Sabtu, 16 November 2019

Aku Bukan Cleopatra part 9

Part 9.

Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Hatiku berdebar. Kulantunkan aneka do'a, semoga Adlan membaik. Semoga kesadaran segera Allah datangkan. Semoga ia bisa segera keluar dari ruangan berkaca ini.
Bismillah.

"Pasien lirih memanggil nama keluarga, mungkin ada pesan yang ingin disampaikan" begitu penjelasan perawat. Ketika aku menanyakan ke meja perawat.

Aku berjalan cepat, tapi tetap kujaga kehati-hatianku.
Adlan terbaring.
Ada banyak kabel di dadanya. Ada juga kabel di pergelangan tangan, dekat nadi.  Semua terhubung ke monitor.  Seolah semua alat kesehatan digital itu mengkalkulasi rumus-rumus sinyal kehidupan & dipancarkan pada monitor yang terpasang.
Ada yang berbentuk grafik. Ada yang terlihat dalam bentuk angka. Aku tak faham.

Selang oksigen masih terpasang di hidungnya.
Kelopak mata Adlan tampak bersusah payah untuk membuka. Tapi tidak bisa. Hanya bola mata yang samar terlihat bergerak seolah melihat sesuatu.
Bibirnya bergerak, seolah sedang mengatakan sesuatu.
Iya. Adlan sedang mengatakan sesuatu, seperti yang dikatakan perawat tadi.
Aku duduk di di sebelah kanan.
"Andin..Andiny, tunggu Mas, tunggu Andiny"
Airmata menggenang dipelupuk.
"Aku di sini mas. Aku akan menunggumu". Kubisikan semua dalam lelehan air mata.
Kulihat bibir itu mengukir seutas senyum. Tipis. Tapi sangat berarti bagiku. Dan Adlan seperti tertidur kembali.
Lalu lantunkan pelan Al Fatihah di telinga Adlan.
"Iya ka na'budu wa iya ka nasta'in" ku ulang dalam isak hingga tujuh kali.
Juga pada ayat "ihdunashshirotol mustaqiim" ...
PadaMu ya Robb, kami beribadah & PadaMu jua kami memohon pertolongan.
Bimbing kami ya Robb, bimbing kami menuju jalan yang lurus.

Dua orang perawat mendatangi. Seorang memantau monitor & mencatat. Seorang lagi memberi isyarat agar aku segera keluar. Mungkin aku dianggap mengganggu.

Umi nampak menunggu penuh harap. Wajahnya memucat melihat air mata di wajahku.
"Bagaimana, apa yang terjadi?"
Aku langsung memeluk umi.
"Andin akan menunggu, Andin janji akan menunggu Mas Adlan" hanya itu yang bisa kuucapkan.
Umi mengusap-usap punggungku, lembut.
Ada ketenangan yang menjalar ke hati.
Aku melepaskan pelukan.
Menghapus air mata.

Kami duduk di meja panjang yang tersedia d ruang tunggu.
Beberapa keluarga dari pasien lain sama terlihat gelisah & sedih. Kami disini senasib. Menunggu dalam lantunan aneka do'a. Menunggu dengan harapan yang bersaing dengan cemas yang kadang membawa rasa putus asa. Kami harus menang melawan semua kesedihan ini. Karena kemenangan kami dari sedih & putus asa juga akan jadi bekal untuk mereka yang tengah berjuang di ruang kaca.

Aku menghela nafas panjang.
Umi menatapku.
"Nak Andin, umi tahu ini semua berat & teramat sangat berat. Tapi umi minta temani umi menemui Zamzam. Zamzam sudah boleh pulang"
Aku mengangguk. "Baik Mi"
"Andin, Zamzam sangat tersiksa dalam penyesalannya"
"Kecelakaan ini taqdir Mi, tidak ada yang salah." aku mencoba menenangkan umi.
"Bukan hanya itu, Nak, Zamzam menyesal karena telah memintamu untuk menerima Adlan. Zamzam  selalu mengeluhkan penyesalannya pada umi"
"Andin menerima Adlan atas keputusan & kesadaran sendiri Mi, bukan atas saran siapapun"
"Umi yang salah Nak" Umi mulai meneteskan air mata.
"Umi tahu Zamzam mencintaimu, tapi umi meminta Zamzam mengalah karena Adlan juga mencintaimu. Umi pikir Zamzam anaknya supel & mudah bergaul, mudah diterima siapapun. Sementara Adlan sulit untuk jatuh cinta & kurang pandai bergaul. Waktu umi menanyakan kapan akan menikah & siapa yang ia cintai, ia menunjukkan fotomu, Andin"
Belum selesai umi menghela nafas panjangnya, terdengar seseorang bertanya :
"Apa Adlan tahu kalau Zamzam mencintai kak Andin?"
Dinda bertanya. Wajahnya pucat.
Aku kaget. Umi terkesiap.
"Dinda," aku menatap. Kata-kata seolah tak berpihak padaku. Aku tak menemukan satu kalinatpun yang tepat untuk disampaikan selanjutnya
"Tidak Dinda, maafkan umi". Uni menangis. Dinda juga.
Dinda berbalik. Berjalan cepat setengah berlari.
"Maaf Umi, Andin harus ke Dinda dulu". Aku pamit. Umi mengangguk dalam sengguknya.

"Dinda tunggu", aku mencoba mengejar. Dinda tak berhenti. Malah semakin cepat.
Masjid, tempat itu yang dituju Dinda. Syukurlah, aku sedikit lega.

Masjid tidak terlalu ramai. Karena belum waktunya sholat Dzuhur. Hanya beberapa yang terlihat khusu melaksanakan sholat dhuha.

Dinda duduk bersimpuh.
Tangannya seolah menyangga tubuhnya yang guncang dalam.isaknya.
Aku mendekati. Hati-hati.
"Dinda, semua tak seperti yang Dinda bayangkan. Aku tidak mencintai Zamzam" aku mencoba menegaskan untuk menenangkan.

Tangis Dinda makin menjadi.
Hanya saja aku merasa asing dengan tangisan Dinda kali ini.
Aku merinding. Teringat kejadian di dapur saat pernikahan Dinda.

"Maaf Mba, boleh saya meruqyah ukhti ini? Sepertinya kena gangguan"
Seorang berwajah teduh, berbaju koko Pakistan & bercelana cingkrang tiba-tiba mendekati. Aku reflek mengangguk. Hanya itu pilihanku.
Pria itu mengeluarkan sesuatu : sarung tangan musim dingin. Aku terkesima. "Apa yang akan dia lakukan dengan sarung tangan setebal itu?" tapi pertanyaan itu hanya ada dalam pikiranku.

Pria itu memegang kepala Dinda. Membaca ta'awudz & do'a perlindungan.
Membacakan Alfatihah, ayat kursyi & beberapa ayat yang asing ditelingaku.

Dinda tertawa terbahak.
Tidak, itu bukan suara Dinda. Aku semakin terkesima. Aku mencoba menangkan diri denga. Mengucap istighfar & ikut membaca ayat kursy.
Beberapa jamaah yang hadir memperhatikan. Tepatnya menonton. Aku mengambil posisi siaga. Aku mengawasi semua. Memastikan tidak ada seorangpun yang memegang gadget merekam atau mengambil semua yang terjadi pada Dinda.

Pria itu terus membacakan ayat-ayat Quran sambil memukul-mukul pelan punggung Dinda. Aku mengamati dengan seksama.
Tiba-tiba kulihat pipi Dinda mengembung. Dinda mau muntah?
Ini masjid, tidak boleh kena naji &  muntah adalah najis.
Segera ku keluarkan isi tasku. Aku membuka tasku. Mendekati  Dinda & menyodorkan tasku ke mulut Dinda.
Dinda muntah hebat.  Tak lama setelah itu tubuhnya terguling lemas.

"Terima kasih Ustadz" Suara Zamzam. Aku terkesiap.
Zamzam memeluk tubuh Dinda.
"Bacakan Al Falaq & AnNas" perintah pria yg dipanggil Ustadz oleh Zamzam.
Zamzam menurut.

Aku mundur perlahan. Aku harus membuang muntah ini & membersihkan tas ini.
"Handphone & dompet sudah umi simpan, Andin". Aku tidak tahu sejak kapan umi ada di sini.
"Iya Mi".

Aku segera ke kamar mandi.
Segera mencari toilet kosong & mengosongkan tasku. Namun sayangnya perutku juga tertular ingin dikosongkan. Aku muntah.
Walau bagaimanapun, aku bukan perawat. Aku tak kuat melihat muntahan. Tapi aku harus membersihkan tasku.

Keluar dari toilet, umi.sudah menungguku. Umi menyodorkan tas keresek. Aku menerimanya & menyimpan tasku di dalamnya.

"Bagaimana keadaan Dinda, Mi?"
"Alhamdulillah sudah siuman. Zamazam sudah membawanya pulang"
"Pulang ke mana Mi?
"Umi minta untuk pulang ke rumah umi, supaya umi bisa ikut merawat & memantau Zamzam pada masa pemulihan"
Aku tercenung. Dinda, bisakah memahami apa yang terjadi?
Bisakah menerima apa yang tadi  umi katakan?
Bisakah yakin terhadap apa yang aku sampaikan?

"Abi dimana Mi?" aku bertanya lagi.
"Di ruang tunggu ICU".
"Bagaimana kalau Umi menemani abi dulu? Andin ingin sholat sunnah dulu"
Umi tersenyum. Pilu di mata nya tak bisa ia sembunyikan. Setelah apa yang terjadi, mataku semakin terbuka pada pilu mendalam yang ada di matanya.
Umi mengangguk.
"Andin wudu dulu ya Mi"
Aku pamit.
Umi berlalu.

Air ini terasa sejuk hingga ke tulang. Juga ke tulang mata.
Air wudu yang membasuh wajahku, berbaur dengan airmata yang kian deras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar