Adinda,
dimanakah air menemukan tempatnya yang paling nyaman
di samudrakah?
ketika luas menjadi tempatnya
Meski kadang kejam hembusnya angin menghempasnya ke bibir pantai.
Adinda,
dimanakah air menemukan kehangatannya saat dia mengalir?
di sungaikah?
ketika ia berlari sembari menebar kesegaran
atau di pelupukmu kah?
ketika ia menetes melarutkan duka yang terpendam
Amara, pernahkah kau mendengar cerita tentang hutan yang
terbakar? Tentang bagaimana setitik bara
ternyata menjadi awal adanya api membakar semua pepohonan yang ada. Bisakah kau bayangkan Amara? Setitik bara
mengena sebatang ranting kering yang terjatuh.
Ranting yang malang itu pun menjerit dalam hening. Bara yang singgah padanya telah menikamkan
panas yang teramat sangat menyiksa, hingga iapun terpaksa menjadi abu. Tapi ranting kering itu tak sendiri
terjatuh. Ada banyak patahan ranting
lain disekelilingnya. Ada ribuan daun
juga telah terjatuh dalam taqdirnya. Dan
suka tidak suka, mau tidak mau, api yang telah menjadikan sang ranting pertama
abu, menjalar, mencari tempatnya membesar dan terus membesar.
Bisa kau bayangkan Amara?
Satu ranting pertama menjerit dalam diam heningnya. Seandainya bisa, mungkin ia akan berusaha
agar cukup dirinya saja yang terpanggang panasnya bara, yang hangus terbakar
api, yang akhirnya harus menjadi abu.
Tapi apalah daya? Kau tahu apa
yang lebih menyakitkan dari itu, Amara?
Dalam wujud abunya, ranting pertama harus mendengarkan jeritan-jeritan
pilu nan menyayat hati, dari ranting-ranting berikutnya, dari daun-daun yang
harus terbakar juga. Tak seorangpun
menyalahkannya, tapi dia harus menanggung rasa bersalah itu, sendiri dalam
diam, dalam pedihnya. Melihat ranting-ranting
terbakar dalam jeritan, dalam diam.
Melihat api meraja melahap semua.
Semua, Amara.
Akar pohon yang kokoh itu pun kalah, Amara. Akar itu mulai menjerit. Pilu dalam diam hening. Menjalar panas sang api menyiksa batang. Saat ranting menjerit pilu, kau bisa
bayangkan Amara? Apakah batang hanya
diam? Tidak. Jeritannya beribu kali lebih pilu. Batang adalah penopang kehidupan. Ia adalah jalan bagi daun, bagi ranting, bagi
buah untuk mendapatkan kehidupan. Pedih
dan pilu sang batang menangis Amara, melolong pedih dalam bisu. Tak kuasa menyelamatkan diriya. Tak kuasa melindungi dahannya, tak mampu
menyelamatkan buah dan deaunannya. Tak
sanggup mendengar ribuan jeritan dari reranting dan dedaunan yang menjadi
amanahnya. Terkoyak perasaannya saat
daun demi daun melengkingkang jeritnya.
Apa yang bisa ia lakukan?
Api ketika membesar adalah wujud terkejam dari
keserakahannya, Amara. Entahlah.
Barangkali jeritan demi jeritan, lengkingan dan lolongan terdengar merdu
bagi sang api. Maka ia pun menarikan
tariannya dari daun ke daun, dari ranting ke ranting, dari pohon ke pohon. Gemuruh lidahnya yang menjilat apa yang
dilewat adalah kerianagannya. Riang
diatas airmata derita dari semua yang dilahapnya.
Amara, tarian keserakahan dan kejamnya api tak berhenti di
daun terakhir pohon pertama. Ia meloncat
pada pohon berikutnya. Kini jeritan
terdengar mulai dari dedaunan. Dedaunan
yang meronta telah mengundang angin.
Tahukah kau Amara? Hadirnya angin semakin melenakan api. Hadirnya angin menggelisahkan pepohonan lain
yang melihat semuanya. Pepohonan yang
tegar menunggu taqdirnya. Taqdir untuk
terbakar. Adakah yang bisa ia lakukan? Pasrah. Berdzikir menunggu taqdir. Barangkali itu akan sedikit meringankannya.
Amara, di atas langit masih ada langit. Di bawah lapisan tanah masih ada
lapisan-lapisannya pula. Demikian juga
pedih dan derita, Amara. Ada yang lebih
menyayat dari semua yang terlihat. Yang
tak terlihat adalah udara. Kau tahu kan
Amara? Setiap pepohonan Allaah taqdirkan untuk menyerap karbon dioksida dan
memberikan oksigen dalam kehidupan.
Allaah jadikan pepohonan sebagai penyambung nafas kita. Maka diatas pedihnya menjadi abu atas gemuruh
jilatan api adalah ketika yak lagi bisa memberikan nafas kehidupan untuk mahluq
lainnya. Inilah kepedihan di atas
kepedihan.
Aku berada diantara pepohonan itu amara. Setelah pilu diatas luka saat mata mengeja
pohon di negri Solomon yang kau jatuhkan dengan sejuta teriakanmu
Amara,teriakan yang kau sembunyikan selama tujuh belas purnama, kini aku
menyakisan keserakahan kejamnya api, Amara.
Api dalam hutan kehidupanku.
Padahal sayatan ujung dedaunan dihatiku belum mengering. Tusukan dari ranting demi ranting dijantungku
masih membekas luka. Tubuhku masih
membiru menahan robohnya pohon yang kau jatuhkan di negri Solomon.
Amara. Aku tahu, deras
airmatalu tak pernah bisa memadamkan api.
Aku sadar pintaku pada api untuk berhenti menari tak pernah
didengarnya. Aku faham, aku harus segera
berlari pada Pemilik semesta alam. Aku
mengerti, aku hanya harus rela dengan taqdir ini.
Ah Amara, kau menyaksikannya semua. Kau datang dengan segelas air. Bukan untukku, tapi untuk memadamkan
api. Terima kasih Amara. Air apapun yang kau bawa, kau pun tahu tak bisa
memadamkan amukan api di hutanku.
Sebenarnya aku tak ingin melihatmu datang. Tapi biarlah.
Biar kau dengar gemuruh tarian api, biar kau saksikan jeritan dan
lolongan dari setiap yang terbakar.
Biarlah Pemilik semesta alam menuntunku kemana aku harus
mencari air untuk memadamkan api yang kejam.
Biarlah aku berlari mencari pertolongan yang DIA jadikan jalan untuk
berakhirnya ujian ini. Biarlah aku
mencoba dan terus mencoba dalam iringan do’a.
Barangkali hilangnya hutanku adalah jalanku untuk meminta segenap
kebaikan padaNYA. Barangkali gemuruh api
adalah cara dariNYA untuk membakar semua dosa dan khilafku. Barangkali bencana ini adalah bungkus dari
sebuah keajaiban yang telah disiapkanNYA.
Kau tahu Amara? Apa yang paling
berat dari rentang derita ini? Menjaga,
Amara. Menjaga agar aku tak berputus asa
dari pertolonganNYA.
Aku tak ingin berputus asa.
Meski jeritan demi jeritan dalam hening mengoyak langit hatiku. Aku tak ingin berputus asa, meski luka ini
teramat sangat menganga. Aku tak ingin
berputus asa, meski asap telah mengabut di hidupku, menyesak dada, merampas
segarnya udara. Aku tak ingin berputus
asa meski mereka mulai melontar kata tak suka.
Aku tak ingin berputus asa, meski kadang aku ingin berlari dari
kenyataan ini. Aku tak ingin berputus
asa meski tak tahu sampai kapan aku harus bertahan. Aku tak ingin berputus asa, karena kutahu
putus asa adalah jurang terdalam dari sebuah kesengsaraan. Aku tak ingin berputus asa. Maka akupun berlari mencari air, Amara.
Amara, Bunda Hajar yang mulai, berlari dari bukit Shafa dan
Marwa mencari air untuk sebuah kehidupan.
Untuk sang buah hati yang ia sayangi.
Bunda Hajar berlari dalam keikhlasan, dalam do’a, dalam penghambaan. Aku juga mencoba berlari Amara. Mencari air, air yang bisa memadamkan kobaran
hutanku dan mengembalikan kehidupan Adindaku.
Aku berlari sambil menguatkan diri agar rasa putus asa pergi menjauh
dariku.
Aku memandang langit.
Musim tengah kering. Hujan
sepertinya masih enggan turun. Aku
datang pada setiap pemilik sumur, barangkali ada yang sudi membantuku. Mereka membantuku. Tapi taqdir berhentinya api dihutanku belum
selesai. Aku masih harus mencari dan
mencari. Iya Amara, tugasku hanya harus
mencari. Mencari sembari terus melantun
do’a dalam kepedihan. Aku mencoba
memoles pedihku dengan keikhlasan.
Polesan yang meringankan luka.
Aku terus dan terus mencerna makna tentang ikhlas. Akhirnya aku faham Amara. Untuk ikhlas aku harus terus berbaik
sangka. Berbaik sangka padamu, pada
taqdir, pada Allah Pemilik semua taqdir kebaikan.
Maka akupun menuliskannya Amara. Aku berbaik sangka bahwa tanganmulah yang DIA
pilih untuk menuntunku. Aku berbaik
sangka pada taqdir, bahwa api itulah yang DIA jadikan untuk membakar semua
kesalahanku. Aku berbaik sangka padaNYA,
bahwa setelah hutanku terbakar, akan tumbuh tunas baru, harapan dalam hidupku yang
hanya akan menebar kebaikan hingga ke surgaNYA.
Aku terus mengeja dan mengeja kata tentang ikhlas, Amara. Sembari terus
menjaga agar kata putus asa tak datang padaku.
Amara, semoga taqdirmu tak sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar