Rabu, 18 Maret 2020

Cinta Seindah Sakura part6

Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 6.

Sudah sejak lama Andini merasa rumah Nura adalah rumahnya. Ibu Nura adalah ibunya. Kakak Nura adalah kakaknya. Adik-adik Nura adalah adik-adiknya.

Andini sudah hafal semua sudut-sudut yang ada di rumah ini. Hanya dua tempat yang tidak pernah ia masuki. Kamar Hamid dan kamar Hamdi.
Inilah pertama kali ia membuka kamar Hamid yang selanjutnya akan menjadi kamarnya.
Jika dulu ia sangat tidak peduli. Sangat datar menanggapi.
Kini ada getar-getar di dada dalam hatinya saat membuka pintu kamar itu untuk pertama kalinya.

Ada tanya yang menggelayut di hatinya.
Akankah ia bisa membahagiakan Hamid.
Akankah ia bisa menjadi bidadari untuk Hamid
Akankah ia bisa menjadi wanita sholihah dalam bimbingan lelaki yang dulu selalu dianggap sebagai saudaranya.
Akankah ia bisa mendampingi Hamid meraih semua cita dalam bahagia.
"Bismillaah" hanya itu jawaban yang Andini tancapkan untuk mengusir semua tanya yang mengundang keraguan.

Semerbak harum menyambut pemilik baru kamar itu.
Kamar yang rapi dan bersih.
Ranjangnya ditutup kelambu yang dihiasi bunga-bunga.
Putih dan harum bunga melati bertabur di atas ranjang itu.

Di salah satu sudut di dekat jendela ada sepasang kursi mengapit sebuah meja.
Ada bunga mawar merah, se dalam vas bunga kristal. Cantik.
Tidak hanya bunga. Di atas meja juga ada beberapa buku.
Andini tahu, Hamid memang sangat suka membaca.

Hamid memegang lembut tangan Andini. Menuntunnya untuk duduk di kursi itu.
"Sini, kakak ingin menunjukkan sesuatu"
Andini hanya menurut.
Tidak ada pilihan selain ta'at.
Ta'at yang ia harapkan dengannya akan memancing ridho Allah, hingga Allah berkenan memasukannya ke dalam surgaNya.

Hamid mengambil salah satu buku. Memberikannya pada Andini.
Andini terpana memegang buku  itu. Buku dengan cover Warna baby green. Sama seperti gaun yang ia pakai.
Ada setangkai mawar merah di atas sajadah berwarna pink muda. Itu gambar yang terlukis di cover buku.
Mata Andini menggenang membaca judul yang tertera di buku itu. Haru bahagia tiba-tiba menyergapnya saat ia mengeja kata yang tertera.
"Sajadah Cinta Untuk Andini"
Oleh : Abdul Hamid Syauqil Firdaus.

"Ini Kakak yang nulis?" Andini bertanya tak percaya.
"Iya" Hamid menjawab pendek.
"Terima kasih Kak" Andini tiba-tiba berlutut, mengambil tangan  suaminya dan menciumnya takdzim.
Hamid tak sama sekali tak menduga.
Namun refleks ia mencium ubun-ubun sang istri.
Khusyu ia meminta pada Sang Maha Pencipta.
"Yaa Allah, berkahillaah istriku. Ijinkan hamba membimbingnya menuju surgaMu. Ijinkan hamba menuntunnya dalam bahagia atas namaMu.
Yaa Allah, lindungi istriku, lindungi kami dari segala macam kesedihan, kemalangan, kejahatan dan hal-hal yang membuat kami menjauh dariMu. Laa haulaa wa laa quwata illaa billaah"

Ia meraih lengan Andini.
Mengajaknya bangkit, berjalan menuju ranjang.
Andini masih membawa buku itu.
Di atas ranjang ia masih membuka lembar demi lembarnya. Buku antologi puisi.
"Ini cara kakak menjalani ujian cinta yang Allah berikan. Kakak tuangkan semuanya dalam tulisan" Hamid menjelaskan.

Ada banyak rangkaian kata dalam keindahan.
Puisi cinta penuh kerinduan. Semuanya tentang Andini.
Tentang pengaduan Hamid pada Allah akan cinta yang Allah jadikan ujian untuknya.

Satu puisi yang Andini suka.
Ia baca ulang dan ulang lagi.

Di sini aku menghamparkan sajadah.
Menyimpan wajah hingga sejajar tanah.
Ijinkan padaMu aku berbisik ya Robb,
Meski ku tahu tak ada yang tersembunyi bagiMu.
Ijinkan ku mengadu padaMu ya Robb,
tentang ujian cinta yang Kau titipkan padaku.
Karena semua telah sedemikian berat, meski ku tahu Kau tak kan pernah mendzalimi hambaMu, dan aku hambaMu
Bukan hamba hawa nafsu.

Yaa Robb,
Andai mata ini telah lalai dalam melihat, aku ridho jika Engkau mengambilnya.
Yaa Robb,
Andai hati ini salah mencintai, aku ridho Engkau menghukumnya dengan ujian ini
Namun andai aku boleh meminta, aku meminta ridhoMu agar ia Kau sandingkan denganku.

Yaa Robb,
Telah Kau hadirkan berjuta wajah, namun wajah satu itu tak hilang jua.
Telah Kau perlihatkan aneka cerita, namun cerita tentangnya tak mampu terhapus jua
Telah Kau luksikan selaksa ceria,
 namun ceria tingkahnya tak ada yang mengalahkannya.

Yaa Robb ijinkan wajah ceria bahagia itu,
melukis cerita hidupnya bersamaku di atas sajadah ini.

(Untuk Andini)

Pipi Andini memerah.
"Kakak menulis puisi ini tujuh tahun lalu?" Andini bertanya tak percaya.
"Iya" Hamid menjawab dengan senyum.
"Anti selalu jual mahal" Hamid berkata.
"Bukan, karena kakak adalah kakakku, tak mungkin kita menikah" Andini mengelak.
"Anti ga punya kakak, ga punya Adik, Anti hanya sahabat Nura, dan jadi anak angkat di rumah ini" Hamid memandang Andini penuh cinta. "Kakak bersyukur, Allah mengabulkan semuanya setelah kakak menunggu sangat lama" ada bahagia tak terkira menyertai setiap kata yang terucap.
Andini menyandarkan kepalanya ke bahu Hamid yang bidang. Hamid memeluknya penuh kehangatan.
"Sholat hajat dulu yuk" Hamid mengajak. Dan Andini selalu ta'at. Tak ada alasan baginya untuk menolak.

**********

Pernikahan adalah ibadah terindah. Ada banyak sunah menggoda di dalamnya.

Pernikahan adalah penyempurna agama, karena ada ibadah berlimpah pahala yang ada dalam ikatannya.

Pernikahan akan jadi ibadah terlama, jika sepasang insan sanggup merawat cinta yang Allah titipkan.

Pernikahan akan menjadi surga ketika sang suami memimpin dengan aturan ilahi, mengikuti arahan Nabi dan kala sang istri menjadi bidadari yang selalu mensyukuri setiap apa yang ia dapati.

Pernikahan adalah ikatan surga yang menyatukan dua manusia. Maka jagalah, dan pastikan syaitan tidak bisa mencuri setiap kebahagiaan yang ada di dalamnya.
Jadikan ikhlas menghamba pada ilahi robbi sebagai kunci utamanya.

Ingat, syaitan akan selalu berusaha menyatukan yang belum halal untuk menikmati cinta,
dan selalu berusaha untuk memisahkan mereka yang telah halal diikat oleh cinta atas Nama Sang Pencipta ; Allah subhaanahu wa ta'ala
Maka berpeganglah selalu pada cinta dalam titahNya

Cinta Seindah Sakura part 5

Sakura Bumi Eropa
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 5.

"Kamu baru pulang, mau ibu masakin apa?"
"Ngga usah Bu, Hamid udah makan"
"Gimana kabar Utsman dan Andini?"
"Alhamdulillah Utsman udah sembuh"
"Alhamdulillah, ibu ikut seneng dengernya"
Sang ibu diam sejenak.
"Ibunya Nina menanyakan tentang kelanjutan ta'aruf. Ayah Nina sakit keras, ibunya Nina ingin Nina cepet nikah"

Hamid diam.
Ia mencoba menatap wajah wanita yang paling dicintainya. Wanita yang telah mengorbankan seluruh hidup untuk kebahagiaan anak-anaknya.

"Bu, apa ibu pernah menjanjikan sesuatu pada ibunya Nina?" Hamid bertanya. Sangat hati-hati.
"Seingat ibu sih ngga, waktu itu sehabis reuni, d group rame untuk saling besanan lalu didata siapa yang masih punya bujang dan gadis. Ibu dikontak ibunya Nina"
"Apa ibu menceritakan sesuatu?"
"Ibu hanya cerita kalau ibu punya bujang yang lagi di Austria, ibunya Nina cerita kalau punya anak gadis yang siap nikah, ibu cuma bilang nanti akan ibu bicarakan dulu. Lalu ibu dikasih CV. Itu yang ibu kasih ke Hamid"

"Syukurlah kalau begitu. Kita do'akan saja, semoga Nina segera Allah pertemukan dengan jodohnya dan semoga ayahnya Nina lekas sembuh"
"Kamu tidak berniat melanjutkan ta'aruf dengan Nina?"
"Tidak Bu, Hamid udah bulat mau menikahi Andini, Hamid ingin jadi ayah Utsman yang yatim, semoga ini jadi jalan bagi Hamid agar kelak di akhirat berdampingan dengan Nabi saw" panjang lebar Hamid menjelaskan.

"Bagaimana dengan Andini?" ibu bertanya ragu.
"Menurut ibu bagaimana?" Hamid balik bertanya.
"Senyum dan matamu sudah menjawabnya" ibu menjawab sambil memeluk anaknya.
"Ibu tak kan pernah berhenti mendoakanmu, nak"
"Terima kasih Bu"

Hamdi, Mukhlis, Nura, Ibu, juga Hamid duduk mengelilingi meja makan. Ibu menyiapkan makan malam.
Hamid hanya menikmati secangkir kopi.

"Hamdi, kamu ridho ga, kalau aku nikah duluan" Hamid memandang adik kembarnya serius.
"Kalau aku ga ridho gimana?" Hamdi balik bertanya. Datar
"Kenapa ga ridho?" Hamid balik bertanya.
"Kenapa ya?" Hamdi berfikir.
"Soalnya ibu ingin kita nikah bareng sampai aku harus menunggu setahun lebih"

"Seberapapun kita menginginkan dan merencanakan, kalau Allah belum ijinkan ya belum akan terlaksana" Nura menengahi
"Iya kan, Mas?" Nura meminta dukungan suaminya.

Mukhlis tersenyum.
"Biar ibu aja yang memutuskan" Mukhlis menjawab singkat.
"Ibu melihat Maya masih belum siap, itu sebenarnya. Maya masih kekanak-kanakan" ibu menjelaskan.
"Apa Maya ga cerita kalau ibu memintanya banyak belajar tentang pernikahan?" ibu bertanya.
"Cerita sih Bu, tapi emang belum sempat karena urusan pekerjaan" Hamdi menjelaskan
"Tapi nanti sambil dijalani kan bisa sambil belajar Bu" Hamdi mencoba membela.
"Kasihan nanti Maya, dia akan banyak kagetnya kalau masih belum siap dan masih mementingkan karir" Ibu menjelaskan

Hamdi tak menjawab lagi.
Ia memandang kakak kembarnya.
"Jadi Hamid serius nih mau nikah sama Andini secepatnya?" Hamdi bertanya.
"Kalau kamu.ridho, ikhlas & bisa  ikut bahagia" Hamid menjelaskan. Walau bagaimanapun, ia tak mau melihat adiknya sedih dan kecewa.
"Serius?" Hamdi menegaskan ulang.
"Iya"
"Kapan"
"Pengennya sih sekarang" Hamid tertawa.
"Ya udah, mau minta kado apa? Aku beliin" Hamdi menantang
"Serius kamu ridho?" Hamid balik bertanya
"Jangan sampai aku berbalik pikiran nih" Hamdi mengancam.
Semua tertawa. Bahagia.

******

Andini bertamu pada neneknya Utsman dan Umar. Keluarga almarhum suaminya.
Umar tampak sehat dan montok.
Dua anak kembar itu bermain. Mereka seolah tidak tahu dan tidak menyadari bahwa mereka adalah saudara kembar.
Kerinduan untuk selalu bersama Umar, memeluknya erat, sering hadir di hati Andini.
Namun Andini hanya bisa menyampaikan rindu itu dalam do'a.

Melihat Umar terawat sehat, Andini bahagia.
Melihat Umar tersenyum riang, Andini senang.
Melihat Umar tersenyum padanya seraya memanggilnya dengan panggilan "umma" bagi Andini itu adalah karunia.
Meski Andini harus menjaga hati, menjaga sikap, menjaga jarak, agar tak ada satupun yang terluka.
Tidak dirinya.
Tidak mertuanya
Tidak juga Zamzam dan Dinda.

"Andini, apa kabar?" Dinda menyambut dengan pelukan.
"Baik" Andini menjawab, pendek.
"Maaf kami belum sempat menengok Utsman lagi" Zamzam menambahkan.
"Gapapa, alhamdulillah Utsman udah sehat" Andini menjawab seperlunya. "Umi ada?" Andini bertanya.
"Ada, aku panggilkan ya" Dinda berlalu.

Andini duduk di sofa.
Dulu ia merasa sangat bebas di rumah ini. Kini ia harus bisa menahan diri. Semuanya telah berbeda. Meski ikatan darah antara keluarga ini dengan anak-anaknya tak kan pernah pupus selamanya.

Zamzam dan Dinda menemani uminya menyambut Andini.
Umi tampak semakin tua dan lelah. Kerutan di wajahnya bertambah.
Andini menyambut wanita tua itu dengan sikap takdzim. Sama seperti dulu. Andini masih mencintai dan menyayanginya.
"Umi sehat?" Andini bertanya.
"Alhamdulillah" umi menjawab pendek.
"Ini Andini bawakan martabak kesukaan umi dan abi" Andini menyodorkan bingkisan.
"Utsman mana?" sang nenek bertanya.
"Lagi main sama Umar"
"Udah sehat ya. Alhamdulillah"
"Iya My, alhamdulillah dirawatnya cuma tiga hari" Andini diam sejenak.
"Maaf Andini baru menyempatkan menengok umi lagi, Andini seminggu ini juga belum bisa ke rumah tahfidz akhwat. Ada hal-hal yang harus Andini urus" Andini menjelaskan hati-hati.

Umi diam mendengarkan. Menyimak baik-baik. Menyerap semua kata yang sampai padanya.
"Umi, sebelumnya Andini minta maaf karena Andini ingin menyampaikan sesuatu" Andini menarik nafas panjang.
Ada beban berat di dadanya.

Umi masih diam menyimak.
Zamzam dan Dinda ikut diam dan menyimak. Seolah jantung mereka seirama dengan jantung Andini.
"Sampaikan aja Kak, tidak usah sungkan" Zamzam mencoba mencairkan suasana.

"Ada seseorang yang ingin menyayangi dan menjadi ayah sambung Utsman" hanya itu yang sanggup Andini sampaikan.

"Sejak pulang nengok Utsman di rumah sakit, umi sudah menduga" umi mulai berbicara.
Andini diam. Cemas menunggu jawaban selanjutnya.

"Umi bisa melihat kalau laki-laki yang menggendong Utsman itu lelaki yang sholih" umi kembali diam.
Diam yang membuat debaran jantung Andini semakin kencang.

"Kalau dia bisa menyayangi Utsman dan menerima kamu apa adanya, umi akan mendoakan kamu. Walaupun Adlan sudah tidak ada, bagi umi kamu tetap anak umi dan umi ingin kamu bahagia"

Andini spontan tersungkur, mencium kaki umi.
"Terima kasih umi" ada air mata yang tak sanggup dibendung Andini.
"Andini janji akan tetap mendoakan mas Adlan. Andini janji akan mendidik Utsman untuk menjadi anak sholih yang akan memberi mahkota cahaya di surga untuk ayah kandungnya"

Rasa haru itu menular dengan cepatnya. Air mata juga telah tumpah di mata Zamzam. Dimata Dinda. Dimata umi yang tangannya tak henti membelai kepala Andini.
Mereka tak sadar kalau si kembar Umar dan Utsman tengah melihat pemandangan itu dengan penuh tanda tanya.

**

Akhirnya hari itu tiba.
Andini terlihat sangat cantik menggunakan baju pengantin brukat berwarna baby green.
Nura dan ibu yang merancang semuanya.
Hamid menggunakan jas warna  hijau gelap.
Pasangan yang serasi.
Keluarga menggunakan seragam batik hijau tosca motif daun. Termasuk juga Utsman.

**********
OTW ke Bandung

Bandung emang Baper yang Tak Terbendung.

Cinta Seindah Sakura part 4

Sakura Bumi Eropa
( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 4.

Menjaga wanita agar tetap dalam fitrahnya, laksana menjaga agar keindahan surgawi ada di bumi.

Lihatnya betapa hati lembutnya mampu mengorbankan apapun untuk kecintaannya.

Jika ia Allah ijinkan untuk memiliki seratus nyawa, sepertinya ia akan korbankan semua, agar kecintaannya bahagia.

Jika ia Allah uji hanya memiliki satu mata, ia akan rela memberikan pada kecintaanya, meski kecintaannya tak pernah meminta.

Jika ia harus memberikan nafas pada kecintaanya, agar sang kecintaan bisa menikmati hidup dalam kebahagiaan, paru-paru pun akan ia berikan, meski sang kecintaan tak pernah mengisyaratkan.

Jika ia harus memberikan jantung demi hidup sang kecintaan, itupun akan diberikan, demi menyambung nadi sang kecintaan, meski sang kecintaan tak menginginkan.

Jika ia harus memberikan tangan, maka ia akan rela memberikan anugrah untuk mencari berkah itu pada sang kecintaan, meski sang kecintaan menolaknya

Jika ia harus memberikan kaki pada sang kecintaan, ia akan rela melepaskan, agar sang kecintaan bisa berjalan menikmati indahnya alam, meski sang kecintaan enggan.

Kamu tahu, siapa yang paling dicintai wanita?
Anaknya.

Namun ketika wanita terluka, jangan salahkan jika semua cinta dan pengorbanan akan membusuk menjadi murka.
Surga yang diinginkan tak akan ada. Yang terlihat hanyalah amarah yang membakar semua.
Itulah wanita.

Pun begitulah Andini bagi Utsman, sang kecintaan yang Allah titipkan.
Andini tak menunda untuk bersegera menjemput kebahagiaan anaknya.

Apalah artinya hati jika sang anak mengingkan yang berbeda.
Apalah artinya rasa, jika sang anak terlihat lebih ceria
Apalah artinya gengsi, jika menghalang sang anak dari bahagia.
Itulah kenapa Andini sama sekali tak menunda.

Hamid sama sekali tak menyangka akan kebersegeraan Andini.

Sepuluh tahun, bukan waktu yang sebentar untuk sebuah penantian.
Sepuluh tahun, ada do'a yang tak putus agar wanita yang ia cintai Allah jaga dalam kebaikan, dalam kebahagiaan.

Sepuluh tahun,
Kadang ada rasa yang menggelora, mengantarnya pada angan bahagia
Kadang ada pedih yang memerih, mengantarnya pada sujud, mengadu pada Allah, Sang Pemberi Rindu.
Kadang putus asa menyapa dan ia ingin berbalik arah, mencari yang lain saja.

Namun apalah daya, cintanya menjadi ujian dalam masa yang begitu lama.
Kini, ujian itu seolah berakhir.
Semua telah selesai dalam waktu yang tak terduga.

Hamid merasa karpet merah seperti dihamparkan untuknya.
Taman bunga seperti dibangunkan di sisi kanan kirinya.
Istana dan mahkota seperti tengah menyambutnya.

Namun ia faham. Ada tugas dan tanggung jawab berat setelahnya.
Ia harus menjaga Utsman dan Andini, tak boleh sama sekali menyakiti mereka.
Ia harus siap berpeluh, membangunkan surga untuk keduanya.
Ia harus siap merengkuh, agar keduanya nyaman bahagia bersamanya.
Ia harus membangun pagar-pagar tinggi dalam do'a dan usaha, agar semua terjaga dari api neraka.
Ia harus siap selalu waspada dan terjaga, agar syaitan dan segala tipu dayanya tak menjerumuskan mereka.
Ia harus memberikan segenap hati dan jiwa, agar semua bisa selamat, berkumpul kembali di surgaNya kelak.

Pak Teja ternganga mendengar apa yang disampaikan putri kesayangannya. Antara tak menyangka dan sejuta bahagia yang menyapa.
Ia meneguk kopi, sekedar menenangkan diri.

"Alhamdulillah..." kalimat itu yang keluar dari mulut Hamid, juga calon mertuanya.
"Andin mau minta apa untuk mahar?" Hamid bertanya.

Andini terdiam.
Ia berfikir. Mencari apa yang ia inginkan. Ia tak menginginkan apapun. Ia hanya ingin Utsman bahagia. Itu saja.
"Andin minta tabungan haji untuk Utsman"
"Itu saja?" Hamid memastikan.
Andini menganngguk.
"Kakak tambahkan yang lain ya, seperangkat alat sholat dan perhiasan"
Andini menganngguk.
"Terima kasih Kak"

"Ayo makan dulu, masakannya  udah siap" tiba-tiba mama Andini mengingatkan.
Waktu makan siang memang sedikit terlewat. Lapar memang terlanjur pergi setelah begitu saja diabaikan. Hidangan kali ini terasa begitu nikmat dan lezat. Bukan karena lapar. Bukan karena resep bumbu rahasia. Tapi karena bahagia tengah menyapa jiwa.

"Nak Hamid, sudah memikirkan kapan waktunya?" bapak meretas kembali jalan bahagia.
"Inginnya sih segera Pak, tapi saya mau bicarakan dulu dengan ibu" Hamid menjawab.
"Ibu inginnya pernikahan saya dilaksanakan bareng dengan pernikahan Hamdi, mudah-mudahan waktunya cocok dengan keluarga calonnya Hamdi"
Bapak menganngguk.

Rumah Hamid selalu ramai. Seolah menjadi magnet untuk orang-orang di sekitarnya.
Teman-teman Rika dan Arina. Teman-teman Nura, selalu betah di rumah ini.
Kali ini rumah tengah ramai dengan celoteh Hanana dan  Jundi. Mereka bercanda dengan tante mudanya. Riang.

"Assalamualaikum" Hamid menyapa semua.
"Wa'alaikum salam warohmatuloohi wa baarokaatuh" penghuni rumah menjawab kompak.
"Tampak nya ada kabar bahagia nih" Mukhlis menyapa Hamid.
Hamid menjawab dengan senyuman lebar.
"Do'akan saja" jawabnya pendek.
"Bagi-bagi dong kabar bahagianya" Nura meminta dengan penasaran.
"Nanti pasti kakak kabarkan, Kakak juga ingin minta saran dan masukan dari semua, tapi Kakak ingin berterima kasih sama Allah dulu"
Nura sangat faham akan kebiasaan Hamid ini.
Hamid melangkah.
Nura mengejar. Lalu membisukan sesuatu pada Hamid.

Hamid melanjutkan langjahnya ke kamarnya.
Membersihkan diri. Setelah itu tersungkur bersujud.
Menghaturkan rasa syukur pada Allah yang telah mengatur semuanya.
Ada air mata membasah di pipinya. Air mata haru.
Sujud itu ia lanjutkan dengan dua raka'at sholat taubat dan dua raka'at sholat hajat.
Ia lanjutkan dengan melantunkan syahdu surat Ar Rohmaan.

Pintu kamarnya diketuk.
"Hamid, ibu boleh masuk, Nak?"

Cinta Seindah Sakura part 3

Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu

Part 3

Pak Teja menatap Hamid lekat.
Ada banyak hal yang ingin ia sampaikan.
Tentang tanya, bagaimana dengan proses ta'arufnya.
Tentang cinta, seberapa dalam ia bisa menyayangi Utsman dan Andini
Tentang rasa bahwa, sebagai ayah, ia sudah sejak lama menganggapnya sebagai bagian dari keluarga.
Tentang asa, berharap Hamid kelak akan menjadi pemegang estafeta bahagia untuk anak dan cucunya.
Tentang bahagia, bahwa ia ingin menuntun tiga permata hati kesayangannya, Andini, Utsman dan Hamid menuju keridhoanNya.
Tentang waktu, kapankah kiranya ikrar langit untuk mengikat cinta hingga kesurga itu siap diucapkan.

Namun semuanya ia simpan dalam hati. Ia pendam dalam jiwa dan hanya mampu berkata : "Bapak faham dan bapak sangat terbuka menerimanya, tapi tetap keputusan ada pada Andini, nanti kalau Utsman sudah pulang, cobalah sampaikan pada Andini".
Hamid mengangguk.
"Baik Pak"

Hasil cek labolatorium darah dan air seni Utsman menunjukkan semuanya baik-baik saja. Hasil X-ray juga menyimpulkan bahwa kondisi Utsman sehat sempurna.
Dokter menyarankan agar Andini selalu sedia obat turun panas anal, dan tidak boleh membiarkan menunda pemberian obat turun panas jika Utsman demam.
Andini bersyukur.

Infusan dari tangan Utsman sudah dilepas. Utsman sudah mulai berlari-lari. Ceria bermain.
Andini mengemas semua barang miliknya, milik Utsman dan milik bapaknya yang ada di ruang kamar perawatan.
Satu koper penuh.

"Biar kakak.saja yang bawakan" Hamid mengambil koper dari Andini.
Andini menyerahkan.

Utsman digendong kakek. Bersiap hendak pulang. Balita berusia tiga tahun itu telah riang kembali. Andini mendekati ayahnya. Mengulurkan tangan pada Utsman.
"Sini sama umma, anak sholih" Utsman menyambut. Berempat mereka meninggalkan kamar perawatan itu.

Hamid memasukkan koper ke bagasi.
Andini bersama Utsman duduk di tengah.
Pak Teja mendekati Hamid.
"Kalau tidak keberatan, ikutlah ke rumah, mama Andin sudah menyiapkan masakan spesial"
Hamid tidak punya pilihan.
Ia duduk di depan.
"Abah" Utsman menyapa Hamid riang.
"Ini Ustadz Hamid" Andini mengoreksi ucapan Utsman.
"Abah Hamid" Utsman menyapa Hamid.
Hamid mengulurkan tangan.
"Sini sama Ustadz" Hamid mengajak.
Utsman tak menunggu lama. Tubuh munggil itu berpindah ke pelukan Hamid.

Hamid menyenandungkan sholawat badar.
Utsman mengikuti riang.

Rumah adalah akhirat kecil yang Allah segerakan.
Rumah penuh cinta adalah surga.
Cinta dan kasih sayang membuat batas rumah meluas seolah tanpa batas. Karena cinta memang tak mengenal batas. Maka rumah para pemilik cinta luasnya seperti dada mereka. Hanya cakrawala yang pantas menjadi batasnya.

Rumah penuh petaka pertengkaran adalah neraka.
Amarah yang menyala di dada menjadi api yang membakar semua penghuninya. Menghanguskan kebahagian dan seluruh keberkahannya.
Sempit dada para penghuninya seolah menjadi penghimpit setiap jengkal areanya.

Maka beruntunglah mereka yang mampu menanam dan memupuk.cinta. Dan cinta terindah adalah cinta dalam titian syari'ah. Cinta titipan Allah, seperti yang pernah dilukiskan dalam jejak Nabi kesayangan ; Muhammad saw.

"Assalamualaikum..." Andini membuka pintu rumah.
Bi Inay dan mama sudah menunggu.
"Wa'alaikum salam" mama menyambut dengan pelukan.
"Alhamdulillah Utsman sudah pulang, sini ikut nenek"
Utsman menggeleng.
Sang nenek menyerah.

Hamid duduk di sofa bersama Utsman. Pak Teja menemani.
Bi Inay menyuguhkan teh hangat dan kue-kue.

"Bibi bikin sosis bakar untuk Utsman, ayo ke dapur" bi Inay mengajak Utsman.
"Sosis bakal.." Utsman mengulang.
"Iya, ayo ke dapur"
Utsman tak menolak.

"Andini, tolong bapak buatkan kopi" pinta sang Ayah
"Hamid mau kopi juga?"
"Terimakasih Pak, teh sudah cukup"
"Di Austria & negara-negara Eropa kabarnya teh sangat bervariasi ya"
"Betul Pak, setiap teh ada khasiatnya masing-masing, kalau di Indonesia sama seperti  teh herbal"
"Menarik juga ya"
Hamid tersenyum.

Andini datang membawakan kopi permintaan bapak. Segelas kopi ditemani secawan gula pasir lengkap dengan sendoknya.  Bapak lebih suka menambahkan gula dan mengaduknya sendiri.
"Menikmati kopi itu ada caranya, termasuk ketika menambahkan gula sebagai pelengkapnya" begitu pesan yang pernah diterima Andini.

Kopi. Hitam, pahit, beraroma, berkhasiat. Seperti sisi gelap kehidupan. Rasa pahitnya berkhasiat dengan kata lain bermanfaat. Cara menikmatinya pun tak beda. Perlu seni mengolah rasa agar pahit terasa nikmat adanya.

Andini hendak beranjak. Tapi bapak memberikan isyarat untuk duduk bersama. Andini tak pernah membantah.

"Berapa lama nak Hamid di Indonesia?" bapak bertanya
"Tiga bulan Pak"
"Ada pekerjaan kah di sini?"
"Sebenarnya tidak Pak, cuma atasan saya minta jadwal untuk sharing"
"Pulang dalam rangka liburan jadi ya?"
"Iya Pak, ibu yang meminta pulang, ibu minta saya segera berkeluarga" Hamid diam sejenak. Kali ini diam menular pada Andini dan bapaknya.
"Yah namanya juga ibu, maunya segera punya menantu baru"
"Kapan rencananya"
"Belum tahu Pak, inginnya sih segera"
"Bapak juga sebenarnya ingin agar Andini bisa berkeluarga kembali" bapak Andini menyampaikan.

Andini menatap bapaknya. Terkejut.
"Paaak" setengah berbisik, Andini berusaha mengingatkan.

"Andini..." suara Hamid lembut, selembut tatapnya tertuju pada wanita di hadapannya.
"kalau kakak untuk kedua kalinya meminta Andini untuk menjadi istri kakak, apakah bersedia" akhirnya Hamid menyampaikan maksudnya.

"Bagaimana dengan Nina?" Andini bertanya.
"Nina anak temannya ibu, kami belum pernah bertemu, kakak hanya baru menerima CV, belum memutuskan apa-apa. Kakak pulang untuk memenuhi permintaan ibu agar melihat Nina, tapi jika Andini bersedia, hal itu tak perlu dilakukan"
Andini diam.

Utsman. Hanya Utsman yang ia pikirkan. Andini sudah tak berfikir tentang cinta. Andini sudah tak berfikir tentang perasaannya. Andini hanya berfikir tentang Utsman, Umar dan keluarga almarhum ayah si kembar.

"Tak perlu dijawab sekarang"
Andini masih diam. Tak memperhatikan sekitar. Tiba-tiba Utsman menyadarkannya. Utsman berlari ke arah Hamid.

"Apakah kakak tak keberatan dengan kehadiran Utsman?" Andini berusaha menegaskan, untuk meyakinkan hatinya.
"Sejak pertama memeluk Utsman, Allah titipkan kasih sayang di hati kakak untuk Utsman" Hamid berusaha meyakinkan.
"Baiklah kalau kakak bersedia menerima kami apa adanya, Andin ikut kakak"

******

Seluas apakah surga?
Seluas langit dan bumi
Lalu dimanakah batasan langit dan bumi?
Hanya Allah yang tahu

Seluas apakah hati yang penuh cinta?
Seluas mata memandang dalam indah penuh kebahagiaan.

Cinta adalah rasa titipan surga dalam dimensi dunia.
Cinta adalah bibit bahagia surga untuk kau tanam di dunia.
Maka pupuklah cinta hingga tumbuh menjulang dan menjadi titianmu menuju surga yang sesungguhnya.

*********

(Tol.Jagorawi, OTW pulang dari IBF, membersamai anak-anak club bahasa)

Cinta Seindah Sakura part 2

Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 2.

"Selama Utsman dirawat, bolehkah kakak ikut menjaganya ketika malam? Biar bapak ada teman" Hamid menyampaikan.
"Iya Kak, kalau tidak merepotkan. Terima kasih sudah mau menyayanginya dan menjaga Utsman" Andini menjawab.
"In syaa Allah ga repot, Utsman anak baik, dia cepat akrab" Hamid menambahkan.
"Biasanya Utsman susah dekat dengan orang yang baru dikenal. Tapi dengan Hamid, alhamdulillah bisa langsung dekat" bapak menambahkan.
Andini diam.
Hamid juga.

"Andin pamit dulu" Andin beranjak.
Bapak mengantar hingga ke pintu.
Hamid memandangi punggung Andini. Dari dulu perasaannya tak pernah berubah.
Namun, apakah perasaan Andini bisa berubah?
Ada ragu yang menyergap hatinya.

Saat anak sakit, ibu akan merasa sakit berlipat kuadrat.  Karena darah yang mengalir di tubuh anak adalah darahnya. Jantung yang berdetak adalah miliknya. Namun justru di saat seperti itu, seorang ibu harus melipatgandakan kekuatan dan ketegarannya.
Apalagi Andini, ia harus berjuang hanya dengan sebelah jiwa.
"Ada Allah" begitu hati Andini berbisik.
"Allah yang akan menguatkanku. Allah yang akan menolongku, entah seperti apa pertolongan itu, entah lewat siapa. Pertolongan Allah pasti ada. Biarlah Allah yang mengatur semuanya, tugasku sebagai seorang hamba hanyalah pasrah sambil terus melangkah" bening bulir di mata mulai hangat menggenang.

Andini menyerahkan pakaian kotor pada Bi Inay.
"Gimana kabar Utsman, Neng?"
"Tadi lagi tidur Bi"
"Mudah-mudahan cepet sembuh ya Neng"
"Aamiin"
"Makan dulu Neng, bibi bikin soto"
Andini duduk di meja makan.
Semangkuk soto ayam, hangat membasuh tenggorokan hingga lambungnya. Meski tak sampai ke hatinya.

Lelah selalu mengajak tubuh untuk tetirah.
Andini membuka lemari. Mencari handuk dan beberapa pakaian Utsman untuk dibawa besok.  Andini menyiapkan tas. Tidak hanya pakaian. Beberapa mainan Utsman juga ia masukan ke dalam tas.

Andini melihat sarung Adlan. Hatinya masih berdesir perih.
Utsman akan tidur lelap kalau berselimutkan sarung ini. Selama setahun ini, sarung ini tak pernah absen jadi selimut Utsman saat tidur malam.

Andini bergegas memasukan sarung pada tas yang sudah disiapkan.

"Bi, tolong siapkan soto dan makanan untuk dua orang, Andin mau ke rumah sakit lagi"
"Untuk dua orang, Neng? Neng Andin mau nginep di rumah sakit? Ga istirahat aja?"
"Bukan untuk Andin, tapi untuk bapak sama Hamid"
"Oooh" hanya itu yang keluar dari Mulut bi Inay.

Lelah membuat Andini tak memaksakan diri untuk melaju cepat. Ia menikmati titik-titik kemacetan. Meski hatinya resah memikirkan Utsman.

Jam delapan malam. Harusnya Andini sudah rebah di pelukan malam. Namun keadaan meminta lain.
Andini membuka pintu ruangan rawat inap VIP untuk anak pelan. Khawatir Utsman terganggu.

Bapak tengah membaca koran. Sendiri duduk di sofa.
"Ada apa nak, koq balik ke sini, ngga istirahat?" bapak cukup kaget menyadari kedatangan Andin.
Andin duduk di sebelah bapak.
Ia membuka tasnya.
"Ini pak, selimut Utsman, takutnya Utsman rewel dan ga bisa tidur"
"Sepertinya tidak perlu" mata bapak melirik ke arah tempat tidur Utsman.

Andin tertegun.
Utsman tengah tidur dalam pelukan Hamid di ranjangnya.

"Ini Andin juga bawakan soto sama kue-kue untuk Bapak & Hamid, siapa tahu malam-malam laper" Andin menyodorkan tas yang berisi makanan. Tas kedap yang membuat makanan tetap hangat.
Bapak menganggukan kepala.
"Ini ada mainan Utsman juga"

"Kamu mau nginep.di sini?" bapak bertanya
"Ngga Pak" Andin mengelak.
"Kalau gitu, istirahatlah, semalam kamu kurang tidur"
"Iya Pak"
"Ayo bapak anter" bapak berdiri.
"Utsman?" Andin ragu.
"In syaa Allah gapapa, dari tadi tenang sama Hamid"
Andini tak punya pilihan.

Dingin. Malam selalu menawarkan dingin. Apalagi di bulan Januari, dimana hujan tak lelah mengguyur bumi. Dingin itu terasa semakin menggema dalam hampa. Itulah yang dirasakan Andin. Hanya lantunan dzikir yang mampu menghangatkan. Mengusir hampa dan dingin yang terus berusaha mencuri bahagia.

"Andin, kamu tak berfikir untuk menikah lagi?" bapak hati-hati memulai pembicaraan.
"Yang Andin pikirkan sekarang hanya Utsman, Pak, Andin ga mikir apa-apa lagi"
"Kamu tak berfikir untuk mencarikan ayah untuk Utsman?"
"Siapa Pak yang mau menerima Andin dan Utsman"
"Hamid?, bagaimana menurutmu?"
"Hamid pulang karena mau ta'aruf Pak" Andin menjelaskan.
Bapak diam sejenak.
"Tapi semuanya belum pasti kan?"
Giliran Andin yang diam.
"Bagaimana kalau bapak bicara dengan Hamid"
"Tidak boleh menawar barang yang sedang ditawar orang lain Pak" Andini mengingatkan.
"Andin juga ga enak, dulu Andin pernah menolak Hamid" lanjut Andin.
Bapak hanya diam.
Hingga Andin turun.
"Bapak ngga ikut turun?" Andin menegaskan.
Bapak menjawab dengan gelengan kepala.

Barangkali sudah menjadi taqdir pintu rumah sakit untuk diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Setiap tangan yang membukanya seolah memperlakukannya sebagai barang rapuh yang harus dipegang lembut.

Pak Teja, bapak Andini membuka pintu pelan.
Dilihatnya Utsman tengah memegang mainan. Duduk di sofa.
Ia menarik nafas panjang. Seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya. Beban yang ingin segera ia lepaskan.
Perlahan bapak Andini berjalan ke arah sofa.
Bukan hanya tengah bermain. Utsman tengah makan disuapi Hamid. Ada haru yang menyeruak di hati kakeknya Utsman. "Andai pria baik ini bisa menjadi ayah untuk Utsman" begitu batinnya.

"Maaf tadi bapak ga kasih kabar kalau mengantar Andin" kalimat itu yang pertama kali di sampaikan.
"Tidak apa-apa, Pak, Utsman dari tadi tenang" Hamid menjawab sopan.
Sang kakek mencoba mendekat pada cucunya, mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Tapi sang cucu menggeleng, merapatkan badan pada Hamid.
Ada desiran pedih di hati sang kakek.

Hamid menghapus sisa makanan di bibir Utsman. Ia menyodorkan sesuap makanan lagi. Utsman menggeleng.

Hamid bangkit sambil menggendong Ustman di peluknya. Diusap-usapnya punggung kecil itu dengan kelembutan dalam ayunan.
Ia teringat ibunya yang selalu memperlakukan demikian. Hingga matanya terpejam. Damai dipeluk malam.

Hamid perlahan menidurkan Utsman di ranjang rumah sakit.
Perut yang kenyang, hati yang tenang membuat Utsman nyaman dalam impian.

Hamid mendekati bapak yang tengah membuka Al Quran.
"Alhamdulillah Utsman sudah tenang, tadi dokter visit, katanya kalau Utsman sudah tidak panas lagi, lusa bisa pulang" Hamid membuka pembicaraan.
"Alhamdulillah, semoga tidak ada apa-apa"
"Sepertinya tidak ada apa-apa, ini hasil cek labnya" Hamid menyodorkan amplop.
Bapak membuka & membaca

"Pak" Hamid terlihat serius memandang wajah bapak Andini dengan seksama.
Bapak Andini membalas pandangan lelaki yang sejak lama sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
"Mungkin ini waktu yang kurang tepat" Hamid ragu. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat. Jantungnya berdebar keras. Ia berusaha mengumpulkan semua keberanian. Mengusir jauh-jauh semua keraguan.
"Mohon maaf kalau Hamid tidak.sopan, menyampaikan dalam kondisi seperti ini, kalau bapak berkenan, Hamid ingin menjadi ayah untuk Utsman dan menjadi suami untuk Andini"

Cinta Seindah Sakura part 1

Sakura Bumi Eropa
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 1

Malam telah jelaga.
Sekawanan awan menyembunyikan purnama.
Gemintang hadir. Tapi tak banyak.
Nyanyian serangga malam bak orkestra penghantar tidur.

Utsman tengah terlelap di pelukan Hamid.
Sepertinya mimpi indah tengah melukis tidurnya.
Perlahan Hamid turun dari kendaraan yang dibawa Hamdi.
Teramat sangat perlahan.
Seolah khawatir ada gerakan atau getaran yang mengganggu tubuh yatim yang tengah nyaman di peluknya.

Bapak Andini menyambut Hamid & Utsman.  Ia memberikan isyarat agar Utsman dipindahkan ke pangkuannya.
Perlahan tangan perkasa Hamid menyerahkan tubuh yatim munggil itu.
Tapi tangan kecilnya memegang erat tangan Hamid.

Akhirnya bapak Andini meminta Hamid untuk masuk. Utsman masih pulas meski tangannya memegang Hamid.
Bapak Andini memandu Hamid ke kamarnya.
"Utsman lebih sering tidur sama bapak" seolah bapak ingin menjelaskan kedekatannya dengan sang cucu.
Hamid hanya mengangguk.

Perlahan, Hamid merebahkan tubuh kecil itu. Namun tak disangka, Utsman membuka matanya.
"Abah..." ia memanggil almarhum ayahnya.
Hamid berdiri mematung. Tak mengerti apa yang terjadi.
Kakinya ingin melangkah keluar. Tapi hatinya iba pada sang yatim.

Sang kakek segera memeluk dan memangku cucunya.
"Abah..." Utsman mulai menangis.
Hati Hamid tergerak untuk memeluk Utsman. Tapi ia tahu, ia harus pulang.

"Saya permisi pamit dulu pak" Hamid mohon ijin.
Bapak menganngguk.

"Abah ... Abah" tangis Utsman meninggi. Sang kakek memeluk dan mengayun-ngayun tubuh mungil itu.
"Abah ... Abah ..." tangis itu kian meninggi. Air mata mulai mengalir di pipinya. Tubuhnya berontak.

Andini bergegas menuju kamar ayahnya.
Ia berpapasan dengan Hamid yang hendak pulang.
"Terimakasih" Andini membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Sama-sama" Hamid menjawab pendek.

Tangis itu memecah bisunya malam.
Ada resah di hati Hamid mendengar pilu tangis itu.
Rasanya ia ingin berbalik. Memeluk tubuh mungil yang tadi nyaman tidur di peluknya. Tapi berarti ia harus melanggar garis batas etika. Tidak bisa
Akhirnya Hamid meneruskan langkah dalam bisikan do'a
"Yaa Allah, ijinkan aku jadi ayah untuk yatim yang malang itu, Utsman"
Tangisan itu masih terdengar hingga ia membuka pintu mobil.
Tangisan itu seperti sebilah pisau yang mengerat-ngerat hatinya. Pilu.

Tangisan pilu tak berhenti. Sepanjang malam Utsman berontak. Peluk hangat umma, peluk hangat kakeknya tak mampu mengobati sakit rindu di hatinya. Hingga tubuh mungil itu akhirnya menyerah. Kalah dalam lelah ketika jarum pendek di jam dinding menunjuk angka dua.
Tubuh itu lunglai di pelukan umma. Pelukan hangat ibunya.

Andini menidurkan Utsman perlahan. Ingin rasanya ia turut merebahkan tubuhnya.
Namun panggilan hati untuk mendekat pada Robbnya lebih kuat menariknya.
Saat seperti ini adalah saat paling syahdu untuk mengadu.
Menyampaikan segala macam harap dalam tengadah tangan.
Berharap langit menyerap semua do'anya.

*

Andini menatap wajah anaknya yang masih terlelap.
Dipegangnya kening dan leher Utsman lembut.
Suhu tinggi terasa panas di telapaknya. Utsman demam.
Andini sigap mencari termometer. Angka dilayar penunjuk suhu tubuh itu menulis tiga puluh sembilan.

Andini mencari obat penurun suhu panas di lemari obat. Habis.

"Nura, anti punya obat penurun panas kah?" pesan singkat ia sampaikan pada Nura.
Namun tak langsung dibalas.

Jam delapan pagi. Biasanya Nura tengah bersiap menuju rumah tahfidz akhwat.

"Bi, titip Utsman dulu ya, Andin mau beli obat turun panas" Andini akhirnya memutuskan pergi ke apotik.
"Biar mama saja yang jaga" tiba-tiba mama berkata.
"Iya ma" Andin pamit sambil mencium takdzim tangan mama.

Apotik dua puluh empat jam. Itu tujuan Andin.
Jam berangkat kerja selalu menyajikan cerita tentang kemacetan. Termasuk pagi itu.
Untung kemacetan itu tidak di dalam apotik. Apotik sepi. Andin bisa mendapatkan obat dengan cepat.

Ada gelisah di hati Andin. Gelisah yang coba diredam dengan dzikir, menyebut nama Allah.

Segala jalan menuju Allah selalu indah.
Setiap hati menyebut nama Allah selalu tentram.

Andin menemui Utsman. Kepala dan tubuhnya penuh dengan baluran bawang dan  asem jawa.
Andini kaget melihat pemandangan itu.
"Ada apa Ma?, ada apa Bi? Utsman kenapa?"
"Utsman tadi kejang" mama menjelaskan.
"Ya Allah" Andini tampak lemas. Tapi ia tahu, ia harus kuat. Utsman memerlukan ketegaran ibunya lebih dari biasanya.

Andini menyiapkan obat. Ia memeluk Utsman dan meminumkannya.

"Kita ke rumah sakit aja" Andini bergegas. Mama dan bi Inay mengikuti. Utsman tampak lemas. Matanya terpejam. Sesekali membuka.

Andini mencoba mencari celah untuk bisa sampai dengan cepat ke rumah sakit. Beberapa kali klakson panjang dari kendaraan lain menegurnya. Andini tak perduli.

Utsman langsung di bawa ke UGD.  Beberapa perawat sigap membantu.
Utsman harus menjalani rawat inap dan menjalani serangkaian tes untuk mencari penyebab panasnya.

Andini teringat Umar.
"Dinda, apa kabar, semoga sehat dan selalu dalam kebaikan. Aamiin. Gimana kabar Umar?" pesan yang cukup  panjang Andini sampaikan.
"Alhamdulillah kami baik. Cuma Umar demam dari tadi malam"
"Sudah di kasih obat?
"Sudah, tadi malam"
"Alhamdulillah"
Dinda mengirim foto umar yang lagi terlelap.
Andini lega.

Andini balas mengirim foto Utsman yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Infus di tangan kiri Utsman jadi fokusnya.
"Mohon do'anya ya, Utsman harus di rawat, tadi kejang"
Foto itu ia foward ke group yayasan rumah tahfidz.

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Waktunya pasien boleh dijenguk.
Umi dan Zamzam.datang.
Andini terlihat lelah.
"Nanti malam, biar umi yang jaga" umi menawarkan.
"Makasih Mi, tapi Utsman baru nyaman kalau tidur dipelukan kakeknya. Biar bapak aja yang jaga"

Nura, Mukhlis, Hamdi dan Hamid datang.
Ruangan terasa hangat. Sejenak hati Andini terasa ringan.
Kehadiran keluarga dan sahabat, selalu menjadi obat.

Utsman tengah lelap tidur. Hamdi dan Hamid menatapnya.
Entah apa yang membuat Utsman membuka matanya. Ia menangis.
Andini sigap mendekat.
"Abah..." kalimat itu keluar dari mulut Utsman. Kalimat yang masih mengiris hati Andini.

Andini bersiap menggendong Utsman. Sigap. Namun Hamid terlebih dahulu reflek mengulurkan tangannya. Utsman dipelukan Hamid.
Utsman terlihat tenang dalam lemah tubuhnya. Andini hanya bisa menatap.

Waktu untuk berkunjung telah habis. Namun Utsman belum mau lepas dari pelukan Hamid.
"Kalian pulang duluan aja, kasihan Hanana sama Jundi" Hamid mempersilahkan.

Bapak berpapasan di pintu.dengan Mukhlis dan rombongan.
Umi belum mau pulang. Ia masih ingin bersama cucunya.
Beberapa kali umi mencoba mendekati Utsman untuk menggendong. Tapi Utsman menolak dengan tangisnya. Ia lebih nyaman berada di pelukan Hamid.
Hingga akhirnya Umi dan Zamazam menyerah. Pulang.

Tinggal bapak, Andini dan Hamid dalam ruangan.

Utsman tengah lelap di tempat tidurnya.
"Malam ini biar bapak yang jaga, Andin pulang aja" bapak meminta.
Andini menganngguk.

Ia bersiap pulang. Mengumpulkan baju kotor milik Utsman untuk dibawa pulang.
Andini hendak salam pada bapak ketika Hamid berkata.
"Andini, bisa minta waktu sebentar?" Andini menganngguk. Duduk di sebelah bapak.
Bapak menatap Hamid, seolah mengerti apa yang akan terjadi.

Senin, 02 Maret 2020

Labirin Cinta Andini part 25

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad)

Part 25.

Andini masih sangat menyadari perasaan yang disimpan Zamzam. Namun perasaan yang dulu pernah singgah di hati Andini telah pergi. Tepat ketika Andini memutuskan untuk menerima Adlan.
Andini faham maksud umi. Namun bagi Andini, sendiri lebih berarti. Andini lebih memilih mengisi kehampaannya dengan mengasuh anak-anak di rumah tahfidz. Bersama mereka, Andini merasa hidupnya lebih berarti. Andini merasa ujian yang ia hadapi tak sebanding dengan yang menimpa anak-anak asuhnya.

Delapan anak asuh, dua ustadzah pembina tinggal di rumah itu. Andini meminta tetangga sebelah rumah untuk menjaga dan memantau ketika malam. Bapak usep yang dituakan di daerah itu menerima dengan senang hati. Apalagi kompensasi dan penghargaan yang diberikan Andini cukup besar.

Rumah tahfidz akhwat menginduk pada yayasan yang dipimpin ayahnya.
Sumbangan yang diterima dari donatur cukup banyak.
Apalagi Hamid berhasil membuat perjanjian dengan beberapa komunitas masyarakat indonesia yang ada di Eropa untuk menjadi donatur.

"Andini mau ikut jemput Hamid ga di bandara?" Nura menawarkan.
"Hamid pulang? Udah selesai?" Nura bertanya.
"Iya, belum selesai sih, tapi ada keperluan"
"Ooh"  hanya itu yang disampaikan Andini.
"Ikut ya?"
"Ngga kayaknya"

Masih ada desir-desir perih jika menjejakkan kaki pada tempat yang pernah dikunjungi Andini bersama Adlan. Kenangan itu seolah menghadirkan kembali kebahagiaan yang tak mungkin lagi dimiliki. Kenangan yang menguras rasa dan air mata.

"Nura, aku ikut" akhirnya Andini memutuskan.
Aku harus menuntaskan semua jejak kenangan. Aku harus menghapusnya tuntas semuanya. Begitu Andini memutuskan.

"Iya, mau ikut mobil siapa? Ikut bareng aku sama Mukhlis atau ikut mobil Hamdi bareng ibu dan anak-anak?"
"Aku mau dianter ayah aja, aku sekalian ingin lihat-lihat bandara bareng Utsman"

Tiga mobil berangkat ke bandara. Arika dan Arina ikut mobil Andini. "Aku kangen sama kakak, kakak udah lama ga main" Begitu Arina beralasan.

Mereka menunggu di kedatangan internasional.
Utsman ceria bermain bersama Arina dan Rika. Andini tersenyum melihatnya. Senyum yang sudah lama menghilang.
Dari dulu, adiknya Nura sudah menjadi adiknya. Kakaknya Nura juga sudah dianggap kakaknya.

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Hamid tetlihat berjalan dari kejauhan. Jaket kulit dipegang di tangan kirinya. Tangan kanan menarik koper kabin. Di punggungnya ada tas ransel yang cukup besar.

Hamid mendekati rombongan.
Arina dan Rika menyambut dengan pelukan. Semuanya memeluk Hamid satu persatu. Hanya Andini yang menyambut dengan membungkukkan badan.
Utsman tiba-tiba melepaskan tangan ibunya. Mendekat pada Arika dan Arina, setengah berlari. Ia mengajak Arika dan Rina untuk main lagi. Main loncat-loncatan. Arina dan Arika menyambut Utsman dengan riang.
"Salim, ayo salim dulu" Arina menyodorkan tangan Utsman pada Hamid. Utsman menatap Hamid ragu. Hamid menyodorkan tangannya. Arina memegang tangan Utsman pada tangan Hamid. Utsman tidak menolak.  Tapi tak mau berlama-lama.

Setelah mengambil tas yang masuk bagasi, rombongan berjalan bersama.
"Kita makan malam dulu ya" Hamdi mengomando.
"Jangan di bandara" Nura mengusulkan.
Hamid menyetujui.

Mereka bergerak ke arah Bogor. Di perjalanan, singgah di sebuah rumah makan bernuansa Sunda. Semua memilih duduk di tempat lesehan.

Andini duduk bersama rombongan wanita. Nura, Ibu, juga Arika dan Rina. Utsman berlarian, bolak balik antara kakeknya dan ibunya.

"Bu, ibu yakin dengan keputusan ibu?" Nura bertanya pada ibu.
"Semuanya biarlah Hamid sendiri yang memutuskan, ibu hanya menunjukkan, ibu sudah lama berkomunikasi dengan ibu akhwatnya, dia temen SMA ibu" ibu menjelaskan.
"Sebenarnya aku kurang setuju Bu," Nura menyampaikan keberatan.
"Yang penting ketemuan dulu" ibu menegaskan.

"Kak Andini udah tahu belum?" Arika bertanya
"Apa?" Andini balik bertanya
"Kak Hamid mau ta'aruf katanya sama Kak Nina" Arika menjelaskan.
"Oh ya? Alhamdulillah, nanti kalian bisa punya kakak baru.
"Aku ga suka sama Kak Nina, aku lebih suka sama kak Maya" Arina terlihat cemberut.
"Kak Maya juga kan nanti akan jadi kakak kalian"
"Iya sih, kalau Kak Hamdi sama Kak Maya cocok" Arika menimpali

"Kalau jodoh itu pasti cocok, kan Allah yang memilihkan" Andini menjelaskan.

"Oh iya, kamu belum tahu ya Andini" Nura mengeluarkan handphone membuka galeri, memperlihatkan foto pada Andini "Ini Nina, anaknya sahabat ibu"
Layar handphone menampakkan wajah seorang perempuan.muda yang cantik. Ada tahi lalat kecil di bawah matanya. Kulitnya kuning langsat. Wajah yang terawat dibalut kerudung warna abu silver.
"Cantik, cocok dengan Hamid" Andini berkomentar.
"Tapi yang cantik fotonya, aslinya ngga" Arika nyeletuk.
"Masa sih?" Andini sekedar bertanya.
"Hu-uh" Arika mengangguk sambil cemberut.

Utsman tiba-tiba datang mengampiri. Utsman menarik tangan Andini. Tapi Utsman tidak sendiri. Tangan satunya memegang tangan Hamid.

Andini merasa sungkan. Akhirnya berdiri mengikuti kemauan Utsman. Namun Utsman begitu cepat berubah pikiran. Saat melihat Arika dan Arina. Utsman langsung lari mengajak mereka bermain.

Usai makan, rombongan pulang.
Andini kembali ke mobilnya bersama Arika dan Arina. Namun tidak bersama Utsman.
Utsman memilih ikut bersama Hamid di mobil Hamdi.

Malam telah gelap. Rombongan melaju ditemani kerlip gemintang di langit dan kerlip gemintang dari lampu-lampu mobil juga lampu rumah di kejauhan.
Utsman telah lelap di pangkuan Hamid.
"Bu" Hamid berkata pada ibunya.
"Kalau aku jadi ayah sambung anak yatim ini apakah ibu keberatan" Hamid bertanya.
Pertanyaan yang disambut senyum merekah dari Hamdi, juga sang ibu.

****************

Tamat.
Alhamdulillaah

Labirin Cinta Andini part 24

Labirin Cinta Andini
(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )

Part 24.

Kamu tahu seperti apa burung yang satu sayapnya patah?
Ia harus menahan sakit teramat sakit.
Sakit dari tulang yang patah
Sakit dari bulu-bulu yang tercabut.
Sakit mengepak sayap yang satu karena hilangnya keseimbangan.
Sakit melihat kawanan burung lain masih bisa terbang sementara ia hanya bisa diam memandang.
Dan yang paling sakit dari semua sakit yang telah ada adalah sakit karena menyadari ia tak kan bisa terbang lagi.

****

Halaman rumah Andini dipenuhi dengan karangan bunga.  Namun seisi ruangannya dipenuhi dengan air mata.
Lantunan Al Quran terdengar merdu setiap malam, dilantukan oleh para santri tahfidz. Namun kekosongan membahana di jiwa Andini.
Semua terasa berbeda. Kontras antara hitam dan putih.
Hanya satu.yang sama. Do'a.
Do'a do'a dari keluarga, dari sahabat, dari rekan dan semua yang mengenal Adlan.

Ada pelukan ayah yang menguatkan. Ada belaian bunda yang menghangatkan.
Ada Nura yang selalu setia menemani. Tapi tidak ada belahan jiwa di sisi, rasanya semua tetap saja hampa.

Seminggu berlalu. Lantunan Al Quran kini hanya Andini yang membacakan. Lirih dalam duka.
Rasa sepi itu mulai menghujam.
Masih ada satu atau dua ucapan bela sungkawa datang.
Tapi semua orang telah kembali pada kesibukan mereka masing-masing.
Tinggal Andini, sendiri dalam perih.

Ibarat luka. Seminggu kemarin, tubuh masih belum merasakan sakit yang sebenarnya. Tubuh seperti alami melindungi diri dengan anestesi alami. Seperti luka yang terasa kebas dan baal saat pertama. Sadar akan sakit yang ada. Tapi bukan sakit yang sesungguhnya.

Sakit yang sesungguhnya datang ketika rasa kebas dan baal itu hilang. Seperti itulah Andini sekarang.
Semakin hari semakin sakit.
Semakin hari semakin sunyi.
Semakin hari semakin pedih.
Bahkan senyum Utsman dan Umar pun tak mampu mengobatinya.

"Andini, aku tahu seperti apa kesedihanmu" Nura mencoba mendekati
"Kamu tidak pernah tahu Nura" Andini menyanggah.
"Iya, aku tidak tahu, aku hanya ingin memahami" Nura mengalah.
"Masa idahmu sudah habis, artinya kamu harus mulai mencoba bangkit" Nura dengan sangat hati-hati.
"Bangkit bukan berarti melupakan Adlan, aku tahu, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah melupakan Adlan, lelaki yang paling kamu cintai"
Andini diam. Air matanya tumpah lagi.
"Tapi bangkit untuk melanjutkan cita-cita Adlan"
Nura menarik nafas panjang.

Andini tercenung.
Ia sadar. Hidup akan terus berlanjut hingga masa pulang ke haribaannya tiba.
Andini sadar, ia tidak boleh menyia-nyiakan semuanya.
Andini tahu, semua keluarga, dan sahabat tak ingin melihatnya terus larut dalam duka.

Andini memeluk Nura. Tangisnya tumpah lagi.
"Terima kasih Nura" hanya itu yang bisa dibisikan Andini.

"Umma, umma" Utsman berlari kecil menuju Andini. Satu tangannya memegang tangan kakeknya.

Utsman lebih sering main dengan kakeknya. Utsman masih suka mencari abahnya.
Terutama ketika malam.
Abahnya menggendong dan mengayun Utsman sampai tertidur. Utsman akan tidur lelap ketika ia berselimutkan sarung milik almarhum ayahnya.

Andini memandangi Utsman.
Utsman satu-satunya harapan bagi Adlan. Tidak. Utsman dan Umar dua cahaya bagi.Adlan. Dua anak yang nanti akan memasangkan mahkota cahaya Al Quran untuk Adlan dan aku. Andini mulai bangkit.

Andini memulai hari barunya.
Adlan akan sedih di alam sana kalau aku terus terpuruk.

Adlan meninggalkan warisan yang cukup banyak. Zamzam yang mengurus semuanya. Zamzam menghitung semua kekayaan perusahaan dengan teliti.
Zamzam tetap mengalihakan saham perusahaan milik Adlan untuk Utsman. Andini mendapatkan rumah yang telah lama dibeli. Juga sejumlah uang.
"Aku ingin rumah itu jadi wakaf untuk rumah tahfidz atas nama aku dan Adlan" begitu niat yang Andini utarakan pada umi.

Semula umi keberatan.
Tapi Zamzam membela "Itu sudah jadi milik Andini, jika dipergunakan untuk kebaikan, sebaiknya umi mendukung, Andini masih tinggal.dengan ayahnya & ayahnya tidak akan membiarkan Andini kekurangan"
Akhirnya umi menerima.

Andini memulai hari barunya.
Adlan akan sedih di alam sana kalau aku terus terpuruk.
Andini mulai menghafalkan Al Quran kembali.
Ia menjadi pembina di rumah  tahfidz yang baru. Rumah tahfidz untuk akhwat.

Bapak Andini mendukung penuh. Keluarga Adlan juga.
Dinda membantu. Nura juga kini ikut membantu Andini di rumah tahfidz akhwat.

Hati telah berganti. Namun bagi Andini ada kekosongan yang seolah tak kan pernah terisi.
Ada desir-desir sakit yang menyergap dalam rindu, ketika ia harus melangkah ke tempat di mana ia dan Adlan pernah bersama. Ada pilu yang menghujam. Pilu yang ia coba angkat dengan do'a dan kepasrahan.
"Andini, apa Andini akan selamanya sendiri? Umi bertanya hati-hati ketika rumah tahfidz tengah sepi.
Semua.sedang sholat berjamaah di aula tengah. Hanya Umi dan Andini di.situ.
Harusnya umi ikut sholat, tapi lebih memilih menemani Andini.
"Mungkin sendiri lebih baik Umi" Andini mencoba menjawab bijak.
"Jika ada yang melamar bagaimana?"
"Aku belum bisa melupakan Mas Adlan Mi, mungkin tak akan pernah bisa"
"Iya umi faham, tapi walau bagaimanapun, menjadi istri lebih baik daripada menjanda. Menjadi istri akan kembali menggenapkan agama"
Andini tercenung.
"Sepertinya Andini ingin sendiri dulu, in syaa Allah banyak ibadah sunah yang bisa Andini laksanakan" Andini menegaskan.

"Kalau kamu sudah siap menikah, umi ingin kamu tetap menjadi menantu umi" lembut umi menyampaikan maksudnya.
Namun bagi Andini seperti petir yang menggelegar. Petir di malam hari yang membangunkannya ketika tengah istirahat dalam lelah.
"Umi" Andini memegang tangan umi. Ada beban berat yang semakin berat dirasakannya.
"Dengan memberi umi cucu dari Mas Adlan, Andini sudah menjadi menantu umi dan selalu menjadi menantu umi. Tolong jangan meminta lebih"