Minggu, 02 Agustus 2009

Kemilau Perak dibibir Amersee

Dengan hati berdebar, tangan yang gemetar dan peluh dingin yang bertambah dingin diantara hembusan angin, Rita membuka kotak surat pos di sebelah pintu pagar rumahnya.  Angin yang bertiup lembut sore itu, matahari yang menebarkan kehangatan kala itu, tak mampu mengusir galaunya hati Rita. Detak denyut jantung saat itu terdengar seperti tabuh.  Riuh didada Ritha.   

Hanya ada satu surat dalam kotak pos. Surat dari pengadilan.Surat bersampul putih berisikan tulisan bertinta hitam rapi.  Tapi Ritha seolah mendapatkan surat bertintakan darah.  Dengan gemetar Rita memegangi surat itu. Dibaca perlahan, dibaca berulang-ulang, berharap ada perubahan kata dan makna dalam pengulangannya.  Tapi tidak. Surat itu, surat panggilan untuk menjadi saksi, dari perkara tuduhan terorisme yang dilakukan oleh Adhi, patner mentornya selama lebih dari tiga tahun ini.  Adhi yang bagi Rita sudah seperti kakak, bahkan terkadang seperti ayah. Ketika Rita jenuh dalam masa-masa kuliah, Adhi seolah tahu, dan mencoba menghapuskan kejenuhan itu,entah dengan canda, entah dengan diskusi, atau bahkan dengan mengajukann sebuah tantangan.  Ketika Rita kesulitan mengerjakan setumpuk tugas-tuga kuliah, Adhi sering membantu, menerjemahkan referensi, mengetikkan makalah atau hanya sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika Rita kurang faham tentang sebuah mata kuliah.  Perpustakaan berjalan, itu julukan Rita pada Adhi
   Adhi yang selalu berpenampilan tenang, bahkan dalam kericuhan sekalipun.  Seperti tenangnya dia ketika menghadapi polisi yang dengan kasar memperlakukannya ketika penangkapan dilakukan.

Adhi ditangkap tiga bulan yang lalu dengan tuduhan melakukan rencana tersembunyi untuk membuat makar.  Juga tuduhan telah mengadakan agitasi & profokasi kepada murid-murid binaannya serta masyarakat disekitar kampung Leuwi Laga, tempat Adhi & Ritha membina remaja disekitarnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar