Rabu, 27 November 2019

Aku bukan Cleopatra part 15

Ruangan ini seperti ruangan aula kecil. Tidak terlalu luas. Tapi tidak juga bisa dibilang sempit.  Beberapa orang nampak sudah hadir. Duduk di karpet yang terhampar.
Aku mengajak Dinda dengan isyarat, untuk berkumpul bersama mereka. Duduk di karpet.
Ramah. Begitu kesan pertama yang kudapat.
"Dari mana Mba?" Seorang ibu bertanya.
"Dari Bogor, Ibu dari Mana?"
"Dari Bangka Belitung"
"Jauh juga ya Bu, kapan nyampe Jakarta?"
"Tadi malam, kami menginap dulu di rumah saudara"

Aku menyalami ibu yang duduk di sebelah ibu tadi, "Dari mana Bu?" aku memulai.
"Dari Medan"
"Siapa yang sakit?" aku bertanya karena ibu tersebut nampak sehat.
"Ini, putri saya, leukemia, stadium satu"
"Ooh, syafakillaah" aku mendoakan
"Usia berapa Bu?"
"20 tahun"
"Sudah menikah?"
"Sudah, itu suaminya sedang konsultasi dengan Ustadz"

Aku melihat. Tidak hanya suami dari putrinya ibu itu, Zamzam juga nampak serius mendengarkan apa yang disampaikan pria yang dipanggil ustadz.
Entah apa yang sedang dibicarakan. Mereka bersalaman.

Sang ustadz berjalan menuju kami, lalu duduk di dekat meja kecil yang tersedia.
"Assalamualaikum wrwb. Ibu-ibu, hamba Allah semuanya, baik kita akan segera mulai kegiatan kita"
Semua yang hadir spontan merapikan duduknya menghadap pada Ustadz.
"Saya Ustadz Riza, in syaa Allah akan bersama ibu-ibu semua, hari ini dalam kegiatan terapi intensif. Hari ini kita akan membahas mengenai mengenal ruqyah syar'iyah, dilanjut dengan sesi terapi. Besok in syaa Allah akan ada Ustadz Ahmad,  yang akan membahas memgenai sedekah & kesembuhan, kemudian akan dilanjut oleh ustadz Salman yang akan membahas jimat & ruqyah syirkiyah. Ada Ustadz Maulana yang nanti akan membawakan tazkiyatun nafs, ada juga ustadz Abu Ridho yang akan membahas teknik-teknik ruqyah mandiri, hari Rabu nanti, ibu-ibu akan ada sesi bekam & mandi daun bidara pada hari Kamis.
Ustadz Riza diam sejenak memperhatikan dokumen yang ia pegang.
"Ada enam orang yang terdaftar kali ini.  Alisa, yang mana?". Ustadz itu mencari-cari dengan pandangnya ke arah kami.
Seorang wanita muda menunjukkan tangan.
"Saya, Ustadz"
"Apa keluhannya Mba?"
"Terhalang jodoh, Ustadz, saya usia 36th belum nikah"
"Baik". Ustadz Riza nampak mencatat
"Selanjutnya, Tiara?"
Wanita muda yang berusia 20 tahun tadi mengacungkan tangan.
"Saya, Ustadz"
"Keluhannya apa Mba?"
"Kanker darah, Ustadz, stadium 1"
"Apa yang dirasakan?"
"Badan sakit semua ustadz, mual, & suka muntah darah"
Ustadz Riza mencatat lagi.
"Ibu Aina"
Seorang ibu mengacungkan tangannya. Aku tidak tahu, apakah penglihatanku yang salah atau bukan. Aku melihat wajah ibu itu diselimuti kegelapan.
"Saya sakit tumor di usus, Ustadz"tanpa ditanya, ibu itu menjelaskan.
"Pernah dioperasi?"
"Belum Ustadz"
Seperti tadi, Ustadz Riza, kembali mencatat.
"Mba Dinda?"
Dinda mengacungkan tangan.
"Keluhannya apa, Mba?"
Dinda diam.
"Masalah psikologis, ustadz, pernah berobat ke psikiater, tapi Ustadz Maulana mendiagnosa ada jin nasab juga". Zamzam menjawab.
"Mba Tania?"
Seorang akhwat cantik dengan make up tipis mengacungkan tangan.
"Saya Ustadz. Kasusnya sama dengan Mba Alisa. Cuma saya sudah sering diruqyah, setiap diruqyah selalu menjerit2".
Ustadz Riza menganggukan kepalanya. Seolah memahami sesuatu, lalu mencatat.
"Terakhir, Ibu Fatma?"
Seorang ibu dengan tangan yang  membengkak mengacungkan tangan.
"Keluhannya Bu?"
"Saya kanker payudara stadium tiga, Ustadz".

"Baiklah kita akan segera mulai, untuk peserta silahkan duduk di bagian depan. Untuk pengantar boleh menyimak, kita mulai dengan membacakan ummul kitaab, Al Fathihah"
Semua menundukkan kepala. Aku juga. Mencoba khusyu betmunajat.

"Ibu-ibu, ruqyah syar'iyah adalah  salah satu metode pengorbanan yang pernah dicontohkan oleh Rosulullah saw.  Nabi kita tercinta, Muhammad saw, pernah diruqyah oleh malaikat Jibril. Nabi saw juga pernah meruqyah cucunya"
Ustadz Riza menjelaskan panjang lebar. Aku memyimak.

"Yang namanya ujian sakit, itu terjadi atas kehendak & ijin Allah, ada yang Allah turunkan sebagai ujian, ada yang Allah turunkan sebagai adzab. Kenapa Allah turunkan sebagai adzab? Agar manusia tersebut as dari adzab di hari akhir.
Rasulullah saw pernah bersabda yang isinya kurang lebih menyatakan, orang beriman akan terus menerus diuji sampai ia menghadap Allah dalam keadaan Herzog, tanpa dosa.  Jadi, sakitnya ibu-ibu di sini, in syaa Allah itu adalah kebaikan dari sisi Allah"

"Ustadz",  ibu Aina menunjukkan tangan.
"Iya Bu"
"Bagaimana kalau kita mengeluh & berputus asa dari sakit yang tidak tertahankan?"
"Ibu yakin sakit ini dari Allah?" Ustadz Riza bertanya
"Ibu yakin sakit ini ada obatnya?"
"Yakin, Ustadz"
"Menurut Ibu, apakah Allah akan memberikan manusia, cobaan yang tidak sanggup dipikul hamba-Nya"
"Tidak, Ustadz"
"Ibu yakin, Allah bisa menyembuhkan ibu?"
"Yakin Ustadz, tapi kapan?"
"Ibu tidak ridho dengan ujian sakit ini?
"Ridho, Ustadz"
"Apa buktinya bahwa ibu ridho"
Ibu itu terdiam. Air mata mulai membahasahi pipinya.

"Ibu-ibu semuanya, tahu kenapa putus asa itu dosa?"
Hadirin diam tidak ada yang menjawab.
"Karena putus asa itu artinya ibu berburuk sangka kepada Allah. Menyangka Allah tidak mampu mengangkat & menyembuhkan Ibu. Ibu mengecilkan ke-Maha Besar-an Allah. Nau'udzubillaahi mindzalik"
Semua terdiam.
"Allah ingin memberi ibu pahala sabar dengan ujian ini. Dan ibu tahu pahala sabar itu seperti apa? Tak terbatas Bu. Bisa difahami ya?".
Semua mengangguk.

"Baiklah kita akan mulai sesi terapi pertama. Mari sama-sama beristighfar"

Ustadz Riza membacakan ayat-ayat ruqyah.
Ibu Aina tiba-tiba memelototkan matanya, ia hendak maju menyerang Ustadz Riza.  Namun anaknya segera memeluk tubuh yang tidak terkendali.
Alisa tiba-tiba menjerit, melengking tinggi. Lalu badannya berguling-guling.
3 orang ustadz team Ustadz Riza turun membantu.

Tiara yang duduk dipojok, tiba-tiba menjerit juga. Tangannya mengacung membentuk cakar.
Aku kaget dengan situasi yang serba tidak terduga.
Dinda. Aku mencari Dinda.  Dinda tampak menangis keras.  Zamzam mendekati, hendak memeluk. Tapi team Ustadz Riza mengisyaratkan untuk mundur.
Hanya Tania yang terlihat tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar