Jumat, 21 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 23

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani SulaemanUmmuAhmad )

Part 23

Hidup adalah kesempatan untuk menikmati kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam petualangan antara tangis dan tawa.
Hidup adalah perjalanan dari satu taqdir ke taqdir betikutnya.
Layaknya sebuah petualangan, selalu ada tantangan dan rintangan yang harus ditaklukan.
Setiap berhasil menaklukan tantangan maka akan ada hadiah yang didapatkan. Hadiah itu adalah kebahagiaan.
Sementara dalam setiap langkah, dalam setiap hembusan nafas, dalam setiap niat yang terbersit, akan selalu ada point catatan yang terus berjalan. Apabila positif semuanya, catatannya akan terus berjalan ke arah positif.
Apabila negatif catatannya, maka perjalanan itu terus meniti angka negatif tinggi berikutnya.
Dan hijrah adalah proses perjalanan dari angka negatif tempat dia berada menuju titik nol dan angka-angka positif betikutnya.

Setiap manusia adalah pendosa. Hanya Rosulullooh Muhammad saw yang maksum.
Dan setiap istighfar adalah penghapusnya. Jika dosa adalah perjalanan menuju titik negatif, maka istighfar adalah cara untuk mengembalikan pada titik positif.

Adlan menyadari itu. Maka kalimat istighfar itu selalu ia perdengarkan pada Utsman setiap pagi.
"Aku ingin Utsman menjadi hamba yang diampuni Allah, agar mudah baginya untuk mendapatkan pertolongan Allah" begitu Adlan berkata pada Andini.
"Aku ingin Utsman dan Umar menjadi keluarga Allah, menjadi pengemban dan penghafal serta penjaga Al Quran" begitu yang diinginkan Andini.
"Itu impianku sedari dulu" Adlan menyambut apa yang dikatakan Andini.

Dan rumah itupun seolah bersinar dengan Al Quran. Setiap usai sholat, Andini berusaha membaca Al Quran meski sambil berdiri menggendong Utsman. Atau sambil tidur sembari menidurkan Utsman.

Sering juga Andini membawa Utsman main ke rumah tahfidz ketika ada tasmy. Untuk pembiasaan dan afirmasi. Begitu fikir Andini.
Kadang Andini mengajak Dinda untuk turut hadir juga membawa Umar.
Maka tiga ibu muda biasanya hadir untuk membiasakan anak-anak mereka pada proses tasmy. Andini, Dinda dan Nura.

Kebersamaan selalu membawa kebahagiaan. Namun tak jarang kebersamaan juga menjadi ajang berbangga diri akan apa yang Allah titipkan.
Mungkin sudah menjadi fitrah manusia dalam saling berbangga mengenai harta dan anak-anak.
Itulah yang juga terjadi antara tiga ibu muda.
Mereka saling bertanya, sudah bisa apa anak-anak mereka.
Hanya saja, ketika iman jadi landasan, maka saling berbangga itu menjadi ajang fastabiqul khoirot. Ajang untuk saling meningkatkan diri dalam kebaikan dan perbaikan.
Saling berbagi tips.

"Hanana paling cantik nih, siapa nanti ya yang beruntung dapetin Hanana?" Dinda bertanya.
"Apa mungkin salah satu dari si kembar?" Nura menjawab.
Ada semburat wajah yang sulit untuk diterjemahkan, terpancar dari wajah Dinda.
Andini faham itu.
"Sayang ya Umar dan Utsman usianya lebih kecil dari Hanana" Andini mencoba menengahi.
"Cuma beda sembilan bulan, Khodijah sama Rosululloh beda 15 tahun" Nura menyanggah.
Sanggahan yang disambut dengan tawa dan canda.

Waktu tak pernah berhenti. Demikian juga rizqi yang Allah beri.  Rizqi untuk Andini, Adlan dan Utsman seolah datang tak pernah henti. Rizqi tentu tidak hanya berupa catatan nominal saja tapi banyak bentuknya. Semua fasilitas & kebahagiaan dalam menggunakan itulah rizqi.

Setiap anak telah Allah siapkan semua fasilitas untuk menempuh kehidupan dunia dalam kebahagiaan. Cinta dari orang-orang di sekitarnya, juga rizqi dari langit yang diturunkan ke bumi.

Demikian juga dengan Utsman dan Umar. Sejak pernikahan Adlan dengan Andini, perusahaan A&Z IT Consultant selalu kebanjiran proyek. Banyak masuk permintaan untuk dibuatkan sistem di beberapa kantor.
Tidak hanya itu. Adlan juga membentuk team khusus untuk mengikuti aneka lomba. Team lomba yang handal dan unggul ini sering jadi juara. Ini menjadi salah satu ujung tombak dalam pemasaran dan langkah maju perusahaan.

Adlan juga sangat memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Meski statusnya sebagai karyawan, Adlan lebih senang memanggil mereka dengan sebutan team.

Setiap bulan sekali, Adlan memberangkatkan teamnya untuk berangkat umroh.  Sebenarnya Adlan sudah lama mengajak Andini untuk berangkat umroh. Hanya saja Andini ingin berangkat bersama dua keluarga besar, keluarga bapaknya juga keluarga mertuanya. Maka Adlan menunda hingga jadwal untuk bisa berangkat bersama telah ditemukan.

"Mas berangkat haji aja dulu" begitu Andini mengusulkan.
"Mas ingin berangkat bersama kamu, De"
"Bagaimana kalau kita daftar untuk berangkat tahun depan, haji khusus" Usul Andini
"Apa tahun depan Utsman udah bisa disapih?" Adlan
Andini beranjak melihat kalender.
"Sudah Mas, Dzulhijah tahun depan, Utsman sudah masuk Usia dua tahun lima bulan"
"Baiklah, lusa kita daftar ke travel biro yang biasa menangani umroh di kantor".
Andini menjawab dengan senyuman bahagia.

Kenapa seolah bahagia seolah selalu mengajak waktu berlari?
Bahkan ketika Andini dan Adlan menikmati setiap ajaibnya  perkembangan tumbuhnya Utsman.
Ada bahagia setiap menatap wajahnya. Ada bahagia saat melihat dan mendengarkan tawa dan senyumnya. Ada bahagia dalam setiap peluh yang menetes dalam merawatnya.

Namun bahagia nampaknya tak akan sempurna jika tak berselang gelisah dan duka.
Ada air mata ketika sakit menyerang Utsman. Ada gelisah saat sembuh yang diinginkan belum juga menampakkan harapan. Bahkan ada resah ketika air mata tumpah dari mata Utsman.

Beberapa hari ini Utsman nampak rewel. Dan rewwlnya Utsman hari ini seolah meningkat intensitasnya.

Andini memastikan suhu tubuhnya. Normal. Andini memeriksa stiap inchi kulitnya, barangkali ada ruam atau luka yang membuatnya tidak nyaman. Semua bersih dan sehat.
Andini membuatkan semua makanan yang disukai Utsman. Masih tetap rewel.
Andini mengeluarkan semua mainan Utsman.
Utsman hanya menggeleng.
Andini mengajak Utsman ke rumah tahfidz. Biasanya Utsman senang bermain di sana. Masih juga rewel.

"Utsman sholih mau apa, Nak" Andini bertanya lembut.
Utsman hanya menggeleng.
"Abah, Utsman mau Abah"
"Iya nanti Abah pulang, nanti kalau udah pulang main sama Abah lagi ya"
Utsman menggeleng. Tangisnya belum berhenti.
Akhirnya Andini menggendong Utsman dalam ayunannya hingga terlelap.

Sore hingga malam, Utsman tak mau lepas dari pelukan Adlan. Mulai datang hingga terlelap. Utsman hanya ingin berada dalam pelukan Adlan.
Adlan memang ayah yang penuh kehangatan.
Bersama ayahnya Utsman bisa tertawa kembali. Memekarkan senyum Andini kembali.

Utsman hanya lepas dalam pelukan Adlan ketika Adlan harus ke masjid untuk sholat berjamaah. Seperti subuh itu.

Utsman kembali menangis. Menunggu ayahnya pulang. Menunggu hangat pelukan ayahnya. Adlan.
Kadang Adlan memang sengaja berlama-lama di masjid usai subuh. Isrof untuk mendapatkan pahala haji dan umroh.

Andini faham itu. Namun ia berharap kali ini Adlan bisa pulang cepat agar Utsman bisa nyaman. Utsman masih terus menngis.
Pagi mulai terang. Adlan belum datang.

Terdengar suara pintu diketuk.
Bapak membukakan pintu.
Pak Fuad, marbot masjid yang datang.
"Pak, bisa ke masjid?" Pak Fuad meminta.
"Ada apa?"
"Ada hal penting pak" pak Fuad nampak serius.

Pak Teja, bapak Andini tak menunggu lama. Mereka berdua bergegas ke masjid.
Di depan mihrab nampak Adlan tengah bersujud.
Pak Fuad menunjuk.
"Pak Adlan sudah lama sekali sujudnya" pak Fuad menjelaskan.

Bapak Andini dan Pak Fuad mendekat.
"Adlan, bangun, Nak" bapak membangunkan.
Namun tubuh itu tak bergeming.
Bahkan tak bergerak.
Tubuh itu tiba-tiba lunglai. Limbung ke arah kanan.
Matanya terpejam. Bibirnya membentuk senyum. Wajahnya bersinar. Namun tubuh itu sudah tidak bernafas lagi.

Kamis, 20 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 22

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 22

"Jadi nanti aku sama bunda tinggal di sini?" Jundi bertanya dengan mata yang berbinar.
"Iya" Nura menganngguk dengan senyuman.

Jundi berlari-lari kecil melihat-lihat rumah barunya.
Ia melihat kamarnya.
Tempat tidur berbentuk mobil.
Lemari pakaian berlukiskan kaligrafi. Meja belajar. Laci berisi mainan. Semua tengah dipasang oleh para tukang.
Semua disiapkan Nura untuk Jundi.

"Kenapa bunda menghabiskan uang tabungan bunda untuk Jundi?" Mukhlis bertanya.
"Ngga abis koq" Nura mengelak.
"Tapi apa itu tidak memanjakan & berlebihan?" Mukhlis masih bertanya.
"Setahu bunda, yang dimaksud memanjakan adalah membiarkan anak melanggar peraturan. Kalau menyediakan fasilitas untuk kebahagiaan anak, itu adalah kewajiban, selama ada, selama kita punya, itu adalah rizqi anak. Semua dari Allah. Hanya dititipkan pada kita"
"Makasih bunda" Mukhlis memeluk Nura.
"Tidak perlu berterima kasih, kebahagiaan Jundi, kebahagiaan ayah, itu adalah kebahagiaanku" Nura membalas pelukan dengan hangat.

Mereka tak sadar. Dua mata tengah memperhatikan mereka dari jauh. Mata Jundi yang menatap terpana, penuh tanda tanya.

"Bunda, adik Hanana nangis" suara kecil itu mengagetkan Nura dan Mukhlis.
"Oh ya?" Nura bertanya
"Iya" Jundi menegaskan.
Nura berjalan ke kamar utama, kamarnya.

Benar saja, Hanana menangis. Nampaknya belum lama.
Nura memeriksa semuanya. Melihat popok. Memastikan semuanya baik-baik saja.

"Ayah, kenapa ayah memeluk bunda?" Jundi bertanya polos.
Mukhlis terkejut.
"Karena bunda sayang sama Jundi, semua perlengkapan kamar Jundi, bunda yang belikan"
"Tapi ibu juga sayang Jundi, ibu juga belikan semua yang Jundi mau"
"Iya, ayah tahu"
"Kenapa ayah dulu tidak pernah memeluk ibu?"
"Mungkin Jundi belum pernah melihatnya, kan rumah kita di Jogja luas" Mukhlis mencoba menjelaskan.
"Kalau Jundi sayang ibu, jangan lupa terus do'akan ibu ya" Mukhlis berpesan.
Jundi menganngguk.

***

"Umar hanya tinggal bersama neneknya. Utsman juga tinggal bersama neneknya, aku hanya tidak bisa tinggal di rumah mertuaku. Aku masih bisa melihat Umar. Umar masih memanggilku Umma, sama seperti Utsman. Aku bisa melihat dan menggendong Umar, hanya tidak tiap hari saja"
Begitu Andini selalu meng-afirmasi dirinya ketika kerinduan itu datang.

Kehilangan adalah suatu keniscayaan. Semua yang ada adalah titipan.
Cepat atau lambat, kita akan merasakan kehilangan.

Rasa kehilangan memang menyakitkan. Karena rasa kehilangan mencabut rasa memiliki dengan paksa.
Semakin dalam rasa memiliki,
Semakin sakit rasanya kehilangan.

Pun dengan kecewa.
Kecewa, setiap saat bisa menyapa manusia.
Kecewa ada ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan.
Semakin besar keinginan kita, semakin berat kecewa akan membebani rasa di dada.

Maka membebaskan diri dari rasa memiliki, adalah cara untuk terhindar dari sakitnya rasa kehikangan.
Melepaskan diri dari keinginan adalah cara untuk terbebas dari luka kecewa.

Setiap hari Andini memompa asi di pagi hari.
Adlan mengantarnya ke rumah uminya pagi hari.
Sepekan sekali Andini main ke rumah umi. Melepas rindu pada buah hati.

Andini membiasakan Utsman dan Ummar memanggil mereka dengan sebutan umma dan Abah. Utsman dan Umar juga dibiasakan untuk memanggil mereka dengan sebutan mamah dan papah.

Sabtu pagi itu Andini dan Adlan telah hadir di rumah Umi. Kerinduan telah disimpannya seminggu ini. Andini mulai terbiasa.
Ia melihat Umar sangat terawat. Sehat sama seperti Utsman.
Ini cukup menghibur Andini.

Umi menyambut Andini dan Adlan serta Utsman dengan pelukan.
"Sini cucu nenek, Utsman. Nenek kangen pengen gendong" umi mengambil Utsman dari pelukan Andini.

Bayi Utsman menatap wajah neneknya. Mengangkat tangannya seolah ingin meraba wajah neneknya yang mulai keriput.
"Dinda di mana?" Andini bertanya.
"Dinda lagi ke warung, Umar lagi sama papahnya, Zamzam" umi menjelaskan.
Andini diam. Ia tak berani bertindak.

Adlan segera melangkah ke kamar adiknya.
Dilihatnya Zamzam tengah memangku Utsman dengan penuh kasih sayang. Utsman tengah minum asi dari botol dalam pelukan Zamzam.

Ada rasa haru yang menyeruak.
Rasa haru yang menjalar hingga ke mata. Rasa haru yang kemudian mengembun, menggenang di pelupuk.

Masih terngiang ketika umi membisikkan di telinganya pelan. "Adikmu Zamzam tidak bisa punya keturunan".
Bisik lembut itu terdengar seperti halilintar di tengah siang yang sedang terik.
"Apa maksud umi?" begitu dulu Adlan bertanya.
"Zamzam waktu kecil sering kena virus gondongan. Dokter berpesan agar ibu menjaganya hati-hati, karena bagi laki-laki itu akan berpengaruh pada kesuburan. Kamu ingat waktu Zamzam jatuh dari sepeda? Itu juga berefek pada alat vitalnya" begitu dulu umi menjelaskan dengan sangat pelan dan perlahan, seolah tengah mengeluarkan beban berat dengan sngat berhati-hati.
"Tidak hanya itu, kamu ingat waktu adikmu pernah oprasi hernia?" umi bertanya. Adlan hanya bisa mengangguk.
"Dari situlah umi tahu kalau adikmu Zamzam tidak bisa punya keturunan" umi menjelaskan dalam nafas yang panjang. Nafas tanda kepasrahan.

"Itulah kenapa pula umi ijinkan Zamzam menikah dengan Dinda" rupanya umi masih menyimpan rahasia.
"Ketika Zamzam bercerita tentang Dinda, umi segera mencari tahu tentang Dinda. Umi mencari tahu tentang semua riwayat Dinda pada orang tua asuhnya. Orang tua asuhnya dari awal sudah menjelaskan semuanya bahwa Dinda tidak mungkin punya keturunan karena penyakit yang ada di rahimnya juga bentuk rahimnya yang abnormal. Justru karena itulah umi meminta mereka agar segera menikah. Dalam kondisi yang sama-sama tidak mungkin punya keturunan, umi berharap mereka bisa saling menerima dan tidak ada satupun yang tersakiti" Adlan merasa beruntung punya umi yang bijak.
"Dulu Zamzam sebenarnya pernah bilang sama umi kalau ia mencintai wanita lain, tapi umi larang karena takut nanti mendzalimi wanita itu" umi masih menambahkan cerita.
"Siapa wanita itu, mi? Adlan penasaran.
"Kamu tak perlu tahu, wanita itu sekarang sudah bahagia" hanya itu yang umi katakan dan Adlan hanya bisa diam.

"Sudah lama, mas?" sapaan Zamzam menyadarkan Adlan.
"Baru saja". Adlan melangkah. Mendekati kedua lelaki yang teramat ia sayangi.
"Minumnya banyak ya" Adlan bertanya sekedar basa basi, menghilangkan kebisuan.
"Begitulah jagoan" Zamzam menjawab dengan senyum.
Adlan menepuk pundak Zamzam.
"Terima kasih sudah mau mengasuh Umar"
Zamzam tersenyum bahagia.
"Jagoan kecil ini cukup merepotkan" begitu Zamzam menjawab.
Dan kedua kakak beradik itu tertawa bahagia

Labirin Cinta Andini part 21

Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 21

Andini dan Adlan saling berpandangan. Bumi seolah berhenti berputar dari porosnya.
Waktu seolah membeku.
Hening dan diam seolah merampas semua kata-kata.
Hingga akhirnya Adlan menarik nafas panjang & menghembuskan pelan.

"Umi?" Adlan bertanya hati-hati.
"Apa maksud umi?"
"Umi sudah merindukan tangis bayi sejak lama, umi merindukan keceriaan tawa anak-anak di rumah. Umi tahu kalian tidak mungkin tinggal bersama kami. Tapi Zamzam juga tidak mungkin jauh dari kami karena kondisi Dinda tidak bisa ditinggal sendiri" akhirnya keluar juga alasan dibalik permintaan yang terasa sangat memberatkan.

Andini menatap Adlan lamat-lamat.
Tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ia faham betul kondisi Dinda. Dinda perlu kasih sayang dan perhatian lebih. Dinda baru bangkit dari keterpurukan. Zamzam dan Umi adalah dua sosok penopang Dinda.

Andini juga mengerti betul kerinduan umi akan hadirnya seorang cucu.  Tapi memberikan bayi lucu yang baru saja ia miliki adalah sebuah keputusan besar yang amat sangat menyakitkan.

"Bagaimana kalau Dinda mengambil anak dari saudara, atau dari orang yang tidak punya, atau dari panti asuhan?" Andini hati-hati menyampaikan.

"Umi tidak mau membesarkan anak yang tidak jelas keturunannya. Tidak jelas akhlaq orang tuanya" Umi menjelaskan.

Adlan kembali menarik nafas panjang.
"Adlan mengerti perasaan umi. Adlan faham keinginan umi, boleh ngga kami minta waktu untuk berembuk dengan bapak dan mamah?"
Umi diam tidak menjawab

"Malam ini, umi menginap dulu di sini ya, Abi juga, Zamzam dan Dinda juga. Umi sama Dinda tidur dengan Andini di sini. Adlan, Zamzam dan abi tidur di kamar sebelah"
"Iya boleh"

Andini masih bingung dengan keadaan yang ada. Semua begitu tak terduga. Andini hanya bisa pasrah dalam do'a meminta yang terbaik. Memohon agar Allah menunjukkan jalan.

Malam telah gelap bak jelaga. Entah kelabu mana yang menyembunyikan sebentuk kelopak mata yang bercahaya di langit.
Ya. Bulan harusnya tengah memperlihatkan cantiknya dalam sebentuk kelopak mata. Pertanda penanggalan hijriah sebentar lagi akan berganti. Tapi malam ini indahnya bulan kelopak mata menghilang.

Dalam hening, Adlan bersimpuh. Bersujud memohon petunjuk.
Dua wanita yang sangat ia cintai kini menunggu keputusannya.
Ia tak ingin mengecewakan ibunya. Tapi iapun tak ingin membuat sedih istrinya.
Bukan saatnya untuk berandai-andai. Hanya membuang waktu dan membombardir rasa. Begitu Adlan menepis apa yang mengganggunya.

Delapan roka'at tahajud rasanya belum cukup. Sholat taubat, sholat hajat, sholat istikharah Adlan tunaikan juga.
Ditutup dengan witir lalu dzikir dan istighfar. Memohon ampun, itulah cara yang istimewa untuk meminta pertolonganNya.

Hingga adzan subuh terdengar berkumandang. Dua rokaat qobliah subuh ia tunaikan. Hingga sampai pada salam, dadanya masih terasa berat.

Adlan bangkit, melangkah ke masjid.
Masjid yang megah di tengah komplek. Jarak lima ratus meter ditempuh dengan melangkah. Langkah yang berat karena menopang dada yang tengah sesak.

Shaf depan telah terisi.
Tiga shaf telah penuh.
Namun Adlan tetap ingin di.shaf terdepan. Ia melangkah, memilih berada di depan meski harus yang paling pinggir.

Adlan terus beristighfar menunggu qomat dikumandangkan.

Usai salam, Adlan terpekur.
Tiba-tiba ada kehangatan menepuk pundaknya.
Bapak tersenyum menyapa.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikum salam"
"Tadi malam bapak bermimpi, melihat Utsman tersenyum di pangku bapak"

Adlan tertegun.
"Utsman?, bapak tidak melihat Umar?" Adlan bertanya hati-hati.
"Tidak, namanya juga mimpi, bukan kita yang mengatur & menginginkan"

Adlan menarik nafas.
"Pak, kalau misalnya rumah yang kami tempati sekarang digunakan oleh Mukhlis dan Istrinya, bagaimana? Sepertinya dengan Mukhlis dan istrinya layak mendapat rumah yang lebih luas dari paviliun yang sekarang"
"Nanti kamu dan Andini tinggal di mana?"
"Kalau kami kembali tinggal di rumah bapak, bersama Utsman, apa Bapak tidak keberatan?"
"Tentu tidak, dari dulu aku sudah memimpikan ingin dekat dengan cucu-cucuku" bapak terlihat senang.

Adlan menarik nafas.
"Umi juga demikian Pak, umi meminta agar ada bayi yang tinggal di rumah umi dan dirawat adik kami, Zamzam dan Dinda. Mereka divonis dokter tidak bisa punya keturunan"

Bapak diam. Lekat menatap Adlan. Tatapan yang semakin menambah berat beban yang sudah ada.
Bapak menarik nafas. Panjang dan dalam.
"Mohon maaf kalau semua sangat mendadak. Mohon maaf karena baru saja kami pindah tapi harus kembali, mohon maaf Pak" Adlan menghiba.

"Bapak tahu, ini pasti berat untuk kamu. Harus memilih antara ibu dan istri, harus memilih antara Utsman dan Umar" bapak berhenti sejenak.
"Barangkali, mimpi bapak semalam adalah jawabannya"

Spontan Adlan memeluk bapak.
Matanya mengembun.
"Terimakasih Pak" hanya itu yang mampu diucapkan.

Peukan yang melapangkan.
Pelukan yang menghisap habis semua beban.

Adlan melangkah pulang. Ringan.
Semua beban yang dikembalikan pada Allah, ternyata begitu mudah menghilang.

Andini tengah mengganti popok Utsman. Dinda membantu mengganti popok Umar. Ibu masih di atas sajadah.
"De, mas mau bicara" Adlan menepuk lembut pundak istrinya.

Adlan menceritakan semua percakapan dengan bapak.
Andini mendengar diiringi airmata.
Tak ada pilihan selain ta'at, meski terasa teramat sangat berat.
"Aku hanya minta dua syarat" dalam isak, Andini mencoba berucap.
"Umar hanya boleh minun asi dari asiku. Jika Utsman atau Umar membeli sesuatu, keduanya harus dibelikan yang sama"
Adlan memeluk Andini.

******

Perpisahan selalu menyisakan air mata.
Tidak ada perpisahan yang indah,
Karena kalau indah tentu tidak akan berpisah.

Tapi inilah dunia dengan segala kefanaanya.
Tubuh dan ruh ini hanya titipan
Dunia hanya kesempatan untuk menyemai amal dan kelak di akhirat kita akan menuai pahalanya.

Bahagia adalah pilihan, karena dalam setiap kesulitan ada kemudahan.
Dalam setiap kepedihan ada kebahagiaan.
Dan hanya mereka.yang ridho,
Hanya mereka yang tenang yang akan menemukannya.

Kita hanya harus mempertanggungjawabkan apa yang jadi pilihan.

Minggu, 16 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 20

Labirin Cinta Andini.
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 20.

"Udah crosschek ke dokter lain?" Andini memastikan
"Udah lebih dari tiga dokter kandungan" Dinda menjawab lesu.
"Tapi keajaiban itu ada loh" Andini menyemangati.
Dinda hanya tersenyum.
"Makan dulu yuk" ajak Andini.
Dinda tak punya pilihan.

Makanan yang dinikmati bersama selalu terasa lebih nikmat. Mungkin karena di dalamnya ada cinta dan kebahagiaan yang ikut dibagikan.
Atau barangkali, itulah salah satu contoh keberkahan : Ziyadatul khoir, bertambahnya kebaikan.

"Selamat ya Kak" Zamzam mengulurkan tangan dan  memeluk Adlan.
"Terimakasih" Adlan menyambut tangan adiknya dan balas memeluk.
"Semoga Allah turunkan juga keberkahan untukmu" Adlan membisikan do'a. Lirih di telinga adiknya.
"Aamiin"

Menjadi wanita hamil adalah karunia indah tak terperikan.
Buah cinta yang tengah damai di alam rahim seolah menjadi magnet cinta.
Semua cinta tertuju pada calon ibu. Semua perhatian terpusatkan pada ibu yang tengah mengandung.
Ia seolah menjadi ratu.
Tak seorangpun boleh menyakitinya. Tak seorangpun boleh mengganggunya.
Karena setiap sakit dan gangguan yang menimpa calon ibu, akan terekam dalam benak sang bayi. Setiap luka ibu otomatis akan menjadi luka bayi.

Andini menerima semua perlakuan dengan rasa syukur yang dalam.  Segenap do'a selalu dilantunkan. Setiap saat, ia selalu berusaha membasahi bibir dengan dzikir. Setiap kesempatan, ia selalu berusaha melantunkan al Quran.

Kepayahan kadang mendera.
Lelah di atas lelah. Itulah perjuangan. Apalagi bayi pertama. Kembar pula.
Tapi kepayahan itu seolah hilang oleh kebahagiaan yang dijanjikan.

Hingga tibalah masanya sang bayi lahir kedua.
Langit seperti telah menyerap semua do'a.
Langit seolah telah menyiapkan keberkahan sejak lama. Sejak pertama kali do'a dilantunkan.

Tidak ada proses kelahiran yang tidak menyakitkan.  Bahkan itulah sakit yang paling sakit.  Entahlah. Mungkin sakit itu juga dirasakan sang bayi, hingga ia keluar dari alam rahim  langsung mengeluarkan jerit tangis. Jerit tangis yang disambut bahagia. Jerit tangis yang seketika menghapus sakit yang dirasa.

Dua jerit tangis itu hanya berselang lima menit.
Adlan bersiap melantunkan adzan di masing-masing jagoan kecilnya. Adzan dengan selang waktu paling pendek dikumandangkan ulang.
Adzan di bayi yang telah ia persiapkan namanya.
Muhammad Abdullah Utsman.
Muhammad Abdullah Umar.

Berita gembira langsung dikabarkan. Ucapan selamat berdatangan. Kegembiraan dengan cepat menebar dan melipatgandakan diri. Melukis senyum pada setiap penerima kabar.

Allah Maha Baik. Allah selalu memberi yang terbaik. Seorang hamba hanya berbaik sangka untuk menemukan kebaikan itu. Jika ia tak berbaik sangka maka  seorang hamba akan terjerembab ke jurang duka yang dalam tak terkira. Saat itulah seorang hamba memerlukan seseorang untuk berdiri tulus. Mengulurkan tangan untuk menyelamatkan. Membimbing tanpa menggurui.
Dan bagi mereka yang rela mengulurkan tangan, itulah tabungan keberkahan dan kebaikan.

Barangkali Andini tengah memanen semua kebaikan yang selama ini ia tanam.
Karena keberlimpahan bahagia tengah menyelimutinya.

Namun begitulah sifat bahagia. Ia akan membawa jarum jam berlari.

Hingga sampainya usia ketujuh usia Utsman dan Umar terasa begitu cepat.
Hari untuk melaksanakan sunah aqiqah.
Hari itu, bersamaan dengan pindahnya Adlan dan Andini ke rumah baru.
Hari yang penuh kebahagiaan dalam rasa syukur yang mendalam.

Para santri datang membacakan Al Quran sampai khatam. Tetangga di undang. Beberapa karyawan Adlan A&Z IT Consultant juga datang. Tak lupa ucapan selamat dan aneka kado dibawakan oleh rekanan. Tak sedikit juga yang menitipkan.

Tentunya keluarga umi ikut datang merayakan kebahagiaan. Zamzam, Dinda, Umi dan Abi datang membawakan banyak bingkisan.

Andini menyambut ibu mertua dan kedua iparnya maudengan penuh takdzim dan kebahagiaan.
Andini juga menyambut semua tamu dengan senyum kebahagiaan.

Semua hidangan telah dinikmati dengan penuh kebahagian. Tak lupa telah dipisahkan juga bingkisan dan makanan untuk rumah yatim yang selalu mendoakan.

Malam telah mulai gelap meski baru saja merangkak.
Andini tengah menyusui Ustsman ketika umi menghampiri. Adlan berada disisinya menggendong Umar.

"Adlan, Andini, umi ingin membicarakan sesuatu"
Melihat mimik yang serius, Adlan dan Andini faham bahwa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang penting.

"Bagaimana kalau salah satu dari bayi kalian, Umar atau Utsman diasuh dan dibesarkan oleh Zamzam dan Dinda?"

***********

Entah sepert apa luasnya hati Ibrahim.
Hingga ketika perintah untuk meninggalkan dua kesayangan di gurun sunyi nan sepi, diterima tanpa sedikitpun keberatan terbersit.

Entah seperti apa iman yang mengakar di hidup Ibrahim.
Hingga ketika ia diperintahkan berjalan tanpa bicara dalam waktu yang lama, diterima begitu saja.
Ia diam ketika kesayangannya menangis saat haus.
Ia diam karena bicara adalah terlarang baginya kala itu.

Entah seperti apa cinta yang dipunya dan dipersembahkan Ibrahim kepada Sang Pencipta, hingga gelar kholilullooh ia terima sebagai balasannya.
Gelar untuk satu manusia diantara yang pernah tercipta.

Entah seperti apa kerinduan di hati Ibrahim, ketika ia lirih berbisik dalam do'a :
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

(QS 37 - 38)

Kamis, 13 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 19

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad

Part 19

"Ada apa Nak?" Mukhlis bertanya sambil mengusap-ngusap punggungnya.
"Aku takut Allah marah"
"Marah kenapa?"
"Aku ngantuk, pengen tidur, tapi belum sholat maghrib dan harus nunggu isya, padahal aku maunya tidur"
Mukhlis tersenyum.

Diraihnya putra sulungnya itu ke pangkuannya.
"Jundi cape?"
"Ngga, aku ngantuk"
"Kalau gitu, Jundi sholat di rumah aja ya sama Bunda. Sholat isya nya langsung setelah maghrib"
"Emang boleh?"
"Boleh kalau lagi dalam perjalanan"
"Tapi kita kan udah sampai"
"Tapi Jundi belum muqim di sini"
"Muqim itu apa?" Jundi nampak antusias. Ia seolah lupa dengan kesedihannya.
"Muqim itu  tinggal selamanya"

Jundi menangis lagi.
"Kenapa?" Mukhlis bertanya lagi.
"Aku ingin tinggal di sini selamanya, sama ayah, juga bunda"
"Iya, in syaa Allah kita tinggal di.sini selamanya, cuma kalau hari pertama belum dibilang muqim, jadi boleh di jama"

Jundi menatap wajah ayahnya.
"Betul kah?"
Mukhlis mengangguk, memastikan.
Jundi turun dari pangkuan ayahnya.
Langkah kecilnya terburu-buru mencari bunda, mencari Nura di kamar.
"Bunda, ayo sholat, abis sholat aku mau tidur"

Nura tersenyum.
"Jamaah ya, aku jadi imamnya" pinta Jundi.
"Iya, Bunda wudhu dulu ya"
"Aku juga"

Air wudhu selalu memberikan kesegaran dan kesejukan. Segar pada raga, sejuk pada hati. Dan bias bening basuhan airnya selalu menjejakkan cahaya di setiap wajah yang mengambilnya.

Dua sajadah dihamparkan.
Jundi di depan.
Nura di belakang.
Jundi melafadzkan niat sholat sebagai imam dengan lantang.
Nura membisikan niat sholat fardhiyah dalam hati.

Usai salam, Jundi melipat sajadahnya.
"Aku mau tidur ya Bunda"
Nura menganngguk.
"Ayo bunda temenenin, tapi ganti baju dulu ya"

Nura membuka koper Jundi.
Mencari baju tidur milik Jundi.
Semua baju tertata rapi dan wangi. Baju-baju kaos, semuanya bergambarkan animasi-animasi islami.

"Yang ini ya, Mushab bin Umair" Nura menyodorkan.
"Iya, aku suka, nanti aku mau jadi Mushab bin Umair" Jundi tetap ceria, sama sekali tidak memperlihatkan sikap seorang anak yang mengantuk yang biasanya di dominasi rewel.

Tubuh Jundi terbaring di sebelah Nura.
Ayat Kursyi, Al Ikhlas, Al Falaq & Annas lancar dibaca Jundi setelah berdoa. Jundi memejamkan matanya.
Nura mengusap-ngusap lembut punggung anak madunya.

Masih ada rasa sesal yang memerih di hati Nura.
Sesal dan perih yang sulit diterjemahkan.
Nura memejamkan mata.

Ada sesuatu yang membuat Nura seolah harus membuka mata.
Ternyata Jundi tengah menatapnya.
"Bunda koq ga nangis?"
Nura kebingungan dengan pertanyaan Jundi.
"Jundi koq ga tidur?" Nura balik bertanya.
"Aku pengen lihat mata Bunda dulu" Jundi menjawab polos.
"Kenapa?" Nura penasaran.
"Biasanya kalau ibu nemenin aku tidur, lama-lama suka nangis"

Serasa ada pecahan kaca yang menyayat hati Nura.
"Jundi tahu kenapa ibu nangis?"
"Kata ibu gapapa"
"Seseorang itu, kalau lagi bahagia, ada yang sukanya bilang kalau dia sedang bahagia. Ada yang cuma senyum, ada juga yang malah menangis. Mungkin dulu ibu menangis karena bahagia punya anak sholih bernama Jundi" Nura menghibur.

Jundi tersenyum. Perlahan matanya terpejam lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Perlahan Nura turun.
Waktunya bertemu Andini dan Adlan di rumah tahfidz.

Andini dan Adlan tampak tengah serius membicarakan sesuatu. Nura langsung bergabung.
Rupanya Mukhlis memberikan alternatif beberapa rumah tahfidz.
Andini dan Adlan memilih rumah tahfidz yatim.

"Nura, temenin aku bikin teh, yuk," Andini mengajak Nura.
"Biar nanti para santri aja yang buatin" Nura mengelak
"Aku ingin lemon tea spesial, buatan kamu, Nur ngidam nih" Andini beralasan.

Kedua sahabat itu pergi ke dapur.
Andini langsung mencari lemon. Memotong dan memerasnya.
Nura mengambil gelas, membuat teh dari air dispenser.

Andini mendekati Nura.
"Apa yang sebenarnya terjadi" Andini berusaha hati-hati bertanya.
"Ga ada apa-apa" Nura berkilah.
"Kamu ga bisa bohong dari aku Nura, aku hafal bahasa matamu"
Nura memeluk Andini.
Air matanya tumpah
"Aku ga tega lihat Jundi, dari wajahnya, dari ceritanya, aku bisa menangkap derita Dewi"

Andini membelai lembut kerudung Nura.
"Aku faham perasaanmu. Tapi kamu harus tahu bahwa itu bukan salahmu, bukan salah siapa-siapa"
Andini menghela nafas panjang.
"Pernikahan Dewi dengan Mukhlis adalah pilihan Dewi, pilihan orang tuanya dan semua sudah berakhir. Dewi sudah menunaikan tugasnya. Dewi sudah tenang di alam sana"
Hening sejenak.
"Kita do'akan saja".
Nura menganngguk.

Kebahagiaan seolah mempersingkat waktu. Sangat kontras dengan penderitaan.
Pada derita, jarum jam seolah enggan beranjak.Sekat duka di tenggorokan saat duka memggumpal seolah ditangkap oleh jarum jam. Hingga mencegahnya cepat beranjak.

 Sementara pada bahagia, jarum jam pada seolah menari. Setiap senyum, setiap tawa, setiap binar mata mengerlip, seolah jadi enegi bagi jarum jam untuk berlari.

Usia kehamilan Andini menjejak di angka empat bulan. Waktunya untuk mengadakan do'a tasayakuran.
Umi meminta agar tasyakuran dilaksanakan di rumahnya. Rumah Adlan.

Sebenarnya Andini keberatan. Ia mengerti betul apa yang Dinda rasakan. Namun Andini tak menemukan pilihan.

Sore itu, ibu-ibu pengajian diundang. Al Quran dibacakan. Do'a & pinta padaNya agar keberkahan dicurahkan telah dilantunkan. Hari yang penuh kebahagiaan ditemani sajian hidangan yang telah disediakan.

Usai Do'a, Andini pamit kebelakang. Andini tak melihat Dinda saat nasehat usai do'a dipaparkan.
Andini mencari Dinda. Ke kamarnya.

"Dinda, aku boleh masuk?" Andini mengetuk pintu perlahan.
Pertama tak ada jawaban.
Ketukan kedua pun demikian.
Andini punya satu lagi kesempatan. Diketuk lagi pintunya.
"Dinda..."
Tak ada jawaban.

Akhirnya Andini berbalik arah.
Namun baru saja tiga langkah, terdengar suara memanggil.
"Mba Andin, ada apa?"

Andini menengok. Lalu melangkahkan kaki mendekati Dinda.
"Dinda baik-baik saja?"
Dinda hanya menjawab dengan senyum getir.
"Selamat ya Mba, punya bayi kembar, semoga keduanya menjadi anak sholih" Dinda mengucap tahniah.
"In syaa Allah Dinda juga akan segera punya keturunan"
"Aku sudah divonis dokter tidak bisa punya keturunan"

Labirin Cinta Andini part 18

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad)

Part 18.

Anak kecil bekemeja kotak-kotak hijau orange dan hitam. Bercelana jeans hitam. Matanya berbinar memandang Nura.
Hati Nura berkecamuk. Ada bahagia. Ada bimbang. Ada sedih. Ada haru.

Anak berwajah ibunya.
Anak dari seorang wanita yang tak pernah mau ditemui Nura lagi.
Anak dari seorang wanita yang telah bersimpuh meminta Nura untuk menikah dengan suaminya.
Anak.dari wanita yang kini telah pergi selamanya.

"Assalamualaikum, aku Jundi, mba siapa?" anak tanpa dosa iti mendekati dan menyapa Nura. Ramah dan ceria. Seolah sama sekali tak ada beban di hatinya.

"Panggil aku ibu" Nura memjawab.
"Tapi ibuku sudah ke surga" anak itu menjawab polos.
"Ibu ga pernah datang lagi" kesedihan mulai membayang di wajahnya yang polos.
"Kalau begitu panggil aku Bunda" Nura merubah posisinya. Ia jongkok. Mencoba mensejajarkan diri dengan Jundi.
"Bunda?" Jundi bertanya.
"Iya Bunda, aku mau jadi pengganti ibumu, boleh?" Nura menatap wajah polos itu. Mencari sinar di matanya.
"Bunda mau jadi pengganti ibuku?" Jundi menatap mata Nura.
Nura mengangguk.

Jundi membalikkan badan. Mencari ayahnya.
Mukhlis dari.tadi menatap adegan yang mengharukan.
Menatap di tempat taxi tadi berhenti.

"Ayah, aku punya pengganti ibu, namanya bunda" tangan kecil itu menarik tangan ayahnya.
Mukhlis mengikuti anak lelakinya.
Kedua ayah dan anak itu mendekati Nura yang masih jongkok.
"Bunda, ini ayahku"

Mata Nura menggenang.
Dipeluknya Jundi erat.
Jundi diam mematung. Matanya penuh tanya.
Dia belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Mukhlis ikut jongkok.
"Ayo kita masuk"
Mereka melangkah bersama.

Hamdi, ibu Nura menggendong Hanana yang tengah terlelap, dan Andini melihat semuanya. Ibu menngeratkan dekapan pada cucunya.
Hamdi memalingkan muka. Seolah itulah caranya menghapus keharuan yang baru saja datang.

Andini tak kuat ia menahan air matanya.
Tapi segera ia menghapusnya.
Ia tak ingin menambah kesedihan Nura. Ia tak ingin mendalamkan rasa haru Nura yang sendu birunya terpancar di matanya.
Andini sadar. Tentu semuanya berat bagi Nura.

"Nura aku pamit ya, nanti malam aku ke sini lagi bareng Mas Adlan"
"Iya, makasih banyak ya"

Andini sedikit membungkukan badan pada Hamdi dan ibu Nura.
"Andin pulang dulu ya"
Ibu melepas dengan anggukan dan senyuman.

Ibu Nura dan Hamdi menyambut Mukhlis di pintu paviliun.
Hamdi menyambut dengan pelukan.
Mukhlis mengambil Hanana dari pangkuan neneknya.
Inilah pertama kali ia bisa memeluk buah hatinya.

Diciuminya wajah cantik mungil yang kemerahan itu. Wajah dari buah hatinya darah dagingnya.
Wajah yang sudah lama sangat dirindukannya.
Dilantunkan do'a-do'a terbaik untuk kesayangannya.
"Allohuma baarik lanaa fii aulaadina warzuqnaa biirohum, Allohummahfdzhum, wawafiqhum lii taqwa wa 'alimhum takwiilah"
( Yaa Allah berikanlah keberkahan pada anak-anak kami & karunia kan lah kami rizqi berupa bakti mereka. Yaa Allah jagalah mereka dan berilah mereka taufiq untuk bertaqwa dan ajarkanlah mereka takwil)
Lantunan itu ditiupkannya pada ubun-ubun sang bayi, Hanana.

"Allohuma u'idzuhaa bika wa dzuriyatahaa minasysuaitonnirrojiim.
Allohuma u'idzuhaa bika wa dzuriyatahaa min syarri syaithon wa hammah wa min 'ainin laammah"
Kembali.ditiupnya dengan penuh kasih sayang.

Jundi melihat semua yang dilakukan ayahnya.
"Ayah, itu siapa?"
Mukhlis jongkok. Memperlihatkan Hanana pada Jundi.
"Ini Hanana, adikmu?"

Jundi terpana. Matanya riang menatap ayahnya seolah tak percaya.
"Aku punya adik?" Jundi bertanya.
Mukhlis menganngguk
Ia.melihat bayi mungil berwajah cantik kemerahan.

Sekejap kemudian Jundi.melompat-lompat senang.
"Horeeee, aku punya adik, aku punya adik seperti teman-temanku"

Nura membungkukkan badannya.
"Jundi senang?" Nura bertanya.
"Iya, aku senang punya adik" matanya berbinar.
"Kalau senang, harus berterimakasih sama Allah, bilang apa?" Nura mengingatkan.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah" Jundi berucap. Polos, namun penuh makna.

"Ayo masuk" ibu Nura mengajak.
Mukhlis, Nura dan Jundi masuk.
Hamdi melangkah ke teras, mengambil koper yang masih berdiri. Seolah menjadi saksi.atas semua.yang terjadi.
Andai dua koper itu bisa menangis, tentu air matanya pun ikut tumpah melihat semuanya.

Ruang tamu paviliun itu berukuran lima kali lima meter persegi. Ada sofa set warna hijau toska muda di sana.
Semua duduk.

"Jundi sudah makan?"
Jundi menggeleng.
"Mau makan?"
Jundi menganngguk
"Bunda siap kan makan dulu ya"

Nura ke dapur.
Dapur yang sederhana.
Masih ada hidangan yang tadi dibawakan Andini.
Nura membawanya ke ruang tamu.

Mukhlis dan Jundi lahap.menikmati.

Nura menidurkan Hanana di kamar.  Bayi mungil itu menangis meminta asi.
Mukhlis masuk menemui istri dan anaknya.

Dikecupnya lembut dahi Nura.
"Tetima kasih sudah mau menerima Jundi"
Nura tersenyum lembut. Senyum yang semakin melangitkan cantik wajahnya.
"Ga usah berterima kasih, Mas, aku tulus menyayanginya"
"Nanti biar Jundi tidur dengan para santri"
"Biar tidur di sini dulu lah bersama kita, biar dia merasa nyaman dulu, kalau sudah kerasan, sudah nyaman, sudah bisa dekat dengan para santri, nanti baru dikasih pilihan, mau tetep di sini atau dengan santri, kan umurnya belum tujuh tahun"
Mukhlis menjawab dengan kecupan.

Adzan maghrib berkumandang.
Lantunan adzan selalu menebarkan ketenangan.
Lembut merdu nan syahdu, tapi tidak meninabobokan, malahmembuat para hamba pilihanNya bergegas menyambut panggilanNya.
Bersiap dalam barisan yang harus dirapikan dalam kekokohan.

Mukhlis bersiap. Ia mencari Jundi.
Didapatinya Jundi tengah duduk di atas sofa. Duduk memeluk lutut. Menempelkan mukanya ke lututnya
Mukhlis mendekati sulungnya.
"Jundiii" sapanya lembut dan hati hati.
Anak  kecil itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah oleh air mata.

Jumat, 07 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 17

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad)

Part 17.

Bahagia itu ketika hati menerima dengan lapang dada.
Senang itu, adalah mendapatkan apa yang kita inginkan.
Lalu bagaimana jika kita menerima dengan lapang dada apa sudah sejak lama.kita inginkan?
Itulah bahagia sempurna penuh suka cita.

Itu juga yang dirasakan oleh Andini dan Adlan.
"Mas, aku ingin sedekah, aku ingin berterima kasih pada Allah atas kehamilan ini"
"Sedekah apa De?"
"Aku ingin sedekah Al Quran"
"Bukannya para santri sudah punya Al Quran?"
"Ke rumah tahfidz lain yang kira-kira membutuhkan"
"Tahu tempatnya di mana?"
"Nanti kita tanya Mukhlis, dia tergabung ke komunitas rumah tahfidz Indonesia"
"Alhamdulillah, baguslah kalai begitu, mau nyumbang berapa Quran?"
"Sembilan puluh sembilan"
"Kenapa ga seratus?"
"Karena Allah suka yang ganjil"
Adlan tersenyum.

"Oh iya De, Mas khawatir kalau harus turun naik tangga, nanti ngaruh ke janin" Adlan menyampaikan kecemasannya.
Andini diam, mencoba mempertimbangkan apa yang disampaikan Adlan.
"Lalu?" Andini bertanya.
"Bagaimana kalau kita tinggal di rumah umi?" Adlan menawarkan.
"Andin tahu umi baik, abi juga baik. Zamzam dan Dinda juga baik. Rumah umi juga luas, nyaman dan asri. Aku betah di sana, cuma kan ga enak sama Dinda, apalagi progam kehamilan mereka belum berhasil"
Giliran Adlan yang diam. Mencoba mencerna apa yang disampaikan Andini.
"Bagaimana kalau kita cari kontrakan aja? Andini mengusulkan.
"Kita istikharah dulu ya, minta petunjuk sama Allah" Adlan memutuskan.

"Sekarang yuk Mas, istikharahnya, sebelum tidur. Siapa tahu langsung Allah jawab lewat mimpi"
Adlan tersenyum.
"Jawaban istikharah kan tidak selalu lewat mimpi, tapi kemana Allah memudahkan, itulah jawabannya"
Adlan memeluk Andini. Mengecup keningnya.
"Mas mau wudhu dulu" Adlan beranjak. Andini mengikuti.

Air wudhu yang masih tersisa di membasahi tangan itu diusapkan Andini ke perutnya. Diputarnya tangan itu mengikuti putaran thawaf seraya berdoa.
"Allohumahfadz walady fii bathni, waj'alhu minnashshohiihan, kaamilan, shoodiqon, aaqilan, amilan zakiyan, mukminan shoolihan. Allohuma ahsin kholqohu wahsin lisaanahu liquro'atil quran wal hadiits, bi barokatinnabiyina Muhammad saw. Allohuma akhrijhu min bathny yauma wilaadatihi salahlan wa tasliman, birohmatika yaa Arhamarrohimiin"
(Ya Allah jagalan anakku dalam kandunganku. Dan jadilaknlah ia dari golongan orang-orang yang baik, yang sempurna, yang benar, yang berakal, yang amalannya suci, mukmin yang sholih.  Yaa Allah baguskanlah akhlaqnya, dan perbaguslah lisannya untuk membacakan Al Quran dan hadiits, dengan barokah dari Nabi kami Muhammad saw.  Yaa Allah, keluarkanlah ia dari perutku pada hari kelahirannya dengan mudah dan selamat. Dengan rahmatmu wahai yang paling peyanyang diantara para penyayang"

Adlan tak ketinggalan. Ia pun mengusapkan air wudhu yang basah di tangan dan wajahnya, mengusapkan ke perut istrinya seraya berdoa "Robby hably minshsholihin, waj'ahu robby rodiya"
(Tuhanku, berilah aku anak sholih dan jadikanlah ia hamba yang Kau ridhoi).

Dua kebiasaan yang dilakukan sejak berita kehamilan mereka dapatkan.
Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kamu dustakan?

Cinta bertabur do'a adalah cinta paling mulia diantara semua cinta termulia.

Cinta di atas sajadah adalah cinta paling indah diantara semua cinta yang terindah

Cinta karena ilahi adalah cinta paling suci diantara cinta tersuci.

Cinta bernafaskan Quran adalah cinta paling membahagiakan diantara semua cinta yang membahagiakan.

Dan cinta sempurna adalah ketika cinta bersedia menerima ketidaksempurnaan kekasih yang Allah beri.

Itulah gambaran cinta antara Adlan dan Andini.

****

Bahagia selalu menyebarkan vibrasi pada orang-orang yang mencinta.
Bahagia itu juga yang dirasakan bapak dan mama Andini saat kabar kehamilan sampai pada mereka.  Ada banyak cara untuk mensyukuri kebahagiaan yang dirasakan. Mengucapkan hamdalah adalah cara pertama yang sederhana. Sujud syukur adalah pelengkapnya. Berbagi kebahagiaan dengan sesama adalah penyempurna.

"Sepertinya kalian tidak bisa menempati kamar.di atas lagi" bapak mengemukakan pendapatnya.
"In syaa Allah kami mau cari kontrakan, Pak" Adlan menyampaikan niatnya semalam.
"Tapi kami masih istikharah, minta petunjuk sama Allah dulu" Andini menyempurnakan.
"Bapak menghargai dan mendukung niat kalian. Bagus kalau kalian mau mandiri"

"Sebenarnya saya inginnya beli rumah Pak. Tapi kalau beli tentu perencanaanya harus matang karena itu berarti kita juga membeli lingkungan untuk masa depan kita" Adlan mengemukakan keinginannya.
Bapak menganngguk.

"Rumah yang di sebelah rumah tahfidz sudah bapak beli, tapi masih ditempati sampai tiga bukan ke depan. Tadinya untuk perluasan rumah tahfidz, tapi mungkin bisa kalian tempati dulu" bapak menjelaskan.
"Minggu ini bapak mau buat kamar di halaman samping, dekat ruang laundry, nanti kalian bisa tinggal di sana sambil nunggu rumahnya bisa ditempati"
"Nanti kalau kita sudah pindah kosong dong Pak?" Andini bertanya.
"Nanti untuk kamar tamu. Selama tidak ada tamu, difungsikan sebagai mushola" mama yang dari tadi diam, ikut menjelaskan.
Andini dan Adlan menganngguk.

******

Siang ini Nura diantar Hamdi dan ibunya kembali ke paviliun rumah tahfidz. Sore nanti Mukhlis pulang.
Andini menyambut hangat di rumah tahfidz.
"Selamat datang kembali Ummu Hanana" Andini memeluk Nura.
Nura tersenyum.
"Terima kasih Andin"

Andini menyiapkan hidangan istimewa di bantu bi Inay.
Hidangan untuk menyambut sahabatnya.
Para santri turut menikmati.

Akhirnya waktu yang telah lama ditunggu datang juga.
Sebuah taxi bandara parkir di depan rumah tahfidz.
Pengemudi membuka bagasi, membantu mengeluarkan dua  koper besar.

Mendengar suara mobil di luar, Nura segera keluar menyambut.
Nura melihat Mukhlis turun. Namun selain Mukhlis, ada lagi yang seseorang yang turun. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Laki-laki itu memiliki wajah ibunya, wajah Dewi.

Rabu, 05 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 16

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 16.

Anak adalah anughrah titipan surga.
Dalam buaian ia adalah kebahagiaan.
Senyum dan cerianya adalah kegembiraan
Hingga semua puji dan syukur dipanjatkan.
Dan setiap syukur adalah hadiah surga
Dari Sang Maha Pencipta

Anak adalah karunia titipan surga
Betapa Allah tak mencatatnya dosa
Saat baligh belum menyapa
Maka semua tingkahnya adalah pembawa senyuman
Jika hati dalam kelapangan.

Anak adalah karunia titipan surga
Betapa sepanjang hayat do'a do'a terpanjat
Agar ia jadi permata berharga yang tak terkira
Agar ia selalu jadi penggembira
Agar ia pembawa jalan ke surga

Anak adalah karunia titipan surga
Bahkan ketika ia jadi ujian
Segala daya dikerahkan
Untuk mengundang pertolongan Allah yang Maha Penyayang
Setipa saat tangan ditengadahkan
Mengetuk pintu langit, agar turun keberkahan
Setiap waktu, wajah disujudkan,
Berharap keajaiban akan datang
Agar lara terhapuskan.

Maka sungguh anak adalah karunia surga.
Hanya kadang lelah dan amarah menutup semuanya.

**

Hanana sudah sampai pada usia empat belas hari. Saatnya untuk merayakan kegembiraan bersama. Mestinya hari ketujuh harus ditempuh. Namun ada harapan yang tersimpan agar sang ayah hadir saat perayaan.

Harapan itu ternyata harus disimpan. Karena ternyata keadaan tak memungkinkan.
Nura yang berdada lapang akhirnya meminta ijin untuk merayakan kegembiraan tanpa kehadiran ayah yang didambakan.

Berbakti kepada orang tua di detik-detik terakhir adalah sebuah keharusan. Tak ada pilihan. Apalagi kata duka cita karena kematian yang disematkan.
Nura sangat memahami.
Tapi ia tetap harus melaksanakan sunnah nabi, menyembelihkan seekor kambing untuk dibagikan dengan penuh bahagia dalam kesyukuran.

Al Quran adalah mukzijat yang selalu membawa keberkahan. Begitu yang Nura pikirakan.
Maka merayakan dengan dimulai dalam khataman Quran jadi pilihan.

Nura mengundang semua santri rumah tahfidz.
Nura juga mengundang semua anggota yayasannya.
Andini dan bapaknya Andini, Raden Teja hadir. Mama Andini menyertai bapak. Adlan mendampingi Andini.

Hari yang penuh keberkahan, kehangatan dan kebahagiaan di rumah Nura.
Selesai do'a khataman dipanjatkan, sholawat di dendangkan.
Ada yang istimewa kali itu.
Ada materi ceramah yang disiarkan langsung dari Austria.

Hamdi telah memasang layar yang cukup lebar. Infokus sudah disiapkan.
Sambil menunggu sambungan video call, Hamdi memperlihatkan foto-foto kegiatan santri di rumah tahfidz.
Sambil para santri dan semua tamu menikmati semua hidangan.

Akhirnya video call yang ditunggu muncul juga.
Tampak Hamid berada di sebuah taman. Duduk di.sebuah bangku.
Hamid menggunakan jaket yang cukup tebal. Jaket berwarna abu-abu tua.
Sehelai syal menghiasi lehernya.
Pepohonan khas musim gugur nampak menghiasi pemandangan yang terlihat di layar backdrop, selain Hamid yang tengah bersiap berbicara.

"Assalamualaikum semuanya apa kabar?". Hamid tampak melambaikan tangan di layar.
Hamdi bertugas sebagai operator duduk bawah,  di depan meja kecil tempat laptop di simpan.
Hamdi memutarkan laptopnya. Memastikan agar kamera laptop menangkap semua gambar tamu yang hadir.
Setiap tamu diminta melambaikan tangan.
Termasuk Andini dan Adlan yang duduk bersebelahan.

Hamid memandang semuanya dengan senyum. Senyum yang terlihat jelas oleh semua yang hadir saat itu. Senyum bahagia atau senyum yang dipaksakan bahagia. Hanya ibunya yang memahami.

"Alhamdulillaah, berkat nikmat dan kasih Allah, kita bisa berjumpa meskipun beda negara. Kakak sekarang tidak sedang di Winna, Austria, tapi sedang Muenchen Jerman, kebetulan besok ada undangan untuk ngisi pengajian" Hamid diam sejenak.
"Kakak bahagia bisa menyapa kalian semua. Alhamdulillah, teknologi adalah ilmu yang Allah berikan pada manusia yang dengan teknologi ini, Allah buat kehidupan manusia lebih mudah"

Semua.tampak memperhatikan. Serius. Tapi santai menikmati hidangan.

"Kakak do'akan, semoga kalian kelak bisa sampai ke.sini.juga, menikmati dan mentafakuri ciptaan Allah."
"Aamiin" semua tamu yang hadir mengaminkan.

"Alhamdulillah, Kakak bersyukur dan turut bahagia atas lahirnya Hanana, dan kakak do'akan semoga Hanana  bisa menjadi anak sholihah penghafal dan pengemban Al Quran.
Dan karena kakak tengah dalam kegembiraan, kakak ingin membahas kajian tentang syukur"

"Syukur adalah ucapan terima kasih kita atas semua pemberian Allah. Siapa yang bersyukur maka akan Allah tambahkan kenikmatan dan jika tidak bersyukur atau kufur, maka adzab Allah pasti akan menimpa"

Suara Hamid terdengar. Tapi Hamid kadang berbicara sambil memperlihatkan pemandangan di sekelilingnya.

"Karena itu, kakak ingin agar semua semua santri rumah tahfidz selalu mengucapkan kalimat : terima kasih Allah, hamba bisa membaca Al Quran. Terima kasih Allah, aku bisa makan, terima kasih Allah, aku punya teman dan lain-lain".

Andini berbisik pada Adlan.
"Mas aku berterima kasih pada Allah karena Mas jadi suamiku."

Adlan tersenyum.
"Mas, koq serius amat sih dengerin ceramahnya?" Andini bertanya.
"Rasanya, mas sangat familiar banget dengan kembarannya Hamdi ini. Padahal seingat Mas, belum pernah ketemu," Adlan menjawab. Nampak sedikit bimbang.

Andini tak terlalu peduli dan tak terlalu mendengarkan apa yang disampaikan Adlan.
"Mas, aku mau berterima kasih juga sama Allah, karena tadi pagi aku tes urin dan hasilnya dua garis biru"

Labirin Cinta Andini part 15

Labirin Cinta Andini
(Oleh Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 15.

Hidup adalah perjalanan dari satu taqdir ke taqdir berikutnya.
Dari satu taqdir kita kumpulkan pundi-pundi pahala jika ikhlas dan sabar menjalaninya.
Pundi-pundi yang harus benar-benar kita jaga, agar semua pahala yang telah ditebus dengan peluh dan air mata, tak menguap, hilang karena riya.

Hidup adalah perjalanan yang sebentar saja. Tak lama.
Dalam sebentar itu, manusia berpetualang antara tangis dan tawa dalam kebebasan kehendaknya.
Manusia bebas memilih, apakah ia akan ta'at atau memilih maksiat.
Namun manusia tidak bebas memilih konsekuensi dari pilihannya.

Pada setiap taqdir yang menyapa, manusia bebas memilih, apakah ia akan ridho menerima atau marah dan menolaknya.
Tapi ia tidak bebas memilih balasan dari pilihannya.

Ya ada kalanya manusia sangat bebas memilih.
Bahkan ia dibebaskan apakah ia akan memilih hidup dalam keimanan atau hidup dalam kekafiran. Ia hanya tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban nya kelak.diakhirat.

Namun kebebasan memilih bukanlah karena kesempurnaan.
Sempurna hanyalah milik Sang Pencipta Kehidupan, Sang Pemilik taqdir.
Dalam kebebasannya manusia terpenjara dalam sunatullooh penciptaan.
Ia tak bebas memilih kapan ia ingin hidup dan kapan ia inginkan kematian. Semua mutlak atas kehendakNya.
Ia tak bebas memilih dengan siapa ia berjodoh seberapa dalampun cinta yang terlanjur, jika bukan jodoh, cinta hanya ujian, bukan jalan kenahagiaan.
Ia juga tak bebas memikih dari rahim dan benih mana, ia ingin dilahirkan dan di tempat mana ia ingin dibesarkan.
Namun Maha Bijasana Sang Maha Pencipta. Di sini, konsekuensi dan balasan, ditiadakan.

"Ada apa Andini?" Adlan bertanya, sambil mengusap mata Andini yang basah.
Andini menceritakan semuanya.
Adlan mendengarkan dengan seksama.
"Nura sudah tahu?" Adlan bertanya.
"Santi berpesan agar Andin tidak mengabari Nura, katanya biar Mukhlis sendiri yang nanti mengabari"
"Ya sudah, kita do'akan saja. Kita do'akan kebaikan untuk semuanya"
"Aku hanya kasihan sama Nura, sebab kemungkinan, empat puluh hari kedepan Mukhlis harus tetap di Jogja. Mertuanya di Jogja termasuk yang kolot dan memegang teguh tradisi tahlilan"
"Mertuanya tidak tahu kalau Mukhlis punya istri kedua?"
"Sepertinya tidak"
"Sudahlah, aku tahu Nura sahabatmu..."
"Nura seperti saudaraku Mas, keluarganya seperti keluargaku" Andini memotong
Adlan tersenyum bijak. Dipeluknya Andini.
"Sekarang ada aku yang lebih mencintaimu dari.siapapun, aku tak mau kamu bersedih atas masalah yang bukan masalahmu"
Andini membalas pelukan itu.
"Maafkan Andin".
"Ga ada yang salah"
"Mas ridho kan sama.Andin"
"Iya, Mas ga marah koq"
"Ayo kita ke rumah umi" Adlan mengajak

"Mas, jangan lupa beli oleh-oleh dulu buat umi dan Abi" Andini mengingatkan.
"Apa ya?"
"Martabak, umi dan abi suka banget waktu dulu Andin bawain"
"Ya udah, ayo" Adlan menggenggam tangan Andini.
Dua tangan yang serasi.
Dua tangan yang telah berjanji saling menuntun dalam ridhoNya.
Dua tangan berikrar untuk saling menyelamatkan hingga ke surgaNya.

***

Rumah yang asri nan teduh itu terlihat sepi.
Adlan mencoba membuka pintunya.
"Assalamualaikum" Adlan mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam" hanya bibi yang menjawab.
"Eeeh, Mas Adlan, kenapa ga ngasih tahu.dulu?"
"Gapapa Bi, Umi kemana?"
"Umi.lagi.sholat dzuhur"
"Abi?"
"Abi lag ke Tenjolaya, nengok.Mang Ading, biasa, ngontrol kambing-kambing sama sapi-sapinya".

"Assalamualaikum, ya Allah naaak, kenapa ga ngasih kabar kalau mau pulang" umi memyambut Andini dan Adlan dengan mukenanya.
"Gapapa Mi"
"Sudah makan belum?"
"Sudah mi".
"Ini Andini sama Mas Adlan tadi beli martabak untuk Umi sama Abi"
"Koq malah ngerepotin"
"Ngga Mi,
Umi menerima oleh-oleh yang diberikan.  Umi berjalan ke dapur. Andini dan Adlan duduk di ruang keluarga

"Kalian nanti nginep di.sini kan?" umi bertanya.
Ditangan umi ada sepiring martabak telor.
Bibi mengikuti. Membawa nampan berisi martabak manis dan beberapa gelas teh hangat.
"Tadinya cuma mau ambil baju-baju sama perlengkapan kerja aja mi" Adlan menjelaskan
"Nginep sini aja" umi menyarankan.
"Andin ga bawa baju ganti mi"
"Itu kemarin ada temen umi bawa jualan baju, umi beli tiga, sengaja buat Andin". Umi menjelaskan.

"Mba Andin?" tiba-tiba Dinda menyapa dalam tanya. Matanya yang setengah sembab, menunjukkan wajah yang baru saja terjaga dari tidurnya.
"Dinda apa kabar?" Andin menyalami & memeluk Dinda
"Alhamdulillah baik"
"Udah lama Mba?"
"Baru saja"

"Ini ada oleh-oleh dari Andin & Adlan" Umi menyodorkan piring berisi martabak telor.
"Makasih Mi, nanti aja, Dinda masih kenyang" Dinda menolak halus.

Semua nampak gembira.
Bercengkrama.
Keluarga adalah ikatan cinta.
Keluarga adalah harta tak ternilaikan.
Keluarga adalah surga sebelum surga jika di dalamnya terikat dengan syariat.

"Ayo, istirahat dulu" umi mengingatkan.
Andini & Adlan menganngguk.
Dinda memilih berjalan ke dapur.
Andini dan Adlan berjalan ke kamar

Jarum panjang yang tipis dan kurus seperti jarum dalam jam bergerak pasti. Ia seolah berlari. Ia bertugas menunjuk waktu dalam makna detik.
Jarum panjang yang lebih tebal pelan beranjak, menunjuk waktu di angka enam. Jarum pendek yang lamban, tengah bertenger diantara angka lima.dan enam.

Andini dan Adlan tengah menikmati snack sore. Dua wajah penuh kesegaran memancarkan kebahagiaan. Rambut Adlan nampak masih basah.
Andini duduk di sebelahnya sambil melihat-lihat majalah islami. Duduk dalam kehangatan cinta yang penuh kasih sayang.

"Assalamualaikum" kedatangan Zamzam baru disadari Andini dan Adlan ketika Zamzam menyapa mereka.
"Eh, Zamzam". Adlan bangkit menyambut adik.kesayangannya. Mereka berpelukan.
"Apa kabar? Gimana di kantor?"
"Alhamdulillah" hanya kata itu yang terucap dari.mulut Zamzam.
"Kak, apa.kabar?" Zamzam menyapa Andini sopan. Ia terlihat sangat menjaga jarak dan sikap. Hingga terlihat sangat kaku.
"Alhamdulillah baik". Andini menjawab.

"Mas udah pulang toh, tumben pulang cepat" Dinda menyambut.
"Alhamdulillah, hari ini jalan bener-bener lancar, ga macet sama sekali" Adlan menjawab.

"Pengantin baru bawa berkah kayaknya" umi tiba-tiba ikut bicara.
"Ngga boleh begitu Mi, semua keberkahan dan kemudahan datang karena kasih sayang Allah, kita hanya penerima, bukan pembawa" Andini mengingatkan.
Zamzam tersentuh.
Adlan tersenyum bangga dalam rasa syukur yang mendalam

Minggu, 02 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 14

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad ).

Part 14.

Hamdi mengirim video dan foto-foto kelahiran bayi ke group rumah tahfidz.
Andini memperhatikan video itu dengan seksama. Matanya mengembun melihat semuanya.
Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya.
Reflek tangannya memegang perut.
Adlan yang sedari tadi memperhatikan, ikut memegang perut Andini. Istrinya. Penuh kelembutan, diletakkannya tangan perkasa itu di atas tangan yang putih bersih nan halus. Kedua tangan menempel di perut. Namun sejatinya kedua tangan itu tengah meminta pada pencipta hidup & kehidupan, agar Allah amanahkan pada mereka sebuah kehidupan baru, seorang anak, buah cinta dalam cintaNya.
"Semoga Allah berikan kita keberkahaan". Adlan berbisik lembut di telinga Andini.

"Bayi merah ini sudah terlihat sangat cantik, meski mirip abinya, padahal yang cantik kan ibunya" itu caption yang ditulis Hamdi menyertai foto-foto yang ia kirim.

Hamid membalas pesan foto itu dengan mengirim fotonya.
"Dari Wiena yang tengah musim gugur, Om kirim do'a dan sun sayang untuk ponakan yang baru lahir, semoga jadi anak sholihah seperti ibunya, pejuang islam, penyejuk hati dan penolong kedua orang tuanya di dunia dan akhirat".
Pepohonan dan tanaman  berwarna merah hati, sebagian berwarna oranye dan kecoklatan, tampak menjadi latar foto Hamid. Hamid berdiri di atas daun-daun yang berserakan. Jaket tebal menutup tubuh Hamid.

"Bukan om kali, tapi uwa"
Hamdi membalas
"Kan belum nikah". Hamid membalas, menyertakan emotikon tertawa terpingkal-pingkal.
"Ayo Uwa Hamid cepetan nikah, jangan terlalu berhati-hati mencari pelabuhan hati" Nura membalas.
Hamid tidak membalas.

Andini tergerak untuk ikut mengomentari dengan menyampaikan kalimat do'a untuk Hamid. Ia memilih foto teman-temannya waktu di karantina tahfidz.
Jempolnya yang lentik mulai mengetik.

Tinggal selangkah lagi.untuk mengirim pesan. Seperti biasa, Andini selalu membaca ulang.
"Ayo uwa, banyak bidadari jelita penghafal Quran yang siap dipinang. Semoga Allah segerakan".

Akhirnya ia menghapus semua kalimat yang sudah ia ketik.
"Tinggalkan sesuatu yang meragukan, pada hal yang tidak meragukan". Ia teringat quote, atsar yang keluar dari.salah seorang sahabat Rosululloih saw yang mulia.
Ya. Ada keraguan yang singgah di hati Andini.  Biasanya Hamid tak akan membalas.

"Mas, kita pamit yuk, nampaknya Nura harus istirahat dan Mas besok mulai ngantor. Kita belum siap-siap" Andini mengajak Adlan.
Adlan menganngguk.

"Bu, sebentar saya keluar dulu, ada keluarga nelpon" Santi ijin pamit ke ibu Nura, mendahului Andini dan Adlan.
Ibu mengangguk, mempersilahkan.

"Nura, selamat yaa, kamu udah jadi ibu dari bayi yang cantiiiiik banget" Andini mengelus tangan Nura. Senyum mengembamg di dua wajah yang bercahaya.
"Makasih"
"Do'ain biar aku ketularan ya, biar aku bisa jadi ibu tanpa menunggu"
"Iya aku do'akan"
"Debaynya udah punya nama?"
"Iya, aku udah nyiapin sama Mukhlis sejak tahu kalau bayinya perempuan"
"Oh ya? Siapa?"
"Hanana Faradisa Mukhlis"
"Namanya cantik, secantik bayinya, ibunya kalah cantik nih"
Nura hanya tersenyum. Bahagia.
"Aku pamit dulu ya, Adlan besok mulai ngantor"
"Iya" hanya itu yang keluar dari bibir Nura.

Andini mendekati ibu. Mengambil dan mencium tangannya. Ibu yang sejak lama sudah ia anggap sebagai ibu sendiri.
"Andini pamit dulu Bu, do'akan Andini ya, semoga bisa cepet punya bayi juga" Andini memohon restu.
"Iya, ibu do'akan. Kamu kan anak ibu juga"
Adlan menyodorkan kedua tangan. Bersalaman tanpa bersentuhan. Hanya isyarat pamit tanda dan menjaga kesopanan.

"Mas, kita ke rumah ya, ngambil pakaian-pakaian dan perlengkapan kerja Mas"
"Iya" Adlan menjawab pendek.
"Tapi aku mau sholat duha dulu di masjid sini ya, kalau di rumah umi, takutnya ga sempat" Andini menggelayutkan tangannya di lengan Adlan manja.
Mereka berjalan menuju mushola.

Mushola yang cukup luas di lantai dua. Tempat sholat untuk pria dan wanita dipisah.
Andini melepaskan tangannya.
Kebahagiaan membuat dadanya lapang dan langkahnya terasa ringan.
Dengan ringan pula Andini menuju toilet yang berdampingan dengan tempat wudhu.

Andini melihat ada Santi di sana. Di depan wastafel. Santi tengah mengusap matanya dengan tisu.
Perlahan dan hati-hati, Andini mendekat.
"Mba..." Andini ragu menyapa.
"Mba baik-baik saja?" Andini bertanya setengah berbisik

Mata.Santi terlihat basah dan merah. Nampaknya air mata sudah tertumpah sedari tadi.
"Ada apa, Mba? ada yang bisa saya bantu?" Andini menatap Santi.
"Dewi, istri pertama Mukhlis, dua hari yang lalu dioprasi, ada penyumbatan pembuluh darah di otak" Santi tersengal berbicara.
"Oprasinya lancar, Tapi Dewi tidak berhasil melewati krisis" Air mata mata Santi tumpah kembali.
Reflek Andini memeluk tubuh Santi.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, kami turut berduka cita" Andini lirih berkata.
"Kapan meninggalnya?" Andini mencoba bertanya memastikan.
"Setengah jam yang lalu" Santi menjawab terisak.
Andini tak berani melepas pelukannya.

Hanya pelukan dalam ketulusan yang bisa ia berikan. Sebagai ungkapan bahwa Andini faham akan apa yang Santi rasakan.

Kebahagiaan dan kesedihan kadang hanya berbatas sehelai rambut. Kehidupan dan kematian kadang tak perduli pada waktu. Semua sempurna dalam keta'atan pada Yang Maha Menciptakan.

Sama seperti jarak antara langit dan bumi kadang hanya terlihat sebagai batas garis cakrawala.
Padahal jarak nyata jauhnya. Mereka yang pernah mengangkasa pun tak pernah melihat batas jelas antara langit dan bumi. Hitungan ketinggian yang mereka catat, itu saja yang mereka tahu. Semua rahasia ilahi.

Pun kapan batas antara kehidupan dan kematian, tidak ada yang tahu kapan akan tiba masanya. Semua rahasia ilahi.
Sebagai hamba, manusia hanya harus berjalan, ta'at dan ridho dalam semua tuntunan dan ketentuanNya.

Labirin Cinta Andini part 13

Labirin Cinta Andini
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 13.

Barangkali taqdir adalah pakaian terindah bagi hidup setiap manusia.
Pakaian yang sangat pas di badan.
Pakaian yang sangat cantik dan sesuai dengan lekuk tubuhnya.
Pakaian yang sangat sempurna menemani penampilan hidup manusia.

Hingga taqdir setiap orang hanya cocok untuk masing-masing pribadi.
Tak akan pernah ada taqdir yang sama.
Setiap taqdir indah pada hikmahnya.
Setiap senyum yang tersungging pada goresan taqdir adalah penyempurna indahnya.
Setiap air mata yang tertumpah pada lukisan taqdir ibarat gunting yang menyempurnakan polanya.

Tidak akan pernah ada taqdir yang salah. Karena yang menetapkannya adalah Allah yang Maha Benar dengan segala kuasanya.
Tidak akan pernah ada taqdir yang terlalu berat, karena Allah hanya membebankan sesuai kekuatan yang ia titipkan pada hambaNya.
Tidak ada taqdir yang menyiksa jika manusia ridho dan tak cinta dunia.

Taqdir setiap hamba beda. Tak satupun yang sama
Allah hanya ingin setiap hamba mengambil pelajaran dari hamba lainnya.

Sungguh indah sempurna semua catatanNya.

Pun.dengan taqdir kehidupan dan kematian.
Hidup yang bermula dengan perjuangan meregang nyawa, hingga tangis disambut bahagia, ketika bayi terlahir ke dunia meski hanya sementara.
Kematian pasti akan datang, namun sering dilupakan. Entah bagaimana saat hamba berpulang, namun selalu diantar dengan tangis pilu penuh duka.

*

Nura telah berbaring di ranjang pengantar. Siap di antar ke ruang oprasi. Andini mengiringi di sisi kanan. Memegang tangan Nura.
"Kamu akan sempurna menjadi wanita, kamu akan jadi seorang ibu. Semua akan berjalan lancar dan baik-baik saja" Andini mengucapkan kalimat penyemangat dan Afirmasi untuk Nura.
Nura tersenyum. Wajahnya bercahaya.

Hamdi berjalan di samping kiri bersama ibu. Ibu nampak khawatir. Hamdi nampak cemas dalam kesedihannya.
Kami berjalan hingga pintu.
"Siapa perwakilan keluarga yang mau masuk". Seorang perawat bertanya.
Ibu memandang Hamdi
"Kamu aja"
Hamdi mengangguk.

"Saya kakak iparnya, boleh masuk?" tiba-tiba Santi tiba di antara mereka yang mendampingi Nura. Nafasnya masih terengah-engah.
"Biasanya dokter hanya mengijinkan satu orang" perawat menjelaskan.
"Please, Mba, tolonglah, ini kondisinya beda, suaminya tengah berada di luar kota. Saya kakak dari suaminya" Santi memohon, menghiba.

Dua perawat saling pandang.
"Sebentar, saya sampaikan dulu ke dokter Nurita. Mohon tunggu"
Nura masuk dibawa perawat, didampingi Hamdi. Pintu belum ditutup.

Santi.tampak gelisah.
"Masih capek, Mba, minum dulu" Andini menyodorkan sebotol air mineral yang ia keluarkan dari tasnya.
"Terima kasih" Santi menerima.

"Keluarga pasien dari pihak suami, silahkan masuk" seorang perawat berkata.
"Alhamdulillah" Santi tampak bahagia. Ia tak menunggu lagi. Langsung masuk mengikuti langkah perawat.

Seorang bayi cantik telah lahir. Buah cinta Mukhlis dan Nura.
Dunia menyambutnya penuh suka.

Hamdi dan Santi merekam semua kejadiannya. Mengabadikan detik-detik kepala munggil itu keluar dari sayatan penuh darah.
Mengabadikan tangis yang disambut senyuman.
Hamdi meminta seorang perawat untuk merekamnya ketika adzan dikumandangkan di telinga kiri dan iqomah di telinga kanan.

Adzan yang dikumandangkan sang paman adalah kalimat indah pertama yang didengarnya. Lantunan tauhid yang merdu. Ajakan untuk bersujud sebagai langkah menuju kemenangan hidup.

Dokter menyelesaikan pekerjaan tahap akhir.
Menutup sayatan yang diperut Nura. Mengembalikan seperti semula meski meninggalkan bekas luka yang tak kan pernah hilang.

Nura menitikan air mata haru.
Santi mengusap-ngusap pundak Nura yang masih terbaring.
"Maafkan Mukhlis tidak bisa mendampingi saat ini" Santi menyampaikan haru.
"Gapapa Mba, aku tahu koq, aku tidak menyesali. Aku bahagia".

Bayi kecil itu telah berselimutkan kain bedong.
Wajahnya merah. Terlihat gambaran kecantikan di sinar wajah yang mungil itu.
Sebuah ikatan di alam rahim kini telah berganti alam. Kasih sayang yang selama ini hanya tersampaikan dalam do'a dan elusan di perut bunda, kini tersampaikan lewat pelukan, kecupan dan belaian.

Santi merekam detik-detik pertama sang bayi menikmati rizqi di dunia. Menikmati air susu ibu yang Allah alirkan penuh cinta.

Setelah bayi tampak kenyang, perawat mengambilnya kembali.
Nura harus beristirahat setelah perjuangan menghadiahkan kehidupan ia lakukan.

Nura dibawa ke kamar perawatan.
Andini dan ibu menyambut Nura dan berjalan mengiringanya seperti tadi.
"Selamat ya Nura" Andini memberikan senyuman terindah.
"Selamat ya Bu, sudah jadi nenek" Andini memandang ibu.
Ibu hanya tersenyum. Keharuan telah menyembunyikan kata-kata dari bibirnya.

Nura terbaring di kamarnya.
Andini dan ibu duduk di sisi.
"Bu" Nura berkata lirih.
"Sudahlah Nak, istirahat dulu" ibu mengisyaratkan agar Andini tak berkata-kata.
"Aku tak ingin ibu berburuk sangka pada Mukhlis" Nura tetap bicara.
"Iya ibu faham, ini kan diluar perkiraan, maju lebih cepat dari hitungan dokter" ibu mencoba bijaksana memahami.
"Mukhlis mungkin tidak akan pulang dalam waktu dekat, aku tak ingin ibu marah sama Mukhlis" Nura  tak bisa ditahan untuk tidak berbicara.
"Tadinya Mukhlis minggu ini ga akan pulang, Dewi sudah mengijinkan. Tapi kemarin bunda Mukhlis nelpon, ngasih kabar Dewi, maduku, mendadak harus dioprasi, ada penyumbatan darah di kepala dan sekarang sedang masa kritis"