba-Nya. Allah sengaja jadikan semuanya sebuah misteri yang Dia simpan di lauhul mahfudz. Justru karena misteri, sebagai hamba kita mendekat & meminta agar Allah berikan kita apa yang kita pinta. Kita berdo'a, melangitkan harap agar apa yang Allah tuliskan seperti apa yang kita semogakan. Tapi Allah yang tidak tersekat ruang & waktu hanya menuliskan taqdir terbaik untuk hamba-Nya.
Kamu tahu kan Andini, salah satu taqdir yang Allah tetapkan adalah jodoh?"

Aku tercenung. Zamzam, apakah kamu memang akan segera menikah? Apakah buku yang waktu itu kamu baca adalah untuk persiapannya? Aku ingin menyampaikan dua tanya itu. Tapi tak berani.

"Iya aku tahu, ada beberapa yang Allah tetapkan, diantaranya : jodoh, ajal, & rizqi" hanya itu yang bisa kutuliskan.
"Betewe, kamu punya target kapan untuk pernikahan? Kamu bertanya. & debaran jantungku kian mengencang.
"Ya begitu Allah berikan yang terbaik, artinya Allah menilai aku telah pantas & telah sampai pada waktu terbaik"
"Kalau ada lelaki yang sholeh, yang siap membimbingmu menuju surga, apakah kamu akan menerimanya?"
"Jika aku tidak punya alasan untuk menolaknya, aku akan menerimanya. Apalagi jika jelas lelaki yang datang adalah lelaki yang sholeh"
"Kamu yakin? Kamu tidak sedang menantikan seseorang, atau tidak sedang berproses dengan seseorang?"

Ah, kenapa kamu jadi berbelit-belit?

"Tidak" jawabku yakin.
"Ada lelaki sholeh, ia siap membimbingmu menggenapkan agamamu. Dia ingin bersamamu membangun rumah tangga, rumah surga. Aku bersaksi atas kesholehannya. Aku bersaksi bahwa dialah lelaki terbaik untukmu" kamu pun tak kalah kuat untuk membuatku semakin yakin.
"Siapakah orangnya?"
"Andini, kita sama-sama faham kan kalau cinta akan Allah tumbuhkan setelah manusia Allah satukan dalam pernikahan? Kita sama-sama tahu kan kalau cinta yang paling indah & paling suci adalah cinta setelah aqad diucapkan? Kita sama-sama yakin kan kalau kebersamaan dalam ikatan penikahan, Ketika dua insan mulai saling membimbing, saling menuntun, saat itu akan tersemai subur rasa cinta & kasih sayang? Kamu percaya & yakin kan?"
"Iya, aku yakin"
"Andini, kamu yakin kan kalau orang sholeh pilihan Allah adalah yang terbaik?
"Iya"
"Andini, Adlan kakakku, sejak pertama kali mengenalmu, ia ingin kamulah yang jadi pendamping hidupnya, penyempurna agamanya.apakah kamu bersedia?"