"Dindaa", aku reflek berteriak.
Semua memandang ke arah Dinda. Umi memeluk Dinda.
Mamah Dinda menepuk-nepuk wajah Dinda.
Semua mata tertuju pada Dinda.
Aku merasa paling bersalah saat itu.
Andai aku tak berteriak mungkin semua mata tak kan tertuju pada Dinda.
Aku bisa tenang, mungkin suasana tidak akan segaduh ini.
Kamera di handphone ku merekam semuanya.
Zamzam datang menghampiri. Semua memberi jalan.
Zamzam memeluk Dinda.
Mencium keningnya.
Aku terkesima.
Zamzam menggendong tubuh lunglai Dinda.
Kedipan lampu kilat menyilaukan mataku.
Menyadarkanku.
"Mohon maaf, mohon perhatiannya kepada hadirin untuk tidak mengambil gambar baik foto ataupun video. Bagi yang sudah terlanjur mengambil gambar baik foto maupun video mohon keridhoannya untuk segera menghapus."
Adlan mengambil inisiatif mengambil komando.
Beberapa orang nampak mengotak ngatik handphone mereka.
"Demi menjaga nama baik pengantin & keluarga, sekali lagi mohon untuk tidak mengambil gambar baik foto maupun video. Jika dikemudian hari kami menemui gambar baik foto maupun video dari kejadian barusan ada di sosial media, maka dengan sangat menyesal, kami akan menuntutnya melalui pengacara kami. Sekali lagi kami mohon maaf. Semua kami lakukan demi melindungi nama baik pengantin dan keluarga".
Adlan melanjutkan. Aku terkesiap.
Ku buka handphoneku. Kulihat ulang semua. Bagaimana tiba-tiba Dinda lunglai. Bagaimana tiba-tiba Dinda lemas & pingsan. Bagaimana Zamzam memeluk, mencium Dinda & menggendong tubuh lunglai itu. Semua terekam baik.
Tapi rekaman itu menularkan sesuatu. Menularkan energi negatif. Aku tiba-tiba lemas & lunglai.
"Andini, kamu baik-baik saja?" Tangan lembut Nura memegang pundakku. Aku menguatkan diri. Aku tahu, Nura tidak akan kuat membopongku jika aku tidak menguatkan diri.
Aku sadar, akan ada keributan berikutnya jika aku ikut tak sadarkan diri.
"Kamu pucat sekali Andiny" Nura menguatkan pegangannya di punggung hingga pundak.
"Ayo kita minum dulu". Nura mengamit lenganku. Menuntunku.
Aku merasa seperti layangan & Nura adalah angin. Aku ikut kemana Nura menuntunku.
Ruang tamu tetangga belakang. Kami duduk di sini, setelah Nura minta ijin terlebih dahulu.
"Aku buatkan teh hangat dulu ya". Nura pamit.
Aku mengangguk.
Aku belum tahu apa yang terjadi dengan diriku.
Tiba-tiba dari arah dapur terdengar suara tertawa. Suara tertawa yang aneh. Seperti di sinetron. Suara tertawa makhluk halus?. Di hari yang masih pagi & terang begini? Seluruh tubuhku merinding. Tiba-tiba suara tertawa itu berganti dengan geraman.
Reflek aku mencari sumber suara. Berjalan ke arah dapur.
Dalam lemah aku memaksakan diri. Baru beberapa langkah, Nura sudah di depanku.
"Minum dulu Andiny, kamu masih pucat". Andini menuntunku kembali ke tempat duduk.
"Suara apa itu?" aku bertanya.
"Ga usah dipikirkan, biarkan saja, kamu harus menenangkan diri dulu".
Aku meneguk teh manis hangat yang disodorkan Nura.
Hangatnya menjalar ke dada. Tapi tidak ke hati & benak.
Nura menatapku.
"Kamu belum bisa melupakan Zamzam, iya kan Andiny?"
"Nur, ketika aku bertekad meninggalkan sesuatu, aku tidak akan pernah melihatnya kembali. Baik dalam kenyataan maupun dalam ingatan"
"Andiny, kadang kita harus jujur pada diri sendiri" Entah apa maksud Nura berkata seperti itu.
"Nur, kamu tahu kenapa Nabi Ibrahim tidak mau sedikitpun menengok kebelakang untuk melihat Siti Hajar & bayi yang sangat dicintainya ketika ia tinggalkan di gurun sunyi & sepi?"
Nura menggeleng.
"Karena orang yang melihat kembali, apa yang ia telah tinggalkan, ia akan tersiksa oleh penyesalan mendalam. Ia akan dilanda galau tak berkesudahan. Aku bukan orang yang seperti itu"
Nura memegang bahuku. Merapkan ke bahunya.
"Aku akan betdo'a untukmu" suara Nura seperti berbisik.
"Dik Andiny, kamu di sini? Apa yang terjadi, Mas dari tadi nyari-nyari"
Tiba-tiba Adlan membuka pintu.
Nura melepaskan dekapkan perlahan.
Aku terkesiap kembali. Mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Tadi waktun teh hangat Andiny, mendengar suara aneh, jadinya lemas & pucat". Nura mendahuluiku. Menyelematkanku.
Aku mengangguk.
"Coba Mas Adlan periksa ke belakang, ke arah dapur, mungkin mereka masih perlu bantuan, jujur kami takut & masih cemas" Nura melanjutkan.
Adlan tak menunggu lama. Langsung ke dapur.
Ah, bagaimana mungkin aku akan berpaling dari lelaki seperti Adlan. Aku makin yakin dengan apa yang dikatakan Zamzam. Adlan lebih baik dari Zamzam.
Adlan kembali dari arah dapur. Ia membawa segelas teh. Nampaknya teh hanya juga.
"Alhamdulillah, semua sudah teratasi, yang tidak sadar sudah siuman".
"Alhamdulillah" Aku & Nura kompak menjawab.
Kami duduk bertiga.
"Dik Andiny, udah hilang lemesnya" Adlan hati-hati bertanya.
Aku hanya bisa mengangguk lagi.
"Ayo kita ke pengantin". Nura berdiri mengambil inisiatif.
Adlan berdiri. Ia berjalan duluan. Aku berjalan di belakangnya. Diantara Adlan & Andini.
Ada sinar indah di wajah Dinda.
Sinar yang seolah menghapus kegelapan.
Aku tulus berdoa' semoga Zamzam akan membawa kebahagian surga untuk Dinda, baik di dunia maupun di akhirat.
Aku membungkukan badan di depan orang tua Dinda, memberikan salam tanpa menyentuh. Mengucapkan tahniah, salam selamat & keberkahan, dalam senyum & do'a yang tulus. Di depan Zamzam aku melakukan yang sama, dalam senyum tanpa tatapan. "Selamat ya, baarokalloohu" ucapku.
"Terima kasih Kak Andiny" jawabnya.
Kakak? Terasa terdengar aneh. Tapi aku memang harus membiasakan diri.
Kupeluk Dinda. Kuucapkan selamat & do'a. Binar mata Dinda senada dengan apa yang diucapkannya "Do'a yang sama untuk Mba Andiny" katanya.
"Belum, jawabku, masih 20 hari lagi jawabku"
"Tapi do'anya dari sekarang kan gapapa" Dinda tetap tersenyum.
"Jangan mendahului takdir" jawabku.
Aku menghampiri Umi & Abi.
Belum apa-apa Umi meraih tubuhku, merangkulku, erat sekali. Agak lama. Aku tak mau melepaskan walaupun aku tahu, masih ada barisan tamu panjang di belakang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar