Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura Part 13


(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 13.


Hidup adalah perjalanan dari taqdir yang satu pada taqdir berikutnya.  Taqdir adalah gambaran luasnya ilmu Allah yang tak.akan pernah kita sanggup membayangkannya.

Manusia berencana, Allah yang menuntun dan memutuskan.

Bisa jadi, rencana kita Allah balikan karena ada tangan-tangan tengadah yang meminta padaNya kita terlibat didalamnya.

Berpilin ribuan do'a.

Berpilin ribuan kehendak.

Berpilin ribuan jalan.

Semua rumit bagi akal manusia yang terbatas.

Tapi semua mudah bagi Allah untuk memilihkan taqdir terbaik bagi setiap hambaNya.

Maka.berbaik sangka pada Allah, adalah satu-satunya jalan menikmati setiap taqdirNya. Karena kadang hati hamba yang tertutup dunia, tak menyuka apa yang DipilihkanNya.


Andiny memandang asing semua yang ada di sekelilingnya. Suasana. Manusia. Bahasa. Semua asing.  Hanya Hamid, Utsman dan enam teman yang menjemput yang dia kenal.


Andiny memandangi suasana dalam kereta.

Semua rapi. Duduk tenang. Kereta tidak penuh. Masih ada beberapa tempat duduk yang kosong.

Beberapa terlihat asik dengan gadgetnya.

Beberapa terlihat saling berbicara. Tapi tak banyak.


Ada bahagia dan takjub yang sulit untuk diterjemahkan.

Bagi Andiny semua serasa mimpi. Sama sekali tak pernah terbayang dalam hidupnya bahwa ia akan hadir di sini.

Di bumi Eropa. Di negara yang terkenal dengan kemajuan teknologinya.

Sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan bertemu dengan type orang yang selama ini ia lihat dalam layar kaca. Orang berkulit putih pucat kemerahan berambut pirang keemasan dengan bola mata yang berwarna. Andini memuji Allah dalam hatinya.


"Mba Andiny asli mana?" Alma memecah kebisuan.

"Bogor, tapi bapak & bunda asli Bandung"

"Bandung? Aku juga punya saudara di Bandung"

"Mba Alma asli mana?" Andini ganti bertanya.

"Aku dari Jogja"

"Jogja?" Andini nampak antusias.

"Tahu pesantren Tahfidz Al Mukhlisin?"

"Tahu lah Mba, pesantrennya kecil tapi terkenal, banyak santrinya jadi juara tahfidz tingkat internasional, pada ngantri masuk situ, tapi ketat, ponakan ku aja ga lolos"


Seolah ada satu tali yang menghubungkan Andini dengan Alma. Andiny nampak antusias.


"Pengelolanya, belum lama meninggal. Ustadzah Dewi.  Waktu dimakamkan. Banyak sekali yang mengantar" Alma menjelaskan.


Andiny sedikit terkejut mendengarnya.

Antara penasaran dan penyesalan Andiny seolah tertarik untuk mengenal Dewi.

"Oh ya? Nampaknya Ustadzah Dewi cukup terkenal"

"Bukan hanya terkenal, beliau ustadzah yang sangat dicintai jama'ahnya"

"Jama'ahnya banyak ya?"

"Iya, ibu aku salah satu jamaahnya. Setiap hari selasa dan jumat, ada pengajian di pesantren, khusus untuk ibu-ibu. Majlis selalu penuh. Selain hari itu biasanya Ustadzah Dewi mengisi ke beberapa majelis di sekitar Jogja, Solo & Klaten. Sayang sekali sekarang setelah beliau meninggal belum ada pengganti, & Ustadz Mukhlis lebih fokus di cabang, di rumah istri keduanya, yaah begitulah Mba, kata orang istri kedua itu selalu lebih dari yang pertama, tentu lebih menyita cinta" Alma mengakhiri dengan menarik nafas panjang.


Ada sedikit desir perih di dada Andiny. Ingin rasanya ia mengatakan bahwa istri kedua Ustadz Mukhlis adalah iparnya. Bahwa istri keduanya itu tak seperti yang diceritakan Alma.

Namun tangan Hamid menepuknya lembut.

"Kita siap-siap turun, ganti kereta" 

Andini mengangguk. Ia segera berdiri. Mengambil barangnya.

Alma dan Layla membantu.


Andini membaca nama stasiun yang tertera, Passing.  Semuanya asing. Andiny memilih mengikuti kemana Hamid berjalan.


Tidak ada pilihan selain mengikuti.

Ikut dalam dalam setiap langkah,

Ikut dalam setiap apa yang diucapkan, 

Ikut dalam setiap nafas tasbih.

Ikut berjalan, berpegang bersama menuju surgaNya

Surga akhirat nanti pun surga dunia kini.


Bersama Hamid dan teman-teman Andiny berjalan menuju lift. Turun menyebrang arah rel. Kemudian naik lift kembali. Menuju tempat menunggu kereta berikutnya.


Beberapa kereta lewat. Namun kereta yang ditunggu belum tiba.  Utsman riang melihat banyak kereta yang lewat.

"Kereta api, ayo naik" Utsman mengajak.

"Nanti sholih, bukan yang itu" Hamid lembut menjelaskan.


Hingga kereta yang dinanti tiba.

Hamid, Andiny dan teman-teman masuk.

Kereta penuh. Andini dan teman-teman terpaksa berdiri.

Seorang lelaki muda berambut pirang yang tengah duduk berdiri, mendekati Hamid.

Andini tidak tahu apa yang diucapkan. Hanya mengerti bahwa pria itu mempersilahkan Hamid & Utsman untuk duduk.

Hamid memandang Andiny kemudian dengan isyarat, meminta Andiny untuk duduk. 

Andiny tak membantah. Ia duduk.

"Utsman sama Umma dulu ya?"

Utsman menggeleng.

"Abuya cape, nak Utsman cape juga kan?" Andiny membujuk.

Akhirnya Utsman mau duduk di pangkuan ummanya.


Hari menjelang sore. Andiny menatap ke luar jendela.

Melihat pemandangan di sela-sela larinya kereta.

Muenchen yang ia kira kota metropolis yang akan menyajikan pemandangan megahnya aneka bangunan yang menjulang.  Ternyata adalah seperti kota tua. Banyak bangunan klasik. Banyak lapangan hijau, banyak tanaman yang Andiny lihat.

Semua seolah melambaikan tangan pada Andiny sambil berlari. Berpacu dengan laju kereta.


"Dua stasiun lagi, kita akan sampai" Hamid mengabarkan.

"Siap-siap dari sekarang?" Andiny bertanya.

"Ngga, nanti aja kalau udah dekat"


"Nexte halte stelle, Aubing"

Andini mendengarkan dengan seksama pemberitahuan yang terdengar di kereta.

Aubing. Hamid pernah bilang bahwa mereka akan tinggal di kota kecil yang tak begitu jauh dari Muenchen. Kota kecamatan bernama Aubing.


Andini berdiri sambil memangku Utsman. Mendekat ke arah pintu.

Perlahan, akhirnya kereta berhenti. Andiny, Hamid, Utsman dan teman-temannya turun. Berjalan menuju lift.

Menyebrang lewat jalan bawah tanah.


Semua berjalan menuju rumah Hamid. Rumah baru Andiny

Rumah dengan aneka harapan baru. Cerita baru, kebahagiaan baru. Jalan baru di jalan yang sama. Jalan menuju surgaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar