Selasa, 19 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 12

Part 12.
Apa yang berasal dari hati akan sampai ke hati.  Apalagi Al Quran. Sebuah mukjizat yang dahsyat. Mendengar lantunannya terasa sangat menyentuh hati.  Hati yang lembut, akan menangis dibuatnya.
Umi menangis mendengar lantunan ayat yang dibacakan Ustadz. Zamzam juga. Lantunan itu juga menyentuh kalbuku. Mengundang air mata. Apa karena kami sedang dalam lingkaran duka derita? Aku tidak tahu.

Ustadz itu memakai sarung tangan musim dingin. Sarung tangan yang cukup tebal.
Satu tangannya memegang ubun-ubun Dinda.
Satu tangan lagi menepuk-nepuk punggung Dinda.
Dinda muntah hebat.
Air matanya mengalir bersamaan dengan keluarnya muntah.
"Dipeluk istrinya" Ustadz itu memerintah Zamzam.
Zamzam menurut.
Tangannya memeluk dada Dinda. Tiba-tiba Dinda menangis sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tinggalkan wanita ini wahai musuh Allah, suaminya lebih mencintainya & lebih bisa menjaganya, walaupun kalian dikirim oleh leluhur wanita ini, tinggalkanlah, sekarang kami lepaskan kalian, kami putuskan.semua perjanjian" Ustadz itu berkata setelah membacakan ayat 102 dari surat Al Baqoroh,  lalu meniup kepala Dinda.
Tangis Dinda makin menjadi. Kepalanya menggeleng.

Ustadz itu membaca surat Al Falaq & Annas, kembali meniupkan ke kepala Dinda.
Lalu ia mengangkat tangannya & berdoa.
Setelah mengakhiri dengan kata aamiin.
"Untuk hari ini cukup dulu, boleh kita diskusi?" Ustadz itu memandang Zamzam. Disambut anggukan.

"Ayo istirahat dulu, Nak", Umi memeluk Dinda.
Umi yang penuh kasih sayang & bijaksana.
Aku pergi ke dapur. Membuat teh hangat.
"Minum dulu Dind"
Dinda meneguk.
Umi memapah Dinda menuju kamarnya. Aku lebih memilih membereskan kresek bekas muntahan & tisu-tisu yang berserakan.
Lagi-lagi, aku harus menahan mual. Tapi tak bisa. Segera aku ke kamar mandi. Isi perutku serasa terkuras. Lemas.
Tapi ruang keluarga belum sempurna dibereskan. Aku lanjutkan.

Zamzam menatapku.
"Kak Andin baik-baik saja"
Aku menganngguk.
"Dinda bersama Umi di kamar" meski Zamzam tak bertanya, aku merasa harus menjelaskan.
Zamzam melangkah ke kamarnya.

Hari ini Teh Ulan, asisten rumah tangga umi tak tetlihat. Mungkin ga masuk. Aku mengambil alat pel. Membersihkan lantai. Mensucikan dari najis muntah yang mungkin menyiprati lantai.

"Andini, biar umi saja yang mengerjakan" Umi menatapku, tangannya hendak mengambil alat pel di tanganku.
"Gapapa Mi, cuma sedikit koq"
Aku melanjutkan. Belum.selesai, terdengar suara Zamzam.
"Umi, Kak Andin, bisakah kita bicara sebentar?"
Aku mengangguk.
"Sebentar aku selesaikan dulu.

Umi & Zamzam telah duduk di ruang tamu. Kelihatan tengah serius membicarakan sesuatu.
Aku bergabung. Mengambil posisi di sebelah umi, di depan Zamzam.
"Baiklah kita mulai, bismillaahirtohmaanirrohiim"
Zamzam nampak serius. Aku mencoba fokus.
"Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan. Pertama tentang kak Adlan. Tadi aku & abi sudah bertemu  dokter yang menangani kak Adlan.  Alhamdulillah kak Adlan sudah menunjukkan kemajuan. Hanya saja masih belum.bisa sadar.
Aku tadi mencoba meloby dokter agar kak Adlan bisa pindah dari ruang ICU ke ruang VIP. Agar bisa dirawat sendiri. Tapi tentu biayanya akan sangat mahal sekali"
Zamzam menjelaskan panjang lebar.
"Umi setuju kalau Adlan bisa pindah, jadi kita bisa berada di dekatnya walaupun keadaannya tidak sadar.  Jangan takut masalah biaya. Uang bisa dicari.  Allah memberi ujian itu pasti sudah sepaket dengan jalan keluarnya juga dengan biayanya." Umi menjawab.
Zamzam menatapku.
"Aku ikut keputusan keluarga aja. Tapi sepakat dengan umi. Allah pasti kasih jalan keluar, kita hanya harus ikhtiar. Masalah hasil biar Allah yang tentukan. Kita tawakkal dari awal"
"Baiklah. In syaa Allah nanti malam aku akan mengurusnya. Itu yang pertama"
Zamzam menghela nafas panjang.
"Yang kedua, ustadz Maulana tadi menyarankan agar Dinda ikut terapi intensif seminggu menginap. Dinda harus ada yang menemani.  Tapi aku tidak bisa kalau siang, sebab di kantor sedang banyak pekerjaan, apalagi seminggu ini kita tinggalkan. Kak Andini, bisa ga nanti menemani Dinda?"
Zamzam memohon.
Aku tahu, Dinda anak tunggal. Wanita yang dulu kusangka ibunya, ternyata bibinya. Ibunya sudah lama meninggal.  Dinda tinggal bersama paman dan bibinya. Paman adik ayah.  Pasangan ini tidak Allah karuniai anak.kandung. tapi pada mereka Allah berikan Dinda. Gadis cantik sholihah, keponakan sang paman yang sangat menyayangi nya. Ayah Dinda kini tinggal jauh merantau ke negri orang sebagai TKI.

Aku juga faham, umi tidak mungkin menemani, terkait dengan kondisi Adlan.
Akhirnya aku mengiyakan.
"In syaa Allah kakak mau bantu, tapi harus ijin dulu sama bapak & mama. Kapan waktunya?"
"Tiga minggu lagi"

Adzan dzuhur berkumandang.
Zamzam bergegas ke masjid.
Aku, umi & Dinda berjamaah di rumah.
Aku mohon ijin ke umi untuk sholat syukrul wudhu & sunnah sebelum mengimami.  Umi mengikuti. Dinda juga.
Setiap muslim adalah alat peraga dakwah. Begitu Ustadz Ihsan pernah bilang. Kadang apa yang kita lakukan berefek lebih dahsyat dari apa yang kita katakan. Meski tentu kita tidak bisa hanya jadi alat peraga, tapi kita juga harus jadi alat komunikasi, agar kebaikan islam sampai pada semua. Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi tauhid,  komunikasi yang disampaikan karena Allah & untuk mencari ridho Allah. Komunikasi seperti ini hanya ada dalam hati yang bersih, hati yang selalu membersihkan diri dari nodanya dengan dengan selalu mengupdate & mengupgrade taubat.
Aku masih ingat semua yang disampaikan Ustadz waktu ikut pesantren liburan.

Sehabis sholat aku dan umi berangkat ke RS. Umi menyiapkan makanan untuk abi.

Entah apa yang terjadi hari ini. Siang ini pun banyak titik macet kutemui.
"A&Z IT Consultant itu singkatan dari Adlan & Zamzam" Umi bercerita. "Zamzam yang punya ide. Adlan yang merealisasikan.  Adlan yang memimpin management. Zamzam memimpin pemasaran.  Setiap hari umi sholat hajat, meminta pada Allah agar Allah memberkahinya"
Aku menyimak dengan baik.
"Adlan dari kecil cenderung pendiam tapi pintar. Zamzam dari kecil lincah & banyak membuat masalah. Adlan cenderung keras & tegas, sedangkan Zamzam cenderung banyak cerita. Agak bawel. Mereka kelihatannya selalu kompak, padahal sering bertengkar. Namanya juga kakak adik. Bertengkar tak lama damai, selalu begitu"
"Sampai sekarang Mi?"
"Iya, bahkan ketika sebelum kecelakaan, sebelum mereka mengambil gaun, mereka sempat ribut beradu pendapat. Seperti biasa Umi meminta mereka menyelesaikan masalahnya & meminta mereka berangkat bersama"
Aku tercenung. Alam pikiranku mereka-reka. Apa yang menyebabkan kecelakaan terjadi? Apakah masih beradu argumen sehingga tidak fokus?
Aah. Semua sudah terjadi. Tak ada gunanya juga aku mereka-reka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar