Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura paer 24

 (Oleh Rani Binti Sulaeman)


Part 24.


"Aku mengenalnya tak disengaja, ia masuk dalam hidupku, masuk dalam logikaku, merubah total semua cara pandang aku, hingga akhirnya masuk ke dalam hatiku" Kanaya mulai bertutur.

Aliyah memberikan telinganya. Memberikan hatinya. Merengkuh dalam dekapan, agar sepasang tangannya menjadi wadah penampung resah gelisah, pelarut duka yang pecah dalam tangisan.


"Waktu itu aku tengah main ke rumah temanku di Wiena, seorang oper. Dia belum lama datang dari tanah air. Aku bermaksud membantunya mengenal Eropa. Temen SMA aku, yang dulu aku kenal sangat sholihah, ternyata dia malah berubah. Entah kenapa, ia sepertinya sakit hati dan rasa sakit hatinya itu benar-benar menjadi penyakit yang membuatnya berubah, berbalik menentang semua yang ia fahami. Dia sahabat aku, Asti." Kanaya menarik nafas panjang.


Pikirannya seolah bertualang ke masa yang belum lama berlalu. Hatinya seperti menapaki waktu. Berjalan mundur. Dan jalanan yang dulu bertabur bunga, kini menjelma duri-duri tajam yang meluka telapak kakinya. Namun darah itu tak menetes. Darah itu menjalar, mencari jalan ke matanya. Menjadi genangan bening di pelupuk yang tidak bisa dibendung lagi. Genangan itu jatuh menderas.


*


"Asti, kenapa bisa berubah begini?"

"Panjang ceritanya Kana, tapi aku sekarang ga mau deh ikutan ngasah biji lagi alias ngaji"

"Loh koq?, bukannya kamu yang dulu rajin ngajakin aku ngaji"

"Itu sebelum aku dibantai"

"Dibantai?"

"Iya, aku pernah dipermalukan di forum. Aku dituduh melakukan kesalahan, padahal itu bukan aku. Mereka ga nanya dulu lagi maen tuduh aja, udah aku buktikan kalau aku difitnah, tetep aku yang disalahin. Sejak itu aku pikir, mereka orang-orang yang ga berfikir pake logika" nada kemarahan seolah menggumpal di dada Asti.


"Mungkin mereka memang orang-orang aneh. Kadang aku pikir, bener juga ya, kata misionaris, orang muslim itu aneh, kentut itu pelakunya anus, yang dibasahi muka" Asti tertawa. Tawa palsu dalam kepedihannya.


"Asti kamu tidak meninggalkan sholat kan?" Kanaya bertanya hati-hati.

"Ngga lah, aku ga akan ninggalin sholat, ayah aku bisa marah besar & aku ga akan mampu menyakiti ayahku. Dia sudah tersakiti oleh ibu" Asti diam. Diikuti Kanaya.


"Kana, apa kabar, lagi main ke Wina koq ga ngasih kabar?" Dani menyapa. Ia memegang nampan makanannya. Ia bersama orang baru nampaknya. Orang itu bernama Hamid.

"Di sini kosong kan?, aku sama teman aku duduk di sini ya" Dani langsung menempati kursi kosong tanpa menunggu Kanaya dan Asti mengiyakan. Begitu juga Hamid.


"Mas Dani, ini teman aku waktu SMA, Asti" Kana mengenalkan.

"Asti baru dua bulan di sini, nanti mungkin bisa diajak ikut pengajian"

Asti menatap Kanaya. Seolah tak suka.

"Oh iya, saya Dani dan ini teman saya Hamid"

Hamid mengangguk dan tersenyum.


Siang menjelang sore. Semua nampak menikmati hidangan spesial dengan menu ikan dan pelengkapnya. Ikan, pilihan paling aman, meski harus dipastikan dulu pada pramusajinya, tanpa alkohol tanpa campuran babi.


"Pengajian di Muenchen gimana? Tambah rame kan?" Dani bertanya.

"Alhamdulillah" Kanaya menjawab pendek.

"Ini Kang Hamid boleh tuh diminta ngisi pengajian di Muenchen"

"Oh ya?" Kanaya antusias,

"Sekalian aku mau tanya deh"

Kanaya menatap Asti sekilas.

Lalu menatap Hamid.

"Kang, sebenarnya kenapa sih, maaf ya, yang membatalkan wudu itu kan buang angin, kenapa malah harus wudhu lagi, & membasuh muka" 

Asti menatap Kanaya tajam. Seolah tak setuju. Kanaya mengabaikan.


Hamid tersenyum. Ringan & manis. 

"Kalau orang dimarahin, difitnah, itu yang denger kuping, yang berdebar tambah kenceng jantung, yang sakit hati, eh yang nangis malah mata. Itu kira-kira kenapa ya?" Hamid menjawab pertanyaan Kanaya dengan pertanyaan.


Wajah Asti.terlihat pucat pasi.

Kanaya tersenyum. Senyum bahagia antara kemenangan & ketenangan.


"Itu.semua ada di otak, proses di otak" Asti membalas.

"Iya betul, kata ilmuwan begitu, tapi apakah prosesnya bagaimana otak mengalirkan sinyal secara cepat ke berbagai arah secara serempak dalam waktu kilat bisa kita lihat?" Hamid bertanya kembali.


Ada sinar kekaguman di mata Kanaya. Mata yang menatap.pria bernama Hamid.

"Kadang kita tidak perlu memikirkan sesuatu yang kita tidak bisa melihat prosesnya, tapi bisa merasakannya. Allah menciptakan sesuatu sudah sempurna hitungannya & karakternya. Atau lihat bagaimana orang tang sembuh dengan refleksi atau akupuntur, yang sakit dimana, yang dipijat atau ditusuk dimana. Katakanlah, kalau kita objek atau pasien, terima saja. Demikian juga dalam tuntunan beribadah, kita objek yang dituntun, ikut saja" Hamid menggenapkan.


"Tapi itu berarti dogma dong, apa bedanya dengan agama lain?" Asti masih bertahan.


Kanaya terkejut. Sama sekali tidak menyangka kalau rasa sakit hati yang ada di Asti telah menjelma menjadi tameng penerima kebaikan. Penghalang dan penentang nasehat.

Seolah sakit hati itu telah menyihir dan merubah Asti menjadi monster penuh luka yang siap menyerang siapa saja.


"Kita yakin ga kalau Al Quran itu mukjizat?, Mba Asti yakin?" Hamid memastikan.

Asti mengangguk, diikuti Kanaya.


"Ada ga yang pernah berhasil meniru gaya bahasa Al Quran?" Hamid bertanya.

Asti dan Kanaya menggeleng.

"Kenapa Al Quran dibaca dengan tajwid sedangkan hadits tidak?" Hamid kembali bertanya.

"Karena Al Quran dari Allah" Kanaya menjawab.

"Kalau Hadits, kan sama-sama sumber hukum Islam?" Hamid bertanya kembali.

"Hadits perkataan Muhammad saw yang berfungsi menjelaskan Al Quran, cuma seperti disebutkan dalam salah satu.ayat, bahwa yang dikatakan Rosulullooh itu bukan hawa nafsu, tapi dibimbing wahyu Allah" Kanaya menjawab.

"Yang bilang kalau buang angin harus wudhu lagi itu siapa, atas bimbingan siapa?"


Kanaya dan Asti.terdiam.


"Kalau kata pembuat HP ini kalau macet harus direstrart, kalau ga direstrart gimana? Ini lagi yang macet ketahuan dari layarnya, kenapa yang dipencet malah tombol on off nya?" Andi ikut nimbrung.  Gaya bahasanya ringan dan kocak.


Asti, Kanaya & Hamid tertawa melihat mimik Andi.


**"


"Sejak itu, aku merasa menemukan sosok yang aku cari. Sosok.yang mampu menjawab semua logikaku yang akhirnya menentramkan hatiku" Kanaya menghela nafas panjang.


Aliyah terdiam. Ia mencoba menyelemi samudra hati Kanaya.

Aliyah tahu. Badai cinta tengah bergolak di dalamnya. Deru rindu tengah menerjang semua pertahanan rasa sakitnya.


"Kana, kamu ga mencoba membuka hati pada yang telah lama menunggu jawaban cinta kamu?" Aliyah berusaha hati-hati mengalihkan arah rasa Kanaya.


Kanaya terdiam.

Menarik nafas panjang.

"Entahlah, Hamid pernah bilang kalau cinta itu.naluri & naluri.itu bisa dialihkan. Meski Hamid pernah bilang kalau rasa cinta itu ujian" Kanaya seolah berbicara pada dirinya.

"Iya, dialihkan pada naluri yang lain, naluri untuk meng-esakan Allah, sejalan dengan ujian, itu sebenarnya cara Allah untuk memaksa hambaNya mendekat" seperti menghafal sebuah teori, Kanaya kembali menjelaskan pada dirinya sendiri. Meski sebuah teori kadang tak mudah diwujudkan dalam kehidupan.

Ya.

Antara teori dan kenyataan, ada sebuah jembatan bernama ujian kehidupan.


"Hamid sudah bahagia, sudah sampai pada cinta yang selama ini ditunggunya, apalah aku?" Kanaya menangis di pelukan Aliyah.


Dari kejauhan sepasang mata tengah memandang adegan pilu itu. Sepasang mata dari seorang pria yang masih menunggu Kanaya untuk mau membalas rasa di hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar