Sabtu, 23 November 2019

Aku Bukan Cleopatran part 14

Biasanya aku Duha di masjid. Gantian dengan umi. Menunggu di bawah ruang kaca, ruang ICU.
Sekarang aku bisa Duha di sini di ruangan ini.  Tak perlu menempuh langkah sepanjang 500m untuk menikmati indahnya sujud.

Biasanya aku hanya diberikan waktu tak lebih dari 10 menit untuk duduk di samping Adlan yang terpejam dalam nafasnya.
Kini aku bisa duduk seharian sambil melantunkan syahdu kalam ilahi.

Seperti saat ini kulantukan kalam ilahi. Dari hatiku. Kuharap sampai ke hati Adlan.
Ku bisikan do'a ke langit, sebelum syahdunya kubawakan.
"Yaa Allah yaa Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai bala tentaramu, yang akan menjaga Adlan dalam tidur komanya. Yaa Allah yaa Robb, jika Adlan tidur dalam kegelapan, jadikanlah setiap hurufnya sebagai cahaya indah yang meneranginya. Yaa Allah yaa Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai obat untuk semua rasa sakit & penyakit yang ada dalam tubuh Adlan. Yaa Allah ya Robb, jadikan setiap huruf yang hamba baca sebagai kebahagiaan untuk Adlan. Aamiin"
Ku mulai dengan Al Fatihah. Ku lanjutkan dengan Al Baqoroh.
Lalu kubacakan artinya, meski tak semua.

Hari berlalu. Satu setengah purnama telah terlewati. Aku mulai terbiasa. Kata orang, hitungan empat puluh hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebuah kebiasaan baru. Mungkin memang benar.
Aku terbiasa menangis dalam setiap sujud. Aku terbiasa melantunkan ayat ayat suci di sisi Adlan.  Aku terbiasa dengan suasana rumah sakit. Aku terbiasa dengan tatapan iba yang ditujukan padaku. Aku terbiasa mendengar orang mengatakan satu kata padaku "Sabar" sampai aku merasa harus belajar lagi mengenai makna sabar yang sesungguhnya.
Sabar & syukur. Sejoli yang tak pernah terpisahkan. Jika tak bersyukur, maka kau tak akan bisa bersabar. Seperti sejoli derita & bahagia. Jika tak pernah mengerti derita, maka makna bahagia tak kan pernah terasa. Semuanya sudah Allah ciptakan satu paket. Sejoli ini harus selalu ada membersamai manusia.

Handhphoneku bergetar. Ada pesan masuk.
"Kak, bisa ke kantin sebentar, untuk membicarakan perihal terapi Dinda".  Pesan dari Zamzam.
"Baik"
Aku pamit mohon ijin pada umi.
Aku pamit juga mohon ijin pada Adlan, sama seperti ketika aku pamit ijin pulang. Aku merasa & melayangkan harap, Adlan mendengar semua. Adlan merasa & bahagia akan kehadiran kami di sekelilingnya.

Kantin ini selalu ramai. Pengunjung penunggu atau keluarga pasien,  pegawai semua seolah bergantian ke tempat ini untuk menghapus lapar dahaga. Atau mungkin sekedar melepas penat dengan menikmati aneka pilihan sajian snack dan minuman ringan.

Zamzam duduk di meja paling tengah. Meja dengan dua kursi.
Aku agak sungkan sebenarnya. Tapi tak ada pilihan.
"Kak, lusa in syaa Allah terapi intensif untuk Dinda akan dimulai, Kak Andiny bersedia menemani Dinda?"
"In syaa Allah, alhamdulillah sudah dapat ijin dari bapak"
"Baiklah, aku akan sedikit cerita tentang Dinda" Zamzam menghela nafas panjang
"Dinda pernah jadi korban buliying ketika SMA. Dinda anaknya tidak bisa melawan & tidak pandai mengungkap isi hati. Akhirnya Dinda colaps. Seperti orang kesurupan, tapi sekarang setelah aku pelajari, sebenarnya bukan kesurupan, dalam ilmu psikologi, jiwa yang terlalu dilukai akan melakukan reaksi pertahanan diri, mengeluarkan semuanya. Sebagian menyamakan dengan kesurupan, namun menurut ustadz Maulana, jika seseorang terlalu sedih, pada saat itu jin akan masuk"
Aku menyimak baik-baik
"Dinda dari kecil dirawat paman & bibinya. Pada saat Dinda colaps, kelas 1 SMA, ibu Dinda mendatangi paman & bibi yang mengasuh Dinda. Ibunya datang memarahi & menyalahkan paman & bibinya atas kondisi Dinda"
Aku mencoba menyembunyikan keterperangahanku.
"Saat itulah Dinda tahu kalau dua orang yang selama ini menyayanginya ternyata bukan orang tua kandungnya. Ini menambah beban Dinda yang terus bertanya kenapa orang tua kandungnya tidak mau merawat Dinda"
Ah Dinda yang malam, kesedihanku tak seberapa dibanding bebanmu.
"Tak lama setelah ibu Dinda mendatangi paman & bibinya yang selama ini mengasuhnya, Ibu Dinda meninggal. Mendadak. Kata dokter kemungkinan kena serangan jantung.  Ini semakin membuat Dinda tambah parah & akhirnya Dinda harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku.
Tapi aku harus menjaga perasaan Zamzam.
"Dinda dirawat selama 2 minggu & setelah pulang, harus minum obat dari psikiater.  Selain berobat ke psikiater, paman & bibi Dinda juga membawa Dinda berobat kemana-mana. Akhirnya paman & bibinya memutuskan Dinda tidak berobat k psikiater lagi karena pertimbangan adanya dampak buruk yang terlihat. Cuma ya itu. Kadang-kadang Dinda menunjukkan sikap aneh, temperamental, swing mood & suka melamun"
Aku belum bisa menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan emphaty.
"Selanjutnya, Dinda akan diterapi ruqyah. Kata Ustadz Maulana, banyak kasus seperti Dinda, bahkan lebih parah, bisa kembali normal, karena Al Quran adalah Assyifa. Semua penyakit ada obatnya, juga untuk penyakit Dinda & menikah adalah sebagian obatnya.".
Aku kagum dengan keyakinan Zamzam.
"In syaa Allah Dinda akan sembuh total. In syaa Allah Kakak bersedia menemani Dinda selama seminggu"
"Terima kasih, Kak" ada genangan air di pelupuk Zamzam.
"Kakak hanya minta satu hal, tolong bacakan Al Quran tiap hari untuk Adlan, selama kakak menemani Dinda"
"Baik, Kak"

*******
Awalnya aku pikir tempat terapi untuk Dinda adalah seperti rumah sakit.  Ternyata bertempat di sebuah perumahan elite. Rumah dengan ruang tamu yang luas tanpa sekat. Mungkin ini berfungsi juga sebagai ruang keluarga.  Ada 4 kamar tidur, dua dapur dan dua kamar mandi.  Teras belang yang luas, nyaman untuk menghirup udara segar. Tanah halaman belakang yang luas, ditanami pohon jati yang sudah menjulang dan tampak rapi berbaris. Daun-daun lebarnya menghalangi masuknya sinar matahari ke tanah. Membuat suasana terasa sejuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar