Senin, 21 Januari 2019

Hutan yang Terbakar


Adinda,
dimanakah air menemukan tempatnya yang paling nyaman
di samudrakah?
ketika luas menjadi tempatnya
Meski kadang kejam hembusnya angin menghempasnya ke bibir pantai. 

Adinda,
dimanakah air menemukan kehangatannya saat dia mengalir?
di sungaikah?
ketika ia berlari sembari menebar kesegaran
atau di pelupukmu kah?
ketika ia menetes melarutkan duka yang terpendam


Amara, pernahkah kau mendengar cerita tentang hutan yang terbakar?  Tentang bagaimana setitik bara ternyata menjadi awal adanya api membakar semua pepohonan yang ada.  Bisakah kau bayangkan Amara? Setitik bara mengena sebatang ranting kering yang terjatuh.  Ranting yang malang itu pun menjerit dalam hening.  Bara yang singgah padanya telah menikamkan panas yang teramat sangat menyiksa, hingga iapun terpaksa menjadi abu.  Tapi ranting kering itu tak sendiri terjatuh.  Ada banyak patahan ranting lain disekelilingnya.  Ada ribuan daun juga telah terjatuh dalam taqdirnya.  Dan suka tidak suka, mau tidak mau, api yang telah menjadikan sang ranting pertama abu, menjalar, mencari tempatnya membesar dan terus membesar.

Bisa kau bayangkan Amara?  Satu ranting pertama menjerit dalam diam heningnya.  Seandainya bisa, mungkin ia akan berusaha agar cukup dirinya saja yang terpanggang panasnya bara, yang hangus terbakar api, yang akhirnya harus menjadi abu.  Tapi apalah daya?  Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu, Amara?  Dalam wujud abunya, ranting pertama harus mendengarkan jeritan-jeritan pilu nan menyayat hati, dari ranting-ranting berikutnya, dari daun-daun yang harus terbakar juga.  Tak seorangpun menyalahkannya, tapi dia harus menanggung rasa bersalah itu, sendiri dalam diam, dalam pedihnya.  Melihat ranting-ranting terbakar dalam jeritan, dalam diam.  Melihat api meraja melahap semua.  Semua, Amara.

Akar pohon yang kokoh itu pun kalah, Amara.  Akar itu mulai menjerit.  Pilu dalam diam hening.  Menjalar panas sang api menyiksa batang.  Saat ranting menjerit pilu, kau bisa bayangkan Amara?  Apakah batang hanya diam?  Tidak.  Jeritannya beribu kali lebih pilu.  Batang adalah penopang kehidupan.  Ia adalah jalan bagi daun, bagi ranting, bagi buah untuk mendapatkan kehidupan.  Pedih dan pilu sang batang menangis Amara, melolong pedih dalam bisu.  Tak kuasa menyelamatkan diriya.  Tak kuasa melindungi dahannya, tak mampu menyelamatkan buah dan deaunannya.  Tak sanggup mendengar ribuan jeritan dari reranting dan dedaunan yang menjadi amanahnya.  Terkoyak perasaannya saat daun demi daun melengkingkang jeritnya.  Apa yang bisa ia lakukan?

Api ketika membesar adalah wujud terkejam dari keserakahannya, Amara. Entahlah.  Barangkali jeritan demi jeritan, lengkingan dan lolongan terdengar merdu bagi sang api.  Maka ia pun menarikan tariannya dari daun ke daun, dari ranting ke ranting, dari pohon ke pohon.  Gemuruh lidahnya yang menjilat apa yang dilewat adalah kerianagannya.  Riang diatas airmata derita dari semua yang dilahapnya.

Amara, tarian keserakahan dan kejamnya api tak berhenti di daun terakhir pohon pertama.  Ia meloncat pada pohon berikutnya.  Kini jeritan terdengar mulai dari dedaunan.  Dedaunan yang meronta telah mengundang angin.  Tahukah kau Amara? Hadirnya angin semakin melenakan api.  Hadirnya angin menggelisahkan pepohonan lain yang melihat semuanya.  Pepohonan yang tegar menunggu taqdirnya.  Taqdir untuk terbakar.  Adakah yang bisa ia lakukan? Pasrah.  Berdzikir menunggu taqdir.  Barangkali itu akan sedikit meringankannya.

Amara, di atas langit masih ada langit.  Di bawah lapisan tanah masih ada lapisan-lapisannya pula.  Demikian juga pedih dan derita, Amara.  Ada yang lebih menyayat dari semua yang terlihat.  Yang tak terlihat adalah udara.  Kau tahu kan Amara? Setiap pepohonan Allaah taqdirkan untuk menyerap karbon dioksida dan memberikan oksigen dalam kehidupan.  Allaah jadikan pepohonan sebagai penyambung nafas kita.  Maka diatas pedihnya menjadi abu atas gemuruh jilatan api adalah ketika yak lagi bisa memberikan nafas kehidupan untuk mahluq lainnya.  Inilah kepedihan di atas kepedihan.

Aku berada diantara pepohonan itu amara.  Setelah pilu diatas luka saat mata mengeja pohon di negri Solomon yang kau jatuhkan dengan sejuta teriakanmu Amara,teriakan yang kau sembunyikan selama tujuh belas purnama, kini aku menyakisan keserakahan kejamnya api, Amara.  Api dalam hutan kehidupanku.  Padahal sayatan ujung dedaunan dihatiku belum mengering.  Tusukan dari ranting demi ranting dijantungku masih membekas luka.  Tubuhku masih membiru menahan robohnya pohon yang kau jatuhkan di negri Solomon.

Amara.  Aku tahu, deras airmatalu tak pernah bisa memadamkan api.  Aku sadar pintaku pada api untuk berhenti menari tak pernah didengarnya.  Aku faham, aku harus segera berlari pada Pemilik semesta alam.  Aku mengerti, aku hanya harus rela dengan taqdir ini. 

Ah Amara, kau menyaksikannya semua.  Kau datang dengan segelas air.  Bukan untukku, tapi untuk memadamkan api.  Terima kasih Amara.  Air apapun yang kau bawa, kau pun tahu tak bisa memadamkan amukan api di hutanku.  Sebenarnya aku tak ingin melihatmu datang.  Tapi biarlah.  Biar kau dengar gemuruh tarian api, biar kau saksikan jeritan dan lolongan dari setiap yang terbakar. 

Biarlah Pemilik semesta alam menuntunku kemana aku harus mencari air untuk memadamkan api yang kejam.  Biarlah aku berlari mencari pertolongan yang DIA jadikan jalan untuk berakhirnya ujian ini.  Biarlah aku mencoba dan terus mencoba dalam iringan do’a.  Barangkali hilangnya hutanku adalah jalanku untuk meminta segenap kebaikan padaNYA.  Barangkali gemuruh api adalah cara dariNYA untuk membakar semua dosa dan khilafku.  Barangkali bencana ini adalah bungkus dari sebuah keajaiban yang telah disiapkanNYA.  Kau tahu Amara?  Apa yang paling berat dari rentang derita ini?  Menjaga, Amara.  Menjaga agar aku tak berputus asa dari pertolonganNYA.

Aku tak ingin berputus asa.  Meski jeritan demi jeritan dalam hening mengoyak langit hatiku.  Aku tak ingin berputus asa, meski luka ini teramat sangat menganga.  Aku tak ingin berputus asa, meski asap telah mengabut di hidupku, menyesak dada, merampas segarnya udara.  Aku tak ingin berputus asa meski mereka mulai melontar kata tak suka.  Aku tak ingin berputus asa, meski kadang aku ingin berlari dari kenyataan ini.  Aku tak ingin berputus asa meski tak tahu sampai kapan aku harus bertahan.  Aku tak ingin berputus asa, karena kutahu putus asa adalah jurang terdalam dari sebuah kesengsaraan.  Aku tak ingin berputus asa.  Maka akupun berlari mencari air, Amara.

Amara, Bunda Hajar yang mulai, berlari dari bukit Shafa dan Marwa mencari air untuk sebuah kehidupan.  Untuk sang buah hati yang ia sayangi.  Bunda Hajar berlari dalam keikhlasan, dalam do’a, dalam penghambaan.  Aku juga mencoba berlari Amara.  Mencari air, air yang bisa memadamkan kobaran hutanku dan mengembalikan kehidupan Adindaku.  Aku berlari sambil menguatkan diri agar rasa putus asa pergi menjauh dariku. 

Aku memandang langit.  Musim tengah kering.  Hujan sepertinya masih enggan turun.  Aku datang pada setiap pemilik sumur, barangkali ada yang sudi membantuku.  Mereka membantuku.  Tapi taqdir berhentinya api dihutanku belum selesai.  Aku masih harus mencari dan mencari.  Iya Amara, tugasku hanya harus mencari.  Mencari sembari terus melantun do’a dalam kepedihan.  Aku mencoba memoles pedihku dengan keikhlasan.  Polesan yang meringankan luka.  Aku terus dan terus mencerna makna tentang ikhlas.  Akhirnya aku faham Amara.  Untuk ikhlas aku harus terus berbaik sangka.  Berbaik sangka padamu, pada taqdir, pada Allah Pemilik semua taqdir kebaikan.

Maka akupun menuliskannya Amara.  Aku berbaik sangka bahwa tanganmulah yang DIA pilih untuk menuntunku.  Aku berbaik sangka pada taqdir, bahwa api itulah yang DIA jadikan untuk membakar semua kesalahanku.  Aku berbaik sangka padaNYA, bahwa setelah hutanku terbakar, akan tumbuh tunas baru, harapan dalam hidupku yang hanya akan menebar kebaikan hingga ke surgaNYA.  Aku terus mengeja dan mengeja kata tentang ikhlas, Amara. Sembari terus menjaga agar kata putus asa tak datang padaku.  Amara, semoga taqdirmu tak sepertiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar