dititik manakah air menemukan bentuk terindahnya?
Saat ia membeku dalam ukiran keping unik bernama salju?
atau saat ia hadir mengembun dipagi hari, bertahta di selembar daun?
Adinda,
di waktu manakah air merasa dirinya teramat tersiksa?
Saat ia harus pergi mengankasa
atau saat ia harus jatuh terhempas menuju tempatnya melandas?
***
Amara,kabar itu telah sampai padaku. Tentang sebuah jabatan yang kini kau pegang. Aku tak tahu Amara, apakah aku harus mengucapkan selamat atau harus menyampaikan nasehat.
Jika aku mengucapkan selamat, mungkin kau mengira aku tak tulus. Jika aku memberikan nasehat, mungkin kau mengira aku akan mengorek luka lama, mengungkit segala cerita di masa lalu. Tapi sudahlah. Amara, akhirnya aku memilh mendo'akanmu. Aku meminta pada Allah agar DIA menolongmu menuntaskan semua tugas yang kau emban. Aku tetap memilih menjauh darimu.
Amara, akhirnya kita harus terima bahwa aku akan selalu membataskan jarak denganmu sejak kejadian itu. Kuharap jarak ini akan melindungiku, melindungimu. Dalam jarak ini aku bisa membaca kata syukur. Aku bisa mengeja taqdir meski dengan terbata. Tidak, kini aku tak terbata lagi. Aku sudah bisa memahaminya dengan lancar. Aku sudah melapangkan dadadu. Aku sudah meyamudrakan maaf untukmu Amara.
Amara, Adindaku bukanlah pohon di negri Solomon. Dan kau pun bukan seseorang yang berasal dari negri itu. Negri yang punya kebiasaan aneh. Ah, mungkin ceritanya belum sampai padamu Amara. Mereka, penduduk Solomon dimasa primitif punya cara tersendiri untuk merubuhkan sebuah pohon yang akarnya sangat kuat. Mereka naik memanajat pada pohonnya kemudian meneriaki pohon. Meneriakinya selama empat puluh hari. Dan kau melakukannya pada Adindaku, Amara. Kau melakukannya dalam hitungan lebih dari 17 purnama.
Kau bilang semua karena cinta. Cinta? maafkan aku Amara, nampaknya kau harus banyak belajar mengenai makna cinta. Cinta itu kelembutan, Amara. Bukan teriakan. Cinta itu pengertian bukan bentakan, apalagi tak ada kesalahan. Cinta itu memeluk bukan menghempas. Cinta itu membahagiakan bukan menganga derita.
Cinta itu seperti kisah Ibrahim dan Sarah. Seperti Mumammad dan khodijah. Seperti Ali dan Fathimah. Dan Amara, harusnya kau bisa mencintai Adindaku seperti Asiyah mencintai Musa.
Amara, Yukabed ibu Musa telah menitipkan taqdir Musa pada derasnya gelombang Nil. Tapi Allah memilih Asiyah yang sama sekali tidak ada hubungan darah. Asiyah, wanita negarawan yang mulia kukuh memegang tauhid. Asiyah membesarkan Musa dengan kasih sayang dalam balutan tauhid, dalam ajaran cinta & pengabdian pada Robbnya.. Amara. Asiyah menerima amanah itu tidak hanya dengan tulus, tapi juga dengan ilmu. Betul Amara, dengan ilmu. Karena Asiyah adalah wanita ratu surga yang luar biasa. Kau tahu Amara? Semua wanita surga itu cerdas dan berpegang pada ilmu, bukan pada asumsi apalagi ilusi. Sedemikian hati-hatinya mereka bertindak agar tak lepas dari ilmu. Tidak hanya ilmu, Amara, wanita surga itu sabar dan tulusnya menyamudra. Mereka ikhlas bekerja demi mencari keridhoan Robbnya. Mereka menciptakan surga di dunia untuk orang-orang di sekitarnya.
Lalu Amara, apa yang telah kau berikan pada Adindaku. Atas kesalahan apa kau memperlakukan Adindaku seperti orang Solomon hendak menumbangkan pohon? Atas kesalahan apa? Bukan hanya itu ternyata kau pun telah mempengaruhi orang-orangmu untuk melakukan apa yang kau contohkan.
Kau bilang Adindaku terbuai entah dalam kepedihan dan angan. Kau bilang Adindaku tenggelam dalam bisikan dari bayang yang tak terlihat. Kau bilang cara untuk menyadarkan Adindaku adalah dengan mengeraskan suara, membentaknya. Dari mana kau pelajari itu Amara? Bawa aku Amara, bawa aku pada yang telah mengajarimu. Atau berikan aku literasinya, Amara, jika kau menemukannya dalam untaian kata. Lalu kenapa pula kau diam tak mengabariku Amara? Bukankah kau tahu kau hanyalah pemegang amanah? Bukankah kau tahu aku berhak mengetahui semua apa yang kau bilang sebagai program?
Amara. Tujuh belas purnama bukanlah waktu yang singkat. Taqdir telah menghijab kabar Adindaku darimu. Hingga akhirnya hijab itu terkuak seperti saat pohon di negri Solomon itu roboh. Kau terkejut. Aku berduka, aku terluka. Tidak ada luka yang lebih sakit dari ini Amara. Tidak ada. Luka dari pohon di negri Solomon yang berhasil kau tumbangkan. Lukanya seperti setiap serabut akarnya menghujam jantungku. Seperti setiap ranting dari pohon tajam menyayat hatiku. Seperti setiap dahannya memukul setiap inchi tubuhku. Seperti batang kokohnya tumbang tepat menimpa tubuhku.
Aku mencoba mengeja taqdir Amara. Bahwa ini adalah cara taqdir membawaku mendekat padaNYA. Tapi maafkan aku, Amara. Aku tidak bisa berterima kasih padamu yang telah DIA jadikan jalan untukku agar mendekat padaNYA.
Amara, luka ini mulai mengering. Adindaku kini seperti tunas baru di hutan yang telah terbakar. Perjalanan dan perjuangan panjang telah aku tempuh dalam panasnya api hutan yang terbakar. Aku mulai menuliskan cerita baruku Amara, tadinya kuharap aku tak menemukan namamu lagi dalam lembarannya meski aku telah memaafkanmu, Amara. Namun kabar itu sampai padaku. Amara, semoga kau bisa banyak menyaring dan mencerna hikmah semuanya. Amara, do'aku untukmu, semoga Allah mudahkan semua urusanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar