Sabtu, 26 Februari 2022

Cinta Seindah Sakura Part 12


(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 11.


Andini menggendong Umar. Ia berdiri.  Diletakannya Umar di dadanya. Tangan lembutnya mengelus-ngelus punggung Umar.  Sembari mengayunkan Umar di badannya ke kiri dan kanan, Andini menyenandungkan sholawat.

Semua hal itu selalu dilakukannya pada Utsman dulu, oleh almarhum ayahnya ; Adlan. Andini menitikan air mata. Setelah menjadi yatim, kini ia pun harus jauh meninggalkan Umar.

"Walloohu khoirun haafidzo" begitu Andini menghibur dirinya.

Allah lah sebaik-baik penjaga. Allah sejatinya yang akan selalu ada menjaga Umar, menjaga dirinya, menjaga keluarganya.


Perlahan tangis Umar mereda.

Matanya terpejam. Umar tertidur.  Andini menyerahkan Umar pada Zamzam. 

Tiba-tiba mata Umar terbuka.

Jantung Andini berdetak cepat.

Namun mata itu terbuka hanya sesaat. Mungkin Umar kaget & merasa kalau tubuhnya berpindah. Kini ia lelap kembali di pelukan Zamzam.


Andini, Hamid dan Utsman berjalan menuju gate yang telah ditentukan. Sesekali Andini menoleh kebelakang. Memastikan Umar tak terbangun dan menangis.


Hamid memahami semuanya.

Ia hanya bisa berdzikir. Membaca sholawat. Lalu memohon pertolongan pada Allah.


Utsman memandang ruangan yang ada di hadapannya.

"Ini pesawat" Hamid menjelaskan.

"Pesawat?" Utsman bertanya.

"Iya, kita mau terbang" Hamid kembali berkata.


Hamid menuntun Utsman menuju tempat duduknya.

Pesawat boeing ini sangat luas.

Hamid telah memilih tempat duduk di sebelah jendela. Sayang pemandangan tidak terlalu penuh terlihat. Sebagian sayap pesawat sedikit terlihat.

Itu sayap pesawat.


Terdengar suara dari speaker pesawat. Beberapa pramugari berdiri. Memperagakan instruksi seperti yang terdengar dalam ruangan. Hamid membantu Utsman.


Dari suara itu terdengar pilot memperkenalkan namanya juga nama pilotnya.  Setelah itu pilot membacakan do'a.

"Bismillaahi majreehaa wa mursaaha, inna robbi la ghofuururrohiim"


Pesawat mulai lepas landas.

Hamid menyalakan monitor tv yang ada di depan untuk Utsman. Utsman tampak menikmati.

Seorang pramugari datang mendekati.

"Assalamualaikum, ini ada mainan untuk adik, ... Siapa namanya?" pramugari ramah itu menyapa Utsman.

Utsman masih asik menatap layar.

"De, itu ada yang nanya" Andini lembut menepuk pundak Utsman.

Utsman merespon, ia menatap ummanya.

"Itu ada yang nanya" Andini mengulang.


"Ade namanya siapa, aku Dania" pramugari cantik itu memperkenalkan diri.

"Aku Utsman" 

"Ini ada mainan untuk Utsman" pramugari bernama Dania memberikan tas anak.

Utsman menerimanya dan langsung membukanya. Ada boneka pesawat, mobil-mobilan dan robot-robotan. Ada juga buku mewarnai lengkap dengan  pensil warnanya.

"Bilang apa?" Hamid mengingatkan.

"Terimakasih" Utsman berujar sambil menatap pramugari.

"Sama-sama" Dania tersenyum kemudian berlalu.


Waktu menunjukkan pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Waktu sahur. Waktu menjelang subuh. Hamid, Andini juga Utsman harus transit di sini. Di Srilangka.

Dania, sang pramugari yang rah dan baiK hati, membantu dengan seksama. Tidak hanya itu, Dania juga memberikan sebuah tentengan pada Andini.

"Ini untuk anaknya"

Andini melihat sekilas. Sebuah tas plastik berisi banyak makanan dan buah-buahan.

"Terimakasih" Andini sedikit membungkukkan badan.

"Sama-sama, hati-hati ya" Dania  ramah. Seolah ia dan Andini sudah lama saling mengenal.


Andini, Utsman dan Hamid berjalan. Tempat baru ini asing bagi Utsman. Juga rasa kantuk yang masih tersisa tampak membuat Utsman tidak nyaman.


Utsman menangis. Hamid menggendong dalam pelukan.

Namun itu tak cukup menenangkan Utsman. Utsman masih menangis.

"Utsman mau makan de?" Andini bertanya.

Utsman menggeleng.

"Mau minum?"

Utsman masih menggeleng.


Andini mengeluarkan mainan yang diberi.

"Ini pesawat, nanti kita terbang lagi" Andini mencoba menghibur.

Utsman masih menangis.


"Mungkin Utsman cape" Hamid menatap Andini.

"Umma cape juga?" Hamid bertanya dengan tatapan lembut. Andini menggeleng.


Ada cinta dalam tatapan itu.

Cinta yang telah lama tertanam, dalam mengakar.

Cinta yang telah dipupuk waktu,  disiram do'a.

Cinta yang tumbuh subur.

Cinta yang bunganya mewangi surga.


Andini merasa beruntung.

Rasa syukur tak henti ia panjatkan pada ilahi.

Cinta untuk seorang yang dulu selalu ia anggap sebagai kakak & saudara, kini menjelma menjadi cinta untuk seorang kekasih.


Betapa Allah Sang Pemilik Hati manusia begitu mudah membolak balikan hati.

Begitu mudah mengubah kesedihan menjadi kegembiraan.

Begitu mudah mengubah duka menjadi bahagia.

Semuanya mudah dan teramat sangat mudah bagi Allah.


Hamid mencari mushola.

Utsman mulai tenang. Ia tertidur.

Mereka beristirahat di mushola.

"Kakak mau tahajud dulu"

Andini mengangguk.

Hamid begitu hati-hati memindahkan Utsman ke pangkuan Andini.


Andini memandangi lelaki surganya yang bersujud. Lalu khusyu.

Andini tahu, selalu ada namanya disebut dalam sujud lelaki surganya.

Andini tahu, ada beban berat di pundak lelaki surganya.

Tapi seolah beban berat itu luruh dalam sujud, lalu melangit bersama do'a.

Beban itu telah dikembalikan pada pemberi amanah kehidupan. Pada Allah yang Maha Penyayang.

Dengan kasih sayangNya semua beban itu menjadi ringan.

Seolah Allah mengutus malaikat-malaikatNya untuk turut membantu hambaNya..


Tidak terdengar adzan subuh, tapi teknologi telah memudahkan manusia untuk mengenal waktu. Termasuk waktu untuk menghadapkan wajah padaNya.

Hamid menyempurnakan penghambaannya.


Andini menunggu dalam dzikir.

Dan waktu tak pernah menunggu. Waktu terus melaksanakan titahNya untuk meniti masa.

Hingga waktu menunjukan pukul tujuh kurang lima belas menit. Waktunya menuju gate untuk penerbangan selanjutnya.


Utsman masih tertidur. Hamid memangkumya hati-hati.

Mereka bertiga berjalan mengikuti rambu dan arah dalam petunjuk yang dipasang.


Tepat pukul tujuh pagi, ada sesuatu yang membuat Andini tertegun. Tiba-tiba semua orang diam mematung.

Yang tengah berjalan tiba-tiba berhenti. Yang tengah berjualan di toko melayani penjual tiba-tiba menghentikan aktifitasnya. Yang tengah membeli minuman lewat mesin otomatis segera menghentikan & menunda.


Andini dan Hamid pun akhirnya ikut berhenti.

Andini melihat ke sekeliling.

Mencoba memahami apa yang terjadi.

Andini memasang telinganya. Sebuah lagu terdengar.

Sepertinya ini lagu kebangsaan Srilangka. Andini ingin bertanya pada Hamid. Namun ia ragu.

Akhirnya ia diam.


Dalam diam pikiran Andini terbang ke negrinya.

Negri dimana adzan selalu berkumandang dalam waktu yang ditetapkan.

Andini menghela nafas. Andai saja setiap muslim bisa menghentikan aktifitasnya saat mendengar panggilan suci dari langit.

Padahal bukankah lantunan adzan begitu merdu, begitu berarti?

Sebuah lagu kebangsaan di sini sangat dihormati.

Ah, kenapa lantunan adzan, panggilan surga yang dilagukan teramat merdu dan menyentuh qalbu, kadang hanya dianggap angin lalu?

[11:14, 2/26/2022] Rani: Sakura Bumi Eropa

(Oleh : Rani Sulaeman Ummu Ahmad )


Part 12.


Srilangka hanya negara kecil. Tapi bagaimana mereka menghargai lagu kebangsaannya menunjukkan sikap mereka yang besar.

Kaum muslimin sebagai bangsa yang besar harusnya bisa menunjukkan sikap besarnya pada panggilan dari Yang Maha Besar, panggilan untuk menuju ultimate success, panggilan menuju kehidupan besar yang sesungguhnya kelak.

Adakah kecilnya kehidupan kaum muslimin sekarang karena sering mengecilkan panggilan dari Yang Maha Besar?  Hanya Allah yang tahu.


Andiny, Hamid yang menggendong Utsman, masuk ke gate yang ditentukan. Masuk ke pesawat yang selanjutnya.  Kali ini duduk di bagian tengah. Tak ada pemandangan dari jendela. Hanya layar monitor yang masih serupa.

Hati-hati Hamid meletakan Utsman di kursinya diapit Andiny & dirinya.

Utsman masih tertidur.

Hamid bersyukur.  Dalam hati ia berdoa agar perjalanan selanjutnya tetap nyaman dan menyenangkan.  Ada satu bandara yang akan disinggahi lagi untuk transit.  Dubai.


Dubai. Dubai adalah kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Gurun yang kosong telah berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit. Onta-onta telah berubah menjadi Ferrari, Mercedes, Hummer, dan lain-lain.

Dari sepuluh hotel tertinggi di dunia, tujuh ada di Dubai.

Mall terbesar di dunia juga ada di Dubai, dengan luas lima puluh kali lipat luas lapangan sepak bola.


Bandara Dubai adalah bandara terbesar ketiga di dunia.

Dari suasana bandara Dubai, Andiny bisa merasakan aura kemegahan Dubai.

"Megah banget ya Kak" Andiny berujar.  Hamid tersenyum.

"Salah satu pertanda akhir zaman akan mendekat" Hamid menjelaskan. "Tanda hari kiamat ada yang sifatnya baik. Ada pula yang buruk. Ada pula hanya sekedar kabar atau tanda yang aslinya tidak bersifat baik ataupun buruk. Hanya sekadar tanda dan kabar agar manusia sadar bahwa kiamat pasti terjadi. Contohnya seperti berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi"


Andiny mengangguk. Ia faham.

"Dulu,Jibril datang pada Rosulullooh saw dengan wujud manusia. Ia datang dengan penampilan indah. Mengenakan baju yang teramat putih ditimpali warna rambut yang hitam kelam. Ia datang berdialog dengan Rosulullooh  ﷺ untuk memberikan pengajaran kepada para sahabat. Jibril bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan. Kemudian ia bertanya tentang tanda kiamat. Di antara jawaban Rosululloh ﷺ adalah,


وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ.


“Dan bila engkau menyaksikan mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tidak berpakaian, fakir, dan penggembala kambing, (kemudian) berlomba-lomba membuat bangunan yang tinggi.” (HR. Muslim)" panjang lebar Hamid menjelaskan. "Dalam hadits lain, yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ada keterangan tambahan. Ibnu Abbas bertanya kepada Rosulullooh ﷺ:


يَا رَسُـولَ اللهِ، وَمَنْ أَصْحَابُ الشَّاءِ وَالْحُفَاةُ الْجِيَـاعُ الْعَالَةُ قَالَ: اَلْعَرَبُ.


“Wahai Rasulullah, dan siapakah para pengembala, orang yang tidak memakai sandal, dalam keadaan lapar dan yang miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang Arab.” (Musnad Ahmad)"


"Kak Hamid hafal ya, keren" Andini memandang Hamid penuh kekaguman.

"Ilmu itu amanah, untuk disampaikan dan diamalkan. Nanti Umma akan tahu kalau sesedikit apapun pengetahuan kita tentang islam, akan sangat berarti di tempat kita yang baru" Hamid menambahkan.

"Berarti Kak Hamid sering dakwah dong" 

"In syaa Allah" Hamid menjawab dengan senyum.


Dua puluh jam perjalanan, dikurangi enam jam perbedaan waktu, mau tidak mau memang cukup melelahkan.  Namun cinta membuat semua lelah menguap begitu saja. Pun harapan, membuat semua yang dirasa merintang, tiba-tiba menghilang.


Hingga akhirnya tujuan utama pun tiba. Bandara internasional kota Munich.  Megah, meski tak semegah bandara Dubai.


Hamid, Andini & Utsman mengambil koper mereka di bagasi. Tiga koper besar, dua koper kabin dan dua ransel besar. Cukup banyak. Sebanding dengan kerepotan yang harus dihadapi.

Namun bahagia membuat semua terasa biasa saja. 

Dan kebahagiaan itu bertambah ketika beberapa teman dan sahabat menyambut dan membantu.


Ada empat ikhwan dan dua akhwat. Enam orang. Nampaknya empat diantara mereka adalah dua pasang suami istri. Begitu Andiny menduga.

"Selamat datang kembali di Munich, herztlich willkomen" satu diantara mereka menyambut dan memeluk Hamid.

Andiny membalas senyum dan salam yang disampaikan tanpa bersentuhan.  Utsman yang duduk di bagian atas troli hanya memandang tak mengerti.


"Saya Alma, selamat datang Mba" seorang akhwat menyambut Andiny, ramah.

"Saya Layla, selamat datang Mba Andiny" sapa akhwat di sebelah Alma.

Mereka bersalaman, berpelukan dan cipika cipiki khas Indonesia.


Ini negri baru. Negri asing. Setelah selama perjalanan hanya bertemu orang asing yang tidak di kenal, bertemu dengan orang satu negara itu ibarat menemukan air di padang pasir.


Andiny berjalan bersama Alma dan Layla. Hamid dan Utsman, bersama rombongan ikhwan. Utsman hanya mau dituntun oleh Hamid. Tamgan Hamid seperti magnet bagi tangan Utsman. Magnet yang penuh kehangatan.  Hangat yang mengalir dalam denyut arteri. Hamgat yang mengalir ke arteri Utsman, lalu hangat itu berlabuh di hayi dan jantung Utsman untuk kemudian memgaliri setiap sel tubuhnya.  Itulah mengapa Utsman belum mau berbaur dengan orang dewasa di sekitarnya.  Sesekali Layla membujuk Utsman, namun Utsman selalu menggeleng.


Andiny hanya tersenyum melihat tingkah Utsman. Andiny tahu, saat seperti itu Utsman tidak bisa dibujuk, bahkan untuk pindah ke pelukannya.


Mereka menuju lift. Turun ke bawah tanah, menuju kereta.

Kereta yang akan membawa Andiny dan Utsman menuju rumah baru. Kehidupan baru. Harapan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar