Minggu, 17 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 10

Part 10.
Masjid, di belahan dunia yang paling panas sekalipun selalu menjadi tempat tersejuk.
Di sini. Di tempat orang yang terkumpul karena panasnya gelisah ujian kehidupan. Resah menanti keputusan Allah yang tersembunyi dalam catatan  taqdir di lauhil mahfudz. Cemas menanti kabar apakah sesuai harapan atau kebalikan.
Tempat ini. Tempat bersujud & bermunajat. Seolah menjadi tempat tetirah yang mengendapkan semua resah gelisah.

Syukrul wudhu. Dua roka'at kutunaikan. Sholat taubat. Aku memohon ampun pada-Nya jika pernah salah mencintai hamba-Nya. Jika pernah menyakiti makhluqnya.
Menderas lagi air di mata ini.
Yaa Rabb, jika musibah ini karena dosa & kesalahan hamba, ampuni hamba.
Sholat hajat. Aku bermunajat. Meminta agar semua keadaan Allah perbaiki. Memohon agar semua urusan Allah mudahkan.
Menghiba agar Adlan diberikan kesembuhan. Menjerit dalam hati, agar aku diberikan kekuatan.
Dhuha. Selanjutnya ku tunaikan. Sebagai sedekah atas seluruh persendian yang telah menopang tubuhku. Kugenapkan 8 rakaat. Berharap Allah ridho akan semuanya. Berharap semua rizki & keberkahan Allah datangkan.

Masih pukul 11.15. Ada waktu sekitar 45 menit menuju dzuhur.
Aku mengambil mushaf Al-Qur'an.
Surat ArRohmaan. Itu yang aku baca.
Ku buka ditengah. Agar tak terlalu jauh menuju surat yang kutuju.
Mataku terpaku pada satu ayat.
"Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat." 
Surat Al Furqon ayat 20.
Potongan ayat terakhirnya menarik perhatian & hatiku :
Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?
Yaa Robb, inikah petunjuk darimu untukku?

Air mataku menderas lagi.
Aku tetap melanjutkan niatku. Mencari surat favoriteku. Membaca ayat pelipur laraku.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayat yang diulang-ulang dalam surat ArRohman ini selalu menjadi pelipur laraku.

Aku bersyukur masih bisa menyebut nama-Nya.
Aku bersyukur masih membuka kitab-Nya, melantunkan indah kalam-Nya.
Aku bersyukur masih bisa meminta pada-Nya.
Aku bersyukur masih diberi orang-orang yang mencintaiku dengan tulus.
Aku bersyukur masih diberi harta yang cukup.
Aku bersyukur. Tak pernah terhitung limpahan nikmat dan karunia dariMu ya Robb.

Adzan Dzuhur berkumandang. Merdu. Membawa kesejukan pada mereka yang menikmati syahdu panggilannya.
Waktunya untuk memenuhi panggilan perjumpaan denganNya, dalam barisan shaf sholat yang dipimpin imam.

Seseorang mempersilahkan Ustadz yang tadi menolong Dinda yang menjadi Imam. Nampaknya beliau tokoh yang disegani.

Usai larut dalam.dzkir & do'a, ku tutup dengan sholat sunnah.
Aku bersiap menemui Umi & Abi di ruang tunggu ICU. Mereka pasti belum sholat & makan.
Aku mampir ke kantin.  Memesan makanan kesukaan umi & abi untuk dibungkus. Pepes tahu. Sayur asem & balado telur. Menu sederhana yang menyajikan banyak kenikmatan.

"Umi, Abi, ini makan dulu"
Aku memberikan.
"Terimakasih Andin"
Ada embun di balik pilu matanya.
"Harusnya hari ini adalah hari bahagiamu, hari pernikahannmu"
"Itu rencana kita Mi, Allah punya rencana, in syaa Allah ini yang terbaik. Andin ikhlas"
Embun di mata itu tetap menetes.
"Makan dulu Mi, abis itu umi dan abi sholat dulu"
Aku tahu, makanan ini kesulitan untuk melewati kerongkongan yang tersekat duka.  Tapi makanan ini harus masuk.
Ternyata, kadang makan juga akan menjadi sebuah perjuangan ketika duka membalut kehidupan.

"Andin, pulanglah dulu, istirahatlah" umi memintaku, tepat ketika aku meneguk tegukan terakhir air putih dalam kemasan botol.
"In syaa Allah hari ini Andin akan menemani Umi hingga maghrib".
 "Tidak cape, Nak?"
"Tidak Mi"

Menunggu adalah keadaan yang menguras kesabaran. Apalagi menunggu kabar yang mendebarkan. Menunggu keputusan yang Allah taqdirkan.
Aku mencoba membangun sabarku dengan Al Quran.
Yaa Robb, hamba beriman pada-Mu, Engkaulah satu-satunya Tuhan Semesta Alam.
Yaa Robb, hamba beriman pada malaikat-Mu yang jumlahnya tak yangkan, maka jadikanlah tujuh puluh ribu malaikat yang berada bersama orang yang menjenguk orang yang sakit sebagai pasukan pembawa kebahagiaan.
Yaa Robb, hamba beriman pada  kitab-kitabMu, pada Al Quran yang Engkau berikan sebagai mukjizat, maka jadikan setiap hurufnya adalah cahaya yang mengusir semua kegelapan dalam kehidupan hamba. Gelapnya rasa putus asa, gelapnya kesedihan, gelapnya dosa, sirnakanlah dengan cahaya kalamMu, yaa Robb.
Yaa Robb, hamba beriman pada RosulMu yang telah berdarah-darah mengorbankan semua yang Engkau beri agar risalah ini sampai kepada kami, maka jadikan kami Hambamu yang senantiasa meniti jalannya dalam setiap ujian kepedihan maupun kebahagiaan.
Yaa Robb, hamba beriman kepada hari pembalasan yang Engkau kabarkan, maka dengan kesabaran atas ujian ini, jadikan kami orang yang beruntung yang Kau masukan ke dalam bahagia keabadian di surga yang Kau janjikan.
Yaa Robb, hamba beriman pada  taqdirMu. Kullu khoir, semua yang Kau taqdirkan di dalamnya terdapat kebaikan. Sepedih apapun taqdir yang kami rasakan, semuanya indah pada hikmahnya.

Hari mulai gelap. Aku bersiap.
Setiap malam, ada pamannya Adlan yang menjaga.
Aku pulang bersama umi & Abi. Aku mengantar mereka.
"Masuk dulu Andin"
Sebenarnya aku enggan.
Tapi aku tak ingin melukai hati yang tengah menanggung pilu.

Dinda menghidangkan teh manis.
"Tidak usah repot-repot Din, Mba ga akan lama koq"
"Cuma minum aja Mba" Dinda tersenyum, tapi matanya tak balas menatap mataku.

"Andini, ini hadiah yang Umi siapkan, walaupun hari ini belum jadi akad nikahnya, bawa saja ya"
Aku tidak tahu, apakah aku pantas menerimanya atau tidak. Tapi tatapan mata umi memaksaku untuk menerimanya.
"Andin pamit pulang Mi"

Tepat ketika aku di depan pintu, Dinda memanggil
"Mba, tadi Mas Zamzam sudah dari bengkel, ini bajunya di simpan di rumah Mba Andin aja ya"
Aku hanya bisa menerima.

Ku strater mobilku.
Sayup terdengar suara Adlan. Tumben suaranya agak keras & meninggi.
"Dinda, bajunya kamu kasih ke Andini?"
Aku penasaran, tapi tak mungkin juga aku turun lagi.
Umi & Abi tengah berdiri mengantarkan kepulangan.

Hari yang melelahkan.
"Baru pulang Din?" Bapak menyapaku.
"Iya Pak" aku meraih tangan bapak, menciumnya.
"Bagaimana kabar Adlan"
"Masih di ICU"
Bapak menghela nafas panjang.
"Sekarang istirahatlah".
Aku bergegas ke atas. Ke kamarku.

Bingkisan yang pertama ku buka adalah yang diberikan Dinda. Aku masih bertanya, kenapa suara Zamzam meninggi, seolah menunjukkan kecemasan yang luar biasa.
Gaun pengantin milikku. Ada darah yang telah mengering. Di bagian dada, bagian tangan & bagian bawah.  Harusnya gaun ini putih keemasan. Tapi kini penuh oleh warna coklat kehitaman sepertinya dulu darah telah betsimbah.
Harusnya gaun inj wangi melati. Tapi kini gaun ini menebarkan aroma amis.

Dadaku sesak, mataku menderaskan airnya. Kepalaku sakit. Langit langit kamar seolah betputar.
***

"Andini, ini aku, Adlan"
Wajah itu bercahaya, sinarnya teduh. Wajah itu menatapku, menyodorkan tangannya padaku. Tanganya juga bercahaya.  Kupandangi seluruh tubuhnya. Semua bercahaya.
Kupandangi dari ujung kakinya hingga ke kepalanya. Ada mahkota cahaya di kepalanya.
"Nanti kau pun akan memakai mahkota cahaya ini"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar