“Baiklah, jika tidak ada yang bertanya lagi, kita tutup diskusi ini dengan membaca hamdalah, istigfar dan do’a akhir majelis”
“Alhamdulillahirobbil ‘alamin, Astagfirullohal’adim, subhaanakallohumma, wabihamdika, Asyahadualaa ilaaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaiik” do’a itu bergema di dalam ruangan. 50 peserta, aku, dan pembicara; Kang Hadi dan Kang Surya serempak membacakan do’a itu. Aku berusaha untuk khusyu.
Sejak acara seminar setengah hari ini dimulai, aku merasa serba salah. Berada diantara Kang Surya dan Kang Hadi membuatku begitu resah gelisah. Tatapan Kang Hadi yang sebenarnya tertuju pada peserta, selalu terasa tertuju padaku. Tajam. Inti pembicaraan tentang wanita sholihah tentang kisah-kisah indah para shohabiah, yang dipaparkan di depan peserta yang datang dari berbagai daerah, bagiku terasa sebuah pesan yang hanya ditujukan padaku.
Demikian juga dengan kang Surya paparan materinya tentang mendidik anak, seolah ditujukan dengan sebuah harap. Entah benar entah tidak, aku selalu merasa Kang Surya juga selalu menatapku. Padahal aku tahu, ia berbicara pada peserta. Ia berkomunikasi dengan peserta. Bukan denganku.
Dan aku, yang yang terbiasa berbicara lantang di arena seminar, yang terbiasa tenang menghadapi hujatan kritik dan pertanyaan, saat itu benar-benar tak berdaya. Berkali-kali ku usap keringat didahi. Berkali-kali pula kucoba menopangkan kaki. Mengubah posisi, mencari posisi yang betul-betul nyaman. Tak jarang pula kucoret toolkit seminarku. Menuliskan kalimat yang menurutku bijak dari paparan yang disampaikan Kang Surya ataupun Kang Hadi. Mencoba memberikan garis bawah pada makalah-makalah yang ada ditanganku.
Ingin rasanya waktu segera berlalu. Kupandangi-dan kupandangi lagi Espirit merah hati yang melingkar dipergelangan tanganku, menunjukkan waktu. Aku yakin, jam tangan sekelas Espirit tidak akan cepat menunjukkan gejala tua, aku yakin dan betul-betul yakin bahwa jam ini benar-benar siaga dalam menjalankan fungsinya, tapi kenapa setiap kali aku menatap Espirit ku, hanya jarum panjang saja yang berpindah. Itupun tak jauh beranjak dari angka yang sebelumnya. Setiap kutatap, perpindahan itu hanya sekitar 3 sampai
Rasanya seminar kali ini adalah seminar yang paling berat yang pernah aku moderatori. Berat dari awal pembukaan hingga penutupan. Aku berharap semuanya akan segera ringan setelah para peserta meninggalkan ruangan.
Sambil menarik nafas, ku mencoba memerintahkan pada pikiranku “Tenang… rileks, tatap peserta yang mengharapkan banyak mamfaat dari acara meminar ini”. Kuhembuskan nafas perlahan. Kutatap semua peserta. Sebagian sudah berdiri dari kursinya, sebagian masih duduk, mungkin menunggu sampai jalan untuk keluar terlihat lapang. Kutatap satu persatu mereka masih duduk di kursinya, barangkali ada diantara mereka yang aku kenal.
Tapi aku begitu terhenyak. Merekapun seolah tajam menatapku. Seolah mereka tahu akan kegelisahanku. Seolah mereka tahu beban perasaan yang kusembunyikan. Seolah mereka tahu bahwa aku tengah menyiapkan jawaban-jawaban bijak untuk menolak pinangan Kang Surya yang telah disampaikan 2 minggu yang lalu.
Dan tatapan peserta itu seolah menghakimiku. Menggugatku. Menyatakan keberatan atas pilihan hatiku untuk memilih Kang Hadi yang selama ini telah sabar membimbingku.
Tatapan itu seolah tahu bahwa Kang Hadi tak pantas untukku. Karena Kang Hadi telah memiliki seorang istri. Terlebih lagi, istrinya itu adalah sahabatku sendiri.
Kutatap para ibu yang duduk di barisan paling depan. Seorang ibu dengan kerudung ungu menyunggingkan seyuman. Tapi seyum yang sama sekali tak terlihat manis, senyum yang sangat sinis. Ups, apakah Ibu kerudung itu tahu permasalahanku?. Kucoba mengalihkan pandanganku pada peserta yang tengah berjalan menuju pintu keluar. Mereka tampak akrab berbicara. Mungkin mereka begitu terkesan dengan materi yang disampaikan. Tapi mengapa mereka sebentar-sebentar melihat padaku. Apa yang salah denganku? Apa mereka juga tahu apa yang tengah berkecamuk dihatiku?
“ehm”
Aku terkejut, suara Kang Surya yang begitu lembut, terdengar ibarat
“ Dik Aisyah, selamat ya, ukhti telah sukses kembali menjadi moderator. Ukhti begitu pintar memancing peserta untuk bertanya dan tertawa” Suara itu begitu tulus menyenandungkan kalimat pujian. Aku tahu itu.
******************************************** b e r s a m b u n g ************
wew... wew.. akan ada apakah gerangan? ehem! saya tunggu sambungannya, teh.. ;-)
BalasHapusSibuk menyimak ceritanya teteh ~ teh harus selesai sebelum hari sabtu malam~
BalasHapuscerpen apa kisah nyata teh?
BalasHapusapa ya??
BalasHapusWaduh, kekejar ga ya....
BalasHapusceritanya mah cerita pendek,
BalasHapusjam Espirit... heuheuheu... meni 'Teh Rani' pisan... :D
BalasHapusAduh gimana nasib si 'aku' selanjutnya ya? milih Kang Hadi Surya.. apa Kang Surya Hadi??? hehehehe...
diantos Teh...
padahal sim kuring teu gaduh jam tangan, Na,.... ^_^
BalasHapusdi antos pisan part two - nya teh ... he..he...
BalasHapuskayak drama korea aja ...
tulisan teteh bagus, kirim ke majalah ummi teh
BalasHapus...Ditunggu ending nya .. jadi dengan sapa ?
BalasHapusteh ditunggu sambungannya....ya...
BalasHapuswah, kalo drama korea mah minimal 16 episode...
BalasHapuswah, saya jadi semangat nulis lagi nih, tapi kalo untuk dikirim ke majalah mah sepertinya belum layak.
BalasHapussambungannya dong, teh... :-)
BalasHapusada apakah gerangan dengan cerita tersebut nantinya? hehehe..
ayooo... mana??? ;-)