Senin, 15 November 2021

Cinta Seindah Sakura

 Sakura Bumi Eropa 

( Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 8


Entah kenapa ketika pria mengerjakan pekerjaan yang dianggap pekerjaan wanita selalu lebih terampil, lebih ahli dan hasilnya lebih baik dari pekerjaan wanita.

Apakah karena  fitrah pria untuk selalu memimpin wanita? Hanya Allah yang tahu.


Demikian juga Hamid. Di rumah ini seolah menjadi chef yang sangat handal. Hamid yang multi talenta kali ini berhasil menyajikan hidangan lezat.


Semua menikmati. Termasuk juga Utsman yang makan dengan lahapnya. Kali ini Utsman tidak mau disuapin. Ia bersikeras makan sendiri. Mulutnya belepotan dan piring di meja makannya berantakan.

Arika dan Rina berusaha menahan tawa & menahan tangan untuk tidak membantu.

Mereka sudah hafal tabiat Utsman yang : tidak suka ditertawakan dan tidak suka dibantu.


Hamid sengaja mengajak Andini pindah ke rumah ibunya. Suasana baru mungkin akan membantu Utsman untuk bangkit. Utsman mungkin belum bisa mengungkapkan perasaan, termasuk rasa rindunya. Barangkali banyak kenangan di rumah Andini yang membuat Utsman terus merindukan ayahnya. Begitu pertimbangan Hamid. Selain itu ada Arika dan Rina yang bisa mengajak Utsman bermain saat pulang sekolah.

Walaupun begitu, Utsman meminta Andini membawa foto Adlan alm. Utsman sama sekali tidak boleh melupakan ayahnya.


Di rumahnya, meski tidak mau tidur bersama ia dan Andini. Hamid setiap malam membacakan hadits untuk Utsman dilanjutkan membacakan cerita yang bertemakan hadits.


Hamid mengajarkan do'a do'a sebelum tidur. Ayat-ayat yang dibacakan juga adab tidur. Utsman mengikuti. Tak jarang Umar banyak bertanya tentang banyak hal. Hamid sabar menjawab.  Setiap anak memang Allah fitrahkan untuk belajar. Itulah mengapa anak selalu banyak bertanya.


Do'a lain yang Hamid ajarkan adalah do'a untuk orang tua.

Hamid sengaja memangku Utsman. Memegang tangannya, mengajak Utsman menengadahkan tangan sambil memandang foto Adlan alm.

"Robigjfirly, wali walidaya, warhamhumaa kamaa robayanii shogiiro"


Untuk do'a ini, sengaja Hamid ajarkan sambil memangku dan memeluk Utsman. Agar Utsman  merasakan kehangatan dan kasih sayang seorang ayah. Begitu Hamid menjelaskan pada Andini.


Andini hanya bisa bersyukur dalam haru. Lantunan do'a tak henti ia panjatkan kelitak melihat semuanya. Sengaja Andini tak berada di sisi Hamid dan Utsman pada saat-saat seperti itu. Biarlah itu menjadi urusan dua lelakinya. Anaknya, dan suaminya.


**


Andini tengah membantu ibunya mencermati dan memilih beberapa motif batik dan brukat. Ada pesanan dari keluarga almarhum ayahnya Hamid. Sepupu Hamid mau nikah dua bulan ke depan.

Semua warna dan motif, cantik menarik. Andini sendiri sedikit kebingungan. Namun ia harus memilih lima terbaik dari sekitar dua puluh motif dan warna yang disodorkan.


"Assalamualaikum," pintu diketuk.

Ibu mertuanya bangkit hendak membuka.

"Biar Andini aja Bu", Andini mencegah.

"Itu mamanya Nina, biar ibu aja"


Ada desir cemas singgah di hati Andini. Desir yang ia coba usir dengan istighfar.

"Gapapa Bu, biar Andini aja"

Ibu mengalah.


Andini membuka pintu. Seorang wanita paruh baya bersama wanita muda tampak.di depan pintu.

"Wa'alaikum salam"  


Wanita muda itu menatap Andini. Andini menunduk, tak berani membalas tatapan.

"Dini? Andini Teja Kesuma?" wanita itu setengah berteriak menatap Andini.

Andini kaget. Bagaimana mungkin Nina mengenal dirinya. Mengenal nama lengkapnya. Nama ayahnya.


Andini mencoba mengangkat muka. Memberanikan diri menatap perempuan muda bernama Nina.

"Aku Arma, Armanina" Nina menegaskan jati dirinya.


"Arma? Armanina?" Andini menatap tak percaya.

"Kenapa kamu berubah banget?"

Kedua wanita muda itu berpelukan.


Mama Nina menatap menelisik Andini.

"Bu, ini Dini Bu, sahabat Nina waktu SMP" Nina menjelaskan.

"Oooh, nak Dini" mama Nina.seperti masih mencari memori dalam ingatannya.


"Ayo masuk, ini koq malah ribut di depan" tiba-tiba ibu sudah berada di sekitar mereka.

"Loooh, Andini sama Nina sudah saling kenal toh" ibu bertanya.

"Iya Bu, ini Arma, Armanina, sahabat Andini waktu SMP, cuma waktu itu Arma ikut ayahnya ke London dan Andini ikut bapak pindah ke Pontianak, jadi kita kehilangan kontak" Andini menjelaskan.


Tiba-tiba binar di mata ibu hadir kembali setelah beberapa hari ini menghilang.

"Maa syaa Allah, skenario Allah luar biasa ya" ibu tersenyum lebar. Bahagia melihat menantunya bahagia. Bahagia memang menular.


Andini mengajak Armanina masuk. Ibu mengajak mama Nina masuk. Mama Nina sepertinya masih belum mengerti apa yang terjadi. Ia masih mencoba memahami semuanya. Memahami keriangan putrinya yang telah lama hilang.


"Aku sebenarnya tidak mau ikut mama, cuma aku ingin menghiburnya" begitu Armanina menjelaskan.

"Aku bersyukur kamu kesini, alhamdulillah, akhirnya kita bisa ketemu" Andini menjelaskan.

"Dini, kamu beruntung, jodoh dan hidupmu, semuanya lancar" Armanina menatap Andini.

"Ngga juga, kita kan lama ga cerita, kamu ga tahu apa yang aku alami" Andini mengelak.

"Iya ya, lama kita ga cerita, sejak kehilangan kamu, aku ga punya teman untuk cerita tentang Ryan, mama selalu membenci Ryan" Armanina mulai terkenang.

"Ryan di mana sekarang?" Andini bertanya.

"Ryan di Makasar. Dia buka usaha restoran di sana" 

"Sepertinya kamu tidak bisa melupakan Ryan" Andini menebak.

"Iya, apalagi Ryan sudah berubah, ayahnya juga. Ryan sudah hijrah. Dia bukan musisi lagi, ayahnya juga sudah berubah, bukan pemilik beberapa club malam lagi. Bahkan beberapa club malam miliknya sudah dirubah jadi toko-toko busana muslim. Aku selalu berusaha meyakinkan mama, tapi selalu gagal. Entahlah. Sepertinya mama sangat membenci ayah dan ibunya Ryan" Armanina seperti membuka bendungan cerita duka yang selama ini ia tutup rapat.


"Kamu masih komunikasi sama Ryan?" Andini hati-hati bertanya.

"Masih, tapi tidak sesering dulu, terakhir Ryan bilang tetep akan memperjuangkan aku" 

Armanina diam. Andini juga hanya bisa diam.  Andini tahu, seperti apa dalamnya cinta diantara Armanina dan Ryan. Cinta yang tumbuh sejak di bangku SMP.

"Tapi mama terus berusaha menjodohkan aku dengan yang lain, meski aku selalu menolak, mama selalu bilang, coba dulu, temui dulu" Armanina menatap Andini.

"Dini, bantu aku ya" tangan Andini dipegang Armanina, erat.

"Aku berharap ini yang terakhir, aku harap mama bisa menerima Ryan, lewat nasehatmu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar