Jumat, 15 November 2019

Aku bukan Cleopatra part 8

Dinding ruangan terlihat putih. Buram & mebias.Samar. Aku terbaring lemah.
Ada kehangatan yang menjalar dari telapak tangan.  Kucoba melihat meski tak jelas.
"Andin, kamu sudah sadar?"
Mama menyapa. Pipinya basah. Lelehan air dari matanya nampak menderas.
Aku mengangguk.  Mataku seperti bercermin pada mata mama. Lelehan air mata di mata mama kini ada juga di mataku. Setelah kutahan sedari tadi, akhirnya tumpah juga.
"Minum dulu, Andin" Nura menyodorkan teh dalam gelas.
Mama melepas tangannku, berjalan sigap ke ujung tempat tidur, memutar pengatur ketinggian di bagian kepala tempat tidurku.
"Terima kasih, Ma"
"Terima kasih Nura"
Teh hangat yang manis. Aku ingin mencoba menikmatinya tapi tak bisa. Tenggorokanku tersekat.
"Bagaimana Adlan?" Aku menatap mama. Mama diam.
"Adlan sudah ditangani dengan baik di ruang ICU" Nura membantu menjawab.

ICU. Seberapa banyak orang bisa keluar dari ruangan itu dengan keadaan lebih baik?
Aku tidak tahu. Aku hanya ingat, dulu Bunda keluar dari ruangan itu pergi menghadap-Nya.
Air mataku menderas.
Nura menyodorkan tisu.
"Aku faham perasaanmu, semua pasti sulit. Tapi berbaik sangka pada apapun, itulah satu-satunya jalan terbaik" Nura seperti berbisik di telingaku.
Berbaik sangka.
Baiklah. Aku akan pegang kata-kata itu.
Aku akan berbaik sangka pada ruang ICU. Bahwa keluar dari ruangan itu Adlan tidak akan lebih baik & tidak langsung pulang menghadap-Nya.
Aku akan berbaik sangka pada Zamzam. Bahwa bukan karena tangannya lah kecelakaan ini terjadi.
Aku harus berbaik sangka pada taqdir.
"Setiap taqdir itu baik, jika ada yang salah maka satu-satunya yang patut disalahkan adalah cara pandang kita". Begitu nasehat Zamzam saat meyakinkan aku untuk menerima Adlan.
Aku akan berbaik sangka pada hari esok, bahwa semua akan membaik.

"Ma, apa bapak sudah tahu?"
Aku menatap mama.
"Nanti kita kasih tahu kalau bapak sudah pulang dari Kaltim ya, lusa bapak pulang".

"Permisi, nona Andini ya. Kami akan memeriksa tensi darah". Seorang suster masuk. Ia memasangkan alat & memegang nadi ku sembari melihat alat pengukur tensi digital.
"100 per 90".
"Bisa langsung pulang kan Sus, tidak menginap" aku bertanya sembari berharap.
"Sepertinya bisa, Mba."

Mama bergegas mengurus administrasi.
Aku bersiap bersama Nura.
"Ma, aku mau menemui Umi & Dinda" aku mohon ijin.
"Iya, temuilah mereka"

Sama seperti mama & aku. Umi & Dinda matanya basah.
Umi memelukku erat.
"Sabar ya nak" bisiknya di telingaku. Aku mengangguk.
Dinda menatap kami.
Umi melonggarkan pelukan.
Aku melepas perlahan.
Kupeluk Dinda.
Kami tak berkata-kata. Hanya menangis bersama.

H-7.
Bapak memelukku.
"Semua akan baik-baik saja. Ini ujian. Semua akan berlalu". Bapak meyakinkan aku.
Aku tahu, Bapak pasti juga sedih & merasa berat.
"Kita buat akan sebarkan surat pemberitahuan". Bapak menghela nafas panjang setelah melepaskan pelukan.
"Kita juga harus segera memberi tahu perias, EO, pengelola gedung & catering juga ibu-ibu pengajian. Semua kita batalkan.
"Pak, kalau pengajian ibu-ibu tetap dilaksanakan, bagaimana? Tetap khataman Quran, cuma do'anya kita minta untuk kesembuhan Adlan" pintaku.
Sejenak bapak menatapku.
"Baiklah" akhirnya bapak menyetujuiku.

H-5
Informasi pembatalan disebar. Berbentuk seperti kartu undangan.
Ada namaku. Nama Adlan. Nama Bapak & alm Bunda. Juga nama umi & abi.
Do'a juga dicantumkan. Tapi bukan do'a untuk pengantin. Melainkan do'a agar kami diberi kesabaran & do'a kesembuhan untuk Adlan.

Sama seperti hari-hari kemarin, aku menyempatkan diri menengok Adlan. Melihatnya dari jendela ruang ICU. Menunggu giliran untuk menggunakan baju khusus & masuk sebentar ke ruang ICU. Menatap wajah teduh & bercahaya. Membisikkan do'a di telinganya. Tanpa sentuhan. Karena kami belum sah dalam ikatan pernikahan.
Koma. Begitu kondisi Adlan.

Di rumah aku memperpanjang do'a. Menambah aneka sholat sunah. Sholat syukrul wudhu tak kutinggalkan. Entah di lima waktu maupun di saat dhuha & tahajud. Sholat taubat, shilolat hajat.  Aku berharap semua akan membawa kebaikan.

Surat cuti yang sudah ku layangkan tak mungkin kubatalkan.
Aku memutuskan untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.
Mungkin ini cara Allah menarikku mendekat pada-Nya.

H-1.
Ada karangan bunga ucapan selamat yang datang ke rumah. Dari rekan A&Z IT Consultant. Mungkin mereka lupa membatalkan pesanan. Aku memandamginya hampa.
Sore ini, selepas ashar pengajian khataman dimulai.
Aku mengambil 1 juz. Juz pertama. Sisa 29 juz dibagi secara undian. Pengajian berlangsung khusyu. Semua menikmati bacaannya masing-masing.
Air mata ini tak bisa berkompromi, tak bisa menyembunyikan diri. Aku membaca quran dalam.isak.

Satu jam. Al-Quran telah dikhatamkan. Kami membaca do'a dipimpin ustadzah Hj. Bilqis. Ditambah do'a-do'a untukku. Untuk Adlan.
Aku mengaminkan dengan tangis. Beberapa jamaah ikut menangis.

Mama mempersilahkan jamaah pengajian untuk menikmati hidangan. Biasanya saat ramah tamah bersantap selalu riang & hangat. Kini sepi.
Lima menit menjelang maghrib, ibu-ibu pamit. Mereka memelukku satu persatu.
"Yang sabar ya Neng". Hampir semua membisikkan itu.

Hari H.
Aku pamit pada mama. Aku mau di rumah sakit seharian menemani umi.

Seperti hari-hari kemarin. Hari ini masih ada yang menjenguk.
Melihat kondisi Adlan meski dari balik kaca. Menanyakan kabar & melantunkan do'a.

Tak hanya dari mereka yang datang. Do'a-do'a & simpati juga terus datang lewat pesan di sosial media. Aku terharu.
"Andiny, aku turut prihatin. Aku akan selalu berdoa' untuk kebahagiaanmu. Maaf hari ini aku tidak bisa menemanimu" pesan dari Nura.
"Terima kasih Nur, do'akan agar aku Allah selalu membetikanku sabar & syukur,  in syaa Allah aku ridho dengan semua ini, dengan semua derita bencana ini. Aku menerimanya sebagai ujian. Aku tak akan memanipulasi ataupun memgkamuflase perasaan sedihku.  Aku hanya tinggal mencari celah untuk tetap bersyukur & bahagia"
Belum sempat ku kirim pesan itu, terdengar panggilan lewat pengeras suara.
"Keluarga Adlan Muhammad, mohon segera masuk ke ruang ICU"
Aku menatap umi.
"Andin mohon ijin, Andin aja yang masuk ya Mi"
Umi mengangguk.
Aku segera keruamgan perawat untuk memakai baju khusus yang steril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar