Sabtu, 30 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 16

Mungkin hanya aku yang merasa tercekam. Seperti berada di ruang bioskop 4 dimensi yang sedang menayangkan film horor.
Hanya saja wajah-wajah yang mengekspresikan jeritan-jeritan itu bukan wajah yang menakutkan. Tapi wajah yang terpenjara derita.

Suasana mereda setelah Ustadz Riza berhenti membacakan ayat-ayat ruqyah.
"Ibu-ibu mari sekarang angkat tangannya, dekatkan ke muka"
Ustadz Riza mencontohkan. Semua mengikuti.
"Bacakan surat Al Ikhlas, Al Falaq & AnNaas, masing-masing tiga kali ya ibu-ibu, lalu tiupkan ke tangan"
Semua peserta mengikuti.
"Sekarang usapkan tangan kita ke wajah, kepala & seluruh tubuh"

Ustadz Riza duduk.
Kembali mengabsen satu-persatu.
"Ibu Aina, apa yang ibu rasakan?"
"Panas, Ustadz, rasanya marah sama Ustadz"
Ustadz Riza mencatat.
"Ibu Fatma, apa yang ibu rasakan?"
"Sakit, Ustadz"
"Ibu tadi menangis karena sakit?"
"Bukan Ustadz, entah kenapa rasanya pengen nangis aja"

Semua peserta atu persatu ditanya dengan detail, & dicatat.
"Baik ibu-ibu, untuk sesi kali ini, sampai di sini, sekarang silahkan istirahat dulu, sesudah ashar kita bertemu lagi di sini"
Ustadz Riza pamit.

Zamzam mencari Dinda. Aku mengambil koperku. Memindahkannya ke kamar yang disediakan untuk kami.

Ada tiga kasur tanpa ranjang. Kasur yang langsing diletakan di lantai kamar.
Satu untuk Dinda, satu untuk aku, satu lagi aku belum tahu untuk siapa.
Aku merasa beruntung ditempatkan di kamar ini. Ini satu-satunya kamar yang ada kamar mandinya.

Aku mengeluarkan semua baju & perlengkapanku. Menatanya di lemari yang tersedia.
"Assalamualaikum". Seseorang masuk mengucap salam.
"Wa'alaikum salam" jawabku, sambil menolehkan wajah.
Tania. Satu-satunya peserta yang tampak tenang.

"Mba Tania mau di sebelah mana?" aku langsung bertanya.
"Aku paling pinggir aja ya, dekat dinding" jawabnya. Aku menganngguk.
"Mba Andiny, mas Zamzam mau pamit" tiba-tiba Dinda sudah masuk.
Zamzam bersamanya. Membawakan kopernya.
"Oh iya" jawabku, seraya menghampiri mereka.
"Nitip Dinda ya Mba" pesan Zamzam. Aku mengangguk.
"In syaa Allah aku akan selalu sempatkan membaca Al Quran untuk Adlan".
"Terima kasih" jawabku.

Waktu Ashar tiba. Seorang ustadz, teamnya ustadz Riza membagikan buku panduan ruqyah & dzikir pagi sore. "Ini untuk dibaca". Begitu pesannya.
Semua bersiap untuk sholat.
Setelah dzikir bada sholat, semua membaca dzikir pagi petang.

"Dzikir pagi petang adalah benteng perlindungan" begitu Ustadz Riza memulai kajiannya.
"Siapakah yang mendapatkan perlindungan dari Allah?" ustadz Riza berhenti, seolah menunggu jawaban dari peserta.
"Mereka adalah orang-orang yang ikhlas. Apa itu ikhlas? Mereka yang tidak marah, tidak sedih, tidak kecewa atas semua  ujian yang Allah betikan. Ibu-ibu, di sini siapa yang merasa sedih?"
Semua peserta mengacungkan tangannya.
"Siapa yang merasa kecewa?"
Semua peserta mengacungkan tangannya.
"Siapa yang merasa marah?"
Hanya Alisa & Bu Aina yang mengacungkan tangannya.

"Baiklah ibu-ibu, harus difahami & diyakini bahwa Allah tidak memberikan ujian kecuali manusia sanggup memikulnya. Artinya, ketika Allah memberikan ujian sakit, Allah sudah ukur bahwa ibu bisa tahan menghadapinya. Tinggal pilihan ada di tangan ibu, mau sabar, mau sedih, atau mau marah"
Semua peserta menyimak.
"Allaah sedang memgundang ibu-ibu untuk mendekat pada Allah agar mendapatkan pahala"
Ustadz Riza menghela nafas.
"Ada yang ditanyakan?"
Semua diam.
"Baiklah, kalau tidak ada yang ditanyakan kita akan mulai sesi kedua, mari kita mulai dengan betistighfar, memohon ampun pada Allah".

Ustadz Riza membacakan ayat-ayat Al Quran.
Alisa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Seolah merendahkan.
Ustadz Riza tetap tenang melantunkan Al Quran.
3 orang team Ustadz Riza berjaga.
Bu Fatma muntah.
Dinda menangis.
Tiara menangis,meraung. Tangannya membentuk cakar, mencakar karpet.
Bu Aina muntah.

Tiba-tiba Alisa berguling.
Team ustadz Riza mendekati Alisa. Memukul lembut punggung Alisa dengan sajadah.
"Ukhruj yaa aduwallooh, keluar hai musuh-musuh Allah" salah satu team berucap.
"Tidaaaak" Alisa menjerit.
"Aku tidak mau keluar" jerit Alisa.
"Ukhruj yaa Aduwallooh"
"ak, aku mencintai wanita ini" kembali Alisa menjerit.
Ibu-ibu yang lain nampak tak perduli. Hanya Tania & Dinda yang memperhatikan Alisa. Juga aku. & ibu di sebelahku. Mama Tiara. Begitu aku memangginya.

"Aku mencintai wanita ini" Kembali Alisa menjerit.
"Kamu tidak laku dikalangan jin bukan?" seorang team Ustadz Ustadz Riza bertanya.
Rasanya aku ingin tertawa.
Tapi tawaku tertahan ketika Alisa berguling-guling kembali.
Ya Allaah, pasti berat jadi Alisa.

Ustad Riza tetap tenang membacakan ayat Al Qur'an.
Lanjut pada surat Al Mu'minun ayat 115.
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?"
(QS 23 : 115)

Tiba-tiba hatiku tersentuh.
Mataku mengembun.
Hatiku seolah berkata :
"Kamu pikir, apakah Allah main-main memberi kamu musibah?"
Embun dimata menggenang tanpa bisa dibendung. Menderas meluncur membasahi pipi saat hatiku seolah menerjemahkan ayat itu.
Padahal ustadz Riza telah beralih melantunkan ayat lain.
Tapi hatiku terus mencerna meminta air mata.
"Kamu pikir, apakah Allah main-main membuat pernikahanmu batal karena ujian-Nya?  Kamu pikir apakah Allah main-main membuat Adlan tertimpa musibah koma?"
Kamu pikir, apakah Allah main-main membuatmu berada di situasi seperti ini?
Kamu pikir apakah Allah main-main memberimu sahabat yang setia?
Kamu pikir apakah Allah main-main memberimu nikmat yang melimpah?"
Tangisku menderas dalam diam.

Hatiku bergetar. Tadinya aku tak peduli ketika handphoneku ikut bergetar. Aku ingin menikmati tangisku.
Tapi handphoneku bergetar untuk ketiga kalinya.
Umi nelpon.
"Andiny, malam ini bisa ke rumah sakit dulu? Adlan drop"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar