Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura Part 15

 Sakura Bumi Eropa

(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad)


Part 15


Ada sepi menyapa ketika teman-teman yang tadi ada pamit pulang menuju rumahnya.

Ada do'a keberkahan yang ditinggalkan sebelum langkah kaki-kaki itu keluar.

Namun do'a nampaknya masih seperti bibit.

Denting sepi menyapa hati Andiny.

Ada hangat suasana yang telah ia tinggalkan jauh di negrinya.

Ada jiwa-jiwa tercinta yang harus rela ia terpisah datinya

Ada wajah-wajah yang kini hilang di depan pandang mata.

Ada senyum dan tawa bahagia yang kini tersekat jarak waktu dan langkah yang teramat sangat jauh.


Andiny melangkah ke arah jendela.  Disibaknya tirai jendela.

Gelap mulai menyapa.

Ada terang yang muncul dari setiap jendela.  Jendela dari rumah yang mengelilingi sebuah lapangan rumput yang cukup luas.  Lapangan rumput yang diisi beberapa tanaman kecil di tengah.  Ada juga beberapa pohon besar di pinggir lapangan, seolah ia menjadi penjaga.


Sepi. Tak ada suara.  Andiny menarik nafas panjang. Bersyukur memuji ilahi atas semua nikmat yang ia rasa kini.

Pikirannya jauh terbang mengenang sesosok bunda yang luar biasa.  Bunda Hajar.  Adakah dulu ia merasa kesepian di gurun sunyi sendiri dan hanya bertemankan tangis sang bayi?

Adakah lelah memaksa keluh terucapa ketika ia harus berlari-dan berlari.demi menyambung hidup sang bayi?

Adalah lelah yang lebih lelah dari perjalanannya?

Adakah sepi yang lebih sepi dari kisah hidupnya?


Seperti apakah sepi?

Sepi itu seperti bunyi denting yang tinggi. Tarian gelombangnya bisa meretak kaca hati, memeras air mata yang luruh memerih jiwa.

Namun jika dalam sepi digemakan cinta ilahi, maka sepi adalah karunia tak bertepi.

Karena sepi dalam gema cinta ilahi dentingnya mengundang semesta cintaNya untuk membawa bahagia.

Lihatlah karunia yang Allah berikan pada Bunda Hajar yang mulia.  Adakah yang lebih bermakna, lebih indah dari balasan yang ia terima sebagai hadiah atas tulus cinta ikhlasnya?


Andiny merenung. Melihat ke dalam hatinya. Mengukur cinta yang masih ada untukNya.

"Yaa Robb, dimanapun, asal bersamaMu, dalam cintaMu, aku ridho"


"Ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu, dik?"

lembut suara Hamid di telinga Andiny.

Andiny menjawab dengan tatapan lembut penuh cinta.

Ada rasa syukur mendalam. Syukur atas kehadiran lelaki surga yang Allah berikan padanya.  Lelaki surga yang kini menatapnya penuh cinta. Cinta yang Allah titipkan untuk Andiny.

"Aku senang melihat pemandangan di sini. Sepertinya di vila-vila puncak" akhirnya Andiny bicara.

Hamid tersenyum. Kebahagiaan di mata istrinya melangitkan kebahagiaan di hatinya.

"Utsman mana?" Andiny bertanya.

"Utsman tidur"

Hangat tangan Hamid menggenggam lembut jemari istrinya.  Sepasang insan larut dalam ibadah surga cinta.

Cinta yang membahanakan bahagia.


**


Suara adzan terdengar merdu. Namun kali ini bukan terdengar dari masjid.  Hanya dari laptop yang menyala terbuka.

Hamid nampak tengah khusyu berdzikir.


Andiny tak berani mengganggu.

Ia turun perlahan dari peraduan.

Melangkah menuju ruang tamu.  Mengambil koper yang berisi makanan dan bekal-bekal dari tanah air membawanya  menuju dapur. Menatanya di kitchen set yang sederhana namun lengkap.  Andini memasak nasi.


Ia bergegas kembali ke ruang tamu. Membuka koper-koper yang tersisa. Mengeluarkan isinya dan menata rapi di lemari.

Ada beberapa pakaian Hamid rapi tergantung di lemari.  Ada beberapa jaket. 

Kini, isi lemari itu berbagi dengan baju-baju Andiny juga Ustsman.  Karena kini, berbagi adalah menjadi kewajiban yang membahagiakan. Betapa setiap kewajiban yang Allah tetapkan hanya membawa bahagia dan bahagia.


Kadang Andiny tak habis pikir. Kenapa manusia tak bisa membedakan antara kesenangan nafsu dan kebahagiaan hakiki. Kesenangan hanya sementara. Dan yang sementara itu ada dalam kebahagiaan abadi jika mau mengikuti semua titah Robbnya.  Betapa banyak manusia yang terlena dalam kesenangan semua dunia dari nafsu yang diperturutkan.

Andiny ingin mengungkapkan semua yang ada dalam pikirannya saat itu pada Hamid.

Namun Hamid tengah di depan laptop.  Ada headset melengkung menutup dua telinganya.  Nampaknya Hamid tengah mengisi pengajian.

Akhirnya Andiny melanjutkan tugasnya.


Hari mulai terang.

"Hari ini kita lihat-lihat dulu sekilas kota ini ya" Hamid berkata.

"Kak Hamid belum ngantor?" Andiny bertanya.

"Masih ada sisa cuti tiga hari"


"Alhamdulillah, hari ini kita ke mana?" Andiny bertanya.

"Kita ke beberapa toko, supaya nanti Dik Andin hafal"

Hamid mengeluarkan sesuatu dari dompet. Sebuah kartu ATM dan sebuah kartu dari karton yang dilaminating.

"Ini untuk belanja" 

"Dua-duanya?" Andiny bertanya.

"Iya, kartu ini adalah kode-kode bahan makanan yang tidak boleh kita konsumsi"

Andiny memperhatikan kartu yang dilaminating.

"Berarti selama dalam kemasannya ada kode ini, ga boleh dimakan ya?"

"Iya, kecuali yang ada tulisan vegetarisch, apa yang dimakan kalangan vegetarian, in sya Allah aman"

Andiny mengangguk.


Mereka bersiap. "Udara masih agak dingin, pake jaket yang tipis" Hamid mengingatkan.

Andiny mengiyakan.

"Utsman, hari ini kita jalan-jalan ya, biar sehat" Hamid lembut menyampaikan

"Jalan-jalan ke mana?"

"Lihat-lihat di sekitar, sambil nanti beli susu"

"Utsman mau susu beruang"

"Iya boleh, nanti banyak di toko"


Mereka keluar.  Di depan lift nampak ada wanita separuh baya.

"Guten Morgen" Hamid menyapa.

"Morgen" Wanita tua itu menjawab. "Daine Frau?" ia lanjut bertanya.

"Ya, Andiny, meine Frau" Hamid menjelaskan.

Andiny tersenyum dan menganggukan kepala setengah membungkukukan badan.

"Und daine kinder?" wanita itu menatap Utsman.

"Ya, Utsman, meine kinder" Hamid menjawab.

Wanita tua itu tersenyum. "So schoon".  Tangan wanita tua itu merogoh saku. Lalu mengeluarkan sesuatu. Permen-permen munggil berbungkus aneka warna.

"Vielendank" Hamid mengucapkan terimakasih.

"Bitte" wanita setengah baya itu menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar