Selasa, 22 April 2008

dari milis tetangga...

*KISAH COBRA DI LP ANAK PRIA TANGERANG*

*LP Anak Tangerang 22 Mei 2007*
Namanya Cobra.  Bukan nama asli memang.  Nama aslinya adalah Dhani Ahmad.
Cobra adalah nama julukan teman-temannya, sesama napi anak di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Anak Pria di Tangerang.

Tapi jangan bayangkan ia ganas ataupun berwibawa laksana ular Cobra ataupun
gesit dan cepat seperti motor Yamaha RX King Cobra.  Cobra yang satu ini
justru amat mengundang iba.

Cobra adalah napi anak (istilah yang lebih manusiawi adalah 'andipas'- Anak
Didik Pemasyarakatan) yang memiliki cacat berlipat.  Sejak lahir ia memiliki
keterbelakangan mental.  Belakangan, didapati pula ia sulit berbicara.  Apalagi
ia nyaris tidak memiliki gigi di bagian depan.  Belum lama berselang iapun
tertimpa penyakit katarak permanen, yang membuat kedua matanya nyaris tak
bisa melihat lagi.  "Kami menyebutnya multiple handicap," ujar F. Haru
Tamtomo, kepala Lapas Anak Pria Tangerang.

Derita Cobra yang berujung di LP Anak Pria Tangerang tak lahir dengan
sendirinya.  Cobra dilahirkan di Poso, Sulawesi Tengah.  Ketika konflik
berlatar etnis dan agama merobek Poso kedua orangtuanya tewas
terbunuh.  Jadilah
ia hidup sebatang kara.  Gencarnya arus pengungsian mengantar Cobra hingga
ke Balikpapan.  Di tanah yang baru dijamahnya ini ia mesti berjuang
sendirian.  Tak ada orang tua, tak ada sanak keluarga. Dan hidup semakin
tidak mudah bagi Cobra karena iapun memiliki cacat ganda.  Jadilah Cobra
mencuri kesana kemari demi menyambung hidup.  Sampai suatu waktu
petualangannya berakhir di terali besi.  Kondisi Cobra yang special
membuatnya ditransfer ke LP Anak Pria Tangerang.  Pada usia yang amat muda.
Sekitar tiga belas tahun.

Di LP Anak Pria Tangerang Cobra hidup 'relatif lebih baik' daripada di luar
penjara.  Disini ia punya banyak teman.  Bahkan ia dijadikan maskot oleh
teman-temannya. Setiap ada kunjungan dari tamu-tamu LP ia selalu didaulat
teman-temannya untuk menyanyi ataupun menerima hadiah. Relatif lebih
baik?  "Coba
Bapak pikirkan, siapa yang memikirkan nasib Cobra sekarang, dia tak punya
siapa-siapa.  Kalaupun keluar penjara iapun tak tahu harus pergi kemana,"
tambah Haru Tamtomo lagi.

Namun penjara tetaplah penjara. Dan Cobra tetaplah anak-anak.  Kendati ia
terkesan senang berada di LP Anak namun ia juga sering frustrasi.  "Saya
sering melihat dia shalat . Dia rajin sekali shalat.  Namun di saat lain
saya juga mendapat laporan bahwa ia sering membentur-benturkan kepalanya ke
tembok. Sepertinya ia frustrasi.  Ia ingin berbicara normal seperti
teman-temannya yang lain namun tak dapat berbicara.  Ingin melihat normal
seperti teman-temannya yang lain namun tak dapat melihat normal karena
katarak permanen," papar Haru Tamtomo.

Penyakit katarak Cobra bukannya belum pernah ditangani.  "Kami sudah
membawanya ke *Jakarta Eye Center*, tapi mereka mengatakan bahwa penyakit
kataraknya sudah parah. Retinanya sudah rusak.  Ada memang donor mata dari
Sri Lanka, tapi baru siap enam tahun dari sekarang," sambung Bapak Kalapas
tersebut.

Mendengar komplitnya kisah duka Cobra tak terasa mata saya mulai
basah.  Apalagi
menyaksikan ia menyanyi lagu kebangsaan penjara guna menyambut kami, para
mahasiswa.  "Apa kabar hari ini?" luar biasa dahsyat, yes yes yes !!! ujar
Cobra. Ia berteriak dan bernyanyi penuh semangat kendati tak jelas apa yang
digumamkan.

*LP Anak Tangerang, 19 April 2008*
Setahun berselang saya kembali mengunjungi* *LP Anak Pria Tangerang. Memang
ini sudah kegiatan rutin tahunan kami sebagai bagian dari perkuliahan Hukum
Perlindungan Anak dan Viktimologi.  Mengantar para mahasiswa supaya lebih
akrab dengan dunia hukum dalam kenyataannya.

Saya kembali bertemu Pak Haru Tamtomo, Kalapas Tangerang yang sangat
kebapakan dan ramah tersebut. Di tangannya LP Anak tak terkesan seperti LP.
Kini bertaburan warna-warna cerah dan lukisan tembok anak-anak didik
disana-sini.  Lalu saya teringat Cobra yang saya temui tahun lalu. "Apa
kabar Cobra, Pak?" tanya saya.  "Wah Cobra sudah tidak disini Pak. Sudah
kami pindahkan ke Panti Asuhan Tanmiyah di Bekasi.  Memang masa hukumannya
masih belum habis, tapi kalaupun disini kamipun tak banyak dapat menolong
karena ia menderita cacat berlipat," papar Pak Haru.  "Tapi ia masih bisa
melihat kan, pak, tahun lalu ia masih dapat melihat?" tanya saya lagi
penasaran. "Cobra sekarang sudah tuna netra total Pak. Ia menderita katarak
parah yang tak dapat disembuhkan. Operasi pun tak dapat menolong dia
terkecuali ada donor mata," jawab Pak Haru. Jawaban yang sama dengan tahun
lalu.

Saya sedih tak menemukan Cobra. Saya semakin sedih menyadari bahwa kalaupun
saya menemukannya saya pun tak banyak dapat menolongnya. Kecuali dengan doa
tentunya.  Namun ternyata saya salah.  Setelah kembali menjumpai adik-adik
Andipas (Anak Didik Pemasyarakatan) di aula LP Anak siang hari ini, ternyata
saya menjumpai "Cobra – Cobra" baru yang tak kalah menyedihkan nasibnya.

Saya berjumpa dengan Ilham, seorang anak berusia 12 tahun yang berwajah
sangat innocent. Berbadan kurus dan bertubuh pendek. Memang masih sangat
anak-anak ia. "Mengapa Ilham sampai disini Pak?"  iseng saya bertanya pada
sipir LP di sebelah saya.  "Oh dia terlibat pencurian motor bersama dua
temannya," jawab sang sipir.  "Mencuri motor? *How come* Pak? Kan badannya
kecil begitu?" tanya saya keheranan.  "Kenyataannya bisa Pak. Dia tertangkap
tangan oleh polisi di Tangerang. Ia sendiri berasal dari Lampung. Sampai
sekarang tak ada satupun keluarganya yang mem-bezuknya. Pun sejak ia
diperiksa di kepolisian. Tak jelas juga siapa ayah dan ibunya. Ilham sendiri
bingung ketika ditanya siapa ayah dan ibunya," tutur Pak Sipir.  Tak terasa
kedua mata saya mulai sembab menahan air mata.

Akhirnya air mata di pelupuk mata saya benar-benar jatuh ketika saya
menangkap wajah "Cobra" yang lain.  Sama seperti Ilham. Badannya kecil,
berwajah *innocent* (bisa dibilang "culun"),  berkaus warna oranye dan
selalu menunduk. Namanya, sebut saja D. Saya duga ia terjebak pencurian
motor juga.  Karena penasaran akhirnya saya bertanya juga pada Pak
Sipir.  "Kalau
dia kenapa sampai disini Pak, mencuri motor juga?" tanya saya hati-hati
takut terdengar D.  "Oh tidak Pak, dia mah kena pasal 289, korbannya anak
umur sembilan tahun. Dia sendiri masih berusia sebelas tahun," jawab Pak
Sipir tenang.  *Innalillahi wa ina ilaihi raajiiunn*... Pasal 289 di KUHP
adalah pasal perkosaan! Anak sekecil itu melakukan perkosaan?

Tiba-tiba saya menjadi begitu bersyukur karena masa kecil saya begitu indah,
sekaligus bersedih bahwa mereka tak sempat mengecap keindahan masa kecil
seperti saya, ataupun seperti anak-anak saya yang seusia mereka...*fabiayyi
alaa i Rabbikumaa tukadzzibaan*...

*Jakarta, 19 April 2008*
*- Heru Susetyo-*


2 komentar: