Jumat, 31 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 12

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 12.

"Iya, aku ke.situ sekarang". Andini menjawab cepat. Wajahnya pucat.
"Mas, Nura udah mau lahiran, ketubannya pecah, aku mau bawa Nura ke rumah sakit". Andini tergesa mengabari Adlan.
"Suaminya ke mana?". Adlan bertanya.
"Suaminya di tempat istri pertama dan itu artinya tidak bisa dihubungi." Andini menjelaskan.
Adlan terlihat terkejut.

"Ayo Mas" Andini turun.
Adlan mengikuti.

"Neng, ga sarapan dulu?" Bi Inay bertanya.
"Ngga Bi, nanti bilang ke mama kalau Andin mau ke rumah sakit, nganter Nura" Andini menjelaskan
"Neng Nura kenapa?" Bi Inay bertanya.
"Mau melahirkan, ketubannya pecah"

"Mas, siapin mobil ya, Andin mau ngurusin Nura" pinta Andin.
Adlan mengiyakan.

Nura terlihat lemas.
"Kamu baik-baik aja?" Andin memastikan.
"Ketubanku pecah, tapi aku tidak mules" jelas Nura.
"Sudah pake pembalut?" Andini memastikan.
Nura mengangguk.

Andini sangat ingat. Hari perkiraan lahir bayi Nura masih sebulan. Artinya janin masih berusia delapan bulan.
"Kamu kecapean bukan Nura?". Andini bertanya.
"Aku ga ngapa-ngapain"
"Kamu banyak pikiran ya?"
Nura diam.
Andini memeluk Nura.
"Aku masih sahabatmu seperti dulu, kalau ada apa-apa, cerita lah" pinta Andin.
Nura masih diam.
"Semua akan baik-baik saja" Andini meyakinkan.
"Kamu duduk aja ya, biar aku siapin keperluan untuk ke rumah sakit. Kopernya yang itu?" Andini menunjuk koper di atas lemari pakaian.
Nura menganngguk.

Adlan menunggu di mobil.
"Aku duduk di belakang nemenin Nura ya Mas"
Adlan mengangguk.
Andini membantu Nura duduk.
"Mau ke mana?" Adlan bertanya.
"Ke rumah bersalin Atiya" jawab Andini.
Adlan tak menunggu.

Andini mengambil handphone. Mengabari ibu Nura, ibu angkatnya.
"Assalamualaikum, Bu, Andin bawa Nura ke rumah bersalin"
"Wa'alaikum salam, kenapa Nura?" suara ibu terdengar cemas.
"Ketubannya pecah"
"Iya, nanti ibu nyusul".

Rumah bersalin yang asri. Terletak di jalan yang tak begitu ramai. Dari depan terlihat tak begitu besar. Tapi ketika masuk, banyak kamar yang mengelilingi taman. Rumah sakit dua lantai yang sangat bersih.

"Pasiennya dokter Nurita, Mba, ketubannya pecah" Andini langsung lapor pada perawat.
Dua orang perawat sigap menyambut dan menolong Nura.
Nura menuju ruang khusus untuk observasi.

'Mba, perwakilan keluarga pasien?". Andini menganngguk.
"Suaminya ga ikut?" perawat bertanya.
Serasa ada sembilu yang menggores hati Andini.
"Lagi di luar kota" jawab Andini pendek.

Setahu Andini, jika Mukhlis ke Jogja, semua komunikasi akan terputus. Andini mengira, Mukhlis sengaja mengganti nomor handphonenya.
Andini tahu dan mencoba memahami. Ada hati yang harus dijaga. Ada privasi yang tidak boleh diketahui.
Namun.di saat seperti ini, semua terasa teramat sangat menyakitkan.

Tapi inilah ujian. Inilah pilihan. Nura dari awal sudah tahu konsekuensinya. Meski Nura sangat merasakan besarnya cinta dan kasih sayang serta perhatian Mukhlis, Nura sadar akan posisinya. Meski Dewi sedari awal sudah menyatakan bersedia menyerahkan jatah bermalamnya untuk Nura, tapi Nura tidak mau melanggar apa yang digariskan hukum syara.
"Aku tetap ingin agar kita berada dalam keadilan yang berimbang, aku hanya minta, jangan pernah hadir di hadapanku, karena aku tidak akan kuat". Itu dulu syarat yang disampaikan Nura pada Dewi yang memintanya untuk menjadi istri kedua Mukhlis.
Dewi menerima.

Andini mencoba mengirim kabar di group rumah tahfidz, meski Andini tahu, Mukhlis tidak akan membaca.
"Mohon do'a dari semua, Nura sedang berjuang melahirkan seorang calon mujahid, calon penghafal Al-Qur'an" caption yang Nura sertakan pada foto Nura yang dikirimkan.

"Adakah keluarga suaminya yang bisa dihubungi?" Adlan bertanya.
"Santi" Andini teringat.
"Sudah dikabari?"
"Belum".
Andini tak menunggu lama. Langsung menelpon Santi.

"Nura ada di mana?" ibu baru datang saat Andini tengah menelpon.
"Di kamar observasi" Adlan menunjukkan kamar yang tak jauh dari meja pendaftaran.

"Assalamualaikum Mba Santi, ini aku, Andini, temannya Nura"
"Oh iya, Nura suka cerita, salam kenal"
"Salam kenal, maaf Mba, mau mengabari, Nura sedang di rumah bersalin, ketubannya pecah"
"Oh ya?, maa syaa Allah . Di rumah bersalin mana?"
"Aku share location ya"

Andini tidak bertanya tentang Mukhlis. Santi juga seperti tidak mau membahas tentang Mukhlis. Semua seolah sudah tahu.

Andini dan Adlan berjalan ke arah ruangan observasi.
"Mas tunggu di luar ya"
"Iya"
Nura sudah menggunakan pakaian pasien.
"Kemungkinan akan diambil tindakan oprasi sesar" begitu jawaban perawat ketika Andini bertanya.
"Kita tunggu dokter Nurita, masih ada pasien yang konsul di ruangan" jelas perawat.

Hamdi datang. Sendiri.
"Kamu baik-baik saja, Nur?" Hamdi bertanya penuh kekhawatiran.
Raut wajahnya seolah bercerita tentang kesedihan dan penyesalan. Dia lah dulu yang mendukung Nura untuk menerima Mukhlis. Dan kini di saat yang paling penting bagi Nura, Mukhlis suaminya malah tak disisinya.

Sebenarnya masih ada waktu sebulan dalam jadwal kelahiran.
Tapi taqdir tidak ada yang tahu.
Kelahiran dan kematian adalah murni hak ilahi. Manusia tak ikut campur dalam penentuan waktunya. Manusia hanya menjadi jalan untuk kejadiannya.

Penyesalan, tak pernah datang duluan. Penyesalan, tak pernah bisa dikalkulasikan. Penyesalan sering datang tiba-tiba bahkan sering datang terlambat.

Barangkali Allah ciptakan penyesalan sebagai cara untuk mengingatkan, agar manusia melangkah dalam kehati-hatian.
Barangkali Allah ciptakan penyesalan untuk peringatan agar manusia tak bertindak tergesa-gesa dan sembarang.
Barangkali Allah ciptakan penyesalan agar manusia senantiasa waspada terhadap apa yang telah Allah titipkan.
Barangkali Allah ciptakan penyesalan, agar manusia menghargai dan mencinta apa yang di depan mata.

Manusia tak tahu dan tak pernah tahu. Ada misteri langit yang dirahasiakan ilahi.
Ada langkah yang harus ditempuh dan dipertanggungjawabkan.
Ada do'a do'a dari berbagai penjuru yang terus dipanjatkan.
Bisa jadi ada do'a yang saling bertentangan yang berebut mengetuk pintu langit untuk.dikabulkan.
Do'a yang terpanjat dari Nura, dari Dewi dan dari Mukhlis mungkin tengah berlomba menuju langit.
Tidak ada yang tahu do'a siapa yang akan Allah pilih untuk dikabulkan. Mungkin saja Allah memilin tiga do'a untuk kemudian diwujudkan dalam satu kata bernama taqdir.
Tak ada yang tahu. Tak kan ada yang pernah tahu. Karena tak seorang pun Allah ijinkan untuk melihat catatan agungNya di Lauhil Mahfudz.


Rabu, 29 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 11

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 11

Cinta, adalah kebaikan dan keindahan yang Allah berikan pada manusia.
Cinta adalah cahaya yang dengannya Allah ijinkan manusia saling memberi bahagia antar sesama.
Cinta adalah hidup dan kehidupan itu sendiri.

Dia.yang tak mencinta sebenarnya tengah kehilangan cahaya.
Dia yang buta karena cinta adalah yang menyimpan cinta dimatanya, bukan di hatinya.
Dia yang melukai karena cinta adalah dia yang menyimpan cintanya pada ego yang membara.
Dia yang terluka karena cinta adalah dia yang menyimpan cinta hanya pada angannya.

Maka dia yang bahagia karena cinta adalah yang menyimpan cinta di atas sajadahnya.
Dia yang menyimpan cinta pada do'a do'anya.
Dia yang menyimpan cintanya di langit, hingga turun jadi hujan penuh keberkahan atau menjadi mentari yang menghangatkan.

**

Andini mencari pakaian terbaiknya. Siapa Widya? Mengapa sepagi ini mencari Adlan?.  Adlan masih di kamar mandi. Andini ragu, apakah perlu memberitahu dan turun bersama?.  Ia berjalan ke arah kamar mandi. Mengangkat tangan untuk mengetuk pintunya.  Namun hatinya memilih tidak.
Hatinya memilih untuk turun sendiri.

Seorang gadis cantik, bergamis hitam, berkerudung hitam berhiaskan bunga warna pink tengah duduk menanti. Ia memandang ke luar. Ke arah taman yang nampak dari jendela samping.

"Assalamualaikum". Andini menyapa.
"Wa'alaikum salam". Widya menjawab.
"Maaf jadi lama menunggu". Andini menyalami Widya. Memeluk, lalu saling cipika cipiki.
"Ngga koq". Widya mengelak.

"Saya Widya, staf bagian keuangan di kantor". Widya memperkenalkan diri.
"Dapat kabar dari Pak Zamzam kalau Pak Adlan sudah nikah".
"Pak Zamzam mengabarkan ke semua karyawan?". Andini bertanya.
"Hanya ke staff inti".
"Ooh, iya mohon maaf kami belum mengabari sendiri, semua serba mendadak. Ya, sekalian memanfaatkan waktu cuti yang diberikan dokter". Andini menjelaskan.
"In syaa Allah nanti resepsi dan syukurannya bulan depan". Andini menambahkan.

"Ini ada sekedar hadiah". Widya menyampaikan.
"Terima kasih". Andini menerima.
"Mba Widya tinggal di mana?".
"Di Lake side".
"Deket Novotel dong"
"Iya, Novotel emang ada di dalam komplek Lake side, tapi agak jauh dari rumah". Widya menjelaskan.
"Oh,". Andini seolah kehilangan kata-kata.
"Silahkan diminum dan dicicipi". Akhirnya kalimat itu yang keluar.

Widya meminum teh manis hangat yang dihidangkan.
Andini juga.
Andini membukakan toples kue sagu keju yang dihidangkan.
"Silahkan". Andini menawarkan.
Widya mengambil satu.
"Jam berapa dari rumah, biasa berangkat pagi ya?" Andini mencoba mengakrabkan diri, memecah kekakuan yang dari tadi mengganggu hatinya.
"Biasa berangkat jam setengah delapan, tapi tadi sengaja berangkat lebih awal".

Andini melihat jam yang berdiri di sudut ruang waktu.
Jarum penunjuk detik seolah sengaja melambat.
Widya mengambil kue yang disajikan.
"Ini kuenya enak dan spesial rasanya. Buat sendiri?". Widya bertanya.
"Iya, kebetulan saya suka baking". Andini menjawab.
Widya melihat jam di tangannya.
"Pak Adlan sehat Mba?". Widya bertanya.
"Alhamdulillah sehat, in syaa Allah besok mulai aktif ke kantor". Andini menjawab.
Keduanya terdiam. Seolah sama-sama mencari kata dan kalimat yang tepat.

"Assalamualaikum". Adlan datang. Terlihat santai dengan kaos berkerah dan celana panjang dari bahan canvas. Namun kesan wibawa dan elegan seolah telah menjadi ciri khas Adlan. Bahkan dengan pakaian santai dan rambut masih terlihat basah.
"Wa'alaikum salam". Andini & Widya menjawab bersamaan.

Andini beranjak menyambut Adlan.
Widya duduk, seolah terpaku.
Entah apa yang ada dalam perasaannya.
"Mas, ini ada staff mas". Andini mencoba memposisikan diri di sebelah Adlan.

Widya melihat sepasang kekasih yang sangat serasi. Sempurna bahagia sebagai pasangan. Ia melihat hatinya.
Sudah lama hatinya menyimpan mimpi untuk berada di posisi Andini. Sudah sangat lama sekali. Namun sekuat apapun usahanya tak jua membuat jarak antara dia dan Adlan makin mendekat.
Adlan sebagai pemilik dan pemimpin perusahaan seolah selalu memberinya dinding kaca yang tebal dengan tulisan : aku adalah pimpinan.

"Pagi Pak". Widya berdiri sambil menganggukan kepala.

Adlan hanya tersenyum.
"Temen-temen titip salam dan selamat untuk bapak". Widya menyampaikan.
"Terima kasih, sampaikan salam kembali untuk semua". Adlan menjawab.
Widya melihat jam tangan.
"Sepertinya saya akan telat nih, jam segini biasanya macet. Saya harus pamit". Ungkap Widya.
"Oh iya, sebentar". Andini berjalan ke dapur. Meninggalkan Adlan dan Widya berdua.

Andini memberikan 3 tas bingkisan.
"Ini ada beberapa toples kue, mungkin bisa dicicipin di kantor. Yang ini spesial buat Mba Widya".
"Makasih, jadi merepotkan nih". Widya menerima dengan suka cita.
"Ngga, kebetulan lagi ada". Andini menjawab.

Andini berjalan di sisi Adlan. Berdua mengantar Widya hingga ke teras.
Widya berlalu dengan mobilnya.

"Widya sudah lama kerja di kantor Mas?". Andini bertanya.
"Sekitar tiga tahunan".
"Oooh, baik amet ya sampai nyempetin ke sini". Andini berkata dengan nada tak suka.
"Ini ada kado dari Widya". Andini membawa kado yang tersimpan di meja.
"Kita buka yuk, sama kado semalam dari teman-teman rumah tahfidz".
Andini menganngguk. Mereka berjalan ke kamar.

"Neng, sarapan dulu". Bi Inay menawarkan.
"Nanti aja bi, belum lapar". Andini menolak halus.

Dua lembar sajadah roudhoh berwarna hijau. Itu hadiah dari Hamid.
Dua.lembar kain batik berwarna biru toska. Hadiah dari ibu Nura.
Andini membuka hadiah dari Widya. Sebuah handuk mantel untuk pria.
Andini memandang tak suka.
Ia berjalan ke arah lemari.
Mengambil gunting kemudian mulai menggunting kado dari Widya.

"Ada apa De, koq di gunting?". Adlan melihat tak percaya.
"Mau aku buat jadi handuk-handuk kecil, mau aku kasih ke santri tahfidz, biar bermanfaat". Andini menjawab.

Adlan memeluk Andini.
"Mas tahu apa yang ada dalam perasaanmu. Tapi di hati Mas hanya ada kamu De, tidak pernah ada yang lain".

Tiba-tiba Andini teringat perkataan umi, bahwa Adlan sulit jatuh cinta. Hatinya sedikit lega. Namun terbayang juga dalam benak Andini tentang Ahsani, meski.sudah tiada.
Andini melanjutkan menggunting.

Adlan mengambil gunting di tangan Andini.
"Biar Mas aja yang gunting, mau  dibuat jadi berapa?".
Andini diam.  Ia kembali ke arah lemari. Mengambil gunting yang lebih kecil. Kembali menggunting mantel handuk.
Adlan memperhatikan. Melihat ukuran yang digunting. Lalu mengikuti.

Dering handphone Andini terdengar. Dari Nura.
"Andini, bisa tolong aku?, ketubanku pecah, Mukhlis tadi Malam ke Jogja". Suara Nura terdengar lemah.

Senin, 27 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 10

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 10.

Bapak mendekati Hamdi.
"Hamid sudah berangkat?". Tanya bapak.
"Hamid harus istirahat. Dari kemarin menyipakan semua keperluannya. In syaa Allah berangkat dini hari ini jam 2. Pake Emirates airline". Hamdi menjelaskan.
"Padahal bapak pengen nganter". Bapak berujar.
"Bagaimana kalau nanti kita semua mengantar Hamid?". Mukhlis mengusulkan.
"Yang bapak-bapak aja". Nura menambahkan.
"Iya, setuju, sekalian saya ingin kenalan dan memperkenalkan diri". Adlan ikut bicara.
"Mas Adlan ga usah berangkat". Andini merajuk manja.

Bapak memandang Andini. Hamdi, Nura, juga Muhklis.
"Baiklah, saya dirumah saja, sampaikan salam dari kami untuk Hamid". Adlan mencairkan suasana.
Andini tersenyum.

"Oh iya, ini ada titipan kado Untuk Andini dan Adlan". Hamdi menunjukkan beberapa bungkusan.
"Ini dari mama". Hamdi menyerahkan tas kertas kado berwarna ungu.
"Ini dari Hamid". Sebuah kado cantik berpita
"Ini dari aku, maaf baru belanja, tadi di.tokonya ga ada kertas kado". Hamdi menyerahkan dus besar bergambar panci set.
"Makasih banyak". Andini dan Adlan menerima.semuanya.

"Ini dari aku & Mukhlis, Quran hafalan". Nura menyerahkan dua mushaf Quran. Satu berwarna biru. Satu berwarna ungu muda.
Andini menerimanya dengan penuh suka cita.

"Ayo kita mulai". Bapak mengajak.
Semua berjalan menuju ruang tamu rumah tahfidz yang luas.
Para santri telah siap.seusai makan malam.
"Adlan, silahkan kasih sambutan, Nak". Bapak mempersikahkan.

"Assalamualaikum warohmatuloohi wa baarokaatuh". Adlan memulai.
"Wa'alaikum salam warohmatuloohi wabarokaatuh".

"Alhamdulillah, segala puji milik Allah, setiap waktu, seluruh penduduk langit dan sebagian besar penduduk bumi tak henti memuji Allaah. Dan semoga kita termasuk di dalamnya.
Terima kasih atas kesempatan ini. Terima kasih atas kesediaan semua. Dari lubuk hati yang tulus, dengan khataman Quran kali ini, kami mohon agar para santri dan para ustadz sekalian berkenan mendoakan kami, itu saja yang kami minta, dan karena waktu terus berpacu, mari kita mulai".
Adlan mengambil satu nomor kocokan. Nomor berisi juz yang harus di baca. Kocokan nomor itu kemudian dikelilingkan pada semua yang hadir. Dan semua langsung khusu, melantunkan syahdu kalam ilahi.

Malam yang indah telah memasuki larut dalam jelaganya. Purnama telah sempurna bertahta.
Do'a-do'a telah dipanjatkan.
Purnama tersenyum seolah turut mengaminkan.

"Kami pamit duluan". Adlan dan Andini menyalami para pengurus yang menunggu waktu.

"Hamid itu siapa?, sepertinya spesial banget di mata bapak". Adlan bertanya.
"Teman diskusi bapak". Andini menjawab pendek.
"Kakaknya Hamdi?"
"Kembarannya". Andini menjawab pendek
"Ayo mas wudlu dulu". Andini mencoba mengalihkan perhatian.

Adlan ke kamar mandi.
Andini ke meja rias.  Masih ada map dari almarhum bunda. Masih ada lembaran-lembaran yang belum dibaca.
Andini membukanya.

"Andini, sholihah bunda,
Cinta adalah kunci dalam berumah tangga. Maka pastikan kunci ini jangan sampai sedikitpun memgalami kerusakan, jangan sampai tergores, jangan sampai retak, patah,  apalagi hilang. 

Andini, Jelita bunda,
Menjaga cinta agar terus menyala adalah perjuangan setiap pasangan yang ingin selalu bersama hingga ke surgaNYA.  Sadari ini dari awal,  azzamkan n bahwa rumah tangga yang kau bangun adalah cerminan  rumahmu di surga nanti.  Niatkan untuk membangun rumah surga.

 Andini kesayangan bunda, ketahuilah bahwa tujuan pernikahan adalah untuk saling membahagiakan.  Karena Allah persatukan sepasang hamba dalam pernikahan untuk menyempurnakan kebahagiaan.  Tentunya juga untuk menyempurnakan agamanya.  Namun,  bahwa Allah ciptakan kehidupan untuk menguji diantara kita siapa yang paling baik amalnya, ini juga berlaku dalam rumah tangga.
Akan ada ujian di dalamnya. Akan ada konflik yang mungkin sama sekali tak pernah  terduga.
Sesekali akan ada amarah yang mengusik.
Sesekali akan ada kecewa yang menyeruak.
Sesekali akan ada kesal yang menggumpal.

Andini yang pintar,
Sadari semua dari awal, bahwa hidup,  termasuk kehidupan rumah tanggamu adalah petualangan antara tawa & tangis yang akan terus bergantian menuju perkembangan kedewasaan.
Namun jangan khawatir.  Kalian punya cinta.  Cinta yang akan selalu menyatukan karena cinta akan selalu menemukan jalan untuk kembali.  Maka  jagalah rasa cinta ini kalian.  Jadikan perjuangan menjaga cinta ini sebagai perjuangan bersama hingga ke surga.

Andini, kebahagiaan bunda,
Cinta akan terkikis hilang seiring dengan berkurangnya kebahagiaan.   Bahagia bukan tentang harta, bukan tentang segala macam pemenuhan semua keinginan.  Bahagia adalah rasa ridho atas semua yang ada.  Kuatkan bahagia dengan rasa syukur.  Kuatkan rasa syukur dengan  selalu menjaga diri.  Merawat diri.  Menjaga hati,  merawat hati dari segala penyakitnya.  Kedepankan baik sangka.  Hapus iri,  dengki,  bangga diri & semua penyakit hati lainnya.  Biasakan mendahulukan introspeksi ketika konflik mulai terlihat muncul ke permukaan.  Biasakan melihat kelebihan pasangan saat terlihat sebuah kekurangan.

Andini cantiknya bunda,
Ingat pernikahan adalah perjuangan.  Perjuangan untuk tetap bersama hingga ke surga. Perjuangan menjaga cintamu,  cintanya,  dalam ikatan cinta Allah.
Pintalah pada Allah agar cinta kalian selalu terjaga hingga ke surgaNYA. 

Jangan pernah lupa juga bahwa salah satu tugas yang Allah berikan adalah agar keluarga yang kalian bangun terbebas dari neraka.  Agar belahan jiwa & buah hati kalian semuanya selamat hingga ke surgaNYA.   Maka pastikan semua selalu berpegang tangan dalam cinta yang penuh kasih. 
Pastikan semua saling menuntun dalam cinta yang penuh sayang. 
Pastikan semua saling meyelamatkan dalam kelembutan.
Pastikan semuanya selalu memperbaharui cinta dihati.

Andini, pasti kamu tahu kisah cinta memang selalu indah,  meski kadang berhias tangis. Kisah cinta selalu mengundang kebahagiaan,  meski kadang sempat berhias penyesalan.  Hidup memang tak selamanya indah,  tapi pastikan setiap akhir episodenya berakhir indah.  Pastikan semuanya berujung pada kebahagiaan seperti yang Allah inginkan. Dan ini hanya bisa terlaksana jika kita bisa merawat cinta.  Cinta pada belahan jiwa,  atas dasar cinta padaNYA.

Andini menyimpan lembaran kertas itu. Hatinya haru. Ada kehangatan dari setiap kata-kata yang bunda goreskan dan kini, ada dua kehangatan yang Andini rasakan. Kehangatan pelukan Adlan.
Malam berlalu. Dalam tasbih syahdu. Nikmat dalam kebahagiaan dan keberkahan.

*****

Andini masih mengeringkan rambutnya ketika Bi Inay mengetuk pintu kamarnya
"Neng, ada tamu". Bi Inay menyampaikan di depan pintu.
Andini membuka pintu.
"Siapa Bi?". Andini bertanya.
"Katanya Widya, karyawan A&Z gitu,...". Bi Inay mencoba mengingat-ngingat.
"Oh iya, Widya, setapnya Adlan". Bibi akhirnya bisa menyampaikan.

Jumat, 24 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 8

Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 8.

Bapak memberikan sebuah map tua.
"Ini catatan bunda almarhum.
Bunda dulu berpesan untuk memberikan ini pada Andin di hari pernikahan".
Andin menerima map tua itu.
Tiba tiba kerinduan menyergap hatinya. Matanya mengembun.
Adlan memeluk erat pundak Andin.
"Kita bersyukur punya bunda yang luar biasa. In sya Alah bunda bahagia di alam sana". Suara Adlan lembut menenangkan.

Keharuan di hati Andini sebenarnya menular ke hati bapaknya. Tapi ia tahu, ia harus tegar. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat anak semata wayangnya tidak semakin sedih. Ini hari bahagia. Tidak boleh ada sedikitpun duka.

Adlan tak melepaskan pelukannya. Dengan pelukan itu ia membimbing Andin. Melangkah bersama menuju kamarnya.

"Mas, aku boleh buka dulu ya". Andini meminta ijin.
"Kita buka bersama ya, sepertinya bunda ingin mengirim pesan pada kita berdua".
Andin menganngguk.

"Andini, putri bunda yang sholihah nan jelita, ijinkan Bunda menuliskan sesuatu untukmu. Bunda ingin kau membacanya di hari pernikahanmu.

Andini, permata hati bunda,
Ketahuilah bahwa saat terucap kalimat mitsaqon gholido, saat pintu surga seorang wanita berpindah kepada lelaki yang telah berjabat tangan dengan bapak, saat itulah Allah hadiahkan kehidupan baru untukmu, nak.  Saat itu kalian telah jafi Sepasang insan yang Allah satukan dalam ridhoNYA di Atas sumpah teramat besar yang suci.

Setelah sumpah terucap, Allah bukakan kehidupan baru.  Sekarang kau dan belahan jiwamu akan menjelajahi pulau-pulau, mendaki gunung-gunung, menuruni lembah, menikmati segarnya air kehidupan, juga menemukan hal-hal baru.  Petualangan baru segera dimulai.  Long road to Jannah is begin.  Maka siapkan tenaga dan perbekalannya.

Andini, kesayangan bunda,
Ingat, ini adalah perjalanan menuju surga akhirat dengan cara mewujudkan surga di dunia.  Surga milikmu, milik belahan jiwamu, dan milik permata hati yang kelak akan Allah berikan.  Maka jadikan Al Quran dan Sunnah sebagai peta utamanya. 

Alangkah indah jika kau dan belahan jiwamu, sedari awal menuliskan peta langkah cita menuju surga. 
Bukan hal yang berlebihan jika kamu dan belahan jiwamu menuliskan aneka keinginan dan impian dalam menempuh kehidupan baru yang Allah berikan.
Dan lihatlah nanti, satu persatu cita dan impian itu Allah hadiahkan dalam kenyataan.

Andini, harapan bunda,
Menjelajahi pulau pulau, tak selamanya indah.  Akan ada riak, atau mungkin gelombang yang menghempas,  tapi tetaplah bersama, apapun dan bagaimanapun keadaannya.  Tetaplah berpegang bersama belahan jiwamu, bersama Allah.
Satu hal, bentuk tidak indahnya penjelajahan ini adalah Allah akan perlihatkan kekurangan belahan jiwamu.  Ini ujian pertama.

Allah ciptakan manusia tak sempurna, maka kamulah penyempurna belahan jiwamu.  Dan tahukah kamu kesempurnaan terindah adalah menerima belahan jiwamu apa adanya.  Terima apa adanya jika tidak ada titah kemuliaanNYA yang dilanggar.
Namun jika ada sikap yang dalam mendekat pada tiadanya kemuliaan seorang hamba, rengkuh tangan belahan jiwamu, ingatkan penuh kasih sayang, bahwa kau ingin dia mendapat kemuliaan dan keridhoanNYA.  Ingatkan pada janji untuk ke surga bersama. Dan jangan lupa, dibalik satu kekurangan, Allah berikan banyak kelebihan.  Fokus pada kelebihan, agar kekurangan belahan jiwamu tak mendominasi rasa dan pandangmu.

Andini yang bunda do'akan bahagia,
Adakalanya kau dan belahan jiwamu harus mendaki.  Menempuh perjalanan yang menyulitkan.  Membuatmu harus menahan nafas menekan rasa marah.
Manusia Allah berikan ego untuk menjaga dan melindungi dirinya sendiri.  Ketika terkuak rasa marah, itu pertanda ada ego yang terganggu.  Ada harga diri yang terluka.
Orang yang marah sebenarnya dia tengah berlindung menutupi kelemahannya.  Jika tengah dalam pendakian sulit seperti ini, kembali pada Al Quran dan Sunnah.  Segeralah berlindung pada Allah, dan lindungi belahan jiwamu yang tengah didekati syaithon laknatullooh.  Segera berlarilah pada Allah dalam dzikir hati dan mulut terkunci.  Kamu dan belahan jiwamu, sesekali boleh marah, tapi gantian.  Jangan pernah marah bersamaan. 

Maka dari awal, buat perjanjian, kalau nanti ada salah satu diantara kamu marah, apa yang harus dilakukan? Yang harus diingat adalah, perjanjian pertama yang harus dicantumkan dalam aturan marah ini adalah : maafkan.  Kedua, bicarakan, ketiga selesaikan.  Aturlah strategi supaya marah ini berakhir dengan solusi berimbang, win-win solution. 
Kamu tahu tempat terindah untuk mengakhiri marah agar indah?  Tempat tidur kalian.  Segera setelah reda, ambilah wudhu, dan senangkan hatimu dan hatinya dalam segarnya anugrah yang Allah berikan.  Agar pendakian berakhir indah.  Agar terkuak cahaya mentari berseri saat pagi menyapa hari.

Andini yang tengah bahagia,
Manusia tempatnya salah.  Begitupun denganmu dan belahan jiwamu.  Hanya Baginda Nabi saw yang Allah umumkan bebas dari kesalahan.  Selainnya tidak.  Maka ketika kau melihat belahan jiwamu melakukan kesalahan, ingatlah janjimu bahwa kamu akan bersamanya menuju surga.  Pertama kali yang dibutuhkan oleh orang yang bersalah adalah pertolongan bukan dakwaan.  Maka tolonglah dia terlebih dahulu, selamatkan dengan nasehat penuh kasih sayang. Sebaik-baik orang bersalah adalah yang bersegera memperbaiki dri dan berlari pada ampunan ilahi.  Berjanjilah untuk tak mengulanginya lagi.  Berjanji untuk sama-sama saling menuntun, saling merengkuh dalam ridho dan cintaNYA.

Andini putri jelita bunda yang baik hati,
Setelah sumpah besar nan suci terucap, ada kehidupan penuh misteri.  Ada duka yang mungkin mengganggu hati.
Jangan risaukan.
Jangan mengganggu fokusmu membangun surga.
Lihatlah semua dengan kacamata jenaka agar hanya tawa yang ada.  Kamu harus selalu menyadari bahwa Allah persatukan kamu dan belahan jiwamu dalam ikatan mitsaqon gholidho di altar ilahi adalah untuk saling membahagiakan. 
Maka rangkailah semuanya dalam kebersamaan denganNYA.  Ingat, Allah ingin kamu bahagia.  Bahagia di dunia hingga ke surgaNYA.

Andini menutup lembaran pertama. Bening bulir air mata  mengalir di pipinya.
Lembut jemari Adlan memgusapnya.

"Kita wudlu dulu ya de, kita sholat hajat dulu".
Andini menganngguk.

Dan malam ini, penuh tasbih dalam kenikmatan dan kebahagiaan, dalam iringan do'a penuh keberkahan.


Kamis, 23 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 7

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 7.

Andini tampak cantik sempurna dalam gaun cantik milik umi.
Nyaris tanpa make up hanya bedak dan seoles tipis lipstik milik mama. Serta mata yang ditegaskan dengan pensil alis.

Semua serba mendadak. Tapi semua bisa disiapkan dengan sigap. Setiap niat kebaikan memang selalu Allah mudahkan.

Pak RT, Pak RW, Pak Mualim sebagai ketua DKM, datang sebagai saksi. Pak Muzamil, pegawai KUA telah tiba.
Dari keluarga perempuan bapak meminta Tante Desi adik almarhum ibu kandung Andini hadir. Keluarga Om Aryo juga diminta datang oleh bapak Andini. Om Arya adalah adik bungsu bapak. Satu-satunya keluarga yang tinggal di kota yang sama.

Adlan menggunakan jas hitam. Jas berwarna putih tulang tak.ia gunakan. Ada rasa khawatir akan membangkitkan kenangan buruk di hati Andini.

Umi mengeluarkan semua yang dulu pernah disiapkan. Mahar dan hantaran yang telah lama terbungkus rapi.
Bi Lina dan bibi sibuk di dapur menyiapkan hidangan tambahan diluar hidangan utama yang telah di pesan yaitu nasi kebuli, gulai kambing, sate kambing, lengkap dengan acar buah. Menu yang tak biasa dalam pernikahan. Hanya menu itu yang bisa dipesan dadakan dalam jumlah yang mencukupi.
Dinda, meski masih terlihat lemas, ikut duduk menghadiri.
Zamzam telah siap dengan kameranya.

Semua telah siap.
Om Arya bertindak sebagai master ceremoni.  Pak Mualim membacakan Al Quran.
Tausiyah nikah disampaikan langsung oleh abi, ayah dari pengantin pria.

"Assalmu'alikum warohmatuloohi wabaarokaatuh.,
Anakku, Adlan dan Andini, hari ini abi sendiri yang akan melepas masa lajang kalian dengan nasehat yang murni keluar dari hati abi".
Hadirin terdiam.
Abi nampak menahan keharuan yang menyeruak. Ia tetap menguatkan diri untuk memberikan nasehat.
"Kalian diciptakan bukan sebagai manusia yang hanya memiliki kelebihan, tapi lengkap dengan segala macam kekurangan. Jika selama ini kalian hanya melihat kelebihan pada pasangan, kelak akan Allah bukakan apa saja kekurangannya. Maka ingatlah untuk.selalu bersabar. Sabar menerima semua kekurangan. Jangan berusaha merubah dengan keras, tapi berusahalah untuk menerima. Karena hanya hati yang lapang yang bisa membimbing. Hanya hati yang tenang dan ridho yang bisa menemukan jalan menuju surga. Baik surga di dunia yaitu kebahagiaan, maupun surga yang sesungguhnya di akhirat kelak".
Abi kembali terdiam.

"Satu hal yang ingin abi pesankan dan tekankan pada Adlan sebagai suami, jangan pernah sekalipun melanggar apa yang diperintahkan Allah. Jangan melakukan kesalahan tanpa diiringi penyesalan dan taubat. Karena satu kesalahan itu seperti sebuah titik di busur derajat. Walaupun hanya satu derajat di titik pusat, tapi jika dibiarkan maka akan terus melebar. Kita manusia memang tempat salah dan khilaf, tapi ingat, segera dan segeralah bertaubat atas sekecil apapun kesalahan yang kita lakukan.
Karena kesalahan yang dilakukan seorang suami akan berdampak buruk pada istri dan anak-anak serta hilangnya keberkahan keluarga".

Semua hadirin khusyu mendengarkan. Adlan tertunduk. Andini juga.

"Untuk nak Andini. Kewajiban istri hanya ada yaitu ta'at dan menjaga. Ta'at selama suami mengajak pada jalan Allah. Taat pada suami, meskipun ilmumu sebagai istri lebih luas dari suami. Ta'at meski penghasilanmu lebih besar dari suami. Ta'at meski pekerjaanmu lebih berat dari suami. Setelah itu menjaga diri dan menjaga semua pemberian suami dengan penuh rasa syukur. Ini yang penting, karena inilah jalan keridhoan Allah untukmu, nak Andini".

Andini masih tertunduk. Tapi kini matanya mulai mengembun. Ia tahan sedemikian rupa agar tak jatuh.

Abi menghela nafas panjang.
"Terakhir, abi minta maaf jika ada kesalahan dalam mengantarkan kalian menuju pernikahan. Abi akan selalu mendoakan agar rumah tangga kalian sakinah, mawadah warohmah. Semoga Allah selalu memberikan berkah yang melimpah pada kalian.
Itu saja yang ingin abi sampaikan. Wassalamualaikum warohmatulloohi wa barokatuh".
Abi mengusap matanya yang tergenang rasa haru.

Ijab kabul segera dilaksanakan.
Adlan duduk berhadapan dengan bapak Andini.
Mereka berjabat tangan.
"Saya nikahakan putri kandung saya Andini binti Raden Teja Nurzaman kepada Adlan Muhammad bin Zaid Syaifurrohman, dengan mas kawin emas dua puluh empat karat seberat dua puluh gram dibayar tunai"
"Saya terima nikahnya Andini binti Raden Teja Nurzaman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai".

"Sah".  Pak Muzamil dari petugas KUA menegaskan. Diiyakan oleh Pak RT dan Pak RW sebagai saksi.
Suasana mengharu biru.
Andini menerima mahar dari Adlan. Dilanjut dengan ciuman lembut di kening Andini.
Pipi Andini memerah. Tersapu senyuman.

Buku nikah ditandatangani.
Suasana sungkeman yang syahdu. Semua direkam dan diabadikan dengan seksama oleh Zamzam. Juga beberapa moment bahagia setelah itu. Moment berfoto keluarga. Juga moment saat menikmati hidangan. Adlan telah terbiasa dengan kamera layaknya seorang fotografer profesional.

Adzan Ashar berkumandang.
Semua pria pergi ke masjid untuk bersujud di rumah Allah.
Andini dan semua wanita di rumah sholat berjamaah di kamar Adlan. Kamar Andini kini.

Usai sholat, semua bersiap ke rumah Andini. Mengantar pengantin yang akan bermalam dan tinggal di.rumah Andini.
"Karena Andini hanya anak semata wayang, untuk sementara, mohon nak Adlan berkenan tinggal bersama kami sebelum punya rumah sendiri". Begitu bapak meminta pada Adlan.  Adlan mengiyakan.

Bapak semobil bersama umi dan abi.
Andini kini bersama Adlan. Zamzam yang menyetir mobil.
Dinda istirahat karena sakitnya.
Keluarga om Arya ikut. Juga tak ketinggalan Tante Desi, ikut serta.

Bi Inay dari tadi telah menyiapkan semuanya. Seperti yang diminta mama tadi siang.
Bi Inay menyiapkan kue-kue dan hidangan untuk makan malam keluarga.
Semua mencicipi hidangan dalam keceriaan dan kebahagiaan.
Inilah puncak bahagia bagi Andini dan Adlan.
Ujian kehidupan yang dirasa teramat sangat lama, kini telah sirna. Dan semua ujian yang telah berlalu ternyata hanya sedikit memakan waktu, hanya sementara menunda. Air mata yang pernah tertumpah kini terhapus senyuman dan tawa.
Duka lara yang pernah membadai rasa, telah pergi terhapus bahagia. Semua ada masanya. Deru badai ujian tak pernah lama.

Sholat maghrib telah ditunaikan. Andini dan Adlan bersiap naik ke kamar.
"Andini, sebentar, bapak ingin memberikan sesuatu". Bapak menahan langkah keduanya.

Labirin Cinta Andini part 6

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad ).

Part 6.

Jiwa dan raga manusia terbatas ruang dan waktu.
Terpenjara dalam keduanya.
Di balik batas, tak ada yang bisa dilihatnya.
Di balik waktu, tak akan pernah tahu apa yang kan terjadi setelah setiap detak waktu berlalu.

Namun Allah Yang Maha Bijaksana, beri manusia dua hal, yang bisa menembus keduanya.
Yaitu rasa dan aksara.

Rasa bebas melanglang buana menembus batas ruang dan waktu.
Menyelam dalam rindu,
Melukis dalam angan
Pun aksara, ia bebas kemana akan membawa sebuah cerita,
Entah ke sejarah masa lalu
Atau pada harapan masa depan.

Dan rasa yang terindah sempurna adalah cinta dua hamba, saat terikat dalam janji peribadahan, untuk selalu bersama hingga ke hari penghisaban.
Berharap dalam kebersamaan selalu Allah berikan kemudahan,
Untuk meretas jalan menuju surga di keabadian.

Dan berdoa'lah.
Agar setiap aksara dalam kebersamaan,
hanya melukis keindahan dalam  penghambaan pada Sang Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
Hingga kelak sejarah, kan melukis kisahmu  sebagai kenangan terindah,
Saat jasadmu damai dalam tanah.

*****

"Kita sholat dulu ya". Umi mengingatkan.
Umi mengajak Andini dan mama ke kamarnya.
"Dinda ke mana mi?".
Andini bertanya.
"Ada, mungkin lagi.istirahat".
"Ga diajak sekalian berjamaah?". Andin bertanya.
Umi melangkah ke arah kamar Zamzam.
"Maaf ya mi, jadi merepotkan". Andini merasa bersalah.
"Gapapa". Umi menjawab tenang.

Ingin sebenarnya Andini sendiri yang mengetuk pintu kamar, mengajak Dinda. Namum, saat ini Andini merasa masih harus menjaga jarak. Semua belum resmi. Belum menjadi bagian dari keluarga ini.

Andini dan mama mengambil wudu.  Umi mengetuk pintu kamar Dinda.
"Dinda, jamaah yuk". Suara umi lembut.
Tak ada jawaban.
Umi mengetuk pintu kembali.
Masih tak ada jawaban.
"Umi masuk ya Dinda". Umi membuka pintu.

Dinda nampak terbaring lemas. Wajahnya penuh keringat.
Umi memegang kening Dinda.
Panas.
"Ya Allaah, kamu sakit lagi, Dinda". Umi kaget.
"Umi ambilkan obat ya".

Umi bergegas ke kamarnya.
Andini dan mama tengah duduk di kursi dekat jendela kamar.
"Sebentar ya, Dinda panas, mau ngasih obat dulu untuk Dinda". Umi mohon ijin. Lalu membuka lemari.

Andini mendekat.
"Biar Andin aja yang ngasih Dinda obat, Mi. Umi wudu aja dulu".
Umi menyerahkan obat.

Andini segera ke dapur. Mengambilkan segelas air.
Tanpa menunggu apapun Andini langsung ke kamar Dinda.  Pintu kamar sedikit terbuka.

Dinda masih terbaring.
"Dinda, minum obat dulu yuk".
Andini membantu Dinda untuk duduk, menyuapkan obat ke mulut Dinda & memberinya minum.
"Terima kasih, maaf merepotkan". Dinda berkata pelan.
"Ngga repot koq". Andini menjawab.
"Dinda tiduran aja dulu ya, ditinggikan ya bantalnya"
Dinda menganngguk.

Andini mengambil bantal di sebelah bantal Dinda.
Ada buku catatan terbuka. Lengkap dengan ballpoint.
Ada catatan di sana. Tulisan yang cukup rapi. Tulisan tangan perempuan. Tulisan Dinda?. Andini ingin bertanya tapi tidak tega.

Andini memilih diam dan meletakan bantal di atas bantal Dinda.
"Ayo Dind,.tiduran dulu". Andini membantu Dinda membaringkan tubuhnya.

Dinda terbaring lemah. Andini memegang tangan Dinda.
"Dinda, kalau ada apa-apa, kamu bisa mengandalkan aku. Kamu boleh berbagi apapun dengan aku. Jika itu rahasia, aku akan menyimpannya rapat-rapat. Jika ada yang bisa aku bantu, aku akan bantu". Andini lirih berkata.

Mata Dinda basah. Dinda berusaha bangkit. Andini membantu. Dinda memeluk Andini erat. Tangisnya tumpah.

"Kak Andin, belum siap-siap?". Terdengar suara Zamzam.bertanya. Andini terkejut. Dinda semakin pucat.
Dinda melepaskan pelukannya. Andini memutar tubuhnya ke arah suara. Ke arah pintu.

"Iya, ini abis bantu Dinda minum obat". Andini menjelaskan.
"Aku siap-siap dulu ya, kayaknya udah ditunggu umi". Andini menjelaskan.
"Mau kemana?". Dinda bertanya.
"Ngga kemana-mana. Nanti jam dua, aku sama Mas Adlan nikah di sini. Nunggu Pak Muzamil, petugas KUA". Andini menjelaskan.
"Oh ya?". Dinda hampir tak percaya. "Koq mendadak?".
"Iya, semuanya serba mendadak. Kalau nanti jam dua Dinda udah baikan, nanti jadi saksi ya". Pinta Andini.
"Tapi jangan memaksakan diri ya. Kalau masih lemas, istirahat aja". Dinda menganngguk.
"Aku pamit dulu ya". Andin beranjak.

Zamzam masuk, menemui istrinya yang terbaring.
Dilihatnya buku diary yang terbuka. Ia terkejut.
"Apa Andini melihat dan membaca buku ini?". Zamzam bertanya.
Dinda menggeleng.
"Tidak". Jawabnya lemah.
Zamzam menarik nafas lega.

Baju pengantin yang dijanjikan tersimpan di atas kasur. Gaun satin sutra berwarna baby pink. Disertai rompi brukat berhiaskan manik-manik di atas bunga-bunganya. Masih terlihat gemerlap. Ada selendang brukat yang melengkapi. Selendang cantik bertahtakan mutiara berseling payet daun dipinggirannya. Warna pink muda. Setingkat lebih tua dari gaun pengantin.
"Tapi kerudungnya udah ga ada". Umi menjelaskan.
"Gapapa Mi, Andin bawa kerudung pink, ada di koper".
"Syukurlah".

"Ayo Mi, kita sholat". Andin mengajak.
"Sebentar, umi nyari Zamzam dulu biar ngurusin hidangan untuk tamu & hantaran untuk tetangga". Umi meminta waktu.
"Bu, kalau boleh, kami minta untuk syukuran sederhana, nanti di rumah kami aja, sambil khataman di rumah tahfidz, bada maghrib". Mama mengambil inisiatif.
"Iya, nanti kita bicarakan. Ini hanya untuk tamu, pengurus masjid dan tetangga dekat saja".
"Oh iya, kalau begitu".

Sambil menunggu, Andin sholat.
Menyampaikan semua hajat dan harap lewat sholat dua rakaat.

Lirih Andini berdo'a.
"Ya Allah ya Robb, Yaa Rahman, Duhai yang Maha Pengasih.
Jika ini adalah waktuku untuk Kau satukan dengan kekasih yang Kau pilihkan, hamba meminta, temani hamba dalam menjalani semua tugasnya. Temani hamba untuk menjaga amanah yang Kau berikan.pada hamba.
Temani hamba untuk menjadi istri sholihah seperti yang Kau inginkan.
Temani hamba untuk merawat cintanya padaMu, temani dalam merawat jiwanya agar semakin ta'at dalam beribadah kepadaMu.
Temani hamba dalam menjalankan keta'atan padanya sebagai bukti cinta hamba padaMu.

Yaa Allah Yaa Robb, Yaa Arhamarrohimiin.
Jika rumah tangga ini adalah bahtera dariMu, ijinkan kami untuk sampai dengan selamat berlabuh di surgaMu.
Kelak, jika badai menyapa, temani kami dan selamatkan kami agar bahtera tak kandas terbentur karang.

Yaa Allaah, Yaa Fattaah, yaa 'Alim.
Jadikan pernikahan ini sebagai jalan pembuka semua rahmat, ridho, kasih sayang, dan keberkahan dariMu.
Bukakan jalan-jalan bagi kami untuk semakin mendekatkan diri padaMu, semakin bersyukur padaMu, semakin bertambah ketaqwaan dan keta'atan kami padaMu.

Allahu Yaa Robb, Yaa Ghoni ya Mughnii,
Jadikan pernikahan kami sebagai jalan bagi kami, untuk semakin bisa meluaskan kebermanfaatan kami untuk sesama hambaMu.
Jadikan kami jalan kebahagiaan untuk sesama hambaMu.
Jadikan kami jalan kebaikan untuk sesama hambaMu.
Jangan biarkan ada satupun yang tersakiti dengan pernikahan ini yaa Robb,
Yaa Arhamarrohimiin
Yaa Arhamarrohimiin
Yaa Arhamarrohimiin
Yaa Mujibasaailiin.
Aamiin.

Rabu, 22 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 5

Part 5

Labirin Cinta Andini.
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 5.

Cinta akan menemukan jalannya. 
Allah sudah fitrahkan demikian.  Lihatlah episode Adam & Hawa. 
Episode kisah cinta pertama yang ada di muka bumi.  Episode kisah cinta sepasang hamba.

Allah pisahkan keduanya dijarak yang teramat jauh. 
Allah pisahkan keduanya,  untuk dipertemukan setelah taubat dijalankan. 
Allah titipkan cinta dihati keduanya. 
Dan Allah ijinkan keduanya untuk saling menemukan. 
Love will find a way.

Seberapapun jauh jarak memisahkan.
Seberapa lamapun dentinh waktu harus menunggu.
Seberapa terjalpun jalan yang harus dilalui
Seberapa pedihpun duka.luka ujian yang harus dijalani.
Jika waktunya tiba,
Sepasang hamba yang Allah ijinkan untuk bersama mengarungi samudra berdua,
Allah akan pertemukan.
Allah akan ikat dalam janji mulia
Allah akan berikan cinta untuk menemukan jalan.
Dan Allah berikan pada keduanya semesta indah dalam bahagia cinta.
Love will find a way.

*****

Part 5.

Delapan mobil telah siap mengantar kami kembali.
Pulang ke rumah yang dirindukan.
Mobil bapak hanya berisi bertiga.
Ada beberapa peralatan dapur yang sengaja mama bawa. Untuk jaga-jaga kata mama dan ternyata sangat membantu.
Hamid membantu memasukannya ke mobil.

Andini mendekati Hamid sesaat sesudah pintu bagasi ditutup.
"Kak, makasih ya bukunya".
"Iya sama-sama, semoga bermanfaat".
"Bermanfaat banget, tadi Andini udah baca scanning, isinya bagus".
"Syukurlah". Hamid tersenyum.
Ia melayangkan padang ke langit. Seolah melihat sesuatu.
Hamid menarik nafas panjang.
"Oh iya, kakak dengar Adlan sudah sembuh. Kakak turut senang". Hamid melanjutkan.
"Terima kasih kak". Andini menunduk.
"Kakak pamit ya". Hamid berujar.
"Kak". Andini nampak ingin mengucapkan sesuatu.
"Iya?". Hamid menghentikam kakinya yang baru saja melangkah.
"Hati-hati di negri orang, tetap istiqomah ya Kak". Andini melanjutkan.
"Insya Allah". Hamid tersenyum.

Mobil Hamid yang menampung beberapa santri menjadi pemandu. Melaju terlebih dahulu. Diikuti oleh mobil Mukhlis, Mobil Hamdi, tiga mobil santri dan terakhir mobil bapak.  Ada rasa lega yang sangat melapangkan dada. Itu yang dirasa Andini.

"Pak, bagaimana kalau kita langsung ke rumah sakit?". Andini meminta.
"Coba telpon dulu. Takutnya sudah pulang". Mama menyarankan.
Andini menuruti permintaan mama.

"Assalamualaikum, Umi apa kabar?". Andini menyapa lewat telpon.
"Alhamdulillah baik".
"Maaf umi baru bisa menghubungi"
"Gapapa, umi faham koq".
"Umi, Andin sama bapak dan mama mau ke rumah sakit".
"Adlan udah di rumah, tadi malam sudah boleh pulang, ke rumah aja ya"
"Baik Mi,".

"Betul kata mama, Mas Adlan udah di rumah". Andini menyampaikan.
"Kalau gitu kita langsung ke rumahnya aja". Bapak memutuskan.
Andini melihat ke depan. Mencari-cari rombongan mobil. Hanya rombongan mobil yang dipimpin Hamzah, mahasiswa pendamping santri yang terlihat. Yang lain tak terlihat lagi.

Bapak mengambil jalan memutar. Jalan ke rumah Adlan.
Waktu menunjukkan tiga puluh menit menuju dzuhur ketika Andini dan keluarga tiba di rumah Adlan.

Umi menyambut Andini dengan pelukan dan senyuman. Seperti biasa. Kali ini ada Adlan ikut menyambut. Bapak memeluk erat Adlan. Lama.
"Alhamdulillah, bapak senamg nak Adlan udah sembuh". Bapak berujar.
"Alhamdulillah. Terima kasih atas do'anya selama ini".

Semua duduk di sofa di ruang tamu.
Bibi menghidangkan minum dan beberapa toples kue kering, serta sepiring pisang goreng.
Bapak meneguk minuman yang disuguhkan.
"Kapan dari rumah sakit?". Bapak membuka percakapan.
"Tadi malam". Adlan menjawab.
"Alhamdulillah semua baik-baik saja, Adlan sudah benar-benar fit, cuma dokter menyarankan agar Adlan istirahat dulu tiga hari di rumah". Umi menjelaskan.
"Sebenarnya sudah pengen ke kantor". Adlan menambahkan.
"Mungkin sebaiknya memang istirahat dulu". Mama menyarankan.
"Betul, sambil menyiapkan semuanya". Adlan memgiyakan.

"Silahkan dicicipi kuenya".  Umi menawarkan.
Bapak mengambil pisang goreng.
"Bagaimana kalau kita membicarakan rencana pernikahan yang tertunda?". Abi angkat bicara.
Bapak mengangguk.
"Betul Pak, saya ingin secepatnya melaksanakan akad nikah". Adlan menyampaikan maksudnya.
Andini tertunduk malu, pipinya memerah.

"Kalau misalnya sekarang kita melaksanakan akad nikah, akad lewat wali, bagaimana?". Adlan menatap bapak dan Andini bergantian.
Andini diam.
Bapak terkejut.

"Saya agak keberatan kalau nikah siri". Bapak menyampaikan.
"Kalau ga salah, adiknya pak Mualim, imam masjid, penghulu , pegawai KUA". Zamzam ikut berbicara.
"Sebentar saya hubungi Pak Mualim". Zamzam menelpon Pak Mualim.

Semua mata tertuju pada Zamzam.
Zamzam menutup telpon.
"Pak Mualim mau menghubungi adiknya dulu".
Semua berharap cemas.
Andini mengambil minum. Meneguknya perlahan.

Handphone Zamzam berbunyi.
Seperti tadi, semua mata semua.hati tertuju pada Zamzam. Hanya Andini yang tertunduk.

"In syaa Allah, nanti jam dua, adiknya Pak Mualim, Pak Muzamil bersedia ke.sini".
"Alhamdulillah". Semua serempak memuji Allah.

Adzan dzuhur berkumandang.
"Mari kita ke masjid". Adlan mengajak semua.
Tinggal Andini dan mama di rumah bersama umi.

"Andini, ayo siap-siap". Mama menyadarkan Andini yang tampak kebingungan.
"Baju pengantinnya mau dikirim pake ojol? Nanti mama minta bi  Inay yang mengurusnya". Mama menawarkan.
Andini menggeleng. Masih terbayang darah yang betsimbah mengotori baju pengantinnya.

"Mau pinjam baju ke Nura?". Mama menawarkan alternatif.
Andini menggeleng kembali.
Ia tak ingin membuat Nura yang tengah hamil tua jadi repot.

"Mau pakai baju pengantin umi dulu? Dulu umi langsing seperti nak Andin koq". Umi menawarkan.
"Umi masih menyimpan?". Andini bertanya.
"Iya, masih ada". Umi menjawab.
Andini menganngguk.

Labirin Cinta Andini part 4

Part 4.

Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad ).

Part 4.

Cinta adalah rasa yang dititipkan Sang Pencipta pada hamba.
Rasa indah untuk jalan sebuah kebahagiaan.
Rasa yang diberikan untuk ditujuian pada siapa yang dipilihkanNya.

Namun,
Semua yang dititipkan Allah adalah ujian untuk hamba.
Termasuk juga cinta.
Allah hanya ingin melihat apakah cinta yang ditipkanNya membuat seorang hamba berpaling dariNya atau tidak.

Betapa banyak hamba yang tak lulus ujian.
Betapa banyak hamba yang mencintai pemberian Allah dan berpaling dari Allah
Padahal, bukankah Dia yang telah memberi semuanya?

Hamba yang lulus, bahagialah hidupnya,
meski terlihat nestapa, ketika cintanya tak sampai pada hati yang dituju.
Namun tak mengapa, karena selalu ada cinta Allah untuknya.

Dunia hanya sementara.
Nestapa tak sampainya cinta pada hamba, hanyalah derita sementara dari yang sementara.
Tak lama.
Kelak akan Allah berikan cinta yang kekal hingga ke surgaNya.

*****

Hari ini hari terakhir di Vila Dewi. Andini mengemas semua barang-barangnya. Juga membantu mengemas barang milik bapak dan mama.
Di meja bapak Andini menemukan sebuah kotak kristal.  Andini membuka. Ada cincin batu alam berwarna hijau tua. Seolah ada lukisan dalam batu itu. Andini mencoba menebak lukisan apa yang tergambar di dalamnya. Tapi tak bisa. Andini mengeluarkan cincinnya, Diamatinya logam yang mengikat batu itu.. Perak berukir. Ukiran yang cantik.

"Itu dari Hamid". Bapak menjelaskan.
Andini tersentak kaget.
"Eh, Bapak, kirain masih di aula". Andini mencoba menetralkan suasana.
"Ini hadiah apa Pak? Kenapa Hamid memberi bapak hadiah?".
Andini bertanya penasaran.
"Nanti kamu akan tahu sendiri". Hanya itu jawaban bapak. Andini tak bisa mendesak.

"Andini, ditunggu di Aula, penutupan mau dimulai". Pesan singkat dari Nura.
"Oke"

"Pak, ini cincinnya mau disimpan di mana?". Andini bertanya sambil menyerahkan kotaknya.
Bapak menerimanya. Membuka kotak kristalnya. Lalu memakai cincin itu di jari tengah tangan sebelah kiri.

"Bapak mau ke Aula?". Andini bertanya.
"Nanti bapak menyusul".
"Andini duluan ya Pak".

Semua santri sudah berkumpul.
Semua panitia juga. Hanya bapak dan mamah yang tidak hadir.  Aku duduk di sebelah Nura.

Hamdi memandu acara.
"Baik, kita akan mendengarkan pesan-pesan penutupan dari Kak Hamid". Hamdi menyerahkan mik pada Hamid.
Hanya warna peci yang membedakan dua wajah itu, jika orang belum mengenal mereka.
Hamid menggunakan peci putih. Hamdi menggunakan peci hitam.

"Assalamualaikum warohmatullihi wa barokatuh"
"Wa'alaikum salam warohmatulloh wa baarokatuh".
"Adik-adik santri rumah tahfidz yang kakak banggakan. Kakak mengucapkan terimakasih banyak atas perjuangan kalian selama ini. Kakak bangga dengan keteguhan dan kesabaran kalian di jalan Allah, hingga kalian bisa sampai pada titik ini. Kalian bisa menerima ijazah sanad hafalan yang artinya hafalan kalian telah diakui, sampai dn sama dengan apa yang diajarkan Rosulullooh saw. Kakak berharap kalian tetap menjadi pengengemban dan pendakwah Al Quran yang tangguh. TAKBIR".
"Allohu Akbar"... Semua santri menggemakan takbir.
"Sebagai rasa terima kasih, kakak akan berikan pada masing-masing kalian sebuah hadiah. Nanti akan dibagiakan oleh Ustadz Mukhlis. Hadiah ini juga sebagai ucapan pamit dari kakak, karena setahun ke depan kakak harus ke Wiena, Austria".

"Koq Hamid ga bilang-bilang sih, koq mendadak?". Aku bertanya pada Nura.
"Iya emang, tadinya yang ditunjuk kantor  bukan Hamid, tapi seniornya. Cuma mendadak istrinya kena stroke. Jadi Hamid yang ditunjuk, baru dikasih tahu dua minggu lalu".
"Oooh". Hanya itu yang keluar dari mulut Andini.

Mukhlis maju ke depan membawa sebuah dus besar.
"Assalamualaikum warohmatullohi wa barokatuh" Mukhlis membuka dengan salam.
"Wa'alaikum salam warohmatulloohi wa barokatuh"
"Baik, adik-adik yang dirahmati Allah, sebelum kakak bagikan hadiah ini, sebagai rasa syukur kita kepada Allah, dan sebagai ucapan terima kasih kita kepada Kak Hamid, kita sama-sama do'akan kak Hamid ya. Semoga Allah selalu menjaganya agar tetap di jalan dakwah, semoga Allah mudahkan semua urusannya, semoga Allah bahagiakan lahir batinnya"
"Semoga Allaah berikan jodoh impiannya". Tiba-tiba Hamdi ikut berbicara.
"Aamiin". Semua santri mengaminkan.
Hamid hanya tersenyum. Datar.

Huda, santri paling kecil dari Garut mengacungkan tangan.
"Iya, Huda, ada yang mau ditanyakan?".
"Kak, kenapa Kak Hamid nyari jodoh jauh-jauh ke luar negri, kenapa ga nikah sama Kak Andini aja?".

Santri yang lain semua bergumam. Semua terdengar seperti dengungan lebah.

Hamid mengambil mik dari Hamdi.
"Kakak ke Austria bukan mau nyari jodoh, kakak mendapatkan tugas dari kantor untuk bekerja di sana". Hamid menjelaskan.

"Baik, sekarang waktunya bagi-bagi hadiahnya ya. Di dalam setiap hadiah ada namanya. Adik-adik, tidak usah mencari kado yang bertuliskan nama masing-masing kalian. Tapi ambil yang paling dekat.
Nanti kalau sudah mengambil semua. Baru dilihat nama yang ada di kado & berikan pada nama yang tertera di kado, kalau bukan nama adik-adik.sendiri. sampai.sini faham?" Mukhlis kembali mengambil alih komando.
"Fahaam"

 "sekarang, adik-adik berbaris ya, buat dua barisan ya, lalu antri mengambil kadonya".
Semua santri patuh pada perintah Mukhlis. Meski terdengar seperti suara berdengung. Para santri saling ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan.

"Sudah dapat semua ya?". Mukhlis memastikan.
"Baik, sekarang.lihat nama yang ada di kado dan berikan kepada yang bersangkutan". Perintah Mukhlis.
"Yang sudah dapat, boleh langsung dibuka ya kadonya".

Suasana jadi ramai. Para santri saling mencari.
Seorang santri mendekat pada Andini.
"Ini punya kakak".
Andini terkejut. Ia menerima kado yang diberikan.
"Aku dapat juga?". Andini bertanya pada Nura.
"Iya, semua dapat. Aku juga dapat". Nura mengiyakan.

Andini membuka kado itu dengan hati-hati.
Sebuah novel yang cukup tebal.
Novel dengan judul  : "Jadilah Seperti Khodijah".
Andini melihat-lihat identitas buku. Nama penerbit dan pengarangnya asing bagi Andini.
"Ini penerbit dan pengarang baru kayaknya ya?". Andini bertanya pada Nura, ingin memastikan.
Nura hanya diam.

#Opey2020
#part3day22
#KompakMenulis
#RevowiterPelita

Lapor : Vivin Indriani.

Gambar : Hasil screenshot dari YouTube : Raefmusic ; More than you & me.

Labirin Cinta Andini part 3

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 3.

Kamu tahu?
Menikah dengan lelaki sholih itu berarti harus bercermin pada Khodijah.
Bagaimana ia rela bermalam-malam sendiri
Karena Muhammad sang kekasih hati, menyerahkan diri pada ilaahi, untuk sebuah tugas suci.

Kamu tahu?
Menikah dengan lelaki sholih itu,
Kamu harus belajar pada Siti Hajar.
Berbilang tahun rela menepi sendiri
Di sunyi gurun tiada bertepi
Sembari meninabobokan sang bayi.
Semua demi bukti bahwa cinta hanya untuk Sang Maha Pencinta.

Kamu tahu?
Lelaki sholih yang Allah pilihkan untukmu,
Ia ada disisimu,
Menjadikanmu wanita paling berharga dan bahagia,
Mungkin bukan karena cintanya padamu,
Tapi cintanya pada Sang Maha Pemberi Cinta, yang menitahkannya untuk memuliakanmu.

Maka beruntunglah,
Mereka yang memilih mencintai
Karena cintanya pada Sang Maha Pencinta ; Allah Yang Esa.

****

Jika matahari dan bulan hadir bersamaan, maka itulah pagi yang penuh keberkahan.
Seperti pagi itu.
Bulan masih memperlihatkan sepenggal dirinya, ketika mentari mulai hadir memberikan kehangatan.

Andini menikmati.semuanya.
Meski pucat, bulan masih terlihat cantik.
Pagi ini mentari masih Allah hadirkan dalam keindahannya, sembari menyapu dingin yang telah memeluk udara sedari malam.

Andini telah berpasrah pada robbnya, akan ujian yang akan dijalaninya.
Ujian hanya sebentar, dari proses belajar. Ujian adalah tangga, untuk menuju tangga ilmu berikutnya.
Pun tak beda dengan ujian kehidupan, hanya sebentar dari fananya dunia yang tak kan lama. Dan ujian kehidupan hanyalah tangga menuju kemuliaan.

Andini sadar, ujian apapun hanya akan selesai, jika ia tahu apa yang diinginkan pengujinya.
Ujian kehidupan adalah tanda bahwa Allah ingin mengundang kita mendekat dan lebih mendekat padaNya.
Dan ujian tasmi kali ini, Syaikh ingin mendengarkan bacaan yang benar serta dilantunkan secara tartil. Andin berhasil memenuhinya.
Ada bahagia tak terkira saat nilai mumtaz, diberikan padanya.
Hanya sujud menghaturkan berjuta perasaan syukur yang bisa dilakukan Andini. Selebihnya, air mata yang menjelaskan semuanya.

Air mata bahagia itu pula yang mewakili rasa bahagia, saat kata-kata tak mampu lagi menggambarkannya. Air mata bahagia, saat Andini melihat Adlan pada layar kecil di genggamannya.

Mama memeluk Andini. Bapak juga. Nura mendekat. Terkesima dengan apa yang ia lihat. Andini sahabatnya telah mendapatkan jawaban dari do'a - do'anya.
Nura menitikkan air mata.

"Ada apa?". Mukhlis bertanya.
"Adlan telah bangun, Mas. Adlan sembuh". Nura menjelaskan.
"Alhamdulillah".

Dari pengeras suara, terdengar suara Hamdi mengajak semua berkumpul kembali di Aula.
Ada nasehat yang akan disampaikan Syaikh Ali.
"Menjadi penghafal Al Quran bukanlah sebuah tujuan, tapi sebuah jalan. Jalan yang panjang menuju keridhoan Allah. Setelah ini ada tugas mulia menanti, yaitu menjaga, mengamalkan dan mengajarkan"

Andini mencerap semua pesannya. Menyimpannya dalam catatan cita-cita dibenaknya.

Masih ada waktu dua hari di vila. Waktu untuk menikmati indahnya alam sambil tetap menjaga interaksi dengan Al Quran.
Entah kenapa, bagi Andinj kali ini waktu terasa sangat lambat berjalan.
Mungkin karena ada rindu untuk.segera mewujudkan kebahagiaan.

****

Semua kabel sudah dilepas dari tubuh Adlan. Dokter mengatakan bahwa Adlan masih dalam masa pemantauan. Setidaknya perlu tiga sampai lima hari.

"Adlan, apa kamu mulai berfikir untuk melaksanakan pernikahan?". Umi hati-hati bertanya.
Adlan tersenyum.
"Aku akan menunggu sampai dokter menyatakan bahwa aku baik-baik saja, aku tak mau menikah jika nanti malah membebani Andini"
"Apa.kamu merasakan ada sesuatu yang sakit, atau sesuatu yang berbeda pada tubuhmu?". Umi bertanya.
"Alhamdulillah semuanya baik-baik saja Mi".
"Alhamdulillah, umi sama abi sudah ngobrol-ngobrol juga sama dokter. Kata dokter tidak ada yang perlu dicemaskan, dokter hanya menjalankan prosedur rumah sakit aja"
"Alhamdulillah". Adlan tersenyum.

Zamzam mengambil kursi. Duduk mendekat.
"Bagaimana di kantor". Adlan bertanya.
"Alhamdulillah semua baik-baik aja kak. Sore ini beberapa perwakilan pegawai mau ke sini" Zamzam menjelaskan.
"Kak, apa kakak tidak mulai berfikir tentang pernikahan, apa.yang bisa aku bantu". Zamzam bertanya.
"Kenapa semua orang terus menerus membicarakan pernikahan?". Adlan bertanya.
"Karena umi ingin kamu bahagia, nak". Umi menjawab bijak.
"Karena Andini telah lama menunggu dan telah lama.berjuang untuk kakak dalam kesendiriannya". Zamzam menjawab.

Senin, 20 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 2

Part 2.

Tidak ada yang salah dengan air mata
Karena Allah ciptakan sebagai pelarut rasa.
Sering embunnya  menjelma derai dalam derita
Kadang muncul kala kata tak mampu lagi ungkapkan bahagia.

Tak ada yang salah dengan air mata.
Meski ia tertumpah di.setiap hitungan pergiliran mentari.
Namun simpanlah deras tetesnya dalam kisi-kisi do'a.
Agar untukmu tak jadi sia-sia.

Tak ada yang salah dengan air mata.
Jika ia bukan pertanda putus asa.
Jika ia bukan jalan untuk tertumpahnya segala keluh kesah apalagi sumpah serapah.
Maka iringilah aliran air di pipi dengan memohon ampun pada ilahi,
Agar sabar dan syukur tak ada yang mencuri.

Maka jika kau lihat jejak.derasnya di mataku,
Karena tak mampu kutahan segala duakaku,
Jangan pandang aku dengan belas kasihan
Biar tegarku tak hambar.
Biar kuat hatiku tak terkuras.
Cukup pegang tanganku
Dan katakan bahwa semua akan berlalu.

Lalu jika deras jejak di mataku tak hilang jua,
Jangan katakan bahwa aku orang yang malang.
Aku sudah sangat menyadarinya.
Namun katakan padaku bahwa aku adalah orang pilihan,
Bahwa aku adalah orang beruntung karena dipilih Allah untuk menyelesaikan sebuah ujian, sepedih apapun ujian itu.
Katakan bahwa diujung ujian ini ada kebahagiaan tak terperikan,
Selepas derasnya air mata tertumpahkan.
Karena
Tidak yang salah dengan air mata.

***

Adlan menatap lekat wajah umi.
Umi hanya mencoba tersenyum. Tak tahu apa yang harus dikatakan.
Zamzam kembali memegang tangan sang kakak.

Adzan maghrib berkumandang.
Zamzam menarik nafas panjang.
"Kita sholat dulu ya Kak".
Zamzam membantu tangan kakaknya menggapai debu di besi ranjang. Lalu memgusapkannya ke wajahnya.
Kabel yang masih menjepit di jari, terasa mengganggu.
Namun tak ada pilihan untuk melepasnya.
Tangan itu mencoba menggapai debu kembali, untuk diusapkan di tangannya.

Adlan khusyuk melantunkan do'a do'a dalam isyarat matanya.
Setelah mata terpejam lama, setelah waktu berlalu entah kemana, kini, betcengkram demgan Robb pencipta alam adalah sebuah kenikmatan tak terperikan.

Zamzam memastikan Adlan bisa melaksanakannya dengan baik dari takbir hingga salam.
Rasa haru menyeruak kembali. Tapi ia tak tahu, ini bukan saat yang tepat untuk menunjukkan air mata.
"Aku ke masjid dulu ya kak, nanti ku kabari tentang Andini".
Zamzam beranjak pamit.

Ia mendekati umi dan abi.
"Abis sholat, nanti Zamzam akan coba video call ke Andini". Zamzam setengah berbisik di telinga umi.
Umi mengangguk.
Zamzam dan abi berangkat ke masjid.

Umi mendekat ke tempat Adlan masih berbaring.
"Alhamdulillah, umi bersyukur, kamu bisa melewati semua ini dengan baik". Umi tersenyum menatap anak sulungnya.
"Al Quran, mi. Lantunan Al Quran yang membuatku bertahan". Adlan berkata perlahan.
Umi tersenyum.
"Umi bacakan Quran ya". Umi menawarkan.

Umi mengambil Quran yang tersimpan di lemari kecil sebelah ranjang. Umi membacakannya. Merdu.
Kemerduan yang mengundang indah kenangan masa lalu.

Ketika masa kecil dulu. Adlan selalu merebahkan diri di pangkuan umi. Dan Umi selalu membacakan Al Waqiah dan al Mulk sampai Adlan tertidur.

Namun kini Adlan tak mau tertidur. Ia ingin menikmati lantunan Quran dari suara merdu umi dengan penghayatan. Syahdu.

Zamzam masuk sambil berbicara dengan seseorang di telpon.
Zamzam menunggu umi membacakan hingga akhir ayat, sebelum memberikan handphone pada Adlan.

Adlan menerimanya.
Di layar terlihat Andini tengah menghafal Al Quran bersama beberapa santri. Ada Nura di sebelahnya.
"Andini sedang persiapan tasmi Al Quran untuk pengambilan sanad, Kak". Zamzam menjelaskan.
"Ini aku telpon ke HP mamanya Andini, takutnya malah Andini terganggu jika mendengar kabar yang terlalu membahagiakan". Zamzam menambahkan.

Adlan menatap layar handphone lamat-lamat.
Iya, itu Andini. Ia tengah memegang Al Quran. Bibirnya tampak bergerak-gerak membacakan ayat-ayat.
Adlan tersenyum. Pada wajah pucatnya tergambar rasa haru.

"Andini akan ujian mengambil ujian pengambilan sanad pada Syaikh Mansur Ali dari Mesir". Zamzam menjelaskan.
"Ujiannya lusa".
Adlan tersenyum.
"Aku tidak akan mengganggu hafalannya, aku akan menunggu sampai ujiannya selesai". Adlan menjelaskan.

Akhirnya hari itu tiba.
Hari untuk Andini menyetorkan hafalannya di hadapan Syaikh Mansur Ali.
Zamzam sengaja mengambil laptop untuk moment ini. Video call lewat handphone mama Andini via laptop. Semua demi kakak yang disayanginya.

Adlan seperti menyaksikan siaran langsung.
Ia mengikuti prosesi Andini menyampaikan hafalannya ayat demi ayat.

Adlan merasa ada di sisi Andini.
Adlan merasa familiar dengan suasana seperti ini. Adlan merasa sudah sangat sering mendengarkan lantunan ayat-ayat yang dibacakan Andini.
Ayat yang sama. Suara yang sama.

Adlan menyaksikan semuanya.
Adlan melihat Andini mendapatkan pujian dengan nilai Adlan melihat Andini sujud syukur.
Hingga akhirnya Adlan bisa menatap wajah Andini di layar laptop. Wajah yang dirindukannya.

Sabtu, 18 Januari 2020

Labirin Cinta Andini part 1

Labirin Cinta Andini.

Kamu tahu,
Hidup adalah petualangan antara tangis dan tawa.
Jangan lihat bahwa tangis semata hanya kepedihan
Pun tawa tak semata tentang bahagia.
Kadang Allah jadikan kebalikan
Bukankah ayah dan ibu menyambut kita dengan bahagia saat kita hadir di dunia dengan tangisan?

Kamu tahu
Hidup ini hanyalah permainan.
Allah hadirkan kita di dunia ini untuk bermain memerankan peran yang Dia titipkan.
Bukankah dalam permainan kita temukan kebahagiaan? Meski kadang hati dihinggapi kekesalan jika kekalahan yang kita dapatkan.
Namun tetap saja permainan adalah sebuah kebahagiaan.
Bahagia, jika kita jalankan permainan ini sesuai aturan.
Lalu aturan siapa yang akan gunakan?


***

"Laa haula wa laa quwata illaa billaah"
Bibir Adlan berdzikir lirih.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah".

Bi Lina mendekati.
Degup jantungnya berdegup kencang. Ia menatap lekat.
Tidak.
Ini tidak salah. Adlan tengah melantunkan dzikir.
Cepat ia menombol tombol untuk memanggil perawat.

Seorang perawat lelaki segera datang.
"Ada apa Bu?". Ia bertanya.
"Adlan, ia mengatakan sesuatu".

Perawat langsung memantau layar monitor di dinding yang menunjukan tanda-tanda kehidupan.
Memastikan semua kabel-kabel yang terpasang di dada dan di tangan Adlan.

"Ibu sendiri di sini?". Tanya perawat.
"Yang lain sedang dalam perjalanan menuju ke sini".
Perawat mendekat. Melihat ke arah wajah Adlan.

Adlan tengah berjuang.
Dalam dzikirnya ia merasa seperti dalam lorong waktu berbentuk kumparan.  Tubuhnya meluncur dalam kumparan lorong waktu itu. Kumparan waktu berwarna putih, makin jauh kumparan itu membiaskan warna pelangi. Tubuh Adlan terus meluncur mengikuti spiral lorongnya.
"Laa ilaha lillaah, laa haula wa laa quwata illa billaah". Volume suara Adlan meninggi.

"Mas, bisa dengar saya?". Perawat bertanya pada Adlan.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah". Bibir itu masih berdzikir.

Perlahan matanya membuka. Mata yang disambut sinar yang menyilaukan, namum menangkap bayangan yang buram. Di mata Adlan, ada delapan bayangan wajah yang buram milik.seseorang. wajah yang tengah menatapnya. Wajah perawat.
"Laa haula wa laa quwata billaah".

Pintu kamar perawatan terbuka.
Umi, abi, Zamzam, Dinda baru saja tiba.
Bi Lina tergopoh mendekati.
"Adlan, Adlan". Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Bi Lina.
"Ada apa?". Umi bertanya cemas.

Zamzam tak bertanya. Ia langsung menuju tempat Adlan terbaring.
Adlan masih melantunkan dzikir.
"Laa haula wa laa quwata illaa billaah". Namun matanya mulai terbuka.

Pelan tapi pasti, mata itu bisa menangkap bayangan dengan utuh. Tak ada lagi pembiasan cahaya.
"Kak, alhamdulilah,". Dua kata keluar dari bibir Zamzam.
Zamzam memegang tangan kakaknya erat.
Ada keharuan menyeruak di dadanya. Haru yang harus ditahan derunya agar tak menderas jadi air mata.
Tidak. Zamzam khawatir, jika ia menangis akan melemahkan kakaknya yang baru terbangun.

Mata yang selama berbulan-bulan tertutup, kini telah terbuka.  Penantian yang lama akhirnya tiba pada waktunya.
Do'a-do'a yang tak henti dipanjatkan oleh orang-orang yang mencintai Adlan telah dikabulkan.
Pintu langit yang telah lama diketuk kini telah membukakan rahmatNya.
Bahagia kini tengah menampakkan dirinya setelah beberapa purnama bersembunyi dalam tanya.
Adlan telah sadar.

"Adlan, kamu sudah bangun, nak?, alhamdulillaah ya Allah, alhamdulillaah". Umi bertanya. Matanya berembun. Embun yang mulai jatuh membentuk sungai kecil di pipi.

Adlan mencoba tersenyum.
"Umi, Abi". Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Dokter jaga datang bersama seorang perawat. Memeriksa dan memastikan keadaan Adlan.
"Gimana, Mas, apa yang dirasa?". Dokter bertanya.
"Sedikit pusing". Jawab Adlan pendek.
Perawat memasangkan alat pengukur tensi darah. Mencatatnya.
"Normal dok". Kata perawat.
Setelah melapor. Ia mencatatnya.

"Kabel-kabelnya belum dicabut dok?".
Zamzam bertanya.
"Kita tunggu dokter Arman dan Dokter Dwi, ahli syaraf & ahli penyakit dalam". Jawab dokter jaga.
"Baik dok".

Adlan masih terlihat lemas.
Ia menatap semua satu persatu.dengan lekat.
Umi yang menatapnya dalam haru dan bahagia.
Abi yang selalu terlihat tegas dan berwibawa, kini wajahnya tak lagi menyembunyikan bahagia yang luar biasa.
 Bi Lina, adik bungsu abi yang selalu mengasuh dan menemaninya dari kecil, menemukan kebahagian tak terhingga. Seperti bahagianya seorang ibu yang telah menemukannya kembali setelah beberapa lama menghilang.
Zamzam, adik yang begitu ia sayangi. Adik yang selalu dijaga dan dibimbingnya dalam menghadapi segala macam permasalahan kehidupan yang dihadapi. Adik, teman berjalan, teman berpetualang dan kadang jadi teman berantem seperti sparing partner.
Dinda adik ipar sahabat Andini.
"Andini?". Adlan bertanya menatap semuanya satu persatu.
Seilah berharap salah satu diantara mereka bisa membawa Andini ke.sisinya saat itu juga.
"Andini?". Kedua kali Adlan bertanya.

Selasa, 14 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 40

Part 40.
"Aku juga punya ujian. Mungkin lebih pilu dari ujianmu. Entahlah, aku selalu merasa ujianku lebih berat dari yang lain". Tiara bercerita. Di kamar, usai kajian. Teman-teman yang lain menggunakan masa terjaga untuk menambah tilawah.
Aku berdua dengan Tiara di kamar.

"Aku dulu hampir menikah. Lewat proses ta'aruf. Setelah nadzor & istikharah, kami putuskan maju ke pelaminan.
Pihak keluarga Dzul sudah ke rumahku. Dari keluargaku juga sudah ke rumah Dzul. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Tiga bulan dari kunjungan keluarga Dzul".
Tiara terdiam. Nampak berat untuk melanjutkan.

"Mommy & Papa sebenarnya sudah lama hubungannya bermasalah. Papa selain sibuk, juga sangat dekat bahkan menurutku terlalu dekat dengan sektarisnya. Mommy waktu itu ketemu dengan sahabat lamanya waktu SMA saat reuni. Sahabat mommy sekarang sudah menjadi pengusaha dan  tokoh agama.  Akhirnya rumah tangga Mommy & papa tidak bisa dipertahankan. Sebulan sebelum tanggal pernikanku, mommy dan papa bercerai"
Tidak ada air mata yang mengalir di pipi Tiara. Yang  mengembun pun tidak. Tiara yang tegar. Aku tetap menyimak.

"Kabar itu akhirnya sampai pada Dzul dan orang tuanya. Ibunya Dzul meminta agar rencana pernikahan kami dibatalkan. Dzul sebenarnya keberatan. Tapi dia sadar betul kalau anak lelaki adalah milik ibunya. Maka pernikahan pun batal".
Aku memeluk Tiara. Aku bisa merasakan sakitnya seperti apa. Dua luka yang datang bertubi-tubi.

"Tiara sekarang tinggal sama siapa?". Aku memberanikan diri bertanya.
"Aku kos. Aku tinggal sendiri. Adikku yang laki-laki memilih pergi jadi TKI di Saudi".
"Ga memilih tinggal sama mommy atau papa?"
"Mommy jadi istri keduanya ustadz pengusaha, teman SMAnya. Papa menikah dengan sekretarisnya. Sekretarisnya usianya sudah diatas tiga puluh. Papa pernah ijin mama untuk menikahinya, tapi mommy tidak bisa terima dan mengancam akan menceritakan semua aib papa pada eyang, ayahnya mommy. Dulu apa menjalankan perusahaan punya eyang, tapi setelah digugat cerai oleh mommy, papa juga dipecat oleh eyang, sekretarisnya juga. Papa sekarang punya perusahaan sendiri. Dan pelanggannya adalah pelanggan lama waktu masih pegang perusahaan kontraktor punya eyang".
"Kamu hebat Tiara". Aku menyemangati.
"Aku tak menyangka bahkan aku pikir yang lainpun tak ada yang menyangka kalau kamu punya beban seberat itu".
Tiara tersenyum.

"Tiara tidak mencoba membuka hati, tidak coba ta'aruf lagi?". Aku bertanya hati-hati.
"Sudah kucoba beberapa kali. Tapi belum ada yang berhasil".
"Masih menunggu Dzul?". Aku sebenarnya agak khawatir Tiara akan tersinggung dengan pertanyaanku.
"Ngga, Dzul anak yang tidak berani melukai hati ibunya. Tapi Dzul memang belum menikah. Dia melanjutkan studi ke Denmark. Dia sekarang tinggal di Kopenhagen".
"Kalian masih suka komunikasi?"
"Sesekali. Kami tahu posisi kami. Meskipun Dzul belum juga mau membina rumah tangga. Semoga dia segera Allah pertemukan dengan jodohnya".
Tiara menarik nafas panjang.
Hatiku membisikkan do'a untuk Tiara. Semoga ibunya Dzul Allah bukakan hatinya untuk mau menerima Tiara apa adanya.

****

Meski waktu terasa sangat lambat dalam jadwal padat di RPQ ini, aku menikmatinya.
Sudah tiga purnama aku tinggal di sini bersama semua sahabat seperjuangan. Tidak selalu mulus memang. Ada saja masalah. Tapi masalah adalah cara Allah mendewasakan. Semua bisa teratasi.

Hari ini aku ijin untuk pulang selama lima hari. Tiga hari lagi aku wisuda. Setelah itu aku bersama keluarga rumah tahfidz akan ikut kegiatan pengambilan sanad di Vila Dewi.

Hari pertama, aku langsung menuju rumah sakit. Ada rasa bersalah karena lama tak menengok Adlan yang masih terbaring. Walaupun komunikasi dengan umi.dan abi tetap terjalin lewat voice call. Umi dan Abi juga rajin mengirimkan foto-foto Adlan.

Seperti biasa. Umi selalu menyambutku dengan pelukan.
Ada gurat lelah yang semakin pekat di wajah umi dan abi.
Aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Tapi aku tahu mereka kuat. Maka aku juga harus kuat.

Pagi itu ada Zamzam dan Dinda di rumah sakit. Nampaknya Zamzam sudah sembuh. Ada bayang kesedihan di mata Dinda. Mungkin karena belum juga ada tanda-tanda bahwa mereka akan Allah titipkan momongan. Aku hanya bisa mendoakan.

Aku langsung minta ijin untuk membacakan Quran.
Tak terasa tujuh juz kali ini bisa kubacakan. Hanya ditemani sebotol minum air mineral. Aku bersyukur.
"Mas, besok Andin wisuda". Lirih ku berkata pada Adlan yang terbaring. Aku hanya punya keyakinan bahwa Adlan mendengar meski tak bereaksi sama sekali.
"Mas, lusa Andin mau tasmy dan ngambil sanad hafalan. Terima kasih ya Mas, sudah membimbing Andin jadi hafidzoh". Mataku mengembun lagi.
"Ayo Mas bangun, kita menghafal bersama. Bangun mas".
Tiba-tiba ada kehangatan di bahuku. Tangan umi.
Aku memeluk umi. Kali ini tangisku pecah di peluknya.

Setelah isakku mereda aku pamit. Banyak yang harus disiapkan untuk wisuda.
"Nanti pas acara wisuda, Andin tunggu di kampus ya". Begitu pesanku pada umi, abi, Zamzam dan Dinda.

Wisuda. Sesuatu yang sangat dinanti semua mahasiswa setelah berjibaku dengan aneka mata kuliah, aneka tugas juga aneka ujian. Akhirnya sampai juga waktuku.

Aku merias diri dengan riasan sederhana. Gamis batik warna hijau dari Butik Ibu Nura itu yang kukenakan di acara spesial ini.

Mama, Bapak, dan semua pengurus yayasan mengantar aku dan Nura yang sama-sama wisuda di gelombang kedua ini.
Nura semakin gendut saja. Terlihat semakin kepayahan di usia tujuh bulan kehamilan.
Kami kumpul di rumah tahfidz. Semua santri dan ustadznya ikut. Karena setelah wisuda akan langsung menuju Vila Dewi. Ada enam mobil yang disiapkan untuk mengangkut semuanya. Ada tiga mobil sewaan, selebihnya adalah punya bapa, Hamid, Hamdi dan Mukhlis.

Mobil berjalan beriringan. Konvoi. Mungkin aku dan Nura lah yang pengantarnya paling banyak. Sebagian orang mungkin akan mengira kalau ini adalah konvoi mengantar pengantin.

Seperti biasa. Acara yang paling menarik adalah saat foto-foto.
Aku berfoto bersama Nura dan semua keluarga besar pengurus yayasan.
Aku juga menyempatkan diri berfoto berdua dengan Nura.

Aku tengah berfoto bersama keluarga angkatku. Ibu Nura, Nura, Hamid, Hamdi, Arina dan Rika ketika Zamzam, Dinda, umi dan abi tiba. Entahlah aku selalu menangkap pandangan tidak suka dari Zamzam jika bertemu Hamid. Tapi sudahlah.
Aku langsung berfoto dengan keluarga umi abi. Tanpa Adlan.

Setelah berbincang sejenak. Aku pamit pada umi abi.
"Kami mau ke Vila Dewi bersama rombongan santri rumah tahfidz. Syaikh Masur Ali dari Mesir sudah terlebih dahulu tiba di Vila Dewi".

Umi memelukku erat. Aku balas memeluknya.

Konvoi dilanjutkan menuju Vila Dewi di puncak.
Meski ada beberapa titik kemacetan, kami menikmati perjalan ini.

Suasana sejuk menyambut kami. Hamdi bersama Mukhlis langsung membagi kamar untuk santri. Hamid menemui Syaikh Mansur Ali. Diantara kami semua, Hamid yang paling fasih berbahasa inggris dan bahasa Arab.

Aku langsung ke kamarku bersama bapak dan mama.
Kasur yang empuk di rumah kayu. Tanpa pendingin ruangan pun, kamar ini.sudah dingin.
"Bada Ashar kita kumpul di Aula". Pesan masuk di group YRT Perindu Surga. Group whatsapp Rumah Tahfidz.

Hamdi sebagai ketua acara memimpin semua kegiatan.
Mukhlis membagi jadwal untuk tasmi dan pengambilan sanad. Semua dibagi menjadi 3 bagian. Tiga hari.
"Anti mau ngambil jadwal pertama atau terakhir?". Mukhlis memberikan aku pilihan.
"Terakhir". Jawabku pendek.

Suasana selalu ditutup dengan syahdu setiap selesai kegiatan tasmy dan pengambilan sanad. Hingga giliranku tiba.
Hatiku sibuk meluruskan niat. Aku melakukan semua untukMu ya Allah, bukan untuk makhluqMu, siapapun ia. Aku hanya ingin ridhoMu ya Allah, bukan yang lain. Aku hanya ingin memujiMu, aku memohon ampun, dan berlindung padaMu sekiranya ada pujian yang ditujukan padaku.

Sama seperti santri yang lain. Syaikh Mansur Ali menyimak dengan seksama hafalanku. Semua santri hadir menyaksikan. Bapak dan pengurus yayasan turut hadir juga. Aku tak melihat mama. Biasanya mama memang sibuk memastikan konsumsi untuk kami.

Tasmi dimulai. Kulantunkan kalam ilahi sepenuh hati. Hanya berharap ridho dan kasih sayangNya saja. Tak ada harapan lain.
Sepuluh juz aku lantunkan.
"Mumtaz". Begitu aku dengar Syaikh berkata usai kuselesaikan hafalan.
Air mataku berderai. Terima kasih ya Allah.

"Andin". Mama memanggil.
Aku mendekat.
"Adlan menelpon, video call". Mama menyerahkan handphonenya.
Di layar handphone aku melihat Adlan tersenyum. Tengah duduk bersandar di tempat tidur rumah sakit. Tanpa kabel-kabel yang selama ini selalu terpasang.
"Mas Adlan sudah sembuh?". Aku bertanya dalam air mata bahagia.

TAMAT

Senin, 13 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 39

Part 39.

Bapak duduk.di depan.
Aku di belakang bersama mama.
Sepanjang jalan bapak dan Hamid asyik berbincang tentang investasi. Mereka nampak sangat klop.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku hanya menangkap bagaimana membesarkan dan membuka rumah tahfidz dengan dana-dana investasi yang memungkinkan.

Hamid banyak membicarakan tentang konsep sedekah.
"Bagi saya, Pak, sedekah itu seperti menyimpan harta di langit. Ketika sudah tersimpan di langit maka ia akan terus berputar seperti siklus air. Ketika harta kita sudah banyak dalam arti persentasenya, Allah akan turun pada kita lagi, menyirami dan menumbuh suburkan benih-benih kebaikan entah harta entah kebaikan yang kita semai di bumi. Dalam Al Quran disebutkan sedekah itu seperti kita menumbuhkan tujuh ratus daun dari apa yang kita tanam. Bayangkan, tujuh ratus daun itu berapa tangkai. Nah, tiap tangkainya kita bisa perbanyak lagi dan terus begitu.
Itu ketika kita hidup di dunia".
Hamid terdiam sejenak.

Bapak dari tadi memyimak. Aku juga. Mama pun begitu.
"Ketika kita mati, apa yang kita simpan di langit akan meresap ke tanah kan. Sementara kita  jasad kita berada di tanah. Bagi saya itulah permisalan yang pas bahwa kebaikan dan sedekah yang kita simpan di langit akan jadi pahala yang tidak putus-putusnya. Semakin besar yang kita tanam di langit, semakin berlimpah yang turun dan menyerap ke tanah, sampai pada jasad yang di dalamnya".
"Masuk akal juga". Bapak menganngguk.

"Selain itu pak, saat hujan adalaj saat yang penuh keberkahan, diantantaranya  Allah jadikan sebagai waktu yang mustajab. Semakin banyak kita menyimpan harta dan kebaikan di langit semakin banyak do'a kita yang Allah kabulkan. Sudah banyak kisahnya Pak".
Hamid kembali menjelaskan.

"Nak Hamid ngga kepengen menikah?". Bapak bertanya.
"Kepengen tentunya Pak?"
"Belum dapat yang sesuai kriteria bukan?".
Hamid hanya tersenyum. Tak menjawab.

Vila Dewi. Akhirnya kami sampai juga. Tidak terlalu jauh jalan raya. Sekitar dua kilo meter. Tapi nuansa pegunungan sangat terasa.
Hamid segera menuju resepsionis.
Aku, bapak dan mama duduk di kursi-kursi kayu di lobi. Kursi jati ukir yang unik.
Tak lama Nura dan Mukhlis menyusul.

"Andini udah bilang ke Ummu Fatin kan kalau kita mau studi banding?". Bapak memastikan.
"Sudah Pak, nanti Abi Fatin yang akan menjelaskan secara detail di kantornya. Ga jauh dari RPQ, kata Ummu Fatin begitu".
"Andin mau ikut bermalam di.sini atau mau langsung ke RPQ?"
"Andin minta ijin sampai magjrib Pak".

Hanya sekitar satu jam saja aku berada di Vila Dewi. Aku harus segera kembali sebelum maghrib. Bapak dan Hamid mengantarkan. Mama, Nura dan suaminya memilih beristirahat menikmati indahnya suasana alam pegunungan di Vila Dewi.

"Assalamualaikum". Aku langsung menyapa teman-teman.
Bapak dan Hamid bertemu dengan abi Fatin.
Aku ke dapur menghangatkan masakan.

Usai sholat Isya, Bapak dan Hamid pamit. Aku salim. Lalu menuju ke ruang dapur. Acara belum dimulai.
Ku keluarkan mangkuk plastik sekali pakai.yang sengaja ku bawa tadi dari rumah.
Delapan belas mangkuk. Tidak ada yang penuh. Tapi lumayan untuk dicicipi. Sepertinya teman-teman di sini juga masih pada kenyang, walaupun jadwal makannya sebelum maghrib.

"Teman-teman aku bawain sop seafood nih sama fuyunghai". Aku memanggil semua setengah berteriak.
Semua datang. Beberapa masih menggunakan mukena & membawa mushaf Al Quran.
"Enak, Din. Ini siapa yang masak?". Adila bertanya.
"Kakak aku, yang tadi mengantar". Jawabku.
"Kakak apa kakaaak?". Tiara meledek setengah bercanda.
"Anak tinggal kan ga punya kakak". Nauli ikut-ikutan.
Aku merasa tersadarkan kembali.
"Kakak angkat, kakaknya sahabat aku".
"Dalam islam ga ada kakak angkat loh, adanya kakak sepersusuan". Tiara kembali mengutarakan pendapatnya.
Aku terdiam. Iya. Aku sudah tahu. Namun aku sering lupa.

"Foto dulu ya, ayo merapat ke meja" aku mengambil komando.
Semua memilih mengikuti.
Lalu ku foto dengan beberapa pose.
Foto terbaik aku kirim ke Hamid.
"Kak, kata teman-teman sopnya enaak. Fuyunghainya juga. Makasih banyak ya".
Ada misi tersembunyi dalam foto itu. Aku berharap  dan berdoa' salah satu temanku di sini bisa membuka mata dan membuka hati Hamid. Itu tujuan dan alasanku minta jatah sop yang dimasak Hamid

Pengajian malam akan segera di mulai. Kami bergegas ke aula. Di belakang RPQ.

"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)"

Abi Fatin membacakan hadits.
Kami menyimak.
"Syukur adalah aktifitas menyebut-nyebut nikmat pemberian Allah. Dan ini kita tidak akan sanggup menghitung semuanya. Namun tetap menjadi kewajiban bagi kita sebagai seorang hamba untuk menyebutnya. Mengatakannya dengan lisan. Ya Allah saya bersyukur atas nikmat darimu berupa ... Sebutkan. Sebutkan yang kita bisa, setiap bangun tidur dan sebelum kita tidur. Biasakan untuk berterima kasih pada Allah. Dan syukur yang pertama kali harus dilakukan adalah bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan untuk mensyukuri".
Abi Fathin terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
"Adapun Sabar itu adalah tetap istiqomah apapun keadaanya. Maka sabar merupakan tingkat sukur yang lebih tinggi. Apapun dan bagaimanapun keadaannya. Sesulit apapun situasinya, kita tetap istiqomah untuk menerima dan mensyukuri pemberian Allah. Maka jika kita bersabar atas musibah, itu artinya kita tetap bersyukur pada Allaah walaupun saat musibah, pemberian Allah dirasa pahit. Tapi karena kita harus tetap istiqomah bersyukur. Maka ketika kita sabar saat tertimpa musibah artinya kita tetap bersyukur apapun keadannya".

Jleb. Perkataan Abi Fatin terasa menampar kesadaranku.  Terbayang Adlan yang tengah terbaring lama dalam koma.
"Yaa Allah, ampuni hambaMu yang selama ini tak pernah bersyukur".

Aku mencoba menerjemahkan pesan yang disampaikan abi Fatin dalam kalimat do'aku.
"Yaa Allah, ampuni hamba. Yaa Allah hamba bersyukur padaMu atas kesadaran untuk bersyukur, atas ilmu yang kau berikan tentang syukur. Yaa Allah, hamba bersyukur telah kau pertemukan dengan Adlan. Yaa Allah, meskipun Adlan tengah terbaring koma setelah sekian lama, dan entah sampai kapan akan terjaga, jika sakitnya itu adalah jalan kebaikan untuk kami, hamba terima ya Allah. Terima kasih ya Allah. Karena dengan perantara sakitnya Adlan, hamba bisa mendekat padaMu, mencari jalan untuk menjadi ahliMu".
Tak bisa ku tahan air yang mengalir begitu saja dari mataku.
"Andini?". Tiara berbisik di telingaku. Tangannya memeluk pundakku.
Aku menahan agar tak terisak di tangan tiara.
Biarlah mata ini mengalirkan airnya. Melarutkan duka sesalku.