Rabu, 20 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 13

Lelah. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang dirasa saat ini.
Aku memeriksa hatiku. Mungkin karena tidak lillaah. Mungkin karena rasa kecewa memggelayut di hati.  Mungkin ada rasa tidak ridho yang menggantung di hatiku. Mungkin ada mimpi-mimpi dunia yang membebani hidupku.
Mungkin tiga hal itu yang membuat berat hidupku.
Aku harus melepaskannya agar ringan semuanya.

Yaa Allah yaa Robb, aku beriman pada-Mu, Engkaulah yang Maha Berkehendak. Semua Kehendak-Mu adalah baik. Engkau Maha Baik, Engkau tidak pernah mendzalimi hamba-Mu, dan aku hamba-Mu.

Yaa Robb, aku ridho dengan semua ketentuanMu. Musibah ini kecil dibanding nikmat yang telah Engkau berikan.  Jadikan musibah ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat padaMu. Semakin mencintaiMu.

Yaa Robb, dunia hanya setetes air di tengah lautan. Dunia hanya permainan sementara.
Hamba beriman pada Engkau, pada hari akhir yang Engkau kabarkan. Kepedihan ini hanyalah petaka kecil dari yang kecil. Duka ini hanya sementara dari yang sementara. Sedangkan akhirat tak kan pernah berbatas waktu & luasnya. Maka jadikan kepedihan yang sebentar ini sebagai jalan bagi hamba untuk mendapatkan kebahagiaan di keabadian surga yang penuh kenikmatan.

Kepedihan ini hanyalah jarak antara impian dan kenyataan.  Mengapa Allah ciptakan jarak? Agar kita bergerak. Bergerak menghapus jarak hingga impian bisa bersatu dengan harapan.
Bukankah semua yang Allah ciptakan semuanya bergerak? Bahkan bumi yang diam pun bergerak.
Maka bergerak yang paling indah dan sempurna adalah gerak perjalanan kita menuju
Allah.  Ini bukan berarti kita menyerah untuk tetap membiarkankan jarak antara harapan dan impian. Untuk membiarkan kepedihan meraja dalam kehidupan. Bukan.
Ini adalah pasrah, dan pasrah bukan menyerah, bukan berhenti memghapus kepedihan. Bukan berhenti bergerak. Pasrah adalah menggerakkan tangan kita  menyimpan tangan kita dalam ruku, dalam sujud, menggerakkan tangan kita untuk tengadah dalam do'a.  Meminta pada Allah untuk menghapus jarak antara harapan dan impian.

Aku memandangi Adlan di balik kaca. Semoga ini untuk yang terakhir. Semoga besok bisa menemaninya di tempat yang tak ada pemisahnya. Membacakan Al Quran untuknya. Membacakan makna dan Al Quran. Meski matanya terpejam. Detak jantung & nafas kehidupan yang ada, semoga juga menandakan pendengaran masih sempurna.

"Mba Andiny belum pulang?"
Dinda membuyarkan renunganku.
"Nunggu umi"
"Nanti biar umi pulang sama kami aja, Mba"
"Oh, baiklah, alhamdulillah jika nanti umi ada mengantar".
Aku melihat jam. Jam lima sore.
"Umi di mana?" Aku bertanya pada Dinda.
"Di bawah".
"Mba mau pamit dulu" aku berjalan ke arah tangga. Dinda mengikuti.

Zamzam tengah diskusi serius dengan umi, abi dan paman.
Aku khawatir mengganggu. Rasanya enggan mendekati.
"Mba Andin? Mau pulang?" Zamzam bertanya.
"Iya" aku mengangguk.
"Ngga nunggu sebentar lagi? Sebentar lagi Kak Adlan akan dipindahkan"
"Mba Andini sudah lelah Mas, biar istirahat dulu" Dinda menjawab.
Aku menghampiri umi. Mencium tangannya. Aku pamit pada semua.
"Nanti kami kabari ruangan ka Adlan, kemungkinan di ruang firdaus 03. Ruang VIP" Zamzam menjelaskan.
"Iya, terima kasih" hanya itu yang bisa kuucapkan.

Rumah. Allah jadikan sebagai tempat kita melepas lelah, menikmati waktu saat tetirah.
Rumah. Seperti apa suasananya, Allah bebaskan kita untuk membangunnya sendiri. Apakah sebagai tempat surgawi yang penuh kedamaian, atau tempat panas yang penuh pertengkaran.  Begitu dulu alm bunda pernah mengajariku.
"Nanti kalau sudah nikah, jadikan rumahmu sebagai rumah surga agar kamu sama suami dan anak-anak bisa ke surga yang sesungguhnya". Begitu bunda bilang. Dulu.
"Di surga tidak ada yang berantakan, kalau habis main, langsung bereskan ya, kalau habis makan, langsung cuci, kalau bangun tidur, langsung rapikan".  Aku mencoba memahami apa yang bunda katakan. Mencoba mempraktekkan. Tapi sering masih belum.sempurna melaksanakan.
"Biarkan saja, nanti sudah waktu besar Andini akan belajar sendiri" begitu bapak selalu membela.  Bunda diam. Bagi bunda sangat terlarang membantah kata-kata bapak.
Aku merasa bebas saat itu. Setelah lama bunda tiada, aku baru bisa memahami semuanya. Ah bunda, maafkan aku.

"Andini baru pulang?" mama menyapaku, menyodorkan tangannya. Aku menciumnya.
Aku dan mama duduk di sofa.
"Bagaimana kabar Adlan?"
"Malam ini akan pindah ke ruang VIP"
"Alhamdulillah, Adlan sudah sadar? Mama antusias
"Belum, Ma, dokter masih terus mencari penyebabnya, tapi dibanding sebelumnya sudah ada kemajuan. Masih ada beberapa kabel yang harus dipasang di dada untuk memantau"
"In syaa Allah, Adlan pasti akan membaik dan semakin membaik" mama menghiburku.
"Aamiin" hanya itu yang bisa kukatakan.
"Tadi Nura ke sini, ngasiin inj" mama menyerahkan tas belanjaan.
"Katanya Andiny susah dihubungi"
"Oh iya Ma, lupa. Tadi waktu ustadz Maulana meruqyah Dinda, Andin matiin Handphone-nya, terus lupa deh belum dihidupin lagi"
"Dinda diruqyah?" mama nampak penasaran.
Belum.sempat ku jawab mama menyela.
"Bapak pulang"
Aku dan mama berjalan ke arah pintu.
Mama mencium tangan bapak. Aku menciumnya juga.
Mama mengambil tas bapak.
Bapak berjalan ke sofa.
"Sudah makan, Pak?"
"Tadi makan siangnya telat, ada rapat," bapak.menjawab. Datar.
Sapaan pertama mama selalu begitu saat bapak pulang.
Laki-laki itu, 10 menit pertama jangan  ditanya apa-apa.selain makan. 10 menit pertama ekspresinya akan sama. Datar. Kita akan kecewa kalau pas lelaki.pulang masuk.rumah langsung banyak cerita. Karena ekspresinya akan sama. Datar.
Kalimat yang paling tepat untuk ditanyakan adalah "Sudah makan atau belum" karena itu yang paling mudah dijawab dan itu yang paling sesuai untuk kondisi fitrahnya sebagai lelaki. Aku mencatat semua petuah mama dalam memoriku.

"Andin buatkan minum ya Pak"
Aku bergegas ke dapur.
Teh hangat tanpa gula.
Gula bukan hanya tidak sehat, gula juga kadang merusak rasa asli dari sebuah masakan ataupun minuman. Begitu kata bapak.

"Minum dulu Pak". Aku menyodorkan teh.
"Makasih" Bapak meminum teh hangat. Teh melati.kesukaan bapak.
"Gimana kabarmu hari ini, Andin?" bapak bertanya. Aku faham maksudnya.
"Alhamdulillah, Andin sudah tenang Pak, sudah mulai meras ringan dengan musibah ini'
"Syukurlah, alhamdulillah" Bapak nampak tenang.
"Pak, Dinda tadi di ruqyah, dan kata ustadz nya nanti harus ikut terapi intensif, boleh ga Andin nanti nemenin Dinda selama.tetapi ruqyah" aku mencoba merayu. Minta ijin.
"Ruqyah?" Bapak bertanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar