Senin, 22 Maret 2010

Aktifitas Minggu hari.

Semburat ungu masih belum beranjak di lukisan  langit minggu pagi itu.  Ungu bersanding kelabu.  Indah dalam sejuk bening pagi.  Sebagian manusia mungkin masih terlelap lena.  Terbuai dalam mimpi indah.  Mimpi tentang keindahan yang tak bisa mereka dapatkan dalam hidup keseharian.  Yah.  Untung saja masih bisa bermimpi, sehingga harapan masih bisa mereka genggam sebagai penuntun langkah mencari kehidupan.  Karena hidup tak selamanya indah, maka impian adalah tumpuan ketika keindahan itu tak didapatkan. 

Sebagian lain manusia barangkali sudah terjaga.  Atau memang semalaman berjaga.  Mereka berusaha memberi arti pada malam minggu yang menurut mereka adalah malam panjang.  Malam yang dihabiskan untuk sekedar menunggu pagi dengan kegiatan yang katanya menyenangkan.  Entah hanya kumpul-kumpul mendengarkan musik.  Entah berkumpul sambil memainkan kartu-kartu, sambil mengepulkan asap-asap rokok dimulut-mulut mereka.  Rokok katanya perlambang kejantanan.  Bukan lelaki katanya jika tidak merokok.  Tapi Ayahku tidak pernah merokok.  Dan aku tetap melihat ayahku sebagai lelaki.  Lelaki yang beranak 8.  Tidak cukupkah itu sebagai bukti bahwa ayahku benar-benar seorang lelaki sejati?  Ayahku, lelaki yang banyak dikejar wanita meski usianya sudah diatas kepala 4.  Aku tahu itu dari pertengkaran-pertengkatan antara ayah dan ibu karena kecemburuan ibu.  Ayahku tidak pernah membakar uang dimulutnya.  Hidup harus sehat.  Begitu prinsip ayahku.   Sehat secara fisik & finansial.  Sayangnya prinsip yang menurutku absolut bagus ini ternyata tidak bisa diwariskan.  Kakak dan tiga adik laki-lakiku perokok.

Pernah adiiku Bram mengeluh padaku.  Bahwa ia merasa sayang mengluarkan uang untuk rokok, bahwa ia ingin berhenti merokok.  Bahwa ia tahu merokok itu berbahaya untuk kesehatannya dan juga untuk kesehatan orang disekitarnya.  Lalu aku bertanya "  Bram, apa yang kamu nimati dari rokok?"  Bram merenung sejenak sebelum menjawab.  "Asap, saat menghirup asap itulah aku menikmati sensasi"  "Kalau begitumah gampang, setiap kamu pengen merokok, pergi aja ketukang sate, hirup asap beraroma sate"  "Tapi kan tidak setiap aku ingin merokok pasti ada penjual sate yang lagi bakar sate" Bantah Bram.  " Ya udah, stiap kamu pengen merokok bakar sampah dan hirup aroma minyak wangi, sambil bayangkan bahwa kamu telah menyelamatkan sejumlah uang dari pembakaran"  Aku tidak tahu apakan saranku itu berhasil atau tidak, yang jelas Adikku Bram tetap saja merokok.  Aku jadi mempertanyakan kesungguhannya dulu.  Mungkin juga karena pengaruh teman-temannya ketika berkumpul.  Terutama teman satu ganknya yang setiap malam minggu selalu punya acara bersama.


Dimalam minggu yang katanya malam panjang ini  ada juga yang mengisinya dengan tegukan-tegukan alkohol.  Alkohol adalah cara untuk berlari dari kepedihan & kepahitan.  Begitu kata mereka.  Kasihan aku pada mereka yang berpikiran seperti ini.  Andai saja mereka tahu bahwa ada cara lain yang lebih aman, lebih menyembuhkan.  Sayangnya hidup adalah pilihan.  Mereka telah memilih untuk melakukannya.  Aku ingin memilih untuk mengajak mereka menuju cara yang baru.  Tapi keberanian yang kucicil belum cukup untuk menebusnya.

Malam minggu kini sudah beralih nama menjadi minggu pagi. 
Minggu adalah hari yang luar biasa.  Dikota ini ada beragam kesibukan yang hanya ditemui pada hari minggu.  Lari pagi misalnya.  Sebagian orang mungkin sudah mulai bangun pada jam 2 pagi untuk menyambut ritual ini.  Seperti aku dulu.  Aku pernah mengekor pamanku berlari dari rumahku selama 2 jam tak berhenti berhenti.  Berlari dari jam 2 hingga jam 4 pagi. Walhasil,  ketika orang baru mau mulai aktifitas semacam ini.  Aku sudah sampai dirumah kembali kecapaian.  Tidak masuk anginpun itu sudah sebuah keberuntungan.

Biasanya orang melakukan olah raga lari minggu pagi ini sesusai sholat shubuh.  Semua berbondong-bondong menuju beberapa lapangan besar.  Lapangan yang paling bersejarah dan dikenal sebagai tempat pertamakali ritual lari subuh ini dimulai adalah lapangan : gasibu.  Disana akan terlihat manusia menyemut sejak dini hari.  Dari mulai olahragawan sejati, olahragawan rutinan, olahragawan dadakan,ada penjaja makanan ada juga para pedangan.  Pedagang berbagai macam keperluan.  dari mulai keperluan dapur, keperluan kamar tidur, keperluan ruang tamu.  Bahkan ada juga yang menjual barang yang sebagian besar orang sudah tidak memerlukannya lagi.  Seperti seorang pedagang sisir yang pernah aku temui.  Ia punya banyak koleksi sisir.  Sisir andalan yang ia jual adalah sisi pintar.  Pintar, karena sisir ini bisa mencari kutu katanya.  Dizaman milenium yang serba canggih ini.  Dizaman dimana segala macam obat perawatan rambut sangat mudah ditemukan.  Ternyata masih ada juga yang menjual sisir pintar ini.  Adakah yang membeli?  Sepertinya sih ada.

Sekitar 40 persen barangkali, jumlah penduduk kota  yang terlibat dalam aktifitas rutin lari pagi.  Sisanya sibuk dengan aktifitas masing-masing.  Dulu aku termasuk orang yang rajin terlibat dalam acara lari pagi itu.  Hampir tak pernah terlewatkan.  Tapi tiga tahun belakangan ini, hatiku telah terpikat pada aktifitas lain.  Aktifitas di Masjid Thursina.  Aktifitas ini dimulai dari jam 06.00 pagi.  Dan rumahku yang cukup jauh membuatku harus berangkat jam 05.30 diantar oleh bebek tua yang umurnya sekitar 5 tahun lebih tua dariku.  Bebek hadiah ulang tahun dari kedua orangtuaku.  Bebek berkulit merah yang warnanya sudah tidak ranum lagi.  Bebek yang selama 3 tahun setia mengantarku kemana-mana.  Kuliah, belanja, mengaji, jalan-jalan dan banyak lagi.  Bebek yang ramah dengan semua sahabatku.  Bebek yang juga mau mengantar para sahabatku kemana saja sesukanya. 

Angka  jam dinding dikamarku bertenger antara empat dan lima.  Masih ada banyak waktu usai sholat shubuh untuk melakukan banyak aktifitas.  15 menit untuk membaca Alqurán.  15 menit untuk membaca buku referensi mentoring nanti.  15 menit untuk bebenah & 15 menit untuk berdandan, walau terkadang waktu berdandan ini sering dan sering sangat kurang. Untuk masing-masing jadwal waktu kupasang alarm di handphoneku.  Nada alfatihah jika jadwal pertama usai.  Nada siulan wind of change pertanda waktu membaca referensi telah habis.  Nada musik mision imposible jika waktu bebenah sudah tak ada jatah.  Lagu bismillahnya Opick kupasang dalam alrm terakhir sebelum aku pergi bersama bebekku.

Berisik.  Itu keluh adikku setiap minggu pagi.  Sayangnya keluhan itu tak cukup kuat untuk memberhentkan kebiasaanku.  Hidup perlu variasi.  Itu saja alasanku.  Sederhana tapi nampaknya mengena.

"Bunda,  Andin pamit dulu" kuketuk pintu kamar Bunda.  Bunda masih dalam pakaian tidur ketika membukakan pintu "Oh ya, sebentar Bunda mau nitip kering tempe untu Bibimu ya" kata Bunda sambil berjalan menuju dapur.  Kantong kresek hitam berisi kering tempe yang tersimpan dalam sebuah toples itupun masuk kedalam ranselku.  Berjejalan dengan buku, baju, alat tulis, handphone dan kamera DSLR kesayanganku.  Kucium tangan Bunda "Doákan Andin ya Bunda ya".  Bunda hanya mengangguk tersenyum.

Hanya anggukan dan senyuman.  Jarang sekali ada kalimat panjang yang keluar dari mulut Bunda.  Tapi aku tak pernah bertanya mengapa.  Aku hanya menerka saja bahwa itu memang karakter Bunda.  Jika memang itu sudah karakter, tinggal diterima saja.  Satu hal yang masih belum bisa aku terima, satu hal yang masih menyisakan sesak didada, satu hal yang selalu membuatku gundah gulana, aku belum pernah melihat bunda mengenakan mukena.  Aku hanya bisa berdöá semoga hidayah berkenan menyapa Bunda.  Untuk bicara, tak pernah keberanian itu ada.  Hanya berharap Bunda bisa menangkap isyarat ketika aku sholat. 


Dingin, dan sangat dingin.  Ituah udara Bandung pagi hari.  Tapi dingin bukan halangan bagi beribu orang untuk menjalankan segala aktifitas yang mereka inginkan.  Bukan bagiku, bukan bagi segenap jajaran pengurus Yayasan Mesjid Thursina, bukan bagi para peserta mentor dari kalangan Sekolah dasar hingga mahasiswa di Masjid Thursina.  Dingin mungkin jadi halangan yang menghadang untuk aktifitas pagi, bahkan aktifitas seharian, bagi mereka yang semalaman begadang.  Dan bersama bebek merahku yang langsing, kuterjang jalanan.


Sayangnya jalanan minggu pagi agak lebih sulit diterjang dengan kecepatan tinggi.  Jika setiap pagi jalanan dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan, maka minggu pagi jalanan dipenuhi orang-orang.  Mereka memang dipinggir, bukan ditengah.  Tapi tetap saja bukan ditrotoar jalan.  Dan itu sudah merupakan sebuah alasan untuk berjalan bersama bebek kesayanganku dalam kecepatan pelan.  Mengesalkan?  Tidak juga.  Aku menikmatinya.  Toh tidak dinikmati alias digerutui juga tidak akan merubah keadaan.  Justru dengan menikmati semua jadi terasa menyenangkan.  Sering malah aku menjumpai teman dan sahabat lama diantara jejalan manusia.  Senang rasanya bisa menyapa.  Berbagi kegembiraan.  Menggali kenangan, dan menjalin kembali tali silaturrahim yang sempat terjedakan waktu.  Satu atau dua teman yang kutemui pernah juga numpang dibebekku dan kuantar mereka ketempat tujuan.


Dalam kecepatan sesekali aku mencoba melihat, mencari diantara mereka yang tengah berlari.  Siapa tahu ada yang kukenali.  Mencari seseorang ditengah kerumunan, ketika merekapun dalam keadaan bukan diam, ternyata tak semudah yang dibayangkan. 

Kerumunan manusia yang begitu ramai.  Berjejal.  Berlari.  Mencoba mengucurkan keringat dari dalam diri.  Sensasi, mungkin itu yang mereka cari.  Sensasi?  boleh jadi.  Ketika langkah kaki mengayun begitu cepat, menopang berat tubuh yang cukup berat.  Ketika segar udara pagi diantara sejuk bening embun, diiringi hembusan sejuk angin.  Ketika denyut jantung berdetak cepat.  Yup. Ada sensasi disana.  Sensasi yang memacu diri untuk mendapatkan kebahagiaan.  Barangkali itulah yang dirasakan orang-orang yang tengah terengah-engah membawa tubuhnya berlari menuju tempat yang telah ditentukan.   Sensai itu jugalah yang mungkin membuat orang rela mengorbankan waktu setiap minggu pagi.  


Sepanjang jalan, nyaris tak ada bahu jalan yang kosong dari para pelari pagi.  Hanya saja, jumlah disetiap tikungan, di beberapa jalanan, berbeda-beda.  Kadang penuh, kadang hanaya segelintir.  Yang jelas, minggu pagi dikotaku selalu terasa lebih hidup dari pagi dilain hari.  Ada semangat lain yang terasa dalam minggu pagi.  Dibenakku, dan aku yakin juga dibenak banyak orang.  Terutama dibenak teman & sahabat yang sama berjuang di Masjid Thurshina tempat kami mengukir amalan.


Amalan dakwah, amalan yang kami niatkan untuk memancing kasih dari Sang Pencipta Segenap Alam.  Dari Allah yang maha penyang.

Masjid Thurshina.  Masjid yang cukup sederhana jika dibanding beberapa masjid yang ada dikota ini.  Masjid berlantai dua.  Lantainya hanya terbuat dari keramik biasa.  Bukan lantai marmer seperti masjid lain yang istimewa.  Kubahnya hanya kubah masjid biasa, kubah yang dicat dengan warna hijau tua, bukan kubah emas seperti masjid yang ramai menjadi berita.  Masjid Thurshina menjadi istimewa karena ia mempunyai halaman yang sangat luas.  Halaman yang ditata indah seperti taman.  Masjid ini dibangun diatas tanah seluas seribu meter persegi.  Disebelah timur ada tiga bangunan kecil.  Satu bangunan yang paling besar diantara ketiganya adalah kantor yayasan.  Tempat para pengurus masjid 6 yayasan menjalankan aktifitasnya.  Disebelah kanan gedung yayasan ada aula kecil yang sering menjadi tempat pertemuan serba guna.  Disebelah kirinya ada kantin yang menjal berbagai macam makanan.

Di Tanah, Masjid, dan bagunan lain yang ada disekitarnya adalah waqaf dari seorang pengusaha kaya yang aku tidak tahu siapa namanya.  Masjid ini dikelola oleh yayasan.  Para pengurus yayasan ini kabarnya haji semua.  Haji dan hajah yang katanya selamat waktu ada tragedi Mina di makkah yang banyak memakan korban jiwa.  Sebagai tanda syukur kepada Allah karena terhindar dari musibah Mina, mereka bertekad untuk mengabdikan diri mereka dijalan Allah.  Mereka bertekad untuk memakmurkan masjid & mengemban dakwah di Masjid Thurshina yang mereka kelola.  Konon kabarnya mereka mendapatkan banyak bantuan dan sumbangan dari negara-negara Arab.  Aku pernah dengar bahwa jika ada satu keluarga diarab mengeluarkan zakat maal, maka zakat itu cukup untuk membangun sebuah masjid.  Hm, Alangkah kayanya mereka.  Apakah mereka bangga dan bahagia dengan kekayaan yang ada?

Beruntung sekali aku bisa hadir, bisa mengetahui, bisa meluangkan banyak waktu di Masjid Thurshina ini.