Kamis, 13 Februari 2020

Labirin Cinta Andini part 18

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad)

Part 18.

Anak kecil bekemeja kotak-kotak hijau orange dan hitam. Bercelana jeans hitam. Matanya berbinar memandang Nura.
Hati Nura berkecamuk. Ada bahagia. Ada bimbang. Ada sedih. Ada haru.

Anak berwajah ibunya.
Anak dari seorang wanita yang tak pernah mau ditemui Nura lagi.
Anak dari seorang wanita yang telah bersimpuh meminta Nura untuk menikah dengan suaminya.
Anak.dari wanita yang kini telah pergi selamanya.

"Assalamualaikum, aku Jundi, mba siapa?" anak tanpa dosa iti mendekati dan menyapa Nura. Ramah dan ceria. Seolah sama sekali tak ada beban di hatinya.

"Panggil aku ibu" Nura memjawab.
"Tapi ibuku sudah ke surga" anak itu menjawab polos.
"Ibu ga pernah datang lagi" kesedihan mulai membayang di wajahnya yang polos.
"Kalau begitu panggil aku Bunda" Nura merubah posisinya. Ia jongkok. Mencoba mensejajarkan diri dengan Jundi.
"Bunda?" Jundi bertanya.
"Iya Bunda, aku mau jadi pengganti ibumu, boleh?" Nura menatap wajah polos itu. Mencari sinar di matanya.
"Bunda mau jadi pengganti ibuku?" Jundi menatap mata Nura.
Nura mengangguk.

Jundi membalikkan badan. Mencari ayahnya.
Mukhlis dari.tadi menatap adegan yang mengharukan.
Menatap di tempat taxi tadi berhenti.

"Ayah, aku punya pengganti ibu, namanya bunda" tangan kecil itu menarik tangan ayahnya.
Mukhlis mengikuti anak lelakinya.
Kedua ayah dan anak itu mendekati Nura yang masih jongkok.
"Bunda, ini ayahku"

Mata Nura menggenang.
Dipeluknya Jundi erat.
Jundi diam mematung. Matanya penuh tanya.
Dia belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Mukhlis ikut jongkok.
"Ayo kita masuk"
Mereka melangkah bersama.

Hamdi, ibu Nura menggendong Hanana yang tengah terlelap, dan Andini melihat semuanya. Ibu menngeratkan dekapan pada cucunya.
Hamdi memalingkan muka. Seolah itulah caranya menghapus keharuan yang baru saja datang.

Andini tak kuat ia menahan air matanya.
Tapi segera ia menghapusnya.
Ia tak ingin menambah kesedihan Nura. Ia tak ingin mendalamkan rasa haru Nura yang sendu birunya terpancar di matanya.
Andini sadar. Tentu semuanya berat bagi Nura.

"Nura aku pamit ya, nanti malam aku ke sini lagi bareng Mas Adlan"
"Iya, makasih banyak ya"

Andini sedikit membungkukan badan pada Hamdi dan ibu Nura.
"Andin pulang dulu ya"
Ibu melepas dengan anggukan dan senyuman.

Ibu Nura dan Hamdi menyambut Mukhlis di pintu paviliun.
Hamdi menyambut dengan pelukan.
Mukhlis mengambil Hanana dari pangkuan neneknya.
Inilah pertama kali ia bisa memeluk buah hatinya.

Diciuminya wajah cantik mungil yang kemerahan itu. Wajah dari buah hatinya darah dagingnya.
Wajah yang sudah lama sangat dirindukannya.
Dilantunkan do'a-do'a terbaik untuk kesayangannya.
"Allohuma baarik lanaa fii aulaadina warzuqnaa biirohum, Allohummahfdzhum, wawafiqhum lii taqwa wa 'alimhum takwiilah"
( Yaa Allah berikanlah keberkahan pada anak-anak kami & karunia kan lah kami rizqi berupa bakti mereka. Yaa Allah jagalah mereka dan berilah mereka taufiq untuk bertaqwa dan ajarkanlah mereka takwil)
Lantunan itu ditiupkannya pada ubun-ubun sang bayi, Hanana.

"Allohuma u'idzuhaa bika wa dzuriyatahaa minasysuaitonnirrojiim.
Allohuma u'idzuhaa bika wa dzuriyatahaa min syarri syaithon wa hammah wa min 'ainin laammah"
Kembali.ditiupnya dengan penuh kasih sayang.

Jundi melihat semua yang dilakukan ayahnya.
"Ayah, itu siapa?"
Mukhlis jongkok. Memperlihatkan Hanana pada Jundi.
"Ini Hanana, adikmu?"

Jundi terpana. Matanya riang menatap ayahnya seolah tak percaya.
"Aku punya adik?" Jundi bertanya.
Mukhlis menganngguk
Ia.melihat bayi mungil berwajah cantik kemerahan.

Sekejap kemudian Jundi.melompat-lompat senang.
"Horeeee, aku punya adik, aku punya adik seperti teman-temanku"

Nura membungkukkan badannya.
"Jundi senang?" Nura bertanya.
"Iya, aku senang punya adik" matanya berbinar.
"Kalau senang, harus berterimakasih sama Allah, bilang apa?" Nura mengingatkan.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah" Jundi berucap. Polos, namun penuh makna.

"Ayo masuk" ibu Nura mengajak.
Mukhlis, Nura dan Jundi masuk.
Hamdi melangkah ke teras, mengambil koper yang masih berdiri. Seolah menjadi saksi.atas semua.yang terjadi.
Andai dua koper itu bisa menangis, tentu air matanya pun ikut tumpah melihat semuanya.

Ruang tamu paviliun itu berukuran lima kali lima meter persegi. Ada sofa set warna hijau toska muda di sana.
Semua duduk.

"Jundi sudah makan?"
Jundi menggeleng.
"Mau makan?"
Jundi menganngguk
"Bunda siap kan makan dulu ya"

Nura ke dapur.
Dapur yang sederhana.
Masih ada hidangan yang tadi dibawakan Andini.
Nura membawanya ke ruang tamu.

Mukhlis dan Jundi lahap.menikmati.

Nura menidurkan Hanana di kamar.  Bayi mungil itu menangis meminta asi.
Mukhlis masuk menemui istri dan anaknya.

Dikecupnya lembut dahi Nura.
"Tetima kasih sudah mau menerima Jundi"
Nura tersenyum lembut. Senyum yang semakin melangitkan cantik wajahnya.
"Ga usah berterima kasih, Mas, aku tulus menyayanginya"
"Nanti biar Jundi tidur dengan para santri"
"Biar tidur di sini dulu lah bersama kita, biar dia merasa nyaman dulu, kalau sudah kerasan, sudah nyaman, sudah bisa dekat dengan para santri, nanti baru dikasih pilihan, mau tetep di sini atau dengan santri, kan umurnya belum tujuh tahun"
Mukhlis menjawab dengan kecupan.

Adzan maghrib berkumandang.
Lantunan adzan selalu menebarkan ketenangan.
Lembut merdu nan syahdu, tapi tidak meninabobokan, malahmembuat para hamba pilihanNya bergegas menyambut panggilanNya.
Bersiap dalam barisan yang harus dirapikan dalam kekokohan.

Mukhlis bersiap. Ia mencari Jundi.
Didapatinya Jundi tengah duduk di atas sofa. Duduk memeluk lutut. Menempelkan mukanya ke lututnya
Mukhlis mendekati sulungnya.
"Jundiii" sapanya lembut dan hati hati.
Anak  kecil itu mengangkat wajahnya. Wajah yang basah oleh air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar