Sabtu, 30 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 16

Mungkin hanya aku yang merasa tercekam. Seperti berada di ruang bioskop 4 dimensi yang sedang menayangkan film horor.
Hanya saja wajah-wajah yang mengekspresikan jeritan-jeritan itu bukan wajah yang menakutkan. Tapi wajah yang terpenjara derita.

Suasana mereda setelah Ustadz Riza berhenti membacakan ayat-ayat ruqyah.
"Ibu-ibu mari sekarang angkat tangannya, dekatkan ke muka"
Ustadz Riza mencontohkan. Semua mengikuti.
"Bacakan surat Al Ikhlas, Al Falaq & AnNaas, masing-masing tiga kali ya ibu-ibu, lalu tiupkan ke tangan"
Semua peserta mengikuti.
"Sekarang usapkan tangan kita ke wajah, kepala & seluruh tubuh"

Ustadz Riza duduk.
Kembali mengabsen satu-persatu.
"Ibu Aina, apa yang ibu rasakan?"
"Panas, Ustadz, rasanya marah sama Ustadz"
Ustadz Riza mencatat.
"Ibu Fatma, apa yang ibu rasakan?"
"Sakit, Ustadz"
"Ibu tadi menangis karena sakit?"
"Bukan Ustadz, entah kenapa rasanya pengen nangis aja"

Semua peserta atu persatu ditanya dengan detail, & dicatat.
"Baik ibu-ibu, untuk sesi kali ini, sampai di sini, sekarang silahkan istirahat dulu, sesudah ashar kita bertemu lagi di sini"
Ustadz Riza pamit.

Zamzam mencari Dinda. Aku mengambil koperku. Memindahkannya ke kamar yang disediakan untuk kami.

Ada tiga kasur tanpa ranjang. Kasur yang langsing diletakan di lantai kamar.
Satu untuk Dinda, satu untuk aku, satu lagi aku belum tahu untuk siapa.
Aku merasa beruntung ditempatkan di kamar ini. Ini satu-satunya kamar yang ada kamar mandinya.

Aku mengeluarkan semua baju & perlengkapanku. Menatanya di lemari yang tersedia.
"Assalamualaikum". Seseorang masuk mengucap salam.
"Wa'alaikum salam" jawabku, sambil menolehkan wajah.
Tania. Satu-satunya peserta yang tampak tenang.

"Mba Tania mau di sebelah mana?" aku langsung bertanya.
"Aku paling pinggir aja ya, dekat dinding" jawabnya. Aku menganngguk.
"Mba Andiny, mas Zamzam mau pamit" tiba-tiba Dinda sudah masuk.
Zamzam bersamanya. Membawakan kopernya.
"Oh iya" jawabku, seraya menghampiri mereka.
"Nitip Dinda ya Mba" pesan Zamzam. Aku mengangguk.
"In syaa Allah aku akan selalu sempatkan membaca Al Quran untuk Adlan".
"Terima kasih" jawabku.

Waktu Ashar tiba. Seorang ustadz, teamnya ustadz Riza membagikan buku panduan ruqyah & dzikir pagi sore. "Ini untuk dibaca". Begitu pesannya.
Semua bersiap untuk sholat.
Setelah dzikir bada sholat, semua membaca dzikir pagi petang.

"Dzikir pagi petang adalah benteng perlindungan" begitu Ustadz Riza memulai kajiannya.
"Siapakah yang mendapatkan perlindungan dari Allah?" ustadz Riza berhenti, seolah menunggu jawaban dari peserta.
"Mereka adalah orang-orang yang ikhlas. Apa itu ikhlas? Mereka yang tidak marah, tidak sedih, tidak kecewa atas semua  ujian yang Allah betikan. Ibu-ibu, di sini siapa yang merasa sedih?"
Semua peserta mengacungkan tangannya.
"Siapa yang merasa kecewa?"
Semua peserta mengacungkan tangannya.
"Siapa yang merasa marah?"
Hanya Alisa & Bu Aina yang mengacungkan tangannya.

"Baiklah ibu-ibu, harus difahami & diyakini bahwa Allah tidak memberikan ujian kecuali manusia sanggup memikulnya. Artinya, ketika Allah memberikan ujian sakit, Allah sudah ukur bahwa ibu bisa tahan menghadapinya. Tinggal pilihan ada di tangan ibu, mau sabar, mau sedih, atau mau marah"
Semua peserta menyimak.
"Allaah sedang memgundang ibu-ibu untuk mendekat pada Allah agar mendapatkan pahala"
Ustadz Riza menghela nafas.
"Ada yang ditanyakan?"
Semua diam.
"Baiklah, kalau tidak ada yang ditanyakan kita akan mulai sesi kedua, mari kita mulai dengan betistighfar, memohon ampun pada Allah".

Ustadz Riza membacakan ayat-ayat Al Quran.
Alisa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Seolah merendahkan.
Ustadz Riza tetap tenang melantunkan Al Quran.
3 orang team Ustadz Riza berjaga.
Bu Fatma muntah.
Dinda menangis.
Tiara menangis,meraung. Tangannya membentuk cakar, mencakar karpet.
Bu Aina muntah.

Tiba-tiba Alisa berguling.
Team ustadz Riza mendekati Alisa. Memukul lembut punggung Alisa dengan sajadah.
"Ukhruj yaa aduwallooh, keluar hai musuh-musuh Allah" salah satu team berucap.
"Tidaaaak" Alisa menjerit.
"Aku tidak mau keluar" jerit Alisa.
"Ukhruj yaa Aduwallooh"
"ak, aku mencintai wanita ini" kembali Alisa menjerit.
Ibu-ibu yang lain nampak tak perduli. Hanya Tania & Dinda yang memperhatikan Alisa. Juga aku. & ibu di sebelahku. Mama Tiara. Begitu aku memangginya.

"Aku mencintai wanita ini" Kembali Alisa menjerit.
"Kamu tidak laku dikalangan jin bukan?" seorang team Ustadz Ustadz Riza bertanya.
Rasanya aku ingin tertawa.
Tapi tawaku tertahan ketika Alisa berguling-guling kembali.
Ya Allaah, pasti berat jadi Alisa.

Ustad Riza tetap tenang membacakan ayat Al Qur'an.
Lanjut pada surat Al Mu'minun ayat 115.
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?"
(QS 23 : 115)

Tiba-tiba hatiku tersentuh.
Mataku mengembun.
Hatiku seolah berkata :
"Kamu pikir, apakah Allah main-main memberi kamu musibah?"
Embun dimata menggenang tanpa bisa dibendung. Menderas meluncur membasahi pipi saat hatiku seolah menerjemahkan ayat itu.
Padahal ustadz Riza telah beralih melantunkan ayat lain.
Tapi hatiku terus mencerna meminta air mata.
"Kamu pikir, apakah Allah main-main membuat pernikahanmu batal karena ujian-Nya?  Kamu pikir apakah Allah main-main membuat Adlan tertimpa musibah koma?"
Kamu pikir, apakah Allah main-main membuatmu berada di situasi seperti ini?
Kamu pikir apakah Allah main-main memberimu sahabat yang setia?
Kamu pikir apakah Allah main-main memberimu nikmat yang melimpah?"
Tangisku menderas dalam diam.

Hatiku bergetar. Tadinya aku tak peduli ketika handphoneku ikut bergetar. Aku ingin menikmati tangisku.
Tapi handphoneku bergetar untuk ketiga kalinya.
Umi nelpon.
"Andiny, malam ini bisa ke rumah sakit dulu? Adlan drop"

Rabu, 27 November 2019

Aku bukan Cleopatra part 15

Ruangan ini seperti ruangan aula kecil. Tidak terlalu luas. Tapi tidak juga bisa dibilang sempit.  Beberapa orang nampak sudah hadir. Duduk di karpet yang terhampar.
Aku mengajak Dinda dengan isyarat, untuk berkumpul bersama mereka. Duduk di karpet.
Ramah. Begitu kesan pertama yang kudapat.
"Dari mana Mba?" Seorang ibu bertanya.
"Dari Bogor, Ibu dari Mana?"
"Dari Bangka Belitung"
"Jauh juga ya Bu, kapan nyampe Jakarta?"
"Tadi malam, kami menginap dulu di rumah saudara"

Aku menyalami ibu yang duduk di sebelah ibu tadi, "Dari mana Bu?" aku memulai.
"Dari Medan"
"Siapa yang sakit?" aku bertanya karena ibu tersebut nampak sehat.
"Ini, putri saya, leukemia, stadium satu"
"Ooh, syafakillaah" aku mendoakan
"Usia berapa Bu?"
"20 tahun"
"Sudah menikah?"
"Sudah, itu suaminya sedang konsultasi dengan Ustadz"

Aku melihat. Tidak hanya suami dari putrinya ibu itu, Zamzam juga nampak serius mendengarkan apa yang disampaikan pria yang dipanggil ustadz.
Entah apa yang sedang dibicarakan. Mereka bersalaman.

Sang ustadz berjalan menuju kami, lalu duduk di dekat meja kecil yang tersedia.
"Assalamualaikum wrwb. Ibu-ibu, hamba Allah semuanya, baik kita akan segera mulai kegiatan kita"
Semua yang hadir spontan merapikan duduknya menghadap pada Ustadz.
"Saya Ustadz Riza, in syaa Allah akan bersama ibu-ibu semua, hari ini dalam kegiatan terapi intensif. Hari ini kita akan membahas mengenai mengenal ruqyah syar'iyah, dilanjut dengan sesi terapi. Besok in syaa Allah akan ada Ustadz Ahmad,  yang akan membahas memgenai sedekah & kesembuhan, kemudian akan dilanjut oleh ustadz Salman yang akan membahas jimat & ruqyah syirkiyah. Ada Ustadz Maulana yang nanti akan membawakan tazkiyatun nafs, ada juga ustadz Abu Ridho yang akan membahas teknik-teknik ruqyah mandiri, hari Rabu nanti, ibu-ibu akan ada sesi bekam & mandi daun bidara pada hari Kamis.
Ustadz Riza diam sejenak memperhatikan dokumen yang ia pegang.
"Ada enam orang yang terdaftar kali ini.  Alisa, yang mana?". Ustadz itu mencari-cari dengan pandangnya ke arah kami.
Seorang wanita muda menunjukkan tangan.
"Saya, Ustadz"
"Apa keluhannya Mba?"
"Terhalang jodoh, Ustadz, saya usia 36th belum nikah"
"Baik". Ustadz Riza nampak mencatat
"Selanjutnya, Tiara?"
Wanita muda yang berusia 20 tahun tadi mengacungkan tangan.
"Saya, Ustadz"
"Keluhannya apa Mba?"
"Kanker darah, Ustadz, stadium 1"
"Apa yang dirasakan?"
"Badan sakit semua ustadz, mual, & suka muntah darah"
Ustadz Riza mencatat lagi.
"Ibu Aina"
Seorang ibu mengacungkan tangannya. Aku tidak tahu, apakah penglihatanku yang salah atau bukan. Aku melihat wajah ibu itu diselimuti kegelapan.
"Saya sakit tumor di usus, Ustadz"tanpa ditanya, ibu itu menjelaskan.
"Pernah dioperasi?"
"Belum Ustadz"
Seperti tadi, Ustadz Riza, kembali mencatat.
"Mba Dinda?"
Dinda mengacungkan tangan.
"Keluhannya apa, Mba?"
Dinda diam.
"Masalah psikologis, ustadz, pernah berobat ke psikiater, tapi Ustadz Maulana mendiagnosa ada jin nasab juga". Zamzam menjawab.
"Mba Tania?"
Seorang akhwat cantik dengan make up tipis mengacungkan tangan.
"Saya Ustadz. Kasusnya sama dengan Mba Alisa. Cuma saya sudah sering diruqyah, setiap diruqyah selalu menjerit2".
Ustadz Riza menganggukan kepalanya. Seolah memahami sesuatu, lalu mencatat.
"Terakhir, Ibu Fatma?"
Seorang ibu dengan tangan yang  membengkak mengacungkan tangan.
"Keluhannya Bu?"
"Saya kanker payudara stadium tiga, Ustadz".

"Baiklah kita akan segera mulai, untuk peserta silahkan duduk di bagian depan. Untuk pengantar boleh menyimak, kita mulai dengan membacakan ummul kitaab, Al Fathihah"
Semua menundukkan kepala. Aku juga. Mencoba khusyu betmunajat.

"Ibu-ibu, ruqyah syar'iyah adalah  salah satu metode pengorbanan yang pernah dicontohkan oleh Rosulullah saw.  Nabi kita tercinta, Muhammad saw, pernah diruqyah oleh malaikat Jibril. Nabi saw juga pernah meruqyah cucunya"
Ustadz Riza menjelaskan panjang lebar. Aku memyimak.

"Yang namanya ujian sakit, itu terjadi atas kehendak & ijin Allah, ada yang Allah turunkan sebagai ujian, ada yang Allah turunkan sebagai adzab. Kenapa Allah turunkan sebagai adzab? Agar manusia tersebut as dari adzab di hari akhir.
Rasulullah saw pernah bersabda yang isinya kurang lebih menyatakan, orang beriman akan terus menerus diuji sampai ia menghadap Allah dalam keadaan Herzog, tanpa dosa.  Jadi, sakitnya ibu-ibu di sini, in syaa Allah itu adalah kebaikan dari sisi Allah"

"Ustadz",  ibu Aina menunjukkan tangan.
"Iya Bu"
"Bagaimana kalau kita mengeluh & berputus asa dari sakit yang tidak tertahankan?"
"Ibu yakin sakit ini dari Allah?" Ustadz Riza bertanya
"Ibu yakin sakit ini ada obatnya?"
"Yakin, Ustadz"
"Menurut Ibu, apakah Allah akan memberikan manusia, cobaan yang tidak sanggup dipikul hamba-Nya"
"Tidak, Ustadz"
"Ibu yakin, Allah bisa menyembuhkan ibu?"
"Yakin Ustadz, tapi kapan?"
"Ibu tidak ridho dengan ujian sakit ini?
"Ridho, Ustadz"
"Apa buktinya bahwa ibu ridho"
Ibu itu terdiam. Air mata mulai membahasahi pipinya.

"Ibu-ibu semuanya, tahu kenapa putus asa itu dosa?"
Hadirin diam tidak ada yang menjawab.
"Karena putus asa itu artinya ibu berburuk sangka kepada Allah. Menyangka Allah tidak mampu mengangkat & menyembuhkan Ibu. Ibu mengecilkan ke-Maha Besar-an Allah. Nau'udzubillaahi mindzalik"
Semua terdiam.
"Allah ingin memberi ibu pahala sabar dengan ujian ini. Dan ibu tahu pahala sabar itu seperti apa? Tak terbatas Bu. Bisa difahami ya?".
Semua mengangguk.

"Baiklah kita akan mulai sesi terapi pertama. Mari sama-sama beristighfar"

Ustadz Riza membacakan ayat-ayat ruqyah.
Ibu Aina tiba-tiba memelototkan matanya, ia hendak maju menyerang Ustadz Riza.  Namun anaknya segera memeluk tubuh yang tidak terkendali.
Alisa tiba-tiba menjerit, melengking tinggi. Lalu badannya berguling-guling.
3 orang ustadz team Ustadz Riza turun membantu.

Tiara yang duduk dipojok, tiba-tiba menjerit juga. Tangannya mengacung membentuk cakar.
Aku kaget dengan situasi yang serba tidak terduga.
Dinda. Aku mencari Dinda.  Dinda tampak menangis keras.  Zamzam mendekati, hendak memeluk. Tapi team Ustadz Riza mengisyaratkan untuk mundur.
Hanya Tania yang terlihat tenang.

Sabtu, 23 November 2019

Aku Bukan Cleopatran part 14

Biasanya aku Duha di masjid. Gantian dengan umi. Menunggu di bawah ruang kaca, ruang ICU.
Sekarang aku bisa Duha di sini di ruangan ini.  Tak perlu menempuh langkah sepanjang 500m untuk menikmati indahnya sujud.

Biasanya aku hanya diberikan waktu tak lebih dari 10 menit untuk duduk di samping Adlan yang terpejam dalam nafasnya.
Kini aku bisa duduk seharian sambil melantunkan syahdu kalam ilahi.

Seperti saat ini kulantukan kalam ilahi. Dari hatiku. Kuharap sampai ke hati Adlan.
Ku bisikan do'a ke langit, sebelum syahdunya kubawakan.
"Yaa Allah yaa Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai bala tentaramu, yang akan menjaga Adlan dalam tidur komanya. Yaa Allah yaa Robb, jika Adlan tidur dalam kegelapan, jadikanlah setiap hurufnya sebagai cahaya indah yang meneranginya. Yaa Allah yaa Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai obat untuk semua rasa sakit & penyakit yang ada dalam tubuh Adlan. Yaa Allah ya Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai kebahagiaan untuk Adlan. Aamiin"
Ku mulai dengan Al Fatihah. Ku lanjutkan dengan Al Baqoroh.
Lalu kubacakan artinya, meski tak semua.

Hari berlalu. Satu setengah purnama telah terlewati. Aku mulai terbiasa. Kata orang, hitungan empat puluh hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah kebiasaan baru. Mungkin memang benar.
Aku terbiasa menangis dalam setiap sujud. Aku terbiasa melantunkan ayat ayat suci di sisi Adlan.  Aku terbiasa dengan suasana rumah sakit. Aku terbiasa dengan tatapan iba yang ditujukan padaku. Aku terbiasa mendengar orang mengatakan satu kata padaku "Sabar" sampai aku merasa harus belajar lagi mengenai makna sabar yang sesungguhnya.
Sabar & syukur. Sejoli yang tak pernah terpisahkan. Jika tak bersyukur, maka kau tak akan bisa bersabar. Seperti sejoli derita & bahagia. Jika tak pernah mengerti derita, maka makna bahagia tak kan pernah terasa. Semuanya sudah Allah ciptakan satu paket. Sejoli ini harus selalu ada membersamai manusia.

Handhphoneku bergetar. Ada pesan masuk.
"Kak, bisa ke kantin sebentar, untuk membicarakan perihal terapi Dinda".  Pesan dari Zamzam.
"Baik"
Aku pamit mohon ijin pada umi.
Aku pamit juga mohon ijin pada Adlan, sama seperti ketika aku pamit ijin pulang. Aku merasa & melayangkan harap, Adlan mendengar semua. Adlan merasa & bahagia akan kehadiran kami di sekelilingnya.

Kantin ini selalu ramai. Pengunjung penunggu atau keluarga pasien,  pegawai semua seolah bergantian ke tempat ini untuk menghapus lapar dahaga. Atau mungkin sekedar melepas penat dengan menikmati aneka pilihan sajian snack dan minuman ringan.

Zamzam duduk di meja paling tengah. Meja dengan dua kursi.
Aku agak sungkan sebenarnya. Tapi tak ada pilihan.
"Kak, lusa in syaa Allah terapi intensif untuk Dinda akan dimulai, Kak Andiny bersedia menemani Dinda?"
"In syaa Allah, alhamdulillah sudah dapat ijin dari bapak"
"Baiklah, aku akan sedikit cerita tentang Dinda" Zamzam menghela nafas panjang
"Dinda pernah jadi korban buliying ketika SMA. Dinda anaknya tidak bisa melawan & tidak pandai mengungkap isi hati. Akhirnya Dinda colaps. Seperti orang kesurupan, tapi sekarang setelah aku pelajari, sebenarnya bukan kesurupan, dalam ilmu psikologi, jiwa yang terlalu dilukai akan melakukan reaksi pertahanan diri, mengeluarkan semuanya. Sebagian menyamakan dengan kesurupan, namun menurut ustadz Maulana, jika seseorang terlalu sedih, pada saat itu jin akan masuk"
Aku menyimak baik-baik
"Dinda dari kecil dirawat paman & bibinya. Pada saat Dinda colaps, kelas 1 SMA, ibu Dinda mendatangi paman & bibi yang mengasuh Dinda. Ibunya datang memarahi & menyalahkan paman & bibinya atas kondisi Dinda"
Aku mencoba menyembunyikan keterperangahanku.
"Saat itulah Dinda tahu kalau dua orang yang selama ini menyayanginya ternyata bukan orang tua kandungnya. Ini menambah beban Dinda yang terus bertanya kenapa orang tua kandungnya tidak mau merawat Dinda"
Ah Dinda yang malam, kesedihanku tak seberapa dibanding bebanmu.
"Tak lama setelah ibu Dinda mendatangi paman & bibinya yang selama ini mengasuhnya, Ibu Dinda meninggal. Mendadak. Kata dokter kemungkinan kena serangan jantung.  Ini semakin membuat Dinda tambah parah & akhirnya Dinda harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku.
Tapi aku harus menjaga perasaan Zamzam.
"Dinda dirawat selama 2 minggu & setelah pulang, harus minum obat dari psikiater.  Selain berobat ke psikiater, paman & bibi Dinda juga membawa Dinda berobat kemana-mana. Akhirnya paman & bibinya memutuskan Dinda tidak berobat k psikiater lagi karena pertimbangan adanya dampak buruk yang terlihat. Cuma ya itu. Kadang-kadang Dinda menunjukkan sikap aneh, temperamental, swing mood & suka melamun"
Aku belum bisa menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan emphaty.
"Selanjutnya, Dinda akan diterapi ruqyah. Kata Ustadz Maulana, banyak kasus seperti Dinda, bahkan lebih parah, bisa kembali normal, karena Al Quran adalah Assyifa. Semua penyakit ada obatnya, juga untuk penyakit Dinda & menikah adalah sebagian obatnya.".
Aku kagum dengan keyakinan Zamzam.
"In syaa Allah Dinda akan sembuh total. In syaa Allah Kakak bersedia menemani Dinda selama seminggu"
"Terima kasih, Kak" ada genangan air di pelupuk Zamzam.
"Kakak hanya minta satu hal, tolong bacakan Al Quran tiap hari untuk Adlan, selama kakak menemani Dinda"
"Baik, Kak"

*******
Awalnya aku pikir tempat terapi untuk Dinda adalah seperti rumah sakit.  Ternyata bertempat di sebuah perumahan elite. Rumah dengan ruang tamu yang luas tanpa sekat. Mungkin ini berfungsi juga sebagai ruang keluarga.  Ada 4 kamar tidur, dua dapur dan dua kamar mandi.  Teras belang yang luas, nyaman untuk menghirup udara segar. Tanah halaman belakang yang luas, ditanami pohon jati yang sudah menjulang dan tampak rapi berbaris. Daun-daun lebarnya menghalangi masuknya sinar matahari ke tanah. Membuat suasana terasa sejuk.

Rabu, 20 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 13

Lelah. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dirasa saat ini.
Aku memeriksa hatiku. Mungkin karena tidak lillaah. Mungkin karena rasa kecewa memggelayut di hati.  Mungkin ada rasa tidak ridho yang menggantung di hatiku. Mungkin ada mimpi-mimpi dunia yang membebani hidupku.
Mungkin tiga hal itu yang membuat berat hidupku.
Aku harus melepaskannya agar ringan semuanya.

Yaa Allah yaa Robb, aku beriman pada-Mu, Engkaulah yang Maha Berkehendak. Semua Kehendak-Mu adalah baik. Engkau Maha Baik, Engkau tidak pernah mendzalimi hamba-Mu, dan aku hamba-Mu.

Yaa Robb, aku ridho dengan semua ketentuanMu. Musibah ini kecil dibanding nikmat yang telah Engkau berikan.  Jadikan musibah ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat padaMu. Semakin mencintaiMu.

Yaa Robb, dunia hanya setetes air di tengah lautan. Dunia hanya permainan sementara.
Hamba beriman pada Engkau, pada hari akhir yang Engkau kabarkan. Kepedihan ini hanyalah petaka kecil dari yang kecil. Duka ini hanya sementara dari yang sementara. Sedangkan akhirat tak kan pernah berbatas waktu & luasnya. Maka jadikan kepedihan yang sebentar ini sebagai jalan bagi hamba untuk mendapatkan kebahagiaan di keabadian surga yang penuh kenikmatan.

Kepedihan ini hanyalah jarak antara impian dan kenyataan.  Mengapa Allah ciptakan jarak? Agar kita bergerak. Bergerak menghapus jarak hingga impian bisa bersatu dengan harapan.
Bukankah semua yang Allah ciptakan semuanya bergerak? Bahkan bumi yang diam pun bergerak.
Maka bergerak yang paling indah dan sempurna adalah gerak perjalanan kita menuju
Allah.  Ini bukan berarti kita menyerah untuk tetap membiarkankan jarak antara harapan dan impian. Untuk membiarkan kepedihan meraja dalam kehidupan. Bukan.
Ini adalah pasrah, dan pasrah bukan menyerah, bukan berhenti memghapus kepedihan. Bukan berhenti bergerak. Pasrah adalah menggerakkan tangan kita  menyimpan tangan kita dalam ruku, dalam sujud, menggerakkan tangan kita untuk tengadah dalam do'a.  Meminta pada Allah untuk menghapus jarak antara harapan dan impian.

Aku memandangi Adlan di balik kaca. Semoga ini untuk yang terakhir. Semoga besok bisa menemaninya di tempat yang tak ada pemisahnya. Membacakan Al Quran untuknya. Membacakan makna dan Al Quran. Meski matanya terpejam. Detak jantung & nafas kehidupan yang ada, semoga juga menandakan pendengaran masih sempurna.

"Mba Andiny belum pulang?"
Dinda membuyarkan renunganku.
"Nunggu umi"
"Nanti biar umi pulang sama kami aja, Mba"
"Oh, baiklah, alhamdulillah jika nanti umi ada mengantar".
Aku melihat jam. Jam lima sore.
"Umi di mana?" Aku bertanya pada Dinda.
"Di bawah".
"Mba mau pamit dulu" aku berjalan ke arah tangga. Dinda mengikuti.

Zamzam tengah diskusi serius dengan umi, abi dan paman.
Aku khawatir mengganggu. Rasanya enggan mendekati.
"Mba Andin? Mau pulang?" Zamzam bertanya.
"Iya" aku mengangguk.
"Ngga nunggu sebentar lagi? Sebentar lagi Kak Adlan akan dipindahkan"
"Mba Andini sudah lelah Mas, biar istirahat dulu" Dinda menjawab.
Aku menghampiri umi. Mencium tangannya. Aku pamit pada semua.
"Nanti kami kabari ruangan ka Adlan, kemungkinan di ruang firdaus 03. Ruang VIP" Zamzam menjelaskan.
"Iya, terima kasih" hanya itu yang bisa kuucapkan.

Rumah. Allah jadikan sebagai tempat kita melepas lelah, menikmati waktu saat tetirah.
Rumah. Seperti apa suasananya, Allah bebaskan kita untuk membangunnya sendiri. Apakah sebagai tempat surgawi yang penuh kedamaian, atau tempat panas yang penuh pertengkaran.  Begitu dulu alm bunda pernah mengajariku.
"Nanti kalau sudah nikah, jadikan rumahmu sebagai rumah surga agar kamu sama suami dan anak-anak bisa ke surga yang sesungguhnya". Begitu bunda bilang. Dulu.
"Di surga tidak ada yang berantakan, kalau habis main, langsung bereskan ya, kalau habis makan, langsung cuci, kalau bangun tidur, langsung rapikan".  Aku mencoba memahami apa yang bunda katakan. Mencoba mempraktekkan. Tapi sering masih belum.sempurna melaksanakan.
"Biarkan saja, nanti sudah waktu besar Andini akan belajar sendiri" begitu bapak selalu membela.  Bunda diam. Bagi bunda sangat terlarang membantah kata-kata bapak.
Aku merasa bebas saat itu. Setelah lama bunda tiada, aku baru bisa memahami semuanya. Ah bunda, maafkan aku.

"Andini baru pulang?" mama menyapaku, menyodorkan tangannya. Aku menciumnya.
Aku dan mama duduk di sofa.
"Bagaimana kabar Adlan?"
"Malam ini akan pindah ke ruang VIP"
"Alhamdulillah, Adlan sudah sadar? Mama antusias
"Belum, Ma, dokter masih terus mencari penyebabnya, tapi dibanding sebelumnya sudah ada kemajuan. Masih ada beberapa kabel yang harus dipasang di dada untuk memantau"
"In syaa Allah, Adlan pasti akan membaik dan semakin membaik" mama menghiburku.
"Aamiin" hanya itu yang bisa kukatakan.
"Tadi Nura ke sini, ngasiin inj" mama menyerahkan tas belanjaan.
"Katanya Andiny susah dihubungi"
"Oh iya Ma, lupa. Tadi waktu ustadz Maulana meruqyah Dinda, Andin matiin Handphone-nya, terus lupa deh belum dihidupin lagi"
"Dinda diruqyah?" mama nampak penasaran.
Belum.sempat ku jawab mama menyela.
"Bapak pulang"
Aku dan mama berjalan ke arah pintu.
Mama mencium tangan bapak. Aku menciumnya juga.
Mama mengambil tas bapak.
Bapak berjalan ke sofa.
"Sudah makan, Pak?"
"Tadi makan siangnya telat, ada rapat," bapak.menjawab. Datar.
Sapaan pertama mama selalu begitu saat bapak pulang.
Laki-laki itu, 10 menit pertama jangan  ditanya apa-apa.selain makan. 10 menit pertama ekspresinya akan sama. Datar. Kita akan kecewa kalau pas lelaki.pulang masuk.rumah langsung banyak cerita. Karena ekspresinya akan sama. Datar.
Kalimat yang paling tepat untuk ditanyakan adalah "Sudah makan atau belum" karena itu yang paling mudah dijawab dan itu yang paling sesuai untuk kondisi fitrahnya sebagai lelaki. Aku mencatat semua petuah mama dalam memoriku.

"Andin buatkan minum ya Pak"
Aku bergegas ke dapur.
Teh hangat tanpa gula.
Gula bukan hanya tidak sehat, gula juga kadang merusak rasa asli dari sebuah masakan ataupun minuman. Begitu kata bapak.

"Minum dulu Pak". Aku menyodorkan teh.
"Makasih" Bapak meminum teh hangat. Teh melati.kesukaan bapak.
"Gimana kabarmu hari ini, Andin?" bapak bertanya. Aku faham maksudnya.
"Alhamdulillah, Andin sudah tenang Pak, sudah mulai meras ringan dengan musibah ini'
"Syukurlah, alhamdulillah" Bapak nampak tenang.
"Pak, Dinda tadi di ruqyah, dan kata ustadz nya nanti harus ikut terapi intensif, boleh ga Andin nanti nemenin Dinda selama.tetapi ruqyah" aku mencoba merayu. Minta ijin.
"Ruqyah?" Bapak bertanya.

Selasa, 19 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 12

Part 12.
Apa yang berasal dari hati akan sampai ke hati.  Apalagi Al Quran. Sebuah mukjizat yang dahsyat. Mendengar lantunannya terasa sangat menyentuh hati.  Hati yang lembut, akan menangis dibuatnya.
Umi menangis mendengar lantunan ayat yang dibacakan Ustadz. Zamzam juga. Lantunan itu juga menyentuh kalbuku. Mengundang air mata. Apa karena kami sedang dalam lingkaran duka derita? Aku tidak tahu.

Ustadz itu memakai sarung tangan musim dingin. Sarung tangan yang cukup tebal.
Satu tangannya memegang ubun-ubun Dinda.
Satu tangan lagi menepuk-nepuk punggung Dinda.
Dinda muntah hebat.
Air matanya mengalir bersamaan dengan keluarnya muntah.
"Dipeluk istrinya" Ustadz itu memerintah Zamzam.
Zamzam menurut.
Tangannya memeluk dada Dinda. Tiba-tiba Dinda menangis sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tinggalkan wanita ini wahai musuh Allah, suaminya lebih mencintainya & lebih bisa menjaganya, walaupun kalian dikirim oleh leluhur wanita ini, tinggalkanlah, sekarang kami lepaskan kalian, kami putuskan.semua perjanjian" Ustadz itu berkata setelah membacakan ayat 102 dari surat Al Baqoroh,  lalu meniup kepala Dinda.
Tangis Dinda makin menjadi. Kepalanya menggeleng.

Ustadz itu membaca surat Al Falaq & Annas, kembali meniupkan ke kepala Dinda.
Lalu ia mengangkat tangannya & berdoa.
Setelah mengakhiri dengan kata aamiin.
"Untuk hari ini cukup dulu, boleh kita diskusi?" Ustadz itu memandang Zamzam. Disambut anggukan.

"Ayo istirahat dulu, Nak", Umi memeluk Dinda.
Umi yang penuh kasih sayang & bijaksana.
Aku pergi ke dapur. Membuat teh hangat.
"Minum dulu Dind"
Dinda meneguk.
Umi memapah Dinda menuju kamarnya. Aku lebih memilih membereskan kresek bekas muntahan & tisu-tisu yang berserakan.
Lagi-lagi, aku harus menahan mual. Tapi tak bisa. Segera aku ke kamar mandi. Isi perutku serasa terkuras. Lemas.
Tapi ruang keluarga belum sempurna dibereskan. Aku lanjutkan.

Zamzam menatapku.
"Kak Andin baik-baik saja"
Aku menganngguk.
"Dinda bersama Umi di kamar" meski Zamzam tak bertanya, aku merasa harus menjelaskan.
Zamzam melangkah ke kamarnya.

Hari ini Teh Ulan, asisten rumah tangga umi tak tetlihat. Mungkin ga masuk. Aku mengambil alat pel. Membersihkan lantai. Mensucikan dari najis muntah yang mungkin menyiprati lantai.

"Andini, biar umi saja yang mengerjakan" Umi menatapku, tangannya hendak mengambil alat pel di tanganku.
"Gapapa Mi, cuma sedikit koq"
Aku melanjutkan. Belum.selesai, terdengar suara Zamzam.
"Umi, Kak Andin, bisakah kita bicara sebentar?"
Aku mengangguk.
"Sebentar aku selesaikan dulu.

Umi & Zamzam telah duduk di ruang tamu. Kelihatan tengah serius membicarakan sesuatu.
Aku bergabung. Mengambil posisi di sebelah umi, di depan Zamzam.
"Baiklah kita mulai, bismillaahirtohmaanirrohiim"
Zamzam nampak serius. Aku mencoba fokus.
"Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan. Pertama tentang kak Adlan. Tadi aku & abi sudah bertemu  dokter yang menangani kak Adlan.  Alhamdulillah kak Adlan sudah menunjukkan kemajuan. Hanya saja masih belum.bisa sadar.
Aku tadi mencoba meloby dokter agar kak Adlan bisa pindah dari ruang ICU ke ruang VIP. Agar bisa dirawat sendiri. Tapi tentu biayanya akan sangat mahal sekali"
Zamzam menjelaskan panjang lebar.
"Umi setuju kalau Adlan bisa pindah, jadi kita bisa berada di dekatnya walaupun keadaannya tidak sadar.  Jangan takut masalah biaya. Uang bisa dicari.  Allah memberi ujian itu pasti sudah sepaket dengan jalan keluarnya juga dengan biayanya." Umi menjawab.
Zamzam menatapku.
"Aku ikut keputusan keluarga aja. Tapi sepakat dengan umi. Allah pasti kasih jalan keluar, kita hanya harus ikhtiar. Masalah hasil biar Allah yang tentukan. Kita tawakkal dari awal"
"Baiklah. In syaa Allah nanti malam aku akan mengurusnya. Itu yang pertama"
Zamzam menghela nafas panjang.
"Yang kedua, ustadz Maulana tadi menyarankan agar Dinda ikut terapi intensif seminggu menginap. Dinda harus ada yang menemani.  Tapi aku tidak bisa kalau siang, sebab di kantor sedang banyak pekerjaan, apalagi seminggu ini kita tinggalkan. Kak Andini, bisa ga nanti menemani Dinda?"
Zamzam memohon.
Aku tahu, Dinda anak tunggal. Wanita yang dulu kusangka ibunya, ternyata bibinya. Ibunya sudah lama meninggal.  Dinda tinggal bersama paman dan bibinya. Paman adik ayah.  Pasangan ini tidak Allah karuniai anak.kandung. tapi pada mereka Allah berikan Dinda. Gadis cantik sholihah, keponakan sang paman yang sangat menyayangi nya. Ayah Dinda kini tinggal jauh merantau ke negri orang sebagai TKI.

Aku juga faham, umi tidak mungkin menemani, terkait dengan kondisi Adlan.
Akhirnya aku mengiyakan.
"In syaa Allah kakak mau bantu, tapi harus ijin dulu sama bapak & mama. Kapan waktunya?"
"Tiga minggu lagi"

Adzan dzuhur berkumandang.
Zamzam bergegas ke masjid.
Aku, umi & Dinda berjamaah di rumah.
Aku mohon ijin ke umi untuk sholat syukrul wudhu & sunnah sebelum mengimami.  Umi mengikuti. Dinda juga.
Setiap muslim adalah alat peraga dakwah. Begitu Ustadz Ihsan pernah bilang. Kadang apa yang kita lakukan berefek lebih dahsyat dari apa yang kita katakan. Meski tentu kita tidak bisa hanya jadi alat peraga, tapi kita juga harus jadi alat komunikasi, agar kebaikan islam sampai pada semua. Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi tauhid,  komunikasi yang disampaikan karena Allah & untuk mencari ridho Allah. Komunikasi seperti ini hanya ada dalam hati yang bersih, hati yang selalu membersihkan diri dari nodanya dengan dengan selalu mengupdate & mengupgrade taubat.
Aku masih ingat semua yang disampaikan Ustadz waktu ikut pesantren liburan.

Sehabis sholat aku dan umi berangkat ke RS. Umi menyiapkan makanan untuk abi.

Entah apa yang terjadi hari ini. Siang ini pun banyak titik macet kutemui.
"A&Z IT Consultant itu singkatan dari Adlan & Zamzam" Umi bercerita. "Zamzam yang punya ide. Adlan yang merealisasikan.  Adlan yang memimpin management. Zamzam memimpin pemasaran.  Setiap hari umi sholat hajat, meminta pada Allah agar Allah memberkahinya"
Aku menyimak dengan baik.
"Adlan dari kecil cenderung pendiam tapi pintar. Zamzam dari kecil lincah & banyak membuat masalah. Adlan cenderung keras & tegas, sedangkan Zamzam cenderung banyak cerita. Agak bawel. Mereka kelihatannya selalu kompak, padahal sering bertengkar. Namanya juga kakak adik. Bertengkar tak lama damai, selalu begitu"
"Sampai sekarang Mi?"
"Iya, bahkan ketika sebelum kecelakaan, sebelum mereka mengambil gaun, mereka sempat ribut beradu pendapat. Seperti biasa Umi meminta mereka menyelesaikan masalahnya & meminta mereka berangkat bersama"
Aku tercenung. Alam pikiranku mereka-reka. Apa yang menyebabkan kecelakaan terjadi? Apakah masih beradu argumen sehingga tidak fokus?
Aah. Semua sudah terjadi. Tak ada gunanya juga aku mereka-reka.

Senin, 18 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 11

Part 11.
"Andin, bangun Andin"
Ada usapan tangan basah di wajahku.
Aku mencoba membuka mata.
Bapak, wajahnya basah.
Bapak mengusapkan tangannya ke wajah basahnya. Lalu mengusapkan air di tangannya ke wajahku.
Ada do'a yang diucapkan bapak.
Ada ketenangan dari usapannya.
Alm mama pernah bilang kalau bapak selalu mengusapkan air wudhu sambil melantun do'a "Robbi habbli minashsholihiin waj'alhu robby rodiya" bahkan sejak aku dalam kandungan.
Setelah lahir sampai aku SD, bapak selalu mengusapkan air wudunya ke rambut sampai  wajahku.
Kenangan itu menyejukkanku.
Kesejukan itu kini membangunkanku.

"Bapak, ada apa?"
"Andin, kamu berteriak memanggil nama Adlan"
"Oh ya?" aku bertanya.
"Kamu bermimpi?"
Aku mengingat-ngingat.
"Iya Pak, sepertinya Andin mimpi"

"Andin, nanti pagi gaunnya mama masukin loundry dulu ya"
Aku menganngguk.
"Sekarang jam berapa ma?" aku bertanya
"Jam setengah tiga" jawab mama.
"Andin, ada yang ingin kamu ceritakan ke bapak?" bapak menatapku.
Aku menggeleng. Bapak, pasti sudah lelah dengan pembatalan pernikahan ini. Aku tak boleh menambah bebannya lagi.

Bapak memelukku. Mengusap-ngusap kepalaku.
Aku menangis lagi.
Iya, aku sedih.  Tapi aku berusaha untuk tidak kecewa.

"Andiny mau sholat dulu ya Pak"
Aku mohon ijin.
Bapak mengangguk.
Lalu turun bersama mama, bersama gaun pengantin yang penuh dengan bercak-bercak darah.

Sepi. Sunyi. Hening.
Hanya bisikan do'a dalam lantunan mukjizat Al Quran.
Kubisikan ke langit.
Ku bisikan pada pencipta kehidupan.
Kusampaikan aku ridho dengan semua suratan.
Ku utarakan aku hanya minta ditemani dan dikuatkan.
Aku tahu, tidak ada ujian kehidupan yang terlalu berat. Yang ada adalah hati yang tak ridho & tak mau ta'at. Hati yang tertipu oleh kemilau dunia.

Aku memang memimpikan pernikahan yang penuh kemegahan. Aku telah merancang semuanya.
Sakit rasanya menyaksikan semua mimpi hancur di depan mata.
Namun apalah daya. Aku hanya manusia yang hidup dalam sekat ruang dan waktu.
Aku hidup d sini. Di duniaku. Di rumahku. Apa yang ada dibalik dindingnya aku tidak tahu.
Aku di sini, di waktu ini, hanya bisa melihat waktu yang telah berlalu, apa yang terjadi di depan aku tak kan pernah tahu.
Aku hanya tahu, apa yang Allah taqdirkan adalah kebaikan. Karena hanya Dia-lah dzat yang tidak terbatas ruang & waktu.
Allah tahu semuanya. Bahkan apa yang ada jauh di lubuk hati.
Allah Yang Maha Awal, Allah Yang Maha Akhir. Allah Yang Maha Tahu. Allah Yang Maha Mengatur. Allah Yang Maha Baik.
Aku hanya harus berbaik sangka pada-Nya karena semua yang Allah berikan adalah kebaikan.
***

Handphone ku bergetar. Ada pesan masuk.
"Mba, aku betul-betul minta maaf, harusnya aku mencuci gaun pengantinnya sebelum aku kasih ke Mba Dinda. Mas Zamzam tadi malam menegurku"
"Gapapa Dinda, its oke. Nanti mama mau bawa gaun itu ke loundry"
"Mba baik-baik saja?
"Alhamdulillah" hanya itu yang bisa ku jawab.
"Alhamdulillah" Dinda membalas.
"Mba Andini nanti mau ke RS?"
"In syaa Allah, tapi ga tahu jam berapa.
"Aku sama Mas Zamzam, in syaa Allah hari ini mau seharian di RS, mba Andin bisa istirahat.
"Iya" hanya itu yang bisa kujawab.
"Mba Andini, maafkan Dinda ya"
"Sama-sama".
Aku menutup Handphone ku. Tapi tak lama. Karena ada pesan baru masuk.
"Andini, jam 10-an kamu kosong ga?" Nura, dengan kebiasannya, menyampaikan sesuatu tanpa basa basi.
"Kosong, in syaa Allah".
"Ga ke RS?"
"Ke RS, tapi ga tahu jam berapa"
"Temenin aku ya, aku harus beli kain, ada custumer minta dibuatkan seragam untuk acara wisuda"
"Oke"
"Thanks dear"
"Sama-sama".

Sahara Textile. Toko langganan Nura. Koleksinya lengkap & berkelas. Nura selalu mencari kain termahal dahulu. Setelah itu baru membandingkan dengan yang lainnya. Biasanya Nura mengambil yang menengah.
"Cari yang terbaik dulu, baru kita  bisa memilih yang paling baik" Begitu prinsip Nura.  Aku tak begitu faham maksudnya. Hanya bisa mengiyakan. Hanya bisa menemani & memberi saran.
Jika.Nura mencari kualitas dari harga termahal. Aku mencari yang paling unik. Tak peduli dengan harga. Jika kain itu tak banyak dipasaran modelnya, aku akan membelinya.

Nura tengah melihat koleksi batik sutra.
Untuk acara wusuda nampaknya batik tetep jadi primadona.
Handphone ku berdering.
Ada panggilan masuk.
Dari Umi
"Assalamualaikum. Iya Mi, ada yang bisa Andiny bantu?"
"Andini lagi di mana?"
"Lagi nemenin Nura, belanja kain"
"Bisa ke rumah umi?"
"Bisa Mi, sebentar, Andin segera ke sana"
Kupikir tak perlu lagi bertanya ada apa atau mengapa.

"Nura, aku harus ke rumah umi"
Nura menatapku, cemas.
"Ada apa?"
"Aku ga tahu, cuma di suruh ke sana sekarang"
"Iya gapapa, nanti gampang, aku bisa pulang naik taxi"
"Maaf yaa".

Aku memacu mobilku.
Sayang, jalanan tengah tak bersahabat. Banyak titik kemacetan memperlambat.

"Assalamualaikum, aku langsung masuk.
Terdengar suara lantunan Quran.
Rasanya aku pernah mendengar suara itu. Ayat itu. Mungkinkah?

Minggu, 17 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 10

Part 10.
Masjid, di belahan dunia yang paling panas sekalipun selalu menjadi tempat tersejuk.
Di sini. Di tempat orang yang terkumpul karena panasnya gelisah ujian kehidupan. Resah menanti keputusan Allah yang tersembunyi dalam catatan  taqdir di lauhil mahfudz. Cemas menanti kabar apakah sesuai harapan atau kebalikan.
Tempat ini. Tempat bersujud & bermunajat. Seolah menjadi tempat tetirah yang mengendapkan semua resah gelisah.

Syukrul wudhu. Dua roka'at kutunaikan. Sholat taubat. Aku memohon ampun pada-Nya jika pernah salah mencintai hamba-Nya. Jika pernah menyakiti makhluqnya.
Menderas lagi air di mata ini.
Yaa Rabb, jika musibah ini karena dosa & kesalahan hamba, ampuni hamba.
Sholat hajat. Aku bermunajat. Meminta agar semua keadaan Allah perbaiki. Memohon agar semua urusan Allah mudahkan.
Menghiba agar Adlan diberikan kesembuhan. Menjerit dalam hati, agar aku diberikan kekuatan.
Dhuha. Selanjutnya ku tunaikan. Sebagai sedekah atas seluruh persendian yang telah menopang tubuhku. Kugenapkan 8 rakaat. Berharap Allah ridho akan semuanya. Berharap semua rizki & keberkahan Allah datangkan.

Masih pukul 11.15. Ada waktu sekitar 45 menit menuju dzuhur.
Aku mengambil mushaf Al-Qur'an.
Surat ArRohmaan. Itu yang aku baca.
Ku buka ditengah. Agar tak terlalu jauh menuju surat yang kutuju.
Mataku terpaku pada satu ayat.
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat." 
Surat Al Furqon ayat 20.
Potongan ayat terakhirnya menarik perhatian & hatiku :
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?
Yaa Robb, inikah petunjuk darimu untukku?

Air mataku menderas lagi.
Aku tetap melanjutkan niatku. Mencari surat favoriteku. Membaca ayat pelipur laraku.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayat yang diulang-ulang dalam surat ArRohman ini selalu menjadi pelipur laraku.

Aku bersyukur masih bisa menyebut nama-Nya.
Aku bersyukur masih membuka kitab-Nya, melantunkan indah kalam-Nya.
Aku bersyukur masih bisa meminta pada-Nya.
Aku bersyukur masih diberi orang-orang yang mencintaiku dengan tulus.
Aku bersyukur masih diberi harta yang cukup.
Aku bersyukur. Tak pernah terhitung limpahan nikmat dan karunia dariMu ya Robb.

Adzan Dzuhur berkumandang. Merdu. Membawa kesejukan pada mereka yang menikmati syahdu panggilannya.
Waktunya untuk memenuhi panggilan perjumpaan denganNya, dalam barisan shaf sholat yang dipimpin imam.

Seseorang mempersilahkan Ustadz yang tadi menolong Dinda yang menjadi Imam. Nampaknya beliau tokoh yang disegani.

Usai larut dalam.dzkir & do'a, ku tutup dengan sholat sunnah.
Aku bersiap menemui Umi & Abi di ruang tunggu ICU. Mereka pasti belum sholat & makan.
Aku mampir ke kantin.  Memesan makanan kesukaan umi & abi untuk dibungkus. Pepes tahu. Sayur asem & balado telur. Menu sederhana yang menyajikan banyak kenikmatan.

"Umi, Abi, ini makan dulu"
Aku memberikan.
"Terimakasih Andin"
Ada embun di balik pilu matanya.
"Harusnya hari ini adalah hari bahagiamu, hari pernikahannmu"
"Itu rencana kita Mi, Allah punya rencana, in syaa Allah ini yang terbaik. Andin ikhlas"
Embun di mata itu tetap menetes.
"Makan dulu Mi, abis itu umi dan abi sholat dulu"
Aku tahu, makanan ini kesulitan untuk melewati kerongkongan yang tersekat duka.  Tapi makanan ini harus masuk.
Ternyata, kadang makan juga akan menjadi sebuah perjuangan ketika duka membalut kehidupan.

"Andin, pulanglah dulu, istirahatlah" umi memintaku, tepat ketika aku meneguk tegukan terakhir air putih dalam kemasan botol.
"In syaa Allah hari ini Andin akan menemani Umi hingga maghrib".
 "Tidak cape, Nak?"
"Tidak Mi"

Menunggu adalah keadaan yang menguras kesabaran. Apalagi menunggu kabar yang mendebarkan. Menunggu keputusan yang Allah taqdirkan.
Aku mencoba membangun sabarku dengan Al Quran.
Yaa Robb, hamba beriman pada-Mu, Engkaulah satu-satunya Tuhan Semesta Alam.
Yaa Robb, hamba beriman pada malaikat-Mu yang jumlahnya tak yangkan, maka jadikanlah tujuh puluh ribu malaikat yang berada bersama orang yang menjenguk orang yang sakit sebagai pasukan pembawa kebahagiaan.
Yaa Robb, hamba beriman pada  kitab-kitabMu, pada Al Quran yang Engkau berikan sebagai mukjizat, maka jadikan setiap hurufnya adalah cahaya yang mengusir semua kegelapan dalam kehidupan hamba. Gelapnya rasa putus asa, gelapnya kesedihan, gelapnya dosa, sirnakanlah dengan cahaya kalamMu, yaa Robb.
Yaa Robb, hamba beriman pada RosulMu yang telah berdarah-darah mengorbankan semua yang Engkau beri agar risalah ini sampai kepada kami, maka jadikan kami Hambamu yang senantiasa meniti jalannya dalam setiap ujian kepedihan maupun kebahagiaan.
Yaa Robb, hamba beriman kepada hari pembalasan yang Engkau kabarkan, maka dengan kesabaran atas ujian ini, jadikan kami orang yang beruntung yang Kau masukan ke dalam bahagia keabadian di surga yang Kau janjikan.
Yaa Robb, hamba beriman pada  taqdirMu. Kullu khoir, semua yang Kau taqdirkan di dalamnya terdapat kebaikan. Sepedih apapun taqdir yang kami rasakan, semuanya indah pada hikmahnya.

Hari mulai gelap. Aku bersiap.
Setiap malam, ada pamannya Adlan yang menjaga.
Aku pulang bersama umi & Abi. Aku mengantar mereka.
"Masuk dulu Andin"
Sebenarnya aku enggan.
Tapi aku tak ingin melukai hati yang tengah menanggung pilu.

Dinda menghidangkan teh manis.
"Tidak usah repot-repot Din, Mba ga akan lama koq"
"Cuma minum aja Mba" Dinda tersenyum, tapi matanya tak balas menatap mataku.

"Andini, ini hadiah yang Umi siapkan, walaupun hari ini belum jadi akad nikahnya, bawa saja ya"
Aku tidak tahu, apakah aku pantas menerimanya atau tidak. Tapi tatapan mata umi memaksaku untuk menerimanya.
"Andin pamit pulang Mi"

Tepat ketika aku di depan pintu, Dinda memanggil
"Mba, tadi Mas Zamzam sudah dari bengkel, ini bajunya di simpan di rumah Mba Andin aja ya"
Aku hanya bisa menerima.

Ku strater mobilku.
Sayup terdengar suara Adlan. Tumben suaranya agak keras & meninggi.
"Dinda, bajunya kamu kasih ke Andini?"
Aku penasaran, tapi tak mungkin juga aku turun lagi.
Umi & Abi tengah berdiri mengantarkan kepulangan.

Hari yang melelahkan.
"Baru pulang Din?" Bapak menyapaku.
"Iya Pak" aku meraih tangan bapak, menciumnya.
"Bagaimana kabar Adlan"
"Masih di ICU"
Bapak menghela nafas panjang.
"Sekarang istirahatlah".
Aku bergegas ke atas. Ke kamarku.

Bingkisan yang pertama ku buka adalah yang diberikan Dinda. Aku masih bertanya, kenapa suara Zamzam meninggi, seolah menunjukkan kecemasan yang luar biasa.
Gaun pengantin milikku. Ada darah yang telah mengering. Di bagian dada, bagian tangan & bagian bawah.  Harusnya gaun ini putih keemasan. Tapi kini penuh oleh warna coklat kehitaman sepertinya dulu darah telah betsimbah.
Harusnya gaun inj wangi melati. Tapi kini gaun ini menebarkan aroma amis.

Dadaku sesak, mataku menderaskan airnya. Kepalaku sakit. Langit langit kamar seolah betputar.
***

"Andini, ini aku, Adlan"
Wajah itu bercahaya, sinarnya teduh. Wajah itu menatapku, menyodorkan tangannya padaku. Tanganya juga bercahaya.  Kupandangi seluruh tubuhnya. Semua bercahaya.
Kupandangi dari ujung kakinya hingga ke kepalanya. Ada mahkota cahaya di kepalanya.
"Nanti kau pun akan memakai mahkota cahaya ini"

Sabtu, 16 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 9

Part 9.

Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Hatiku berdebar. Kulantunkan aneka do'a, semoga Adlan membaik. Semoga kesadaran segera Allah datangkan. Semoga ia bisa segera keluar dari ruangan berkaca ini.
Bismillah.

"Pasien lirih memanggil nama keluarga, mungkin ada pesan yang ingin disampaikan" begitu penjelasan perawat. Ketika aku menanyakan ke meja perawat.

Aku berjalan cepat, tapi tetap kujaga kehati-hatianku.
Adlan terbaring.
Ada banyak kabel di dadanya. Ada juga kabel di pergelangan tangan, dekat nadi.  Semua terhubung ke monitor.  Seolah semua alat kesehatan digital itu mengkalkulasi rumus-rumus sinyal kehidupan & dipancarkan pada monitor yang terpasang.
Ada yang berbentuk grafik. Ada yang terlihat dalam bentuk angka. Aku tak faham.

Selang oksigen masih terpasang di hidungnya.
Kelopak mata Adlan tampak bersusah payah untuk membuka. Tapi tidak bisa. Hanya bola mata yang samar terlihat bergerak seolah melihat sesuatu.
Bibirnya bergerak, seolah sedang mengatakan sesuatu.
Iya. Adlan sedang mengatakan sesuatu, seperti yang dikatakan perawat tadi.
Aku duduk di di sebelah kanan.
"Andin..Andiny, tunggu Mas, tunggu Andiny"
Airmata menggenang dipelupuk.
"Aku di sini mas. Aku akan menunggumu". Kubisikan semua dalam lelehan air mata.
Kulihat bibir itu mengukir seutas senyum. Tipis. Tapi sangat berarti bagiku. Dan Adlan seperti tertidur kembali.
Lalu lantunkan pelan Al Fatihah di telinga Adlan.
"Iya ka na'budu wa iya ka nasta'in" ku ulang dalam isak hingga tujuh kali.
Juga pada ayat "ihdunashshirotol mustaqiim" ...
PadaMu ya Robb, kami beribadah & PadaMu jua kami memohon pertolongan.
Bimbing kami ya Robb, bimbing kami menuju jalan yang lurus.

Dua orang perawat mendatangi. Seorang memantau monitor & mencatat. Seorang lagi memberi isyarat agar aku segera keluar. Mungkin aku dianggap mengganggu.

Umi nampak menunggu penuh harap. Wajahnya memucat melihat air mata di wajahku.
"Bagaimana, apa yang terjadi?"
Aku langsung memeluk umi.
"Andin akan menunggu, Andin janji akan menunggu Mas Adlan" hanya itu yang bisa kuucapkan.
Umi mengusap-usap punggungku, lembut.
Ada ketenangan yang menjalar ke hati.
Aku melepaskan pelukan.
Menghapus air mata.

Kami duduk di meja panjang yang tersedia d ruang tunggu.
Beberapa keluarga dari pasien lain sama terlihat gelisah & sedih. Kami disini senasib. Menunggu dalam lantunan aneka do'a. Menunggu dengan harapan yang bersaing dengan cemas yang kadang membawa rasa putus asa. Kami harus menang melawan semua kesedihan ini. Karena kemenangan kami dari sedih & putus asa juga akan jadi bekal untuk mereka yang tengah berjuang di ruang kaca.

Aku menghela nafas panjang.
Umi menatapku.
"Nak Andin, umi tahu ini semua berat & teramat sangat berat. Tapi umi minta temani umi menemui Zamzam. Zamzam sudah boleh pulang"
Aku mengangguk. "Baik Mi"
"Andin, Zamzam sangat tersiksa dalam penyesalannya"
"Kecelakaan ini taqdir Mi, tidak ada yang salah." aku mencoba menenangkan umi.
"Bukan hanya itu, Nak, Zamzam menyesal karena telah memintamu untuk menerima Adlan. Zamzam  selalu mengeluhkan penyesalannya pada umi"
"Andin menerima Adlan atas keputusan & kesadaran sendiri Mi, bukan atas saran siapapun"
"Umi yang salah Nak" Umi mulai meneteskan air mata.
"Umi tahu Zamzam mencintaimu, tapi umi meminta Zamzam mengalah karena Adlan juga mencintaimu. Umi pikir Zamzam anaknya supel & mudah bergaul, mudah diterima siapapun. Sementara Adlan sulit untuk jatuh cinta & kurang pandai bergaul. Waktu umi menanyakan kapan akan menikah & siapa yang ia cintai, ia menunjukkan fotomu, Andin"
Belum selesai umi menghela nafas panjangnya, terdengar seseorang bertanya :
"Apa Adlan tahu kalau Zamzam mencintai kak Andin?"
Dinda bertanya. Wajahnya pucat.
Aku kaget. Umi terkesiap.
"Dinda," aku menatap. Kata-kata seolah tak berpihak padaku. Aku tak menemukan satu kalinatpun yang tepat untuk disampaikan selanjutnya
"Tidak Dinda, maafkan umi". Uni menangis. Dinda juga.
Dinda berbalik. Berjalan cepat setengah berlari.
"Maaf Umi, Andin harus ke Dinda dulu". Aku pamit. Umi mengangguk dalam sengguknya.

"Dinda tunggu", aku mencoba mengejar. Dinda tak berhenti. Malah semakin cepat.
Masjid, tempat itu yang dituju Dinda. Syukurlah, aku sedikit lega.

Masjid tidak terlalu ramai. Karena belum waktunya sholat Dzuhur. Hanya beberapa yang terlihat khusu melaksanakan sholat dhuha.

Dinda duduk bersimpuh.
Tangannya seolah menyangga tubuhnya yang guncang dalam.isaknya.
Aku mendekati. Hati-hati.
"Dinda, semua tak seperti yang Dinda bayangkan. Aku tidak mencintai Zamzam" aku mencoba menegaskan untuk menenangkan.

Tangis Dinda makin menjadi.
Hanya saja aku merasa asing dengan tangisan Dinda kali ini.
Aku merinding. Teringat kejadian di dapur saat pernikahan Dinda.

"Maaf Mba, boleh saya meruqyah ukhti ini? Sepertinya kena gangguan"
Seorang berwajah teduh, berbaju koko Pakistan & bercelana cingkrang tiba-tiba mendekati. Aku reflek mengangguk. Hanya itu pilihanku.
Pria itu mengeluarkan sesuatu : sarung tangan musim dingin. Aku terkesima. "Apa yang akan dia lakukan dengan sarung tangan setebal itu?" tapi pertanyaan itu hanya ada dalam pikiranku.

Pria itu memegang kepala Dinda. Membaca ta'awudz & do'a perlindungan.
Membacakan Alfatihah, ayat kursyi & beberapa ayat yang asing ditelingaku.

Dinda tertawa terbahak.
Tidak, itu bukan suara Dinda. Aku semakin terkesima. Aku mencoba menangkan diri denga. Mengucap istighfar & ikut membaca ayat kursy.
Beberapa jamaah yang hadir memperhatikan. Tepatnya menonton. Aku mengambil posisi siaga. Aku mengawasi semua. Memastikan tidak ada seorangpun yang memegang gadget merekam atau mengambil semua yang terjadi pada Dinda.

Pria itu terus membacakan ayat-ayat Quran sambil memukul-mukul pelan punggung Dinda. Aku mengamati dengan seksama.
Tiba-tiba kulihat pipi Dinda mengembung. Dinda mau muntah?
Ini masjid, tidak boleh kena naji &  muntah adalah najis.
Segera ku keluarkan isi tasku. Aku membuka tasku. Mendekati  Dinda & menyodorkan tasku ke mulut Dinda.
Dinda muntah hebat.  Tak lama setelah itu tubuhnya terguling lemas.

"Terima kasih Ustadz" Suara Zamzam. Aku terkesiap.
Zamzam memeluk tubuh Dinda.
"Bacakan Al Falaq & AnNas" perintah pria yg dipanggil Ustadz oleh Zamzam.
Zamzam menurut.

Aku mundur perlahan. Aku harus membuang muntah ini & membersihkan tas ini.
"Handphone & dompet sudah umi simpan, Andin". Aku tidak tahu sejak kapan umi ada di sini.
"Iya Mi".

Aku segera ke kamar mandi.
Segera mencari toilet kosong & mengosongkan tasku. Namun sayangnya perutku juga tertular ingin dikosongkan. Aku muntah.
Walau bagaimanapun, aku bukan perawat. Aku tak kuat melihat muntahan. Tapi aku harus membersihkan tasku.

Keluar dari toilet, umi.sudah menungguku. Umi menyodorkan tas keresek. Aku menerimanya & menyimpan tasku di dalamnya.

"Bagaimana keadaan Dinda, Mi?"
"Alhamdulillah sudah siuman. Zamazam sudah membawanya pulang"
"Pulang ke mana Mi?
"Umi minta untuk pulang ke rumah umi, supaya umi bisa ikut merawat & memantau Zamzam pada masa pemulihan"
Aku tercenung. Dinda, bisakah memahami apa yang terjadi?
Bisakah menerima apa yang tadi  umi katakan?
Bisakah yakin terhadap apa yang aku sampaikan?

"Abi dimana Mi?" aku bertanya lagi.
"Di ruang tunggu ICU".
"Bagaimana kalau Umi menemani abi dulu? Andin ingin sholat sunnah dulu"
Umi tersenyum. Pilu di mata nya tak bisa ia sembunyikan. Setelah apa yang terjadi, mataku semakin terbuka pada pilu mendalam yang ada di matanya.
Umi mengangguk.
"Andin wudu dulu ya Mi"
Aku pamit.
Umi berlalu.

Air ini terasa sejuk hingga ke tulang. Juga ke tulang mata.
Air wudu yang membasuh wajahku, berbaur dengan airmata yang kian deras.

Jumat, 15 November 2019

Aku bukan Cleopatra part 8

Dinding ruangan terlihat putih. Buram & mebias.Samar. Aku terbaring lemah.
Ada kehangatan yang menjalar dari telapak tangan.  Kucoba melihat meski tak jelas.
"Andin, kamu sudah sadar?"
Mama menyapa. Pipinya basah. Lelehan air dari matanya nampak menderas.
Aku mengangguk.  Mataku seperti bercermin pada mata mama. Lelehan air mata di mata mama kini ada juga di mataku. Setelah kutahan sedari tadi, akhirnya tumpah juga.
"Minum dulu, Andin" Nura menyodorkan teh dalam gelas.
Mama melepas tangannku, berjalan sigap ke ujung tempat tidur, memutar pengatur ketinggian di bagian kepala tempat tidurku.
"Terima kasih, Ma"
"Terima kasih Nura"
Teh hangat yang manis. Aku ingin mencoba menikmatinya tapi tak bisa. Tenggorokanku tersekat.
"Bagaimana Adlan?" Aku menatap mama. Mama diam.
"Adlan sudah ditangani dengan baik di ruang ICU" Nura membantu menjawab.

ICU. Seberapa banyak orang bisa keluar dari ruangan itu dengan keadaan lebih baik?
Aku tidak tahu. Aku hanya ingat, dulu Bunda keluar dari ruangan itu pergi menghadap-Nya.
Air mataku menderas.
Nura menyodorkan tisu.
"Aku faham perasaanmu, semua pasti sulit. Tapi berbaik sangka pada apapun, itulah satu-satunya jalan terbaik" Nura seperti berbisik di telingaku.
Berbaik sangka.
Baiklah. Aku akan pegang kata-kata itu.
Aku akan berbaik sangka pada ruang ICU. Bahwa keluar dari ruangan itu Adlan tidak akan lebih baik & tidak langsung pulang menghadap-Nya.
Aku akan berbaik sangka pada Zamzam. Bahwa bukan karena tangannya lah kecelakaan ini terjadi.
Aku harus berbaik sangka pada taqdir.
"Setiap taqdir itu baik, jika ada yang salah maka satu-satunya yang patut disalahkan adalah cara pandang kita". Begitu nasehat Zamzam saat meyakinkan aku untuk menerima Adlan.
Aku akan berbaik sangka pada hari esok, bahwa semua akan membaik.

"Ma, apa bapak sudah tahu?"
Aku menatap mama.
"Nanti kita kasih tahu kalau bapak sudah pulang dari Kaltim ya, lusa bapak pulang".

"Permisi, nona Andini ya. Kami akan memeriksa tensi darah". Seorang suster masuk. Ia memasangkan alat & memegang nadi ku sembari melihat alat pengukur tensi digital.
"100 per 90".
"Bisa langsung pulang kan Sus, tidak menginap" aku bertanya sembari berharap.
"Sepertinya bisa, Mba."

Mama bergegas mengurus administrasi.
Aku bersiap bersama Nura.
"Ma, aku mau menemui Umi & Dinda" aku mohon ijin.
"Iya, temuilah mereka"

Sama seperti mama & aku. Umi & Dinda matanya basah.
Umi memelukku erat.
"Sabar ya nak" bisiknya di telingaku. Aku mengangguk.
Dinda menatap kami.
Umi melonggarkan pelukan.
Aku melepas perlahan.
Kupeluk Dinda.
Kami tak berkata-kata. Hanya menangis bersama.

H-7.
Bapak memelukku.
"Semua akan baik-baik saja. Ini ujian. Semua akan berlalu". Bapak meyakinkan aku.
Aku tahu, Bapak pasti juga sedih & merasa berat.
"Kita buat akan sebarkan surat pemberitahuan". Bapak menghela nafas panjang setelah melepaskan pelukan.
"Kita juga harus segera memberi tahu perias, EO, pengelola gedung & catering juga ibu-ibu pengajian. Semua kita batalkan.
"Pak, kalau pengajian ibu-ibu tetap dilaksanakan, bagaimana? Tetap khataman Quran, cuma do'anya kita minta untuk kesembuhan Adlan" pintaku.
Sejenak bapak menatapku.
"Baiklah" akhirnya bapak menyetujuiku.

H-5
Informasi pembatalan disebar. Berbentuk seperti kartu undangan.
Ada namaku. Nama Adlan. Nama Bapak & alm Bunda. Juga nama umi & abi.
Do'a juga dicantumkan. Tapi bukan do'a untuk pengantin. Melainkan do'a agar kami diberi kesabaran & do'a kesembuhan untuk Adlan.

Sama seperti hari-hari kemarin, aku menyempatkan diri menengok Adlan. Melihatnya dari jendela ruang ICU. Menunggu giliran untuk menggunakan baju khusus & masuk sebentar ke ruang ICU. Menatap wajah teduh & bercahaya. Membisikkan do'a di telinganya. Tanpa sentuhan. Karena kami belum sah dalam ikatan pernikahan.
Koma. Begitu kondisi Adlan.

Di rumah aku memperpanjang do'a. Menambah aneka sholat sunah. Sholat syukrul wudhu tak kutinggalkan. Entah di lima waktu maupun di saat dhuha & tahajud. Sholat taubat, shilolat hajat.  Aku berharap semua akan membawa kebaikan.

Surat cuti yang sudah ku layangkan tak mungkin kubatalkan.
Aku memutuskan untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.
Mungkin ini cara Allah menarikku mendekat pada-Nya.

H-1.
Ada karangan bunga ucapan selamat yang datang ke rumah. Dari rekan A&Z IT Consultant. Mungkin mereka lupa membatalkan pesanan. Aku memandamginya hampa.
Sore ini, selepas ashar pengajian khataman dimulai.
Aku mengambil 1 juz. Juz pertama. Sisa 29 juz dibagi secara undian. Pengajian berlangsung khusyu. Semua menikmati bacaannya masing-masing.
Air mata ini tak bisa berkompromi, tak bisa menyembunyikan diri. Aku membaca quran dalam.isak.

Satu jam. Al-Quran telah dikhatamkan. Kami membaca do'a dipimpin ustadzah Hj. Bilqis. Ditambah do'a-do'a untukku. Untuk Adlan.
Aku mengaminkan dengan tangis. Beberapa jamaah ikut menangis.

Mama mempersilahkan jamaah pengajian untuk menikmati hidangan. Biasanya saat ramah tamah bersantap selalu riang & hangat. Kini sepi.
Lima menit menjelang maghrib, ibu-ibu pamit. Mereka memelukku satu persatu.
"Yang sabar ya Neng". Hampir semua membisikkan itu.

Hari H.
Aku pamit pada mama. Aku mau di rumah sakit seharian menemani umi.

Seperti hari-hari kemarin. Hari ini masih ada yang menjenguk.
Melihat kondisi Adlan meski dari balik kaca. Menanyakan kabar & melantunkan do'a.

Tak hanya dari mereka yang datang. Do'a-do'a & simpati juga terus datang lewat pesan di sosial media. Aku terharu.
"Andiny, aku turut prihatin. Aku akan selalu berdoa' untuk kebahagiaanmu. Maaf hari ini aku tidak bisa menemanimu" pesan dari Nura.
"Terima kasih Nur, do'akan agar aku Allah selalu membetikanku sabar & syukur,  in syaa Allah aku ridho dengan semua ini, dengan semua derita bencana ini. Aku menerimanya sebagai ujian. Aku tak akan memanipulasi ataupun memgkamuflase perasaan sedihku.  Aku hanya tinggal mencari celah untuk tetap bersyukur & bahagia"
Belum sempat ku kirim pesan itu, terdengar panggilan lewat pengeras suara.
"Keluarga Adlan Muhammad, mohon segera masuk ke ruang ICU"
Aku menatap umi.
"Andin mohon ijin, Andin aja yang masuk ya Mi"
Umi mengangguk.
Aku segera keruamgan perawat untuk memakai baju khusus yang steril.

Senin, 11 November 2019

Aku Bukan Cleopatra, partb7

H-14.

Walimatul ursy itu sunnah yang dianjurkan. Pernikahan itu wajib diumumkan & berbagi kebahagian dengan rekan rekan adalah keberkahan. Begitu Adlan bilang.

Undangan cantik sudah disebar. Karena kolega dari bapak banyak, teman-teman kuliah, teman kerja juga.  Juga karena relasi A&Z IT Consultant banyak, belum juga relasi umi & abi, akhirnya disepakati, undangan dibagi 2 sesi.
Aku hanya manut saja.

Aqad nikah, mungkin ucapannya hanya 5 menit menuju sah. Menuju dihalalkannya semua yang awalnya diharamkan. Menuju ibadah terpanjang. Ibadah di seluruh sisa usia. Menuju kebersamaan dalam tangis & tawa. Merintis surga di dunia sebelum surga di akhirat nanti.
Mitsaqon gholido. Perjanjian yang berat
Moment yang teramat sakral. Maka semua seolah berlomba membuatnya menjadi paling istimewa.
Semua dipersiapkan sedemikian detil & cermat.

Aku belum mempersiapkan apa-apa. Aku masih berkutat dengan pengolahan data.
Setelah itu satu bab lagi.
Kesimpulan & penutup bisa ditunda, tapi olah data tidak.

"Andin, kamu masih membuka-buka referensi?"
Bapak memperhatikan tumpukan buku di kasur.  Aku lebih suka mengerjakan semua di sana. Kalau lelah tinggal rebah.
"Iya Pak, biar cepat selesai"
"Ini bapak punya dua buku referensi"
"Referensi untuk skripsi Andyn?, tentang anak apa tentang teknologi digital? Aku penasaran
"Referensi untuk kehidupan rumah tanggamu"

Bapak memberikan 2 buku.
"Ini buku punya alm Bunda. Buku Rahasia Kecantikan Cleopatra"
Ayah memberikan buku yang nampak cukup tua. Kertas koran yang jadi bahan utamanya sudah menguning kecoklatan. Ada beberapa noda terserak di beberapa lembarannya.
"Ini buku diary pernikahan Bunda, semoga kamu bisa belajar banyak dari apa yang pernah dilakukan Bunda"
Ada genangan air di pelupuk mata ayah.
Aku mencoba membendungnya dengan pelukan.

H-9.
Putih adalah warna lambang kesucian. Itulah mengapa gaun pengantin saat akad selalu putih.
Tapi putih juga ada aneka macam pilihan. Aku memilih putih tulang.
Orang bilang broken white, tapi bagi aku putih tulang adalah golden white, putih keemasaan.
"Kamu tahu Andiny, apa yang membuatmu punya daya tarik lebih? Kamu selalu punya cara pandang beda. Selalu punya cara pandang positif. Ibarat kamera, kamu akan selalu menangkap gambar dari angel yang paling bagus". Begitu seseorang pernah menilaiku. Penilaian yang ia sampaikan padaku, juga pada kakaknya yang sebentar lagi akan menjadi imamku.

Putih tulang, bukan putih yang rusak atau broken white. Tapi putih yang menopang kehidupan. Putih yang istimewa. Paduan antara warna putih suci & warna emas yang mulia.  Dua warna yang sangat pas untuk menemani acara yang sangat sakral.

Untuk baju pengantin ganti, aku memilih warna hijau toska paduan antara biru & hijau ini selalu cantik di mataku.

Hari ini jadwal pengambilan baju pengantin. Semua baju, umi yang mengatur di penjahit langganannya. Penjahit yang menjahitkan pakaian pengantin Dinda & Zamzam.
Model & warna harus berbeda. Semua umi yang mengurus. Aku hanya tinggal diukur saja. Umi minta waktu 10 hari.harus sudah selesai, dengan harga spesial.

"Bajunya diambil Adlan pagi ini jam 9, nanti Adlan akan mampir untuk menyimpan baju punya Andiny, juga punya mama & bapak" begitu pesan dari umi di handphoneku.
"Baik Mi, Andin tunggu"

Aku menunggu sambil membuka diary pernikahan Bunda. Cantik. Bunda memang terkenal cantik. Bunda sangat menjaga penampilan. Aku memang tidak 100% mewarisi kecantikan bunda, aku lebih mirip bapak.  Bunda betkulit putih bersinar & terawat, aku mewarisi kulit sawo matang bapak.
Mata bunda bulat seperti purnama. Aku mewarisi mata bapak yang tidak terlalu bulat melebar. Aku beruntung mewarisi hidung mancung bunda juga dagu lancipnya.

Bunda menulis bagaimana riak gelombang dalam rumah tangga juga bagaimana bunda mengatasinya.
9 aturan pertengkaran. Judul yang menarik. Tapi aku lebih tertarik pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 14.30.
Macet kah?
Kenapa Adlan belum sampai juga?.

Aku melihat handphone.
Tidak ada panggilan tak terjawab. Tidak ada juga pesan masuk dari Adlan.
Kucoba melihat daftar panggil. Sepertinya aku memang harus menelpon Adlan.

Belum sempat ku sentuh ikon telpon, ada nomor panggilan masuk. Nomor tidak dikenal. Hanya ada 8 digit, bukan 12 digit. Sepertinya dari kantor tertentu.

"Selamat siang Mba, apakah betul ini dengan Mba Andin?"
"Betul, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya dari kepolisian, mobil nomor plat B ... Mengalami kecelakaan, sekarang pengemudi & satu penumpang lagi berada di rumah sakit"

"Pengemudi & penumpang atas nama siapa Pak?" Dalam cemas aku mencoba menenangkan diri. Aku takut ini hanya modus penipuan.
"Atas Nama Adlan Muhammad & Zamzam Ahmad"
"Di rumah sakit mana Pak?"
"Rumah sakit Bakti Pertiwi, ruang IGD"

Aku memacu mobilku dengan kecepatan tinggi yang aku bisa ditengah kemacetan. Setiap ada kesempatan untuk menyalip, tak pernah aku sia-siakan.
Baru kali ini aku tak peduli dengan teguran, gerutuan & teriakan klakson. Aku harus cepat sampai.

"Saya keluarga dari Adlan Muhammad & Zamzam Ahmad"
Aku langsung menemui perawat di bagian IGD.
Seorang perawat & dokter jaga membawaku ke sebuah ruangan.

Adlan terbaring di sebelah kiri.
Selain perban di kepala, tangan & kaki, Adlan dipasang penyangga leher. Juga dipasangkan selang oksigen di hidungnya.
Adlan tak sadarkan diri.

Zamzam terbaring di sebelah kanan. Ada perban di pelipis dan kepalanya.  Juga di bagian tangan & kakinya.
Zamzam menatapku.
"Maafkan aku, Kak"
"Sudahlah, yang penting semua sudah bisa ditangani dulu" jawabku.
"Dinda & Umi sudah ke sini?" Zamzam bertanya.
"Masih di jalan" walaupun aku tak tahu apakah Dinda & umi sudah dapat kabar atau belum.

Setelah melihat kondisi Adlan & Zamzam, perawat & dokter mengajakku ke ruangan.

"Ibu menggunakan asuransi apa pribadi?" itu yang ditanyakan pertama kali. Selalu seperti ini.
"Pribadi" jawabku. Pilihan agar semuanya cepat teratasi.
"Baiklah," perawat yang bertanya itu berlalu. Mungkin ia akan mengurus & menghitung semua pembiayaan.

"Bu, untuk pasien Zamzam, alhamdulillah tidak terlalu parah, cedera di bagian pelipis, kepala & kaki sudah bisa diatasi. Hanya saja pernafasan & dadanya masih perlu diobservasi, akibat dada yang terjepit setir & kursi"
Aku tercenung. Zamzam yang menyupir?

"Untuk pasien atas nama Adlan, secepatnya akan dipindahkan ke ruangan ICU, ada tulang leher yang patah. Kemungkinan juga mengalami gegar otak. Kami akan observasi juga terkait batang otak. Kondisinya sangat serius..."
Wajah dokter itu terlihat blur & kabur. Suaranya seperti menjauh & badanku terasa ringan.  Atau aku kehilangan semua rasa?

Jumat, 08 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 6

"Dindaa", aku reflek berteriak.
Semua memandang ke arah Dinda. Umi memeluk Dinda.
Mamah Dinda menepuk-nepuk wajah Dinda.
Semua mata tertuju pada Dinda.
Aku merasa paling bersalah saat itu.
Andai aku tak berteriak mungkin semua mata tak kan tertuju pada Dinda.
Aku bisa tenang, mungkin suasana tidak akan segaduh ini.
Kamera di handphone ku merekam semuanya.

Zamzam datang menghampiri. Semua memberi jalan.
Zamzam memeluk Dinda.
Mencium keningnya.
Aku terkesima.
Zamzam menggendong tubuh lunglai Dinda.
Kedipan lampu kilat menyilaukan mataku.
Menyadarkanku.

"Mohon maaf, mohon perhatiannya kepada hadirin untuk tidak mengambil gambar baik foto ataupun video. Bagi yang sudah terlanjur mengambil gambar baik foto maupun video mohon keridhoannya untuk segera menghapus."
Adlan mengambil inisiatif mengambil komando.
Beberapa orang nampak mengotak ngatik handphone mereka.
"Demi menjaga nama baik pengantin & keluarga, sekali lagi mohon untuk tidak mengambil gambar baik foto maupun video. Jika dikemudian hari kami menemui gambar baik foto maupun video dari kejadian barusan ada di sosial media, maka dengan sangat menyesal, kami akan menuntutnya melalui pengacara kami. Sekali lagi kami mohon maaf. Semua kami lakukan demi melindungi nama baik pengantin dan keluarga".
Adlan melanjutkan. Aku terkesiap.

Ku buka handphoneku. Kulihat ulang semua. Bagaimana tiba-tiba Dinda lunglai. Bagaimana tiba-tiba Dinda lemas & pingsan. Bagaimana Zamzam memeluk, mencium Dinda & menggendong tubuh lunglai itu. Semua terekam baik.
Tapi rekaman itu menularkan sesuatu. Menularkan energi negatif. Aku tiba-tiba lemas & lunglai.

"Andini, kamu baik-baik saja?" Tangan lembut Nura memegang pundakku. Aku menguatkan diri. Aku tahu, Nura tidak akan kuat membopongku jika aku tidak menguatkan diri.
Aku sadar, akan ada keributan berikutnya jika aku ikut tak sadarkan diri.
"Kamu pucat sekali Andiny" Nura menguatkan pegangannya di punggung hingga pundak.
"Ayo kita minum dulu". Nura mengamit lenganku. Menuntunku.
Aku merasa seperti layangan & Nura adalah angin. Aku ikut kemana Nura menuntunku.

Ruang tamu tetangga belakang. Kami duduk di sini, setelah Nura minta ijin terlebih dahulu.
"Aku buatkan teh hangat dulu ya". Nura pamit.
Aku mengangguk.
Aku belum tahu apa yang terjadi dengan diriku.
Tiba-tiba dari arah dapur terdengar suara tertawa. Suara tertawa yang aneh. Seperti di sinetron. Suara tertawa makhluk halus?. Di hari yang masih pagi & terang begini? Seluruh tubuhku merinding. Tiba-tiba suara tertawa itu berganti dengan geraman.
Reflek aku mencari sumber suara. Berjalan ke arah dapur.
Dalam lemah aku memaksakan diri. Baru beberapa langkah, Nura sudah di depanku.
"Minum dulu Andiny, kamu masih pucat". Andini menuntunku kembali ke tempat duduk.
"Suara apa itu?" aku bertanya.
"Ga usah dipikirkan, biarkan saja, kamu harus menenangkan diri dulu".
Aku meneguk teh manis hangat yang disodorkan Nura.
Hangatnya menjalar ke dada. Tapi tidak ke hati & benak.

Nura menatapku.
"Kamu belum bisa melupakan Zamzam, iya kan Andiny?"
"Nur, ketika aku bertekad meninggalkan sesuatu, aku tidak akan pernah melihatnya kembali. Baik dalam kenyataan maupun dalam ingatan"
"Andiny, kadang kita harus jujur pada diri sendiri" Entah apa maksud Nura berkata seperti itu.
"Nur, kamu tahu kenapa Nabi Ibrahim tidak mau sedikitpun menengok kebelakang untuk melihat Siti Hajar & bayi yang sangat dicintainya ketika ia tinggalkan di gurun sunyi & sepi?"
Nura menggeleng.
"Karena orang yang melihat kembali, apa yang ia telah tinggalkan, ia akan tersiksa oleh penyesalan mendalam. Ia akan dilanda galau tak berkesudahan. Aku bukan orang yang seperti itu"
Nura memegang bahuku. Merapkan ke bahunya.
"Aku akan betdo'a untukmu" suara Nura seperti berbisik.

"Dik Andiny, kamu di sini? Apa yang terjadi, Mas dari tadi nyari-nyari"
Tiba-tiba Adlan membuka pintu.
Nura melepaskan dekapkan perlahan.
Aku terkesiap kembali. Mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Tadi waktun teh hangat Andiny, mendengar suara aneh, jadinya lemas & pucat". Nura mendahuluiku. Menyelematkanku.
Aku mengangguk.
"Coba Mas Adlan periksa ke belakang, ke arah dapur, mungkin mereka masih perlu bantuan, jujur kami takut & masih cemas" Nura melanjutkan.
Adlan tak menunggu lama. Langsung ke dapur.
Ah, bagaimana mungkin aku akan berpaling dari lelaki seperti Adlan. Aku makin yakin dengan apa yang dikatakan Zamzam. Adlan lebih baik dari Zamzam.

Adlan kembali dari arah dapur. Ia membawa segelas teh. Nampaknya teh hanya juga.
"Alhamdulillah, semua sudah teratasi, yang tidak sadar sudah siuman".
"Alhamdulillah" Aku & Nura kompak menjawab.
Kami duduk bertiga.
"Dik Andiny, udah hilang lemesnya" Adlan hati-hati bertanya.
Aku hanya bisa mengangguk lagi.
"Ayo kita ke pengantin". Nura berdiri mengambil inisiatif.
Adlan berdiri. Ia berjalan duluan. Aku berjalan di belakangnya. Diantara Adlan & Andini.

Ada sinar indah di wajah Dinda.
Sinar yang seolah menghapus kegelapan.
Aku tulus berdoa' semoga Zamzam akan membawa kebahagian surga untuk Dinda, baik di dunia maupun di akhirat.
Aku membungkukan badan di depan orang tua Dinda, memberikan salam tanpa menyentuh. Mengucapkan tahniah, salam selamat & keberkahan, dalam senyum & do'a yang tulus.  Di depan Zamzam aku melakukan yang sama, dalam senyum tanpa tatapan. "Selamat ya, baarokalloohu" ucapku.
"Terima kasih Kak Andiny" jawabnya.
Kakak? Terasa terdengar aneh. Tapi aku memang harus membiasakan diri.
Kupeluk Dinda. Kuucapkan selamat & do'a.  Binar mata Dinda senada dengan apa yang diucapkannya "Do'a yang sama untuk Mba Andiny" katanya.
"Belum, jawabku, masih 20 hari lagi jawabku"
"Tapi do'anya dari sekarang kan gapapa" Dinda tetap tersenyum.
"Jangan mendahului takdir"  jawabku.

Aku menghampiri Umi & Abi.
Belum apa-apa Umi meraih tubuhku, merangkulku, erat sekali. Agak lama. Aku tak mau melepaskan walaupun aku tahu, masih ada barisan tamu panjang di belakang.

Selasa, 05 November 2019

Aku Bukan Cleopatra

Part 5

Aku hanya kenal Dinda sebagai pustakawan yang bertugas di meja sirkulasi.  Aku hanya bertegur sapa saat ada transaksi.  Dinda yang cantik, ramah & help full. Aku tak pernah menyapa Dinda di luar itu. Aku juga tak menyimpan nomornya.
"Nur, apa kamu menyimpan nomor kontak Dinda?" aku mencoba menelusuri.
"Tidak, coba tanya Zamzam"
What? Nanya Zamzam? Rasanya tidak etis.
Kucoba buka website perpustakaan digital.  Menelusuri bagian profile & organisasi.
Ada nama Dinda. Tapi tidak ada nomor kontaknya.
Nanya ke bagian informasi? Tidak mungkin juga dikasih.
Aku coba kembali ke bagian profile, berharap ada staff yang aku kenal. Tidak ada.
Aku coba cek link partner.
Ada A&Z IT Consultant. Perusahaan konsultan IT milik Adlan.
Ada beberapa link perpustakaan. Tapi rasanya tidak mungkin juga menelusuri sejauh itu.

Akhirnya aku kontak Nura kembali.
"Nur, bisa minta tolong cariin kontak Dinda ga?"
"Emang ada kepentingan apa, Andini? mau pedekate ya?"
"Iya emang mau pedekate, kan nanti mau jadi saudara"
"Kenapa ga tanya Zamzam?" Nura kembali bertanya.
"Ngga lah, Zamzam itu kan calon adik iparku. Ipar itu racun"
"Duh sebegitunya?". Nura menambahkan emoticon kaget.
"Laah emang ada haditsnya. Tapi jangan tanya, aku ga hafal"
"Oke deh, bentar"

Sambil menunggu aku berfikir. Apa yang harus aku lakukan. Bertanya ke Adlan? Bertanya tentang rencana pernikahan Zamzam yang mendadak? Aku sungkan.

"Ini nomornya Dinda", akhirnya Nura menemukan.
Dengan berdebar, kusapa Dinda.
"Assalamualaikum, Mba Dinda, kenalkan saya Andiny, pengunjung setia Perpustakaan Digital AMM, mudah-mudahan Mba Dinda ingat ya"
"Ooh, Mba Andiny, iya saya ingat, apa kabar Mba, lama ga kelihatan di AMM"
"Alhamdulillah baik, iya nih, sebenarnya pengen ke AMM, tapi belum sempat"
"Semoga suatu saat bisa mampir lagi"
"In syaa Allah.  Mba Dinda, boleh ga saya menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi"
"Boleh, apa yang bisa saya bantu?"
"Ngga Mba, dengar kabar Mba Dinda mau nikah nih minggu depan ya?
"Iya, in syaa Allah, Mba Andini tahu dari Zamzam kah, atau dari Adlan.  Maaf nih Zamzam jadi ngeduluin Adlan?"
Aku tak berani menjawab.
Hanya bertanya dalam hati.  Jadi, Dinda sudah tahu semua?
Mengapa Adlan atau Zamzam tak mengabari?
Ah, mereka memang sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Selamat ya Mba, pasti lagi sibuk. Boleh ga saya main ke rumah Mba Dinda, siapa tahu ada yang bisa saya bantu"
"Hayu sini, biar kita bisa tambah dekat"
Dinda memang selalu ramah.

**********

Rumah yang sederhana.  Rumah type 60 sepertinya.  Ditambah sedikit halaman di samping & teras yang cukup untuk memarkikan motor.
"Assalamualaikum" aku mengetuk pintu.
"Wa'alaikum salam" Seorang ibu membukakan pintu. Nampak banyak lelah di gurat wajahnya.
"Dinda ada Bu?" aku menyodorkan kedua tanganku menyalami tangan yang penuh kerutan.
"Ada, ayo masuk"

Tidak ada kursi tamu.
Yang ada hanya selembar karpet & beberapa bantal duduk. Ruang tamu sederhana yang tampak nyaman.
Aku duduk. Baru saja hendak ku keluarkan Handphone untuk menemaniku di saat menunggu,  Dinda sudah di depanku.
"Mba Andini, tadi nyasar ga ke sininya"
"Alhamdulillah ngga"
"Alhamdulillaah, mau minum apa Mba?"
"Apa aja, ngga usah ngerepotin"
"Suka lemon tea ga? Aku buatkan ya?".
"Itu minuman kesukaanku" jawabku.
Dinda tersenyum. Ia masuk kembali.

Aku membuka handphone,
Ada pesan masuk dari Umi Adlan. Ada juga dari Adlan.  Ada juga pesan dari Zamzam. Kenapa bisa kompak begini?.
Aku belum berani buka.
Ku coba telusuri pesan lain dari group kuliah, dari group reseller, & beberapa group lain.
Tidak ada yang terlalu penting.

"Minum dulu, Mba". Andini membawakan dua gelas lemon tea hangat.
"Sudah mulai cuti nih Mba Dinda?" tanyaku.
"Iya, ini semua mendadak"
"Iya Mba, kalau sudah waktunya, Allah pasti kasih jalan"
"Mba Andini kapan, tgl 20 ya? Sudah sebar undangan?
"Belum, Mba Dinda sendiri bagaimana udah sebar undangan?"
"Karena semua serba mendadak hanya beberapa yang dikasih tahu"
"Udah nyiapin apa aja nih, udah mulai perawatan?"
"Perawatan aku sebisanya aja"
"Untuk gaunnya gimana sudah siap?"
"Semua umi Zamzam yang nyiapin, termasuk seragam keluarga & orang tua"
"Untuk fotografi?"
"Ada temen di AMM yang nanti mau bantuin"
Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku tanyakan.
"Mba Dinda tahu banyak ga tentang Umi & Abinya  Adlan & Zamzam?" Dinda balik bertanya
"Sepertinya sih mereka orang tua yang baik & penuh pengertian"
"Iya sih, kelihatannya begitu"
"Mba Dinda beruntung nih bisa menikah cepat. Perempuan yang barokah itu kan yang cepat nikahnya & mudah maharnya"
"Iya, alhamdulillah, semua sudah skenario Allah,  aku juga ga nyangka. Aku bersyukur banget. Zamzam itu orangnya sholeh banget. & yang terpenting Zamzam-lah satu-satunya pria yang mau menerima kekuranganku. Beberapa pria sholih yang melamarku biasanya mundur setelah aku ceritakan kekuranganku, tapi Zamzam tidak.  Dia bilang ingin menuntunku menuju kesembuhan & kesempurnaan sebagai wanita.  & aku berjanji, aku akan berjuang untuk membahagiakannya.  Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, Allah berikan juga pertolongan untukku" Dinda bercerita panjang lebar.  Aku mencoba mencerna setiap kata yang diucapkannya. Kekurangan apakah yang dimaksud?  Tapi aku tak mungkin juga bertanya.

******

Allah tidak pernah salah memilihkan jodoh. Setiap taqdir Allah itu indah, seberapa perih pun taqdir itu terasa. Allah hanya memberikan yang terbaik. Allah pilihkan pasangan tentu tidak sembarangan. Allah pilihkan untuk saling menyempurnakan.  Allah tahu siapa pantas untuk siapa.  Allah tahu siapa yang mau berlapang dada menerima kekurangan pasangannya, itulah yang Allah pilihkan. Allah tahu kebaikan siapa yang akan menutupi kekurangan pasangan, itulah yang Allah berikan.
"Mba Dinda memang pantas mendapatkan Zamzam" hanya itu yang bisa kukatakan.
"Mba, aku harus pamit nih, umi Adlan minta aku menemani belanja, nampaknya untuk hantaran nikahan mba Dinda nanti, ada permintaan spesial kah?"
"Semua sudah aku sampaikan ke Zamzam".
Aku memeluk Dinda.

Dinda, dia wanita beruntung. Aku tahu pria seperti apa yang akan menikahinya.
Aku lebih mengenal Zamzam dibanding Adlan. Tapi aku berharap apa yang dikatakan Zamzam benar, bahwa Adlan lebih baik dari Zamzam.

******
Seperti bidadari.  Itu yang bisa kugambarkan tentang cantiknya Dinda dalam gaun pengantinnya. Zamzam beruntung mendapatkan Dinda.
Semua bersiap.
Rombongan pengantin pria diterima dengan sambutan & tatakrama yang hangat.
Al Quran dibacakan sebelum Aqad diucapkan.
"Sah".... Begitu para saksi menyebutkan. Fotografer sibuk mengabadikan moment. Teman & keluarga dekat juga ikut mengabadikan denga gadget mereka. Aku juga.
Aku mencari wajah Dinda.
Ada air mata bahagia di matanya.  Namun, tiba-tiba badannya tampak lemas & lunglai. Dinda pingsan.

Minggu, 03 November 2019

JONAS

Buah jatuh tak akan jauh dari pohon.  Kecuali kalau pohonnya deket sungai & buahnya hanyut kebawa sungai. Jauh deh. Dadah... Mungkin begitu buahnya akan bilang.

Sebuah pepatah yang menggambarkan bahwa sikap anak tidak akan jauh dari sikap orang tua semasa muda.  Seolah anak mewarisi sebagian sikap orang tua. Seolah juga anak menanggung hutang dari apa yang pernah dilakukan orang tua.
Ini tentu cambuk dari Allah agar kita terus menerus memperbaiki diri. Agar kita terus menerus mendo'akan anak kita lebih baik lagi.

Semua orang tua tentu ingin anaknya jauh lebih baik dari dirinya di masa lalu. Termasuk aku.
Aku di masa gadis saat belum bertemu hidayah adalah penggemar The Beatles.  Paul McCartney, itu favoritku.

Kondisi saat aku kecil memang tak lepas dari musik. Tiap hari musik terdengar karena alm Bapak juga penyuka musik.
Selalu ada musik diputar di rumah.
Kakakku laki-laki, dia penggemar sejati Deep Purple. Lagu-lagu ini juga sering menggema. Ini juga yang mungkin akhirnya membuat adik perempuanku jadi terinspirasi & akhirnya jadi Fans beratnya Axel Gun & Roses.

Setelah hijrah, aku coba tinggalkan semua.
Meski sempet muncul nge-fans lagi sama lagu2 barat. Tapi untung ga lama.
Takut anak-anak ikutan.
Tapi ternyata tadi. Buah jatuh tak jauh dari pohon.  Meskipun berusaha agar selalu menjaga anak di lingkungan islami, tapi ada masa kami tinggal di tempat yang nilai keislamannya minim. Di Muenchen.
Waktu itu anak gadisku sekolah di Gymnasium, teman2 dekatnya penggemar Selena Gomez & Jonas Broder. Dan teman memang membawa pengaruh.  Akhirnya sempet ikutan juga jadi penggemarnya Jonas Brother. Sama seperti aku. Setelah ditekan sekian lama, ternyata ada masa memori itu muncul juga.

Aku ingin anak-anakku tak mengulangi kesalahan-kesalahanku. Itulah sebabnya aku minta anak-anak untuk menjauhi musik barat. Hanya boleh mendengarkan lagu yang islami.  Tapi seketat-ketatnya aku menjaga & menuntut untuk sempurna, ada masanya Allah menunjukkan padaku tentang kesalahan masa lalu yang harus kusesali & aku taubati.
Allah merasa Allah menuntunku untuk membawa anak-anak menjadi lebih baik.
Aku merasa Allah ingin agar aku selalu memanjatkan do'a in:

Surah Al-Ahqaf, Verse 15

 رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ



: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
(Indonesian)

via iQuran

Jumat, 01 November 2019

Aku Bukan Cleopatran part 4



Dari Abi Hurairah RA (di dalam hadits marfu') Rasullah SAW bersabda, "Wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai pendapat dan wanita gadis itu tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izin.," shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara meminta izin? Nabi bersabda, "Jika ia diam." (HR. Al Jama'ah)

Diam. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Diam adalah emas. Diam untuk meredam ingatan pada pesan dari Nura yang terus menerus muncul di benak. Diam & menunduk. Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Aku pasrah pada pilihanMu yaa Robb.

"Diamnya seorang gadis adalah persetujuannya, begitu kan.  Nah, apakah ada sesuatu yang ingin nak Adlan berikan pada Andiny sebagai bentuk ikatan khitbah ini?"
Bapak memecahkan keheningan dalam duniaku di tengah ramainya suasana.
"Iya sebagai tanda ikatan khitbah ini saya berikan cincin seberat tujuh gram sebagai pengikat"

Umi mengambil cincin itu, lalu memasangkannya di jari manis kiriku.
"Kamu tahu nak, kenapa benda ini dinamakan cincin? Itu singkatan cinta-cinta. Artinya cincin ini mengikat dua orang yang saling mencintai untuk Allah persatukan dalam kebahagiaan" begitu wejangan umi saat memasangkannya.
"Aamiin". Hanya itu yang bisa ku katakan.

"Selanjutnya, untuk bulan pernikahan, apakah akan ditentukan sekarang?" Bapak bertanya. "Nak Adlan kapan siapnya?"
"Bagaimana kalau bulan depan Pak?"
What??? Bulan depan? Secepat itu?
Antara bingung & kaget.
"Ada tanggal cantik nih, tgl 20 bulan 2 tahun 2020" Zamzam tiba-tiba angkat suara.
"6 pekan lagi berarti" Adlan tampak setuju.
"Setuju, tanggal cantik, mudah untuk diingat" Bapak menegaskan.
Enam pekan. Aku merasa ada tambahan udara segar yang tiba-tiba menyapa. Tambahan 2 pekan mungkin cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

"Masakannya enak, siapa yang masak? Umi bertanya.
Ternyata perkiraan mama betul.
Tamu yang mencicipi akan bertanya tentang siapa yang masak.
"Andini yang masak Bu, dibantu saya & bi Enay." mama menjelaskan.
Akhirnya aku, mama & umi memisahkan diri dari para pria.
"Ini capcay kesukaannya Adlan,  kalau ayam, Adlan lebih suka dimasak rica-rica" Umi menjelaskan. Aku hanya bisa membalas dengan mengangguk & tersrnyum. Sementara otakku, mencatatnya dengan baik.

*********

Enam pekan. Waktu yang sangat singkat . Buku. Itu yang pertama aku pikirkan. Aku hatus mencari buku-buku tentang pernikahan. Ke peepustakaan?
Tidak. Kali ini aku harus mengoleksinya sendiri.
Kursus pra nikah. Itu yang aku butuhkan. Segera aku cari informasi  di Google.
Ada. Sayang waktunya masih 2 bulan lagi.
Tapi gapapa. Aku mendaftarkan diri.

"Andini, sedang sibukkah? boleh Mas telpon?" pesan masuk dari Adlan.
"Iya Mas, telpon aja, lagi santai koq"
Handphone-ku bergetar. Hatiku juga.
"Untuk mahar nanti, dik Andin mau minta apa?"
"Sajadah, Mas"
"Bukan seperangkat alat sholat?"
"Bukan, sajadah aja"
"Kenapa hanya sajadah?"
"Andin ingin jadi wanita yang berkah. Selain itu, sajadah bagi Andin sangat berarti, selembar kain itu bagi Andin adalah kendaraan menuju ke langit"
"Sajadah Aladin dong" Adlan menyela "Kalau itu yang dik Andin minta, mas harus berfikir keras nih"
Aku tertawa. Ternyata Adlan bisa bercanda juga. Tak sekaku penampilannya.
"Bukan, Mas. Itu hanya metafora saja. Karena bagi Andin sholat adalah perjalanan pada Allah dengan sajadah. Andin berharap sajadah itu juga yang akan membawa Andin ke surga, baik di dunia, maupun surga sesungguhnya di akhirat kelak"
"Baiklah. Tapi boleh Mas tambahin kan?"
"Boleh mas".
" Untuk hantarannya?/apakah ada permintaan khusus?"
"Ngga Mas, sebisanya saja"
"Mau Andin atau umi yang belanja, atau mau bareng?"
"Umi aja Mas, maaf ga bisa nemenin, Andin malu"

Dua pekan telah berlalu. Baru 2 buku yang kubaca.  Masih ada 3 lagi yang mengantri. Aku mencatat bagian-bagian penting.  Selain buku, youtube juga jadi tempat belajarku.
Satu hal yang ditekankan mama : aku harus belajat lagi tentang merawat diri.

Perawatan diri pasca pernikahan. Begitu ku ketikan di bagian pencarian. Belum sempat ku telusuri, tiba-tiba ada pesan masuk dari Nura.
"Andni, lagi ngapain. Pasti lagi deg-degan"
"Hehe, tau aja"
"Din, nanti pas nikahannya Zamzam kamu mau bareng keluarga apa bareng aku & teman-teman?"
"What?/Zamzam nikah?"
"Kamu belum tahu, kamu kan calon kakak iparnya"
"Belum, Adlan lagi ke Surabaya, belum ngasih kabar. Emang kapan nikahannya?"
"Tgl 6, seminggu lagi"
"Sama siapa?"
"Dinda, petugas sirkulasi perpustakaan digital yang kita suka ke situ. Kamu sih udah lama ga ke perpustakaan, jadi aja ga ngobrol-ngobrol lagi sama Dinda"
Aku tidak tahu harus bilang apa.
Aku hanya tahu kalau Dinda itu sangat cantik, ramah, supel & tetlihat sholihah. Itu saja.