Kamis, 24 Oktober 2019
Aku bukan Cleopatra part 2
Sajadah, hanya selembar kain. Ia menjadi saksi atas semesta do'a yang terpanjat. Ia menjadi penampung atas setiap airmata yang tertumpah.
Seperti saat ini. Ketika tak tahu kepada siapa aku harus berbicara. Ketika tak ada teman yang mengerti tentang apa yang aku rasa. Maka di sini. Di atas selembar sajadah aku mengadukan semua pada Allah, Robb-ku. Bukan karena tak ridho atas taqdir yang Dia gariskan, hanya mencari pertolongan agar mata hati Allah bukakan, sehingga semua suratan terbaca indah adanya.
Sepekan. Waktu yang aku ajukan untuk memikirkan jawaban. Meminta petunjuk langit, kemana kaki harus melangkah. Maju kah? Atau sebaiknya mundur teratur. Mundur cantik, agar tak seorang pun tersakiti. Tidak juga aku.
"Andini, apa ada sesuatu yang merisaukanmu?" Mama nampaknya memperhatikanku. Rasanya ingin sekali aku menceritakan semuanya. Tapi tak bisa. Aku hanya menghormatinya sebagai istri ayahku. Aku memuliakannya, tapi entah kenapa, hingga saat ini aku tidak bisa memberikan hatiku.
"Tidak Ma, in syaa Allah Andin baik-baik saja" Hanya itu
"Andin berangkat dulu, Ma" aku mencium tangannya, ta'dzim.
Kendaraan ini sudah tua. Meski tidak setua usiaku. Tapi kendaraan ini adalah hadiah istimewa dari Bunda. Aku tak mau menggantinya. Berkali-kali ayah membujukku agar mau menukarnya dengan yang lebih baru. Tapi aku menolaknya. Terlalu banyak kenangan bunda dalam kendaraan ini. Maka Ketika aku mengendarainya, aku merasa bersama bunda.
Kendaraan ini juga yang setia menemaniku menemui bunda.
Seperti saat ini. Aku ingin menemui bunda di makamnya.
Petugas makam seolah telah mengenalku dengan baik. Dua diantaranya selalu duduk di bawah pohon kemboja tua, yang tak terlalu jauh dari makam bunda. Seolah mereka berjaga & memastikan tak terjadi apa-apa saat air mataku tumpah ruah di sisi makam bunda.
Kutaburkan bunga di atas makam Bunda. Kelopak-kelopak mawar kini menyelimutinya. Berharap bunda kan berselimutkan keharuman di alam sana.
Kulantunkan al fatihah & do'a do'a. Semoga menjadi cahaya untuk bunda di alam sana. Dan derai itu mulai mengalir.
"Bunda, aku mencintaimu & kini Allah titipkan persaan cinta kepada orang yang tidak tepat, bunda aku ingin bahagia"
Aku tahu bunda tak bisa lagi sekedar memelukku. Aku tahu bunda tak bisa lagi menolongku. Aku sadar justru akulah yang kini harus menolong bunda dengan do'a & baktiku. Maafkan anakmu bunda.
Kembali kulantunkan do'a. Ku seka muka & mata yang telah sembab. Aku tahu, aku harus segera mengambil keputusan & memberikan jawaban.
Hari ini aku harus kembali ke perpustakaan lagi. Mengembalikan buku, serta mencari beberapa lierasi untuk rujukan proposal skripsi. Bukan aku tidak mau membaca literasi aampingan untuk belajar tentang keislaman & menambah wawasan. Bukan karena aku sadar bahwa Zamzam tidak akan menunjukki aku lagi literasi mana yang pantas untuk dikaji. Bukan. Aku hanya harus bangkit dari mimpi & menata masa depanku.
Meja sirkulasi masih sepi. Barangkali aku memang terlalu pagi. Kuserahkan buku yang harus segera kembali.
"Banyak juga ternyata pinjamnya" suara itu mengagetkanku. Suara Zamzam.
"Iya, beberapa untuk persiapan proposal skripsi" aku mencoba menjawab setenang mungkin.
Zamzam tersenyum. Aku mencoba membalas.
"Aku mau cari literasi dulu ya" pamit Zamzam. Aku mengangguk.
"Semua pinjaman lierasi sudah kembali ya Mba" pustakawan cantik itu memastikan sembari melempar senyuman.
Ingin rasnya aku berbalik arah, membatalkan rencana. Tapi aku tak punya alasan.
Akhirnya aku memilih duduk di meja literasi digital. Mencoba mencari sesuatu di dunia maya.
"Andini, kalau aku minta waktumu, bisa kah?" Zamzam seperti memelas & aku tidak bisa menolak.
"Boleh, kita bicara di cafe maca aja ya?"
Zamzam mengangguk.
Nampaknya banyak yang sengaja sarapan di cafe ini. Waktu belum menunjuuk angka 10, tapi.di sini sudah ramai.
Selain aneka menu yang lezat, disini disedikan koleksi literasi yang terus berganti. Pengunjung bisa menikmati sajian sembari mencerap informasi.
Aku memesan capuchino. Zamzam juga.
"Sudah mulai menyusun proposal skripsi ya?"
"Iya, maunya sih lulus tepat waktu" jawabku
"Ambil tema apa rencananya?"
'Tentang pemamfaatan dunia digital untuk merangsang kecerdasan anak"
"Tema yang bagus, anti main stream, sebab.sekarang kan yang banyak beredar justru dampak buruk media digital untuk anak"
"Apapun akan selalu ada sisi baik & buruknya, aku ingin mengangkat sisi baiknya, toh kita tidak bisa lari dari dunia digital"
"Betul" kamu mendukung & aku bersyukur.
"Rencanya mau penelitian di mana?"
"Aku masih mencari benerapa alternativ tempat yang tepat"
"Adlan kakaku, dia konsultan IT di beberapa.sekolah ternama, dia yang merancangkan system IT untuk keuangan, administrasi, dll. Teamnya juga yang merancang & memaintenance IT di sini"
"Oooh" hanya itu yang bisa ku ucapkan.
"Dia sedang di ruangan manager IT, boleh kita ajak gabung ke sini ya?"
Hatiku mengatakan jangan, tapi kepalaku mengangguk.
Yaa Allah, kenapa hati & kepala malah tidak kompak?
Aku melihat ketefuhan di wajahnya. Aku melihat sinar di matanya.
Aku melihat tanda-tanda sujud di wajahnya. Aku mersakan aura yang sama pada kedatangannya, aura yang aku rasa jika berada di dekat ulama. Aku melihat kesungguhan dari cara berjalannya.
Lalu aku melihat hatiku.
Sepertinya hatiku tertutup banyak debu angan. Sepertinya hatiku penuh dengan sampah ego. Sepertinya hatiku terkelabui oleh cita yang tak pasti.
"Kalian sudah lama di sini?"
"Baru aja" Zamzam menjawab.
Aku menggeleng & meneguk capuchinoku.
"Mas, Andini lagi nyari tempat untuk penelitian nih, barangkali bisa di salah satu kliennya mas"
"Oh ya? Apa yang bisa saya bantu?" Adlan ramah bertanya.
***
Nampaknya Adlan memang lelaki yang sangat baik.
Aku tidak punya alasan untuk menolaknya.
Mungkin benar kata Zamzam, Adlan adalah lelaki sholih. Lelaki surga yang Allah turunkan ke dunia.
Tapi, siapalah aku? Aku tidak secerdas & sesholihah Asiyah. Aku tidak seterjaga Maryam, Aku tidak sesempurna Khodijah. Aku tidak setawdhu & sezuhud Fathimah.
Mereka wanita surga yang menciptakan surga dunia untuk orang-orang disekelilingnya. Aku? Aku belum melakukan apapun untuk persiapan surgaku.
Dan andai saja dia bukan kakaknya Zamzam, aku tak akan serisau ini.
Malam ini, aku berjanji mengabarkan hasil istikhorohku pada Zamzam.
Ku buka handphoneku.
Seperti kuduga, ada pesan dari Zamzam.
"Andini, apa kabar? Bagaimana dengan hasil iatikhorohnya? Apakah sudah ada petunjuk?"
"Kalau petunjuknya berupa mimpi, belum ada"
"Wa man yu-min billaah yahdi qolbah. Barang siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memberikan petunjuk pada hatinya. Itu yang pertama. Yang kedua, petunjuk itu Allah berikan berupa kemudahan dalam menjalaninya. Bagaimana?"
"Jika demikian, besok datang saja ke ayah"
"Jam berapa?"
"Ayah besok di rumah seharian"
"Kalau jam 10 pagi?"
"Iya Boleh"
"Baiklah, terima kasih atas jawabannya, akan aku sampaikan ke Adlan. Semoga Allah memudahkan & memberkahinya. Baarokalloohu lanaa wa lakum, aamiin"
Ayah?. Aku belum mengabari. Sore tadi ayah baru pulang dari Frankfurt. Aku hanya bercengkrama seperlunya, karena ku tahu, ayah pasti lelah.
Seperti kuduga. Seperti biasa, ayah tengah memandangi ikan-ikan kesayangannya. Kebiasaan ini selalu ayah lakukan menjelang tidur. Kebiasaan baru sejak Bunda meninggal. Ikan-ikan ini terlihat damai. Kedamaian & kebaikan itu selalu menular. Begitu ayah bilang.
Mama tahu ayah butuh waktu untuk merenung sendiri. Mama tidak akan membersamai ayah jika ayah tengah memandangi ikan-ikannya.
"Laki-laki butuh pergi ke guanya sendiri. Begitu mama bilang. "Setelah itu, is akan keluar membaca energi baru. Gua-nya ayah adalah aquarium ini"
"Ayah besok ga kemana-mana?" Ayah nampak kaget menyadari kehadiranku.
"Maaf kalau ayah jadi kaget" aku merasa bersalah.
"Tidak apa-apa Andini, besok ayah di rumah seharian. Ada yang bisa ayah bantu?"
"Besok ada tamu, mau ketemu ayah" antara risau, sedih & malu, aku mencoba menyampaikan.
"Tampaknya tamu istimewa" ayah menatapku.
Aku menubruk ayah. Memeluknya. Airmataku tumpah lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar