Minggu, 05 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 31

Part 31.
"Assalamualaikum". Pintu kamar diketuk.
Aku mengusap mataku dengan tisu.  Kupastikan di.layar handphone kalau mataku, wajahku tak.sedikit pun memancarkan kesedihan.
"Assalamualaikum". Salam kedua.
"Wa'alaikum salam".
Aku bergegas menuju pintu.

Bibi berdiri dengan nampan di tangannya.  Ada teko kaca dengan teh di dalamnya. Cangkir yang berisi teko, sepiring aneka gorengan dan satu toples kue keringat.
Bibi masuk tanpa dipersilahkan.
Menyimpan nampan di atas meja.

"Neng, kalau mau mandi, handuknya ada di sini ya". Bibi membuka pintu lemari baju paling kanan.
Aku mendekat. Ada handuk kimono di gantungan baju. Beberapa jaket.
Di bawahnya beberapa handuk terlipat rapi.
"Bibi yang merapikan ini?". Aku bertanya.
"Iya Neng, semua keperluan Mas, bibi yang bantu"
Bibi membukakan pintu lemari sebelahnya. Kemeja kemeja tergantung rapi. Aroma pewanginya tercium lembut.
Bibi membukakan pintu terakhir. Mungkin bibi ingin memberitahukan aku tentang bagaimana Adlan mengurus pakaiannya.
Ada beberapa jas di gantung rapi. Kebanyakan jas hitam dan abu-abu. Satu jas berwarna coklat. Satu lagi jas berwarna broken white, jas yang harusnya dipakai saat pernikahan kami.
Jantungku berpacu cepat. Desir-desir perih di hati kembali hadir.
"Bi, kalau di bufet itu isinya apa?". Aku mencoba mengalihkan perhatian.

Bibi melangkah ke arah bufet. Aku mengikuti.
Laci bagian atas dibuka. Ada beberapa kotak transparan berisi dasi, lengkap dengan pin jepitannya. Ada beberapa kotak berisi jam tangan. Semua jam jarumnya masih bergerak.

Aku terenyuh. Harus jam tangan itu melingkar di tangan Adlan. Berdetak bersama jantung pemiliknya. Menjadi penunjuk waktu, menjadi pengingat jadwal kegiatan harian yang harus dilakukan. Kini jam itu berdetak di sini. Sementara pemiliknya terbaring, sepi hanya ditemani detak jantungnya sendiri.
Mataku mengembun lagi.

Bibi membukakan lemari di bawah laci. Ada kamera DSLR. Ada beberapa barang elektronik yang aku tak mengerti untuk apa.  Pintu bufet sebelahnya dibuka. Ada koleksi DVD. Ada beberapa kotak kado yang terbungkus rapi.
"Ini kado untuk Neng Andin, Bibi dulu ikut bantuin bungkusin". Aku hanya menganngguk. Tak kuasa berkata-kata.

Ada album foto. Bibi mengambilnya, menyodorkan padaku.
"Ini foto-foto Mas Adlan" kata Bibi. Aku menerimanya.
Ku buka halaman demi halaman. Foto dari bayi, Foto saat menerima piala dan penghargaan di bangku sekolah hingga kuliah.  Foto bersama teman-teman dari aneka komunitas. Semuanya lengkap. Semuanya penuh keceriaan. Ada rasa bahagia saat memandangi setiap gambarnya.

"Mas Adlan anaknya baiiik banget, sayang sama umi, sama abi, paling sering bantu, paling sering ngasih hadiah, sering ngajak jalan-jalan juga. Anaknya sopan, tapi suka bercanda. Bibi ngasuh Adlan dari kecil. Ga pernah ngerepotin". Bibi bercerita.
"Waktu SMA sama kuliah, suka ada anak gadis ke sini, nanyain Adlan, bawain makanan, bawain hadiah, banyak yang suka sama Mas Adlan. Neng Andini pokoknya beruntung bisa dapetin Mas Adlan". Tiba-tiba bibi terdiam.
"Waktu mau.berangkat ngambil baju pengantin sebenarnya bibi udah ga enak perasaan, cuma bibi ga tahu dan ga bisa nahan". Bibi mulai berkaca-kaca.
"Tapi bibi yakin Mas Adlan bakal sembuh koq, bibi mimpi berkali-kali lihat Mas Adlan kerja lagi, cuma kerjanya sambil bawa Quran".
"Iya Bi, Andin juga yakin koq kalau Mas Adlan bakal sembuh & kembali berkumpul bersama kita". Aku mencoba meyakinkan diriku. Meyakinkan bibi

Adzan Ashar berkumandang. Syahdu terdengar.
"Biasanya Mas Adlan kalau libur suka adzan juga di masjid". Bibi bercerita lagi.
"Suaranya bagus, adzannya enakeun, bibi kangen denger suara adzannya Mas Adlan". Bibi menangis lagi.
"In syaa Allah nanti Mas Adlan akan adzan lagi koq Bi". Aku mencoba menghibur.
Bibi menganngguk.
"Ayo neng kalau mau sholat. Wudhunya di sin"i. Bibi melangkah ke pintu kamar mandi yang tersembunyi, terhalang rak gantung.
"Iya Bi"
"Sebentar bibi bawakan mukena ya". Bibi menawarkan.
"Ga usah Bi, Andin bisa sholat pake baju ini". Aku menerangkan.

Bibi berjalan ke arah lemari.
"Perlu bawahan ga?, kalau perlu ini pake sarungnya Mas Adlan aja".
"Boleh Bi"
Bibi menyodorkan sajadah dan sarung padaku.
"Bibi tinggal dulu ya". Bibi pamit meninggalkanku di kamar ini.sendiri.

Aku segera mengambil wudhu.
Sholat syukrul wudhu.
Sholat qobliyah ashar
Sholat ashar. Kutunaikan.
Lama kusampaikan aneka pinta dalam.sujud-sujud terakhirnya.
Meminta agar Allah kuatkan. Memohon agar Allah tambahkan kesabaran. Menyampaikan keinginan agar mas Adlan bisa segera sembuh, dan bisa membersamaiku melewati hari mencari ridhoNya.
Basah. Selalu basah sajadah setiap aku bangkit dari sujudku.
"Yaa Robb, bukan hamba tak ridho dengan taqdirMu, namun hamba hanya ingin mengadu padaMu, agar ringan duka ini, agar terbasuh pedih perih duka ini, agar lapang dada dari sesaknya harap yang belum tiba".

Usai salam, panjang kulirihkan dzikir. Panjang kusampaikan aneka harap dalam tengadah tangan. Sembab mata ini mengirinya.
Lalu kubaca dzikir sore. Berharap menjadi perisai dari jahatnya serangan godaan musuh utama manusia ; syaitan yang terlaknat. Berharap syaitan tidak mencuri bahagiaku, tidak menghembuskan keputus-asaan akan pertolongan Allah.

Setelah kuusap wajahku dengan kedua telapak tangan seusai mengucap kata aamiin, aku melipat sajadah juga sarungnya.
Aku berjalan ke arah lemari. Membuka pintunya. Menyimpan kembali sajadah dan sarungnya.
Entah kenapa aku tergoda untuk membuka laci di dalam lemari.
Ternyata tidak dikunci.
Keraguan sempat menyapa. Ini bukan milikku dan aku belum jadi istrinya. Tapi bisikan hati mengalahkan keraguanku.
Akhirnya kubuka juga lacinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar