Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura Part 25


Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad


Part 25


Bulan adalah teman impian

Bukan teman langkah kehidupan

Maka biarlah bulan menjaga mimpimu bersama gemintang.

Agar jelaga malam menjadi indah bercahaya.


Biarkan bulan menghitungkan waktu untukmu

Dalam tasbih perubahan wujudnya

Dari sabit menuju purnama.

Cukuplah engkau menikmatinya

Biarkan bulan riang bersama gemintang.


Bulan tak kan pernah jadi kenangan

Karena taqdirnya hadir dalam kehidupan

Usah berkaca pada waktu yang telah lalu

Berkaca lah pada mentari pagi

Bahwa pada setiap taqdir kehadirannya

Ada kebahagiaan yang menghangatkan.


Bulan.

Biarkan ia tetap ada

Biarkan ia tetap menjaga

Biarkan ia dalam tasbihnya.


Puisi indah itu terbaca di layar handphone Saat ia menjelajah dunia maya.  Kana mengirimkan pertemanan di akun sosmednya. Dan sebuah gambar di time line akun Kana menjadi ikon untuk puisi itu.


Andiny tercenung. Ada yang terasa beda dengan puisi Kanaya. Andiny mengusap perutnya. Membaca ta'awudz dan do'a pengusir gelisah. "Mungkin perubahan hormonal membuat perasaanku jadi sensitif". Begitu pikir Andiny. Ia menghela nafas.


Dialihkannya pandangan ke arah semua yang tengah menikmati hidangan. Ia mencari Hamid. Rupanya para pria tengah memberi tahniah, ucapan selamat pada Hamid.


Merasa ada yang melekatkan pandangan pandangan, Hamid reflek menoleh.

Andiny kekasihnya tengah menatapnya. Hamid mendekat.


Episode baru kebahagiaan. Itulah yang Hamid rasakan. Bersiap menjadi ayah secara biologis adalah anugrah indah yang telah lama dinantikan. Keberlimpahan yang telah lama diimpikan. Kemuliaan yang lama ia rindukan. 

Buah cinta dalam ibadah indah, kini Allah hadirkan di rahim kekasih tercinta ; Andiny.


"Kenapa ga cerita dari awal, Andin?" Hamid menatap istrinya penuh kasih sayang.

Andiny tersenyum. Seolah semesta bahagia hadir di wajahnya. Seolah sinar mentari pagi nan hangat terbit di matanya.

"Tadi kakak sibuk menyiapkan semuanya, juga sibuk bersama Utsman" Andin ga berani ganggu.


Acara syukuran itu telah selesai. Andiny dan Hamid bersiap. Tas ransel yang penuh kini kosong. Ringan. Teramat sangat ringan. Hamid menuntun Utsman dan mendudukannya di Stroller.

"Bruder Utsman, ayo bersiap pulang" Hamid riang mengajak Utsman.

"Bruder itu apa?" Utsman bertanya.

"Kakak laki-laki. Utsman akan jadi kakak, Allah kasih adik untuk Utsman"

"Adiknya mana?" Utsman antusias.

"Di perut Umma" masih sangat kecil, belum kelihatan.


Utsman menatap mata Andiny.

"Umma, aku mau punya adik?"

Andiny mengangguk.

"Utsman mau punya adik laki-laki atau perempuan?" 

"Aku mau punya adik laki-laki dan perempuan" Utsman polos menjawab.

"Aamiin" Hamid menimpali.


Bertiga mereka keluar dari pintu gedung itu. Sebuah bangunan yang sebagian ruangannya disewa untuk dijadikan masjid. Tempat melaksanakan kajian. Masjid Turkey, begitu masyarakat Indonesia menyebutnya.

Gedung itu memang milik orang Turkey yang sudah lama punya ijin tinggal permanen di negara ini. Dan masyarakat Indonesia turut memanfaatkannya dengan menyewa, untuk acara-acara tertentu.


"Kang Hamid, mau ikut bareng yuk" Bu Bagus menyapa dan mengajak dari jendela mobil yang terbuka.

"Terimakasih Bu, tapi kami naik kereta aja, kan ada Utsman" Hamid bijak menjawab.

"Ini ada kindersitz koq di bagasi, kemarin habis nganter  Launa" Bu Bagus menjelaskan.

Hamid memandang Andiny. Meminta persetujuan.

Andiny menjawab dengan senyuman.


"Ngga ngerepotin nih Bu?" Andiny sopan bertanya.

"Ngga, kan sekalian lewat"

Bu Bagus membuka pintu mobil.

Turun dan membuka bagasi. Menyiapkan kindersitz.


Kindersitz. Kursi khusus yang harus dipasang di mobil jika ada anak balita ikut di dalam mobil. Jika tidak dipakai pengemudi harus siap berurusan dengan polisi. 

Itulah cara negara ini melindungi rakyatnya. Termasuk rakyat kecilnya. Anak-anak. Di negri ini angka kelahiran sangat kecil. 

Maka anak adalah aset yang sangat berharga.

Negara tak sayang mengeluarkan banyak tunjangan anak untuk membantu setiap keluarga dalam membesarkannya. Mungkin dengan cara itu, masyarakatnya akan berlomba mempunyai anak banyak. Tapi nyatanya tidak.

Entah apa dalam logika mereka.

Kabarnya banyak yang keberatan akan keberadaan anak karena membesarkan dan mengasuhnya menyita waktu, perhatian, tenaga dan juga harta.


Itulah pemikiran yang jauh dari Islam.


Islam memandang anak adalah harta yang tak ternilai.

Setiap waktu bersamanya adalah berharga.

Setiap peluh yang menetes dalam membesarkannya adalah pahala berbalas surga.

Rizqinya sudah dijamin Allah yang Maha Kaya, sama sekali tak mengurangi apa yang telah dipunya justru kehadirannya adalah pembawa keberkahan dan keberlimpahan.


Anak adalah persiapan dan kebanggaan.

Anak adalah investasi yang do'anya menjadi pahala yang tak pernah putus jika ayah dan ibunya mendidiknya menjadi hamba yang berbakti.


Meski bagi sebagian manusia anak adalah ujian. Bahkan bagi orang sholeh terpilih seperti kisah putra  Nabi Nuh as. 


Tapi bukankah ujian itu adalah keniscayaan?

Setiap apa yang Allah hadirkan adakalanya menjadi keberkahan yang membahagiakan.

Adakalanya menjadi ujian yang memeras airmata derita.


Semua seolah berputar seperti roda. Berganti posisi dikayuhan waktu. Hingga waktu mengantar pada tepi usia, pulang pada Sang Pencipta yang Maha Mencinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar