Sabtu, 26 Februari 2022

Sakura Bumi Eropa Part 19


(Oleh : Rani Binti Sulaeman )


Part 19.


Malam telah jelaga.

Utsman terlelap.  Hamid mencari Al Quran. Ia membacanya. Tartil. Andiny menyimak. Hatinya tersentuh. Lantunan yang begitu merdu telah menggetarkan hatinya. Getar yang menjalar ke pelupuk. Perlahan melelehkan air yang kemudian menggenang di mata.

Kalam ilahi, jika dibaca dengan hati, akan sampai pada hati.


Andiny beranjak. Ia mengambil mushaf.  Bersama lelaki surganya menyenandungkan surat cinta dari Tuhannya.

Maka nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.


Andiny ikut berhenti saat Hamid berhenti.

"Dik, tolong kakak disimak ya"

Andiny tak menolak.

Matanya mengamati huruf demi huruf dari kitab mukjizat yang dipegangnya.

Telinganya mendengar seksama apa yang dilantunkan lelaki.surganya.

Hati dan  fikirannya memastikan bahwa yang ia dengar, sama persis dengan apa yang dia baca.

Ia memastikan bahwa mata membenarkan telinga. Penglihatan membenarkan pendengaran.

Hingga 2 juz pun selesai.


Malam itu indah. Kian indah karena cinta adalah ibadah.


**


"Hari ini kita akan ke kota ya, kita ke toko Turkey & ke pertokoan, nyari kinderwagen untuk Utsman" usai meliat sajadah Hamid mengingatkan.

"Jam berapa kita berangkat?"

"Jam 9 aja, biar kereta sudah mulai lengang"

Rupanya dimanapun, jam kerja akan membuat transportasi umum padat penumpang.


Andiny bergegas ke dapur.

Dibukanya pintu lemari es.

Masih ada jamur kancing, brokoli & wortel. Ia membuka lemari dapur, memeriksa bahan dan bekal yang dibawa dari tanah air. Ada kembang tahu dan ikan asin juga abon.

Akhirnya Andiny memutuskan memasak capcay. Masakan sederhana kesukaannya.


Menu sarapan sudah siap. Ada capcay, telur dadar kornet, abon, sambal dan tak lupa kerupuk. Semua terhidang cantik di meja makan. Saatnya mempercantik diri sebelum makan. Begitu pikir Andiny.


Ia segera keluar dapur.  Mencuci dan membersihkan wajah serta memakai body cream untuk tangan dan seluruh tubuhnya. Itu kebiasaan yang diajarkan bunda dulu.

Repot memang. Tapi Bunda selalu disiplin dan Andiny terpaksa harus mengikuti aturan yang dibuat bunda dulu.

"Usahakan, setiap sarapan kamu harus sudah rapi seperti hendak berangkat kerja, walaupun nanti kamu tidak bekerja" nasihat bunda yang satu ini selalu terkenang di benak Andiny.

Baru setelah menikah, Andiny tahu apa maksud bunda.  Ternyata kadang perlu belasan tahun untuk memahami pesan dari sebuah kebiasaan dan disiplin yang ditanamkan.


Andiny ke kamar. Kamar sudah rapi. Tidak ada Hamid di situ. 

Andiny ke kamar Utsman. Menengok, barangkali Hamid tengah bermain bersama Utsman di kamarnya. Tapi tidak ada juga.  Andiny berjalan ke ruang tamu. Sepi dan kosong. Rapi, tidak ada tanda-tanda bekas bermain Utsman. Semua masih sama seperti tadi malam.


Akhirnya Andiny ke kamar mandi. Andiny menguping di balik pintu, rasa penasarannya mengajak ia untuk memgintip. Dan betul, Hamid tengah memandikan Utsman, tepatnya mengajari Utsman membersihkan diri.  Utsman lagi asyik menggosok punggung Hamid dengan kasa sabun mandi. Ia tertawa-tawa. 

"Abuya geli ngga?"

"Ngga"

"Tadi aku geli waktu digosok Abuya"


Rasa hati Andiny mengajaknya untuk bergabung. Namun Andiny urung. Biarlah itu jadi acaranya kaum Adam rumah ini. Begitu pikirnya.

Seperti semula, akhirnya Andiny kembali ke kamar, mengganti baju & menghias diri.


Setelah rapi, Andiny ke kamar Utsman. Memilihkan pakaian Utsman, itu yang ingin ia lakukan. Namun Andiny tersadar. Utsman hanya akan memakai pakaian yang dipilihnya sendiri.


Kembali ke kamar mandi, Andiny mengetuk pintu pelan.

"Sarapan sudah siap" ujar Andiny

"Iya Umma, bentar lagi" Hamid menjawab.


Andiny bersiap.

Sesuai rencana hari ini akan ke kota. Ya kota. Karena Andiny & Utsman tinggal di kota kecil. Andiny tidak bisa mengatakan tempat ini sebagai desa. Semuanya rapi, bersih, sebagian besar bangunannya bukan bangunan tua. Hanya beberapa yang bergaya bangunan tua. 

Setiap jarak tertentu, ada taman bermain untuk anak-anak.


Hidangan sarapan sudah tertata rapi di meja.

Piring, sendok & garpu sudah siap. Tiga pasang gelas yang berisi susu dan air putih juga sudah ada. Tinggal menunggu Hamid dan Utsman.

Andiny tak mau menunggu lagi. Ia menuju kamar Utsman.


Benar saja. Ada Utsman dan Hamid di kamar itu. Rapi dengan pakaian bersih. Hamid berdiri, Utsman disampingnya. Mereka tengah sholat duha.


Andini tertegun. Ada haru menyeruak di dada. Seperti biasa, rasa haru itu menjalar ke pelupuk, mengenangkan air di bening mata. Haru itu itu makin menderu, ketika mata Andiny tertuju pada tiga pigura foto yang tertempel di dinding, di samping dua lelaki yang tengah khusyu dalam sholatnya.


Foto Utsman tengah tersenyum ceria diapit dua foto yang sama besar ukurannya. Di samping kanan ada foto Hamid & Andiny. Foto pernikahan. Andiny yang cantik nan anggun dalam balutan gaun satin berwarna salem. Bersanding bersama Hamid berkemeja coklat tua keemasan. Andiny tersenyum dalam harunya.

Di sebelah kiri ada foto Adlan.

Entah kapan foto itu terpasang.


"Utsman harus tahu siapa ayahnya, meski mungkin belum sekarang waktu yang tepat untuk menjelaskannya, namun biarkan memorinya menangkap dan menyimpan wajah ayahnya" begitu dulu Hamid menjelaskan ketika mengajak Andiny untuk mencetak foto Adlan.

"Kak Hamid gapapa?" Andiny waktu itu meyakinkan.

"Kakak tetap menghormati Adlan sebagai ayah kandung Utsman. Utsman adalah satu-satunya harapan baginya di alam sana. Kakak hanya dititipi Allah untuk mengasuh, dan membimbing anak yatim dari bidadari yang Allah berikan"

Andiny menyandarkan diri di bahu Hamid yang lebar. Ada ketenangan dalam bahagia yang terkira. Seolah tiba-tiba beribu malaikat membentangkan taman surga diantara mereka. Taman dengan aneka bunga yang wewangiannya membius melenakan.


"Kakak ga nyesel nyesel milih aku? Kakak ga marah dulu pernah ku tolak begitu saja?"

"Cinta itu titipan dari Sang Pemilik Cinta. Kita tidak bisa merencanakan atau memilih kepada siapa mencintai. Kita hanya bisa meminta agar Allah menumbuhkan atau menghilangkan rasa cinta di hati kita"

"Kakak ga pernah tertarik atau berencana menikahi wanita lain setelah aku menikah?"

"Pernah dua kali ingin menikahi wanita lain untuk melupakanmu, tapi Allah selalu menghalangi, ternyata Allah hanya meminta kakak menunggumu. Ada pahala tambahan yang ingin Allah berikan"


Rasa haru itu terus bertalu.

Ah, ketika Allah mengambil sesuatu yang Dia titipkan, Allah akan mengganti dengan titipan yang lebih baik.  Allah tak pernah ingin hambaNya bersedih. Allah hanya ingin hambaNya mendekat padaNya.

Beruntunglah orang yang diundang mendekat padaNya.

Meski bentuknya adalah kepedihan dan penderitaan. Justru karena pedih, sang hamba akan mencari penawar. 

Justru dengan adanya derita, sang hamba akan mencari tempat bersandar.

Sementara pemilik penawar kesedihan hanyalah yang Maha Sempurna, dan tempat bersandar yang kokoh adalah Sang Pemilik Semesta.

Bukankah para bidadari penghulu surga juga hidup dalam duka derita. Bukankah Asiyah tetap tegar dalam siksa Fir'aun? Bukankah Maryam tetap tabah dalam deraan fitnah? Bukankah Khadijah tetap bersahaja di sisi Muhammad ketika seisi kota mencerca karena kalimat tauhid yang didakwahkannya?

Bukankah Fathimah tetap bersyukur dalam kekurangannya ketika semua kemudahan harusnya mudah ia dapatkan?


Sejatinya derita bukanlah siksa. Namun derita adalah cara untuk meraih cintaNya.

Berapa banyak hamba yang dibiarkanNya terlena & menjauh dariNya?


"Umma, aku dan abuya udah duha, umma belum" tiba-tiba jemari mungil itu hangat memegang jemari putih milik Andiny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar