Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura Part 16

 Sakura Bumi Eropa

(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 16.


Berjalan ke tempat yang belum pernah ditapaki, ternyata bukan hanya membawa langkah pada hal baru yang dituju.  Tapi juga membawa akal untuk menalar, membawa hati untuk berdzikir.

Betapa banyak indah ciptaan Allah di bumiNya.  Betapa banyak nikmat karunia terlimpah pada semua makhluqNya.  Bahkan ketika sekalipun makhluqNya ingkar padaNya, pada semesta cintaNya. Tak henti Allah memberi.

Allah ArRohmaan. Maha penyayang pada semua yang di dunia. Pada yang terlihat dan pada yang tidak terlihat. Pada yang bergerak, dan pada yang tidak bergerak. Tak ada yang luput dari curahan kasih sayangNya.

Dan bentuk kasih terindahNya adalah hidayah. Jalan untuk mengenal dan mendekat padaNya. Agar kelak di surga bisa melihat indah wajahNya.

Tak henti tebaran hidayah menyapa manusia. Namun tak semua ringan ingin menyambutnya.

Tak bosan Allah menunggu manusia datang padaNya, menunggu taubatnya. Namun tak semua peduli dengan keselamatannya di akhirat nanti.


Padahal Allah telah memberi manusia akal sebagai jalan untuk menemukanNya. Tapi ternyata tak semua manusia menggunakan akal dengan sebenar tujuan penciptaan.

Jalan kehidupan memang pilihan. Allah telah berikan dua jalan. Kebaikan dan kebalikannya.


Jalan kebaikan terbentang dalam semesta ciptaNya, di setiap jengkal bumiNya. Termasuk di sini. Di bumi Eropa.

Andiny tak henti menatap pemandangan di sepanjang jalan. Ini bukan kota. Tapi ini juga tidak bisa dianggap desa.  Semua fasilitas modern tersedia. Namun bangunan-bangunan rumah yang dijumpai sederhana. Tak nampak kemewahan terlihat dari luarnya. Dan selalu diantara jarak dari rumah ke rumah, dari apartemen ke apartemen, terdapat taman-taman indah tertata.

Bersih, rapi, nyaris tak ada sampah tercecer.  Tempat sampah tersedia dalam jarak teratur. 

Hanya saja Andiny masih merasa asing. Asing melihat orang-orang yang ia jumpa.

Orang-orang yang selama ini hanya ia lihat dalam layar kaca.


Beberapa ramah menyapa "Guten tag" mungkin yang sering bertemu dengan Hamid sebelumnya. Begitu pikir Andini.

Hamid, Andiny dan Utsman berjalan. Jalanan yang sepi, karena bukan jalan utama. Utsman dan Hamid nampak gembira. Sesekali mereka berlomba. Lari saling kejar. Lantas sama-sama menunggu Andiny.  


Akhirnya mereka tiba ditempat yang dituju.  Sebuah toko bertuliskan EDEKA. 

Hamid mengambil troli belanja.

Mendudukan Utsman di bagian depan.

Andiny mengikuti kemana Hamid pergi.

Hamid menunjukkan semua yang biasa ia beli.

Ia juga menunjukkan beberapa makanan yang mengandung zat makanan yang tidak boleh dimakan oleh seorang muslim.

Andiny mencocokannya dengan catatan yang ia pegang.


Beras, mie, pizza, ayam beku berlabel halal, ikan, roti, beberapa bumbu, coklat, dan aneka snack, memenuhi keranjang belanjaan.

Hamid mengajak ke kasir. Antrian tidak terlalu panjang. Semua meletakan belanjaan di meja berjalan. Ada sekat untuk masing-masing customer. Andiny memperhatikan.

Tugas kasir hanya sebagai kasir yang menghitung belanjaan. Sama sekali tidak membantu pelanggan seperti di negrinya.  Semua pelanggan mandiri melakukannya.


Utsman pulang dengan senang. Tangannya memegang coklat.

Ia sudah ingin memakannya. Tapi Hamid mengingatkan. Hanya boleh dimakan sambil duduk. Artinya, hanya boleh dimakan di rumah.

Sama seperti anak lainnya, Utsman mengeluarkan senjata utama, yaitu menangis.

Lembut Hamid memeluk Utsman.

"Kalau dibiasakan makan sambil jalan, nanti sudah besar  perutnya sakit, itulah mengapa Rasulullah bilang ga boleh makan sambil jalan. Sekarang Utsman pegang dulu aja ya"

Utsman masih menangis.

Namun pelukan Hamid lama-lama menenangkannya.


Mereka.berjalan pulang. Namun ke arah yang berbeda dengan jalan saat berangkat.  Andiny tak bertanya. Seperti biasa. Ia sepenuhnya telah percaya pada Hamid, lelaki surganya.

Sama seperti jalan saat berangkat. Jalan pulang juga terasa sepi.

"Kita ke spielplatz dulu ya" Hamid menjelaskan.

"Apa itu mas?"

"Taman bermain"

"Seperti TK?"

"Bukan, kalau TK itu kindergarten"


Tempat yang dituju sepi. Mungkin karena anak-anaknya masih sekolah.

Ada aneka mainan anak-anak yang biasa ada di TK.  Ada juga yang biasa terlihat hanya di tempat outbond, seperti jaring dari tambang besar. Ada rumah-rumahan kecil di sebuah pohon besar. Lengkap dengan tangga yang berlorong untuk menujunya.

Utsman dengan gembira langsung menuju ayunan. Seolah ia lupa dengan coklatnya.

Andiny duduk di salah satu bangku. Belanjaannya ia pangku.

"Letakkan saja, aman koq" Hamid memberi tahu.

Andiny ragu. Tapi tak ada pilihan lain selain ta'at.


Tak lama datang seorang anak sendiri. Andiny mengira, anak berambut pirang itu berusia sekitar sepuluh tahun. Anak.itu langsung menuju tangga dan lorong untuk menaiki rumah di dahan pohon. Tampak anak lelaki itu sangat menikmati.

Utsman asik bermain, Andiny menikmati pemandangan, melihat-lihat. 

Namun Andiny kaget, dua orang berseragam coklat muda masuk ke area bermain itu. Politzei. Andiny tahu, itu artinya polisi. Jantungnya berdebar kencang. Andiny melihat ke arah Hamid. Ia tahu, Hamid sadar akan kedatangan polisi itu. Tapi Hamid nampak tak peduli.


Polisi itu mendekat ke arah rumah di dahan pohon. Ia berbicara dengan anak laki-laki berambut pirang.

Akhirnya anak itu turun, kemudian pergi.

Dengan berdebar Andiny melihat semuanya. Seorang polisi melihat kepadanya. Andiny menganggukan sedikit kepalanya & tersenyum sebagai isyarat menyapa.


Namun sang polisi hanya memandangnya.


Akhirnya Andiny mendekat ke arah Hamid.

"Abuya, ayo pulang"

"Gapapa, polisi di sini selalu betpatroli, jika ada anak yang main di jam sekolah, apalagi tidak didampingi orang tua, akan disuruh pulang"

"Oooh" akhirnya Andiny lega.

"Bener ya kata orang, di sini lebih islami daripada orang islam sendiri" Andiny menyimpulkan.

"Dari apanya?" Hamid bertanya

"Dari kebersihannya, dari keamanannya, dari sikap menghargainya" Andiny menjabarkan.

"Apa betul hanya itu yang menjadi tolok ukur sesuatu dikatakan islamy?" Hamid seolah mengajak Andiny berfikir.

"Ngga juga sih, tapi Rosulullooh mengajarkan akhlak yang baik"

"Kenapa Rosulullooh berakhlaq baik, apa karena tradisi?, atau apa?"

"Ya bukan tradisi, kan tradisinya jahiliyah, tapi karena perintah Allah"

"Kalau menurut Umma, kenapa orang-orang sini bersikap baik dan menjaga kebersihan & keamanan? Apa karena tradisi atau karena perintah Allah?"

"Tradisi" Andiny pendek menjawab.

"Jadi, apa betul disini bisa dikatakan islami, sementara mereka tidak melaksanakan semua karena Allah?"

Andiny diam.

"Umma, yang membedakan seorang muslim dengan yang bukan adalah keimanan pada Allah, Sesuatu yang islami.adalah sesuatu yang disematkan padanya.apa yang dibawa oleh Rosulullooh, jadi apa yang mereka lakukan tidak bisa dibilang islami, karena mereka belum beriman"

"Tapi mereka melakukan apa yang dianjurkan oleh Rosululloh"

"Betul, karena Rosulullooh sikapnya sangat humanis, akhlaknya sangat mulia, jadi yang mereka lakukan adalah karena mereka menjunjung tinggi sikap humanisme yang terlihat sebagai akhlak"

Andiny mencoba mencerna.

"Kenapa Abuya bilang begini, karena Islam.itu tinggi, dan ketinggian itu karena beriman kepada Allah ta'ala, Allah yang maha tinggi. Tidak layak seseorang yang tidak beriman dikatakan lebih islami. Orang yang tidak beriman itu belum menggunakan akal sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mengenal Allah, maka bagaimanapun, tetep orang muslim.itu lebih islamy dari yang belum muslim".

Andiny diam. Kalimat demi kalimat dicoba disaring dan dimasukkan ke dalam qolbunya.


"Akhlak mulia itu, ketika semua perbuatan dilakukan karena Allah, dan dicontohkan oleh Rosulullooh, akhlaq mulia itu melaksanakan hukum syara, ada nilai tauhid yang murni di dalamnya, karena Rosul diutus untuk membumikan tauhid" Hamid masih menambahkan.

Andiny masih mencerna semua kata, menyaringnya menjadi sebuah hikmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar