Selasa, 31 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 27

Part 27.

"Nur, aku mau ke kampus, ngedadak nih, mumpung Pak Dian kosong hari ini" pesan itu kusampaikan pada Nura.
Aku tak menunggu balasan.
Karena.seminggu ini Nura harus bantuin ibu menyelesaikan beberapa pesanan pelanggan.

Kampus. Terasa lama aku tak menjejakkan kaki. Tapi aku juga tak akan berlama-lama lagi di sini. Aku harus cepat-cepat selesai agar bisa fokus pada target selanjutnya : rumah tahfidz.

"Andiiin, apa kabar?" Sheila, Hera, Rama, Imam & Adila menyapaku di parkiran. Sepertinya mereka hendak pergi  bersama.
"Alhamdulillah baik".
Aku memeluk Sheila, Hera & Adila.
"Mau ke mana nih?"
"Biasa, mau cari yang enak-enak"  Hera menjawab.
"Sudah mulai aktif lagi?" Imam bertanya.
"In syaa Allah, kan tinggal konsul bab terakhir perbaikan-perbaikan dan daftar sidang"  jawabku.
"Sukses yaa" Rama & Adila kompak.
"Makasih" jawabku.

Aku berjalan ke ruang kaprodi. Ruangan Pak Dian.
"Assalamualaikum, aku mengetuk pintu, lanjut membukanya"
"Wa'alaikum salam wrwb, Andin, ayo silahkan"
Aku duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Bapak ikut prihatin atas apa yang menimpa Andin" ucapan itu rasanya menyobek hatiku lagi.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Pasti semuanya berat & teramat sangat berat. Tapi bapak yakin, in syaa Allah Andin bisa melaluinya"
"In syaa Allah pak, makasih"
"Gimana Mas Adlannya sekarang?"
"Masih koma, Pak"
"In syaa Allah akan ada keajaiban". Pak Dian meyakinkan.
"Aamiin"
Pak Dian mengambil kacamatanya.
"Mana, analisa & bab terakhir sudah selesai?" Pak Dian bertanya.
"Sudah Pak" aku menyerahkan bundelan tipis kertas-kertas draft skripsiku.
Pak.Dian membuka-buka sekilas.
"Nampaknya bagus, besok bisa diambil ya, besok sore"
"Di kampus Pak?"
"Di rumah bapak aja"
"Baik Pak".

Aku meninggalkan ruangan.
Banyak teman sahabat menyapaku. Sebagian dari mereka mengucapkan rasa keprihatinan. Aku tahu, mereka mencoba menyampaikan kasih sayang lewat empati yang mereka tunjukkan. Tapi semakin banyak yang berucap, aku merasa semakin terpuruk, semakin asing, semakin jauh dan berbeda dari mereka.

Aku mencoba mengumpulkan puing-puing harapan. Aku mencoba mengais ngais ketegaran. Aku mencoba merangkainya. Menyusunnya dan membentuknya menjadi penopang langkah. Bismillaah. Aku bisa melewatinya. Ini hanya ujian. Ini akan berlalu. Semua akan baik-baik saja.
Allah hanya sedang melembutkan hatiku dengan musibah ini.
Iya, hatiku hancur, mimpiku berantakan terhempas badai.
Tidak mengapa. Dari hati yang hancur aku akan punya hati yang lembut. Dari mimpi yang porak poranda aku akan membangun istana.
Mimpiku akan kuraih lagi. Mimpi membangun bahtera rumah tangga, rumah surga.

"Andini hari ini mau ke rumah sakit?" pesan singkat masuk dari umi.
"In syaa Allah Mi, ini lagi di kampus, habis itu aku langsung ke rumah sakit"
"Hati-hati di jalan".
"In syaa Allah"

Rumah sakit menjadi tidak asing lagi bagiku. Keberadaanku juga mungkin tidak asing bagi sebagian dari  mereka. Petugas parkir sudah familiar denganku. Petugas kantin sudah tahu pesanan favoritku. Beberapa perawat dan dokter aku sudah merasa sangat dekat dengan mereka.

"Assalamualaikum" aku langsung masuk ke ruang perawatan.
"Wa'alaikum salam". Umi menyambutku dengan pelukan hangatnya.
Abi di samping umi. Tersenyum menyalamiku.
"Gimana urusan kampusnya?" Abi bertanya.
"Alhamdulillah beres, mudah-mudahan bisa segera sidang"
"Alhamdulillah" Abi tersenyum senang.

Kami duduk di sofa.
"Mas Adlan gimana Mi? Ada perkembangan?" aku membuka percakapan.
"Belum, nampaknya kita harus semakin mengencangkan do'a" Umi menarik nafas panjang.
"In syaa Allah Mas Adlan sembuh Mi" aku meyakinkan umi. Meyakinkan dan menenangkan diriku sendiri.
Aku tak berani menatap mata umi. Aku.khawatir melihat ada kesedihan di sana. Aku khawatir kesedihan itu menular padaku, merobohkan harapan yang sudah kubangun dengan susah payah.
"Umi, Andin mau bacain Quran" aku mohon ijin. Umi mengangguk.

Aku membacakan surat Ar Rohman. Aku harus berjuang melapangkan dada yang sesak, meluruhkan duka yang menyekat di kerongkongan. Aku tidak boleh menangis di depan Adlan, meski dia terbaring koma. Tidak. Aku harus kuat .
Al Waqiah Al Hadid hingga surat At Tahrim kubacakan tartil.
Ku tutup dengan do'a. Semoga setiap hurufnya jadi keajaiban untuk kami.
Kupandangi wajah Adlan. Masih sama. Bersih, bercahaya. Tak ada reaksi. Hanya nafas yang terlihat. Juga denyutan jantung yang terekam dari alat yang dipasangkan.
Semua akan membaik. Berkali-kali aku meyakinkan diri.

"Assalamualaikum"
Dinda bersama Zamzam masuk. 
"Wa'alaikum salam" kami menjawab.
Dinda menyalami umi & abi. Takdzim. Zamzam langsung ke arahku. Ke tempat Adlan berbaring.
"Ada perkembangan?" Zamzam bertanya.
"Belum" hanya satu kalimat yang bisa kusampaikan.

Handphoneku bergetar.
Panggilan masuk.dari Hamid.
Aku ijin keluar pada umi & abi, juga Zamzam serta Dinda.
"Assalamualaikum, Andini"
"Wa'alaikum salam"
"Besok ada waktu kosong kah? Temen aku yang di Jogja kebetulan besok mendadak harus ke rumah kakaknya di Jakarta, sebelum ke kakaknya aku minta waktu untuk ketemuan sama kita"
"Besok?" Aku agak kaget

Senin, 30 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 26

Part 26

Hamdi dan Hamid. Kembar identik. Kalau tidak ada bekas jahitan luka di kening Hamdi, aku tak akan bisa membedakan mana Hamid mana Hamdi. Hamdi lebih aktif, begitu kata ibu Nura. Mungkin karena sikap aktifnya itu, Hamdi pernah jatuh sampai keningnya harus dijahit.
Satu hal lagi yang membedakan, rambut Hamdi lebih ikal. Waktu mereka mahasiswa, aku bisa membedakan, karena Hamdi memanjangkan rambutnya meskipun dia aktifis masjid. Sementara Hamid selalu tampil rapi berwibawa.

"Baru tahap rencana & pembuatan proposal koq, biar terarah kerjanya" aku membalas.
"Di mana nanti lokasinya?" Hamdi bertanya.
"Di sebelah rumah Andini"Nura menjawab.
"Ada alumni aktifis masjid AtTawab yang punya rumah tahfidz di Jogja, anak binaannya udah banyak yang menjuarai lomba tahfidz tingkat internasional" Hamdi menjelaskan.
"Tapi Andin maunya nanti santrinya ga boleh ada satupun yang ikut lomba atau dipopulerkan lewat sosmed atau apapun" aku menegaskan.
"Loh kenapa?" Hamdi bertanya kaget "itu kan syi'ar" tambahnya.
Aku diam.
Dari kaca spion depan, aku tahu Hamid memperhatikan aku, seolah menunggu jawabanku.
"Kita ingin menjaga kemurnian niat, kita ingin santri kita cukup viral di langit saja, di dunia tidak usah dipublish" Nura membantu menjawab. Meringankan bebanku.
Dari spion, Hamid tersenyum.
"Baguslah kalau begitu" Hamdi akhirnya setuju.
"Nura sama Andini ngurusin administrasi & persiapannya, urusan metode dan lain-lain nanti aku yang ngurus sama temen aku" Hamdi nampak bersemangat.
"Looh, nanti studio & geraimu bagaimana Mas?" Nura bertanya.
"Nanti bisa aku atur" Jawab Hamdi santai.

Hamdi pemilik studio foto juga pemilik dua gerai kamera & gerai handphone di sebuah mall ternama. Selain itu, dia punya chanel dakwah di YouTube. Aku mau memimpin diriku sendiri. Begitu prinsipnya.
Berbeda dengan Hamid yang menjadi manager Riset & Development di salah satu perusahaan farmasi terbesar di kota ini, bahkan di negri ini.
Aku tidak tahu, kenapa lulusan statistik bisa menduduki jabatan tersebut.

Di zaman serba modern seperti sekarang ini, nyari apapun di mall pasti ada. Termasuk baso. Lebih dari itu, selain baso banyak pilihan. Termasuk untuk Arina & Rika, mereka lebih memilih ayam crispy. Menu favorite anak-anak dimanapun.
Aku dan Nura tetep dengan pilihanku ; baso. Ibu memilih kwetiau siram seafood. Hamid memilih mie seafood & Hamdi kemanapun, dimanapun dari dulu hanya punya satu pilihan : nasi goreng.

"Mau belanja dulu ga, Bu?" Hamid menawarkan pada ibu.
"Nura, ada yang perlu dibeli ga?" ibu balik.bertanya pada Nura.
"Aku mau es cream" Rika bersuara.
"Aku juga" Arina menyahut.
"Aku mau nyari buah aja" Nura menjawab.
Hanya itu. Hanya Nura yang ingin buah & Arina serta Rika yang ingin es krim. Tapi entah kenapa akhirnya troli belanjaan jadi penuh saat tiba di kasir. Itulah wanita.
Hamid membayarkan semuanya dengan kartu debitnya.

"Dik Andini bagaimana skripsi nya? Data olahan kemarin, sudah dianalisa?" Hamid bertanya sambil menyetir.
"Alhamdulillah udah beres, udah  sampai kesimpulan & penutup juga, tinggal konsultasi sama dosen pembimbing" jawabku.
"Makasih ya mas, udah mau bantuin" aku kembali mengucapkan terima kasih.
Hamid hanya tersenyum.

"Aku mau tidur bareng sama Kak Andini" Arina menggelayut di tanganku, tepat ketika kami memasuki pintu rumah.
"Aku juga" Rika menggelayut di tangan yang satunya lagi.
"Gini aja, Kak Andin bacain cerita di kamar kalian sampai tertidur ya" jawabku.
"Asyiiiik" mereka sontan.bersorak.
"Ayo gosok.gigi & wudhu dulu"
Merekapun segera bergerak melaksanakan yang diperintahkan.

Wajah anak-anak selalu membawa kedamaian. Aku menciumi pipi Arina & Arika setelah mereka terlelap di negri kapuk. Lalu aku keluar. Ke kamar sebelah, kamar Nura.

"Andin, kamu ga keberatan Hamdi ikutan bantu rumah tahfidz?" Nura bertanya seolah ragu.
"Kenapa harus keberatan, aku malah bersyukur, nanti kita bagi-bagi tugas aja. Aku urusan tempat & semua keperluan santri. Kamu bagian promosi & nyari santri. Hamdi bagian kurikulum & management, Hamid bagian dana usaha, eh tapi Hamid mau ga ya bantuin?" aku balik bertanya.
"Mau aja kayaknya, tapi mungkin ga seserius Hamdi". Nura menjawab.
"Alhamdulillah" aku bersyukur.

"Andini..." suara Nura melembut dan terdengar pelan.
"Kamu baik-baik saja kan?" Nura bertanya hati-hati.
Aku diam.
Nura memeluk.
Aku menangis.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan" hanya itu yang bisa kulakukan.
"Kami akan membantu" Nura meyakinkan.

Sahabat itu seperti malaikat tak bersayap. Mendekap saat dada terasa begitu sesak. Menuntun saat kita tak tahu kemana harus mencari. Mendampingi, saat hati terasa sepi sendiri. Menyemangati, saat lemah dan lelah menyapa diri. Mengulurkan tangan saat kita terpuruk sendiri.
Kita harus selamat sampai ke surga. Saling bergandeng, saling menuntun. Begitu aku & Nura pernah bersepakat.

Adzan subuh berkumandang.
Lembut alunannya membelai lembut jiwaku. Mengajaku terjaga, beranjak dari belaian malam yang telah usai.
Nura masih di atas sajadahnya.  Aku duduk.
"Biasakan membaca do'a bangun tidur itu dengan mulut yang tersenyum, kan kita sedang bersyukur. Jadikan hal yang kita lakukan pertama kali dalam hari-hari kita adalah tersenyum". Begitu pesan Ustadzah Lina saat training Wanita Tangguh. Aku telat mengetahuinya. Tapi telat masih lebih baik dari tidak tahu sama sekali.

Aku melangkah ke kamar mandi. Membersihkan diri.
Mungkin aku cukup lama di kamar mandi & karena ketika aku keluar, Nura sedang tilawah.
Aku mengambil quran. Membaca terjemahannya.
Itu yang kulakukan kalau sedang berhalangan. Aku haru laporan ke group one day one juz.
Tiba-tiba hatiku berdesir, ada rasa perih yang menyelusup.
Teringat perkataan abi. Lalu aku bertanya pada diri sendiri. Aku melakukan ini untuk.siapa? Untuk apa? Untuk diriku sendiri? Supaya tidak ditegur karena tidak laporan.
Akhirnya aku berbicara pada diriku sendiri, berbisik.pada Allah "Ya Allah, aku lakukan semua ini untuk.mencari ridhoMu, maka tolonglah aku"".

"Kamu ada rencana ke kampus?" Andin bertanya.
"Belum" jawabku.
"Ngga coba kontak Pak Dian?"
"Kemarin udah sih, baru say hallo aja"
"Ntar kalau ke kampus bilang-bilang ya" pinta Nura.
"Iya, siap"  aku menjawab
Nura membereskan sajadahnya. Lalu ke kamar mandi.

"Nura, Andin, ... Sarapan sudah siap" Suara ibu dibalik pintu.
"Baik Bu" jawabku.
Ternyata sudah jam setengah tujuh.
Tumben Arina & Arika tidak terdengar suaranya. Biasanya suka rame.

Aku & Nura ke ruang makan.
"Surprise..." Arika & Arina setengah berteriak.
"Pagi ini aku sama Arina yang nyiapin sarapan buat kak Andin" Rika ceria menyambut.
"Dibantu Mas Hamid" Rika menambahkan.
Hamid masih di dekat kompor.
"Waaah, makasih banyak, pasti enaak" aku mencoba memberi apresiasi.
Kami duduk.di meja.
"Bu, Hamdi mana?"  Nura bertanya.
"Masih di kamar, nanti nyusul katanya" Ibu menjawab.

Nasi uduk, telur dadar di iris, tahu goreng, tempe mendoan, empal sapi, sambal & kerupuk.
Menu sarapan yang sangat spesial.
Kami tengah menikmati ketika Hamdi akhirnya datang bergabung.
"Minggu depan, temen aku yang dari Jogja mau dateng, presentasi sambil lihat-lihat tempat" Hamdi menyampaikan.
"Minggu depan?"

Minggu, 29 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 25

Part 25

"Rencananya kami akan menggunakan metode karantina tahfidz atau metode baca sepuluh menit setiap dua jam, metode ini menekankan pada interaksi dengan Al Quran"
Aku segera menjelaskan.
Zamzam menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan maknanya.

"Ini Mba, basonya"
Seorang perempuan berkerudung hitam dengan celemek pinggang  membawakan dua mangkuk baso.
"Terimakasih" aku segera memyambut.
"Mari makan dulu" aku tak menunda lagi.
"Bagaimana kabar Adlan?" Nura bertanya.
"Masih di ruang perawatan, masih koma" Zamzam menarik nafas panjang.

Di kamar rawat inap, Umi tengah membacakan Al Baqoroh di samping Adlan.
Aku mendekat, sambil memberi issyarat agar umi tetap mengaji.
Zamzam mendekat. Mengambil Al Quran yang dipegang umi, saat umi membacakan ayat kursyi.
Zamzam melanjutkan membaca Al Quran. Al Baqoroh tinggal 31 ayat lagi.

Umi beranjak, berjalan ke arah sofa. Aku mengikuti.
Abi, Dinda & Nura duduk di sofa. Dinda segera berdiri memberikan tempat pada umi. Lalu berjalan ke arah Zamzam.
"Abi, umi, in syaa Andini akan menjadi penghafal Al Quran, seperti yang diinginkan mas Adlan. Mas Adlan ingin mempunyai istri penghafal Al Quran, seorang hafidzoh". Aku menuturkan.
"Kalau itu memang niat tulus nak Andin, umi akan mendukung" umi tersenyum.
"JANGAN" tiba-tiba abi mengeluarkan suara cukup tegas & keras.
Tentu saja aku kaget.
Umi terdiam. Seolah dalam hidupnya tak pernah sekalipun membantah abi.
Nura terkesiap.
Zamzam menghentikan bacaannya & menoleh.
Dinda juga memandang ke arah kami. Menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Jangan jadi penghafal Al-Qur'an kalau niatnya untuk makhluq, untuk.kesembuhan Adlan. Bukan manusia yang menyembuhkan, bukan cita-citanya yang akan membuatnya bangun"
Aku makin terkesima dalam detak jantung yang terus meningkat iramanya.
"Kamu akan berat menjalaninya jika dari awal niatmu sudah salah. Kalau tujuanmu adalah makhluq, bukan Allah, maka kamu sedang menuju neraka"
Aku tak sanggup membendung air mata yang sudah mulai menggenang.

Umi memelukku. Nura mendekati.
Suasana hening sejenak.
"Abi tidak marah koq, abi hanya ingin Andini meluruskan niat" umi menenangkanku.

Abi mendekatiku.
"Menjadi penghafal Quran itu berarti menjadi keluarga Allah.  Maka perhatikan niatnya baik-baik. Karena salah satu manusia yang pertama kali masuk neraka adalah orang yang bergaul dengan Al Quran, tapi yang jadi tujuannya adalah manusia, bukan Allah".
Abi berkata lembut.
"Abi tak ingin anak abi ada yang salah jalan, salah niat".
Aku menganngguk.
Hanya itu yang bisa kulakukan.

Menjelang maghrib aku dan Nura pamit.
Aku berjalan ke arah tempat tidur, memandangi wajah Adlan sebelum pamit.
Bola matanya bergerak. Bibirnya tak bergerak, tapi aku merasa Adlan tersenyum padaku. Mataku mengembun lagi.

Pamit dalam keheningan. Hanya diantar pelukan & anggukkan. Aku & Nura melangkah.
"Nginep di rumah aku yuk" Dini menggandeng tanganku.
Aku diam.
Mungkin akan lebih baik juga nginep di rumah Nura.
"Aku ijin bapak dulu".

Rumah Nura, rumah yang penuh kehangatan dan keramaian. Nura, anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua kakaknya laki-laki kembar.. Dua adiknya perempuan semua. Belum ada yang berkeluarga. Semua masih serumah dengan orang tuanya. Tepatnya degan ibunya. Dua tahun lalu ayah Nura berpulang.

Ibu Nura punya butik. Cukup terkenal. Nura Jelita Butik. Orang mengenalnya dengan Nujab. Beberapa pelanggan dari luar kota sering datang ke Nujab untuk dibuatkan busana spesial. Ramadhan Nujab tidak buka. Kami ingin fokus ibadah. Begitu ibu Nura berprinsip.

"Eh, Andini, kenapa ga bilang-bilang kalau mau menginap?" Ibu Nura menyambut penuh kehangatan.
Ibu Nura seperti ibu angkatku. Sejak di bangku SMA, aku dan Nura, kemanapun bersama. Meski ketika kuliah tak satu fakultas, tapi itu tidak mengurangi kebersamaan kami.
"Mendadak Bu, kangen aja udah lama ga nginep.di sini".
*Mama bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik"
"Kak Andiiin" suara Arina & Arika kompak menyambutku.
Aku menyambutnya dengan pelukan.
Mereka selalu rebutan menyalamiku & memelukku & rebutan untuk bercerita tentang apa saja.
"Gimana nih kabarnya? Ada cerita apa?" aku bertanya.
"Aku punya ikan lohan baru, namanya si jenong" Arina si bungsu bercerita bercerita.
"Aku punya novel baru"
Bertemu mereka selalu memberikan keceriaan & kebahagiaan sendiri.

"Arina, Rika, biar kak Andin istirahat dulu" Ibu menyela.
"Duduk yuk" aku mengajak mereka.
"Assalamualaikuum" Hamid baru datang.
"Wa'alaikum salaam" kami serempak menjawab.
"Kakak bawa apa?" Rika berlari menuju Hamid.
Arina tetep duduk di sampingku.
"Ini ada somay kesukaan Arina & Rika" Hamid menyodorkan bungkusan ke Rika.
"Aku lagi mau baso" Arina setengah berteriak menyahut.
"Eh, ada Andin" Hamid baru menyadari kehadiranku.
"Apa kabar?" Hamid lanjut menyapa.
"Alhamdulillah baik" jawabku.
"Kalau mau baso, nanti kita keluar ya" Hamid lembut berkata pada Arina.
"Asyiiik" Arina tampak gembira.
"Tapi sholat maghrib duluu"  Hamid memberi syarat.

Ibu duduk di depan, di sebelah Hamid yang pegang kemudi. Aku berdua bersama Nura di tengah, Arina & Arika memilih duduk di belakang.
Tepat ketika mobil baru distrater, Hamdi datang dengan mobil Honda Jaz.
"Mau kemana?" Hamdi bertanya  setelah membuka jendela mobilnya.
"Nyari baso"  Hamid menjawab.
"Ikut". Hamdi berkata pendek.
"Siap" Hamid menjawab.
Hamdi menutup pagar.
Melihat ibu di depan, Hamdi langsung membuka pintu & aku terpaksa bergeser ke tengah.
Agak tidak nyaman memang, tapi tak ada pilihan.

"Mas, Andini mau buat rumah tahfidz, Mas Hamid punya referensi ga untuk.dijadikan contoh" Nura membuka percakapan.
"Waah, bagus itu, nanti aku mau bantu" Hamdi yang langsung mengomentari

Kamis, 26 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 24

Part 24.

Di rumah nampaknya lagi ada tamu.  Bahkan bapak sengaja meluangkan waktu. Pulang dari  kantornya sebagai kepala.bidang divisi pendidikan & latihan di salah satu BUMN.

Bu Nida & suami.  Mereka tetangga di sebelah kami. Menempati rumah yang kami kontrakan. Sudah lima tahun berturut-turut mereka menempati. Kami sudah seperti keluarga sendiri.  "Apakah rumahnya akan dijual?" begitu Bu Nida sering bertanya.
"Tidak, itu jatah amanah untuk Andini dari bundanya" jawaban ayah selalu sama.

"Assalamualaikum" aku menyapa & menyalami.
"Neng Andini, baru pulang dari kampus?" Bu Nida bertanya.
"Ngga Bu, abis janjian sama teman". Aku menjawab & ikut duduk bersama mama & bapak.
"Ini, Bu Nida mau pindah, Alhamdulillah sudah beli rumah di blok H, rumahnya Bu Hajah Lathifah" mama menjelaskan.
"Alhamdulillah, selamat ya Bu" aku tulus memberikan apresiasi.
"Semoga dapat pengontrak yang amanah ya Neng" Bu Nida mendo'akan.
"Sepertinya ga akan dikontrakan Bu, mau dijadikan rumah tahfidz" entah mengapa kalimat  itu yang keluar dari lisanku.
Bapak menatapku.
Mama juga.
Aku juga heran. Tapi sudahlah.

"Andini pamit ke atas dulu ya, ada yang harus diselesaikan" aku pamit.
Persis ketika aku mau naik tangga ke lantai 2, terdengar bunyi bel rumah "Assalamualaikum".
Aku segera berbalik arah.
Pasti Nura.

"Ayo masuk, kita ke atas aja" ajakku.
Nura menyapa mama & bapak.
Menyalami semua yang di ruang tamu.
"Mau minum apa?" tanyaku
"Lemon tea"
Aku ke dapur. Nura mengikuti.
Air panas, dua sachet tea, satu buah lemon & sedikit gula.
Jadilah 1 teko air lemon tea.

Kami naik ke atas. Ke kamarku.
Lemon tea hangat & beberapa toples kue kering menemani obrolan aku & Nura.
"Gimana orderan batiknya tadi"
"Itu tadi sekalian minta  dibuatin gamis tapi model kebaya"
"Ketat dong"
"Aku buat lipit di depan, kelihatan lurus tapi liputan yang banyak bikin leluasa, ga sempit"
"Atasnya?"
"Aku tawarkan kombinasi dari satin sutra sama brukat, nah milih brukatnya yang agak lama"
"Buat sekeluarga?"
"Iya, buat nikahan ponakannya"
Ada sedikit desiran yang mengiris hati saat mendengarnya.

"Ngomong-ngomong kamu kenapa tiba-tiba nanya bisa jadi hafidzoh? Itu oleh-oleh dari nemenin Dinda terapi bukan? Seolah mengerti Nura mengalihkan topik pembicaraan.
Aku menarik nafas panjang.
Sebelum kucerotakan pertemuanku dengan Zamzam.
Nura menyimak. Sempurna tanpa menyela.

"Aku mau buat rumah tahfidz" diujung cerita aku menyampaikan.
"What?" Nura kaget. "Bukannya mau jadi hafidzoh, harusnya nyari pesantren" Saran Nura.
"Aku mau belajar sambil mengelola rumah tahfidz, biar sekalian"
"Dimana?"
"Di sebelah, Bu Nida sudah punya rumah sendiri, rumah sebelah kosong"
"Bapak & mama sudah tahu?"
"Baru sekilas"
"Mereka mendukung?"
"Entahlah"
"Aku mau bantu" Nura bersemangat. Semangatnya menular padaku.
"Ayo kita kumpulkan info tentang metode-metode tahfidz yang bisa diadopsi"
Aku mengambil laptop.
Nura searching & mencatatkan beberapa hal.
Kami.berdiskusi, hingga tak terasa adzan ashar berkumandang. Alhamdulillaah, waktu bercengkrama denganNya tiba kembali. Tapi kali ini aku hanya kebagian jatah berdzikir. Mensujudkan hatiku, bukan ragaku.

"Nura, aku harus ke rumah sakit"  Usai Nura sholat, aku mengingatkan.
"Aku ikut"
"Iya hayu"

Kami turun & pamit pada mama & bapak.
"Sampaikan salam kami untuk umi & abi, pesan bapak"
"Oh iya sebentar, ini tolong bawakan makanan & kue untuk umi & abi" mama memberiku dua kresek penuh.

Rumah sakit, entah kenapa selalu terlihat dipenuhi banyak orang. Apa yang menyebabkan banyak orang ditimpa musibah sakit. Taqdir. Itulah jawaban sederhananya. Lalu untuk apa Allah menuliskan taqdir tersebut. Untuk memberi pahala.tentunya & terlebih dari itu, pada setiap ujian Allah titipkan setitik ilmuNya ketika yang sakit Allah jadikan inspirasi untuk hambaNya yang lain.

"Kita makan dulu ya, aku laper nih"
"Iya aku juga, keasyikan searching tadi kita, sampe lupa makan, maaf ya" Aku merasa bersalah.
"Gapapa, nyantai aja" Nura memjawab.

Kami mampir ke kantin.
Ini bukan waktu makan siang.
Tapi kantin masih saja penuh. Waktu makan snacks? Kayaknya di rumah sakit ga ada acara makan snack juga.
"Mau apa?" Tanyaku.
"Apa aja yang anget-anget"
"Soto apa baso?"
"Kwetiau siram ada ga?"
"Ini kantin rumah sakit, say, bukan food court di mall" jawabku.
Nura tertawa.
"Ya udah, baso" pilihnya.

Petugas kasir memberikan tanda nomor pesanan untuk disimpan di meja agar dia mudah saat mengantar pesanan nanti.
Aku mengamati sekeliling. Mencari meja yang menyisakan dua tempat duduk. Karena tidak mungkin juga nomornya di simpan di dua meja.
Beberapa meja hanya menyisakan hanya satu tempat duduk.
Ada meja yang menyisakan dua kursi. Namun sepasang insan tengah duduk di sana. Wanitanya menyenderkan kepala di bahu lelakinya. Tapi tangan lelakinya tidak merangkul bahu sang wanita seperti dalam sinetron atau kisah roman dalam novel.  Mungkin tengah berduka pikirku. Tak mungkin juga kan di tempat orang orang terkena duka sempet-sempetnya memadu asmara.

"Mau di situ?" Nura bertanya.
"Ganggu ngga ya?" Aku ragu.
"Ini tempat umum" Nura santai melangkah ke arah sana. Aku mencari-cari tempat lain. Tak ada.
Akhirnya aku  menyusul Nura.

"Permisi" Nura meminta ijin.
"Nura?" Seseorang bertanya. Aku hafal suara itu.
"Eh Dinda, kirain siapa" Jawab Dinda. "Ganggu ga nih?"
"Ngga, ayo duduk"
"Sendiri?" Zamzam bertanya.
"Sama Andini" jawab Nura.
Rasanya memang tidak nyaman, tapi tidak ada pilihan lain.
"Dari mana nih?" Zamzam bertanya.
"Dari rumah Andini" jawab Nura
"Ada proyek, dapat orderan seragam batik lagi nih?" Dinda bertanya.
"Iya betul, ada proyek, tapi bukan batik, kami mau buat rumah tahfidz Quran" Nura menjawab.
"Rumah tahfidz?" Zamzam bertanya.
"Iya, kami baru mau buat proposal & masih mencari-cari & mempelajari sistem mana yang akan kami adopsi"
Aku memilih diam.  Biar Nura sja yang menjelaskan.
"Saya ada kenalan yang punya pesantren tahfidz, pesantren Miftahul Jannah, pimpinan Ustadz Umar, mungkin bisa jadi referensi" Zamzam menawarkan.
Entah kenapa, aku kurang suka mendengar saran itu.

Jumat, 20 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 23

Part 23
Kamu tahu seperti apa perasaanku?
Cemburu. Cemburu pada orang yang bahkan belum pernah aku melihat & mengenalnya.
Ah, mengapa pula Zamzam menceritakan semuanya.
Belum cukupkah baginya semua luka yang harus aku terima?
Saat aku tahu bahwa aku bertepuk sebelah tangan.
Saat aku tahu meski bersambut namun aku tak berhak meraihnya karena ternyata Allah tak mencatatkan dalam suratwnNya.
Tak cukupkah baginya derita gaun pengantin berdarah?
Tak cukupkah baginya ketika aku harus melihat hancurnya harapan bersanding di pelaminan pada tanggal yang telah ditetapkan?
Tak berartikah baginya pengorbananku selama mendampingi Dinda?

"Ahsana, hafidzhoh, santri dari Pesantren Miftahul Quran. Pesantren yg dibimbing Ustadz Umar.  Adlan & Ahsana sudah saling tukar CV, sudah nadzor, saling bertemu & melihat.  Setelah nadzor, kemudian sholat istikharah.  Adlan meminta waktu sepuluh hari. Hanya saja hari kelima, Ahsana masuk rumah sakit. Kanker otak stadium empat yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui. Tepat hari ke sepuluh, Adlan menemui Ahsana yang sudah terbaring kaku dalam senyuman. Ahsana meninggal"

Aku tidak tahu seperti apa perubahan air mukaku. Hanya saja ada penyesalan yang mendalam pada peasangka-prasangkaku, meski tak sempat kuungkapkan.
Aku hanya bisa diam.

Zamzam menarik nafas. Panjang & dalam.
"Ahsana sebenarnya mempunyai saudara kembar. Dan Adlan sempat berfikir untuk mencari saudara kembar Ahsana yaitu Ahsani. Orang tua Ahsana bercerai. Ahsana tinggal bersama keluarga ibunya & Ahsani tinggal bersama keluarga ayahnya.
Adlan sudah menemukan jejak Ahsani, sayangnya Ahsani hidup jauh dari hidayah. Ahsani menjalani profesi sebagai penyanyi di salah satu club malam"

Zamzam kembali menarik nafas panjang.
"Ustadz Umar sudah menawarkan beberapa santrinya yang hafidzhoh pada Adlan, tapi tak ada satupun yang bisa membuka hati Adlan, ibu & aku pun mencoba mencarikan beberapa alternatif, dengan kriteria utama : hafidzoh tapi belum juga berhasil. Sampai ketika kita bertemu di perpustakaan Aksara Menembus Makna, Adlan bertanya padaku tentang kak Andini & aku ceritakan semua yang aku tahu tentang Kakak"

Degup jantungku mengencang kembali.
"Aku sampaikan pada kak Adlan bahwa Kakak bukan seorang hafidzhoh. Namun Kak Adlan bilang, in syaa Allah nanti bisa belajar menjadi hafidzhoh"

Sekarang aku mengerti tentang mimpi-mimpiku selama ini.
Rasanya aku ingin menangis. Tapi tidak mungkin juga menangis ditempat yang cukup ramai.

"Waktu aku & kak Adlan pulang dari penjahit gaun pengantin, entah kenapa tiba-tiba kak Adlan teringat Ahsana. Di tengah jalan, ketika itu aku yang nyetir, kak Adlan bilang gantian, dia cape. Adlan Dia bilang, Andini akan jadi hafidzhoh yang lebih baik  dari Ahsana. Aku hanya mendengarkan. Disaat aku nyetir, tiba-tiba ada yang menyebrang, seorang akhwat berkerudung hijau berbaju hitam. Akhwat itu melihat ke arah kami & itu membuat aku kaget serta tidak mengendalikan diri. Aku pikir, jika kak Adlan yang menyetir pun pasti akan seperti aku"

"Siapa akhwatnya?" aku bertanya.
"Ahsana. Aku melihat Ahsana menyebrang sambil tersenyum ke arah kami"
"Bukankah Ahsana sudah meninggal? Bukankah kak Adlan melihat sendiri jenazahnya?" aku mendesak.
"Betul, bahkan kak Adlan ikut turun ke liang lahat saat pemakaman"
"Lalu?"
"Sepertinya Ahsani sudah berhijrah"
"Apa?" aku kaget.
"Apakah Mas Adlan akan mencari Ahsani?"

Zamzam menarik nafas panjang.
"Kemarin saat Dinda ikut terapi intensif, aku mencoba mencari  kabar. Aku berkunjung ke pesantren Ustadz Umar. Aku menanyakan tentang keluarga Ahsana. Alhamdulillah Ustadz Umar menceritakan bahwa Ahsani mengalami kecelakaan jatuh dari motor. Tulangnya patah & dibawa ke tempat pengobatan yang tidak jauh dari pesantren. Salah satu santri putra Ustadz Umar adalah terapis yang menangani pengobatan Ahsani yang kemudian menjadi istrinya"

Tiba-tiba dada ini terasa sangat lapang. Aku tidak tahu mana yang lebih luas saat itu. Savana ataukah dadaku.

"Aku menceritakan apa yang menimpa kak Adlan. Ustadz Umar ikut prihatin & beliau mendo'akan. Waktu itu obrolan kepotong sholat dzuhur. Saat aku pamit hendak pulang, Ustadz Umar bertanya, kira-kira, bisa ga calon istrinya Adlan mulai menyiapkan diri untuk jadi hafidzhoh?"

"Pesanan nomor 54" panggilan dari pengeras suara sudah diulang dua kali.
Zamzam melihat nomor pesanannya.
"Itu pesananku sudah selesai, aku sekalian pamit ya" Zamzam bangkit.

Aku masih berada di sini. Di suasana hati yang tidak bisa aku gambarkan.
Semua serba mendadak.
Semua serba mengagetkan.
Semua menyisakan satu pertanyaan.

Aku bertanya pada diri sendiri.
Bisakah aku jadi hafidzhoh?

Pertanyaan ini aku kirim lewat pesan singkat pada Nura.
"Nura, bisakah aku, Andini menjadi seorang hafidzhoh, penghapal Quran?"
"Bisa" jawab Nura pendek
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tumben" Nura membalas dengan pertanyaan.
"Kamu dimana?" aku membalas dengan pertanyaan lagi.
"Kamu ga baca pesanku ya?, tadi aku kan dan bilang tepatnya agak lama, ini ada temannya Bunda ngedadak dateng pengen batik. Sorry ya"

Aku scroll ke atas. Ada foto bundanya Nura dengan temannya.
"Kalau kamu masih di rumah, aku pulang aja ya, aku mendadak pusing" balasku.
"Kamu marah?" Tanya Nura.
"Ngga, kamu ke rumah aku aja ya". Pintaku.
"Siap"

Rabu, 18 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 22


Part 22.

Cinta ditolak dukun bertindak?
Aku pikir itu hanya cerita fiksi. Kalaupun ada itu hanya di zaman old pangkat 12.
Tapi Ustadz Salman mengatakan kemusyikan ada di setiap zaman.
Ustadz Salman menjelaskan tentang media-media sihir.
Ada yang dinamakan jimat, ada yang dinamakan buhul. Ada yang dinamakan isim.
"Di sini ada yang menggunakan salah satu dari media sihir?"
Tidak ada yang menjawab.
"Dalam pelatihan sehari yang kami lakukan, biasanya kami para trainer menanyakan siapa yang membawa media sihir, kemudian kami bakar. Biasanya selalu ada yang bereaksi"
Ustadz Salman memperlihatkan beberapa video saat pelatihan.
Aku pikir hal semacam itu hanya ada di film-film. Tapi ternyata ada di kehidupan nyata.

Materi diakhiri dengan sesi ruqyah terakhir.
Suasana sangat terkendali. Bahkan Alisa pun sama sekali tak bereaksi.
Aku bersyukur. Aku berharap Alisa bisa mendapatkan kesembuhan yang sempurna.

Taqdir setiap.cerita adalah usai. Ujung dari sebuah pertemuan adalah perpisahan. Itulah watak dunia. Semua sementara. Hidup adalah sementara dan cobaan kehidupan juga hanya sementara dari yang sementara.
Begitupun dengan pertemuan dengan orang-orang yang ada di terapi ini, baik peserta, pendamping maupun para ustadznya. Kami telah sampai pada waktu perpisahan.
Saling berpeluk antar peserta, saling mendoakan. Itu yang kami lakukan. Tak lupa berfoto untuk kenang-kenangan.

Aku menurunkan semua perlengkapanku. Memasukannya ke bagasi mobilku.  Aku pulang sendiri. Dinda bersama Zamzam di mobilnya.
Kupeluk Dinda.
"In syaa Allah sembuh seterusnya ya" bisikku.
"Terimakasih Mba" jawab Dinda.
Aku pamit pada Zamzam.
"Terima kasih Kak," Zamzam sedikit membungkukan badan.
"Sama-sama" jawabku.
"Mau langsung ke rumah sakit?" Zamzam bertanya.
"Iya, in syaa Allah" jawabku.
"Ada umi sama Abi, kak Adlan sudah pindah kembali ke kamar perawatan yang sebelumnya" Zamzam menjelaskan.
"Iya" hanya itu yang bisa aku jawab.

Aku meluncur. Zamzam & Dinda nampaknya berkonsultasi dulu dengan salah satu Ustadz di sana.  Semoga Allah selalu berikan kebahagiaan pada mereka. Itu yang kupinta untuk menepis rasa iri yang kadang membisik di hati.
Setiap orang ada jatah kebahagiaan nya masing-masing.
Pun, setiap orang ada jatah ujiannya masing-masing.

Sesampai di rumah sakit, aku mampir ke kantin. Membeli sesuatu yang bisa dimakan umi & abi.
Ku bawa ke ruang perawatan.
"Assalamualaikum" aku mengeruk pintu, langsung masuk tanpa menunggu.
"Wa'alaikum salam" Umi menjawab.
"Andini, syukurlah" umi memelukku. Hangat terasa menjalar ke seluruh tubuhku.
"Jam berapa dari sana" abi bertanya setelah pelukan kulepas.
"Jam setengah sepuluh"
"Dinda & Zamzam mana?"
"Tadi ngga bareng, nampaknya ada yang harus dikonsultasikan" .
Aku memberikan bungkusan
"Makan dulu yuk, ini ada camilan"
Kami.duduk di sofa.
Kesempatan ini tak kusia-siakan untuk menjelaskan apa yang disampaikan Ustadz Ahmad untuk terapi tambahan bagi Adlan.
"Kapan bisa dimulai?" umi bertanya.
"Sekarang Mi" jawabku.
"Tapi Adlan tadi sudah dilap badannya" umi menjelaskan.
"Gapapa My, airnya untuk nanti sore" umi mengangguk.
"Istirahatlah dulu, nanti sehabis dzuhur aja" Abi memberi saran.
Aku tidak punya pilihan selain patuh.

Setelah makan siang selesai, aku mempersiapkan semuanya. Al Quran, sebaskom air & juga hatiku. Hati yang kupenuhi dengan do'a-do'a yang tulus.
Dua ratus delapan puluh enam ayat harus selesai dalam satu putaran. Dua juz lebih. Agak berat memang karena biasanya aku hanya membaca satu juz perhari. Namun demi mendapatkan ridho & pertolongan Allah, aku menguatkan diri untuk menyelesaikannya.

Sepekan pertama sudah berlalu. Aku sudah terbiasa. Tapi sekarang aku harus membiasakan diri dengan tambahan yang cukup berat.
Kubagi dua waktu. Usai sholat dhuha & usai sholat ashar.
Ditengah-tengah itu aku memanfaatkan waktu mengerjakan skripsi yang tertunda.
Bersyukur ada Nura, kakaknya yang dosen statistik membantu mengolah data, aku tinggal menjabarkannya. Setelah itu tinggal bab kesimpulan & penutup.

Dua minggu telah berlalu. Kini saatnya aku mengkhatamkan Al Quran untuk obat Adlan. Ini agak ringan karena hanya memindahkan jadwal.
Aku berharap & terus berharap agar Adlan segera Allah sembuhkan. Aku terus meminta & tak lelah meminta agar Allah berikan keajaiban.

Adakalanya lelah merampas semangatku, memutus asaku.
Kalau.sudah begini aku meminta Nura menemaniku, jalan-jalan. Kadang belanja, kadang ke panti asuhan. Sekedar menyadarkan diri betapa aku sangat beruntung.
Kadang sekedar mencari kuliner di tempat yang berbeda.
"Nur, kalau kamu kosong kita ke cafe Anita yuk"
"Jam berapa?"
"Dzuhur, aku lagi ga sholat"
"Siap"

Anita, sukses dengan cafe-nya.
Sukses yang meminta konsekuensi. Anita memilih pindah ke Universitas Terbuka, karena tidak memungkinkan mengikuti perkuliahan reguler.
"Aku masih merintis, belum bisa mencari karyawan yang bisa kyandalkan dalam manajemen" begitu alasannya.
Chinese food zaman now, itu menu andalan Cafe Anita.
Ditambah dengan menu-menu pilihan yang tiap hari terjadwal.
Walaupun menunya terjadwal, cafe ini selalu ramai. Yang dine in maupun yang take away. Seperti siang ini.

Aku memesan mie siram udang crispi dan segelas jus mood buster.
"Mba Andini?" aku mengenal suara itu.
"Zamzam? Dinda mana?" aku bertanya.
"Dinda lagi ga enak badan, minta dibelikan kwetiau seafood & cumi crispy"
"Oh, semoga lekas sembuh"
"Sendiri?" Zamzam bertanya
"Lagi nunggu Nura"
"Boleh duduk di sini? Masih nunggu pesanan"
Sebenarnya aku agak sungkan. Tapi karena kulihat memang banyak yang menunggu pesanan sambil berdiri, akhirnya aku mempersikahkan.
"Sudah pesan?" Zamzam bertanya.
"Sudah" jawabku.
"Kak, sudah lama aku ingin cerita, tapi belum nemu waktu yang tepat"
"Cerita lah, tentang Dinda?" aku lanjut bertanya.
"Bukan, tentang ka Adlan"
Degupan jantungku meningkat.
Dadaku berdesir.
"Ada apa?" aku penasaran.
"Sejak kuliah, kak Adlan selalu cerita pada Zamzam bahwa ia ingin istrinya kelak seorang hafidzoh, seorang penghafal Quran".
Aku menyimak, dan bayangan wajah Adlan yang bersinar saat memberikan Al Quran, muncul di benakku.
"Sebenarnya, seorang Ustadz telah mengenalkan kak Adlan pada seorang penghafal Al Quran, seorang hafizfoh"

Selasa, 17 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 21

Part 21
Aku menggeleng.
"Kenapa?" Bu Fatma bertanya.
"Ga enak Bu" jawabku
"Koq ga enak, kan tadi Ustadz Raihan bilang yang dicari berdua" Bu Fatma masih belum puas.
"Takut ganggu"
"Koq ganggu?"
"Yang mencari Dinda itu suaminya, Zamzam.  Zamzam itu calon adik iparku"
"Adik ipar?"
"Iya Bu"
"Andini sendiri kapan menikah?"

Orang bilang, memang bagi lajang paling tidak enak ketika ditanya kapan nikah.
Pernikahan & kematian adalah sama-sama catatan taqdir., Maka pernikahan itu seperti kematian, waktunya, masih Allah rahasiakan sampai tiba peristiwanya.
Untungnya, sampai sekarang, tidak ada yang menyandingkan pertanyaan kapan menikah dengan kapan meninggal.
Menikah tentang bahagia, tentang syukur & meninggal tentang duka, tentang sabar.
Biasanyan kata suka selalu disandingkan dengan duka.
Tapi tidak untuk pernikahan & kematian.
Andai saja dua kata itu disandingkan, mungkin akan enggan orang bertanya "Kapan menikah?"

Aku ingin menghindar dari pertanyaan itu.
Namun, aku mencoba melihat bahwa Bu Fatma bertanya karena perhatian, karena sayang. Sama sekali bukan bermaksud menyakiti. Toh mereka belum tahu apa yang tengah terjadi.

"Kami sudah merencanakan pernikahan, tanggal sudah ditentukan, undangan sudah disebar, tapi qidarullooh, Adlan, kakaknya Zamzam mengalami koma setelah kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi saat mereka berdua dalam perjalanan pulang setelah mengambil gaun pengantin"
Aku mencoba tidak menngis.
Tapi Bu Fatma matanya mengembun. Tania, bahkan Alisa juga.

"In syaa Allah itu yang terbaik" Bu Fatma mengelus punggungku.
Aku mengangguk.
"Mungkin aku terlalu bangga & terlalu mencintai. Mungkin aku telah memberhalakan rencana pernikahanku, itukah sebabnya Allah mengambilnya dariku agar aku sadar bahwa harus Allah saja yang jadi tujuan."
Aku mencoba menjelaskan  pada mereka, dan terutama pada diriku sendiri.
Hening sejenak.
Tiba-tiba ada kehangatan mengusap punggungku. Tangan bu Fatma.
Tangan itu lalu mendekap punggungku.
Aku tak bisa menahan lagi.
Aku balas memeluknya.
Tangisku pecah.

Manusia tercipta peka.  Selalu merasa ketika ada yang berbeda. Seperti saat itu.  Walaupun dadaku berguncang ditengah derasnya air mata.
Aku merasa ada yang berbeda ketika Alisa & Tania memperbaiki posisi duduknya.
Aku merasa ada sesuatu ketika Bu Fatma melinggarkan pelukannya.
Aku melepaskan diri.
Mataku mengikuti arah pandang mata Bu Fatma, arah pandang mata Tania & Alisa juga.
Aku terkejut. Ada Zamzam & Dinda. Berdiri seolah mengamati kami, menunggu waktu yang tepat.
"Maaf kalau mengganggu" Zamzam mungkin merasa bersalah.
"Ngga, ngga apa-apa" jawabku.
"Kak Andini, ini ada titipan dari Umi" Zamzam memberikan dua tas belanja yang aku tidak tahu apa isinya.
"Untuk kakak?" aku menegaskan.
"Iya, untuk Dinda sudah" aku melihat Dinda memegang satu tas belanjaan.
"Iya mba, ini punya aku" Dinda menunjukkan.
Rasanya ingin menayakan mana satu tas bingkisan lagi untuk Dinda, tapi rasanya tidak sopan.
"Terima kasih" aku mengambil dua tas itu.

Aku membuka satu tas. Sudah kuduga. Isinya kue-kue kesukaanku. Ada brownies, ada boleh pisang, ada bolu ketan, ada klapetart, ada satu toples kripik sale pisang.
Aku ingin membuka bingkisan satunya lagi. Aneka lauk.
Ada rendang, ada satu toples peyek teri. Ada kering kentang. Ada abon.
Aku merasa bersyukur, sekaligus  merasa ragu juga merasa bersalah. Kenapa umi menitipkannya padaku, bukan pada Dinda.
Kutepis pikiranku.

"Alhamdulillah ada banyak snack kiriman nih" aku mengeluarkan kue-kue, membukanya. Menyodorkannya pada Bu Fatma, Alisa & Tania.

"Kak Andini, aku pamit" Zamzam yang dari tadi kuabaikan menyadarkan kesadaranku akan keberadaannya.
"Oh iya" aku bangkit.
"Makasih ya & sampaikan salam untuk umi"
Zamzam turun, Dinda juga. Tangan Dinda menggandeng tangan Zamzam.
"Semoga mereka selalu bahagia hingga ke surga" do'aku dalam hati.

Jam 10 nanti jadwal ke kebun bidara. Memetik bunga untuk mandi daun bidara.  Dilanjut siangnya dzuhur bekam.  Setelah itu lanjut kajian & terapi lagi.
Aku hanya pendamping. Aku hanya ikut sesi materi & mendampingi Dinda saat terapi.
Dinda yang malang, Dinda yang tegar.
Dinda yang kuat.
Dinda yang beruntung.

****

Ada dua orang akhwat bercadar yang datang untuk membekam.
Dinda dibekam di bagian ubun-ubun, bagian rambutnya digunting dulu sebelum dibekam. Alisa dibekam di bagian punggung. Yang lain aku tak memperhatikan.

Aku memilih turun. Mencari angin segar di halaman belakang.
Di ruang tengah tampak Ustadz Ahmad tengah membuka Al Quran.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk konsultasi terkait kondisi Adlan.
"Assalamualaikum, Ustadz"
"Wa'alaikum salam wrwb"
"Ustadz, boleh  minta waktunya sebentar?"
"Iya silahkan"
"Ustadz, saya mau bertanya, apa yang sebenarnya terjadi pada orang yang sedang koma?"
"Koma itu seperti tidur, nyawa orang yang koma sedang Allah tahan. Bisa Allah kembalikan untuk hidup di dunia, bisa Allah ambil untuk kemudian hidup di alam kubur, alam barzakh"
"Paling lama, biasanya berapa waktu?"
"Wallohu'alam. Ada cerita yang pernah saya dengar, seorang ayah koma sampai sepuluh tahun lebih. Ketika sadar, dia mendapati seorang gadis yang dia tidak kenal, kemudian mengusirnya. Padahal gadis itu anaknya yang ketika dia koma berumur 9 tahun. Anak gadisnya menangis terharu & bersyukur sambil berkata, ayah, ini aku anakmu"

Ada harapan yang membumbung tinggi di hati.
"Ustadz, untuk yang sedang koma, terapi apa yang bisa diberikan?"
"Bacakan Al Quran. Al Quran itu syifa, obat untuk semua penyakit"
"Semua surat?"
"Coba untuk seminggu pertama, bacakan surat Al Baqoroh, di dekatnya & bibacakan juga pada sebaskom air. Gunakan airnya untuk melap badan pasien. Seminggu kedua, bacakan Al Baqoroh & Al Imron sama pada air juga. Setelah itu bacakan Al quran keseluruhan. Jangan lupa juga anggota keluarga untuk melakukan sholat istikharah, meminta petunjuk pada Allah jalan terbaik untuk menjemput kesembuhan".
Aku menganngguk.
"Baik Ustadz, terimakasih"
"Sama-sama"

Aku mundur, melanjutkan rencana semula, menikmati udara segar di halaman belakang.

Pohon jati terlihat rapi menempati posisnya. Rapi berbaris pada jarak yang sama di depan belakangnya juga kiri & kanannya.  Daunnya yang lebar meneduhkan panas yang membakar.
Di kursi belakang aku menikmati semua keteduhan ini.

Allah Maha Adil.
Bersama panas yang membakar ada keteduhan yang Allah betikan.
Bersama kesulitan ada kemudahan.
Bersama kesedihan ada bahagia.
Bersama air mata akan ada tawa jika kita mau menciptanya.
Sebagai hamba aku hanya harus merubah keadaan.
Karena Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri.
Yupz, aku harus mengubah pikiranku, perasaanku agar bisa mencari penyeimbang deritaku.
Pun aku harus memaksimalkan ikhtiarku tanpa menuhankan ikhtiar itu sendiri.

Semilir angin yang sejuk menerpa wajahku. Kantuk menjemputku.
"Andini, ini Al Quran, ini mahar yang aku berikan"...
Wajah yang bersinar itu datang lagi.
"Adlan, kamu kah itu?"
Wajah itu tersenyum.

Minggu, 15 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 20

Part 20.

Nampaknya keran air dibuka sampai pol. Air dari shower mengucur deras. Dengan tenaga maksimal seperti itu, tekanannya pasti menimbulkan rasa sakit di kulit & semua bagian tubuh yang terkena semprotannya.
Alisa telungkup di kamar mandi.   Guyuran air shower deras mengguyur bagian punggungnya.
Aku masuk perlahan. Debar jantung berdetak cepat. Antara cemas, takut, sedih & kasihan.

Aku mendekat. Jongkok di dekat kakinya.
"Alisa" kusentuh telapak kakinya lembut.  Alisa tak bergeming.
"Alisa" ku tepuk-tepuk kakinya. Masih tak bergeming.
Kulihat keran. Segera ku kecilkan. Air masih kubiarkan mengguyur Alisa. Takut Alisa kaget kalau air tiba-tiba berhenti mengguyur.
"Alisa" kutepuk-tepuk lagi kakinya.
"Kamu baik-baik saja kan?" aku mencoba membuka percakapan.  Alisa masih diam. Belum bergeming.
"Ada yang bisa saya bantu?". Sambil terus kutepuk-tepuk kakinya.
Alisa duduk. Lalu beringsut mundur.
Kumatikan keran air.
"Ganti baju yuk" aku mengajak lembut.
Alisa menggeleng.
"Panas" satu kata keluar dari mulut Alisa.
Aku mencoba memahami.
"Kita ke bawah yuk, teman-teman sudah menunggu"
Alisa bangkit.
Aku mengikuti dari belakang.
Berjalan ke arah kamar. Kupikir mungkin Alisa hendak ganti baju.
"Saya tunggu di luar ya"
Alisa mengangguk.
Lima menit berlalu.
Ustadz Raihan naik.
"Bisa turun?" tanya ustadz Raihan ketika meihatku berdiri di depan pintu.
"Sebentar saya tunggu Alisa" jawabku.

Kuketuk-ketuk pintu.
"Alisa, sudah selesai?"
Alisa keluar. Dia memakai gamis baru. Gamis yang dikenakan menutupi gamis basahnya.
Kerudungnya masih yang tadi. Basah kuyup.
"Ngga takut masuk angin?"tanyaku.
Alisa menggeleng.
Kami turun.

"Kesembuhan itu datang melalui tiga hal, yaitu ikhtiar berobat, bersedekah & tawakal"
Nampaknya Ustadz Ahmad tengah memberikan pemaparan materi.
"Tawakkal itu artinya menyerahkan semua pada Allah. Tawakal ini seperti kita yang memulai Allah yang mengakhiri, kita yang mengerjakan, Allah yang menyempurnakan. Ada yang mau ditanyakan?"
Bu Fatma mengacungkan tangannya.
"Silahkan Bu" Ustadz Ahmad seperti siap menjawab.
"Ustdaz, apakah ketiga hal itu dilakukan berurutan atau bersamaan?"
"Bersamaan, sebab tawakal itu harus di awal. Ibu, kalau mau berangkat keluar kota, ketika keluar rumah baca do'a apa Bu?"
"Bismillaahi tawakaltu"
"Kenapa ibu tidak baca do'a itu ketika sudah sampai di tempat tujuan, atau ketika di tengah-tengah perjalanan?"
Bu Fatma mengangguk.
"Sampai sini faham ya. Ada lagi yang mau ditanyakan?"
Semua diam.
"Baiklah kalau tidak ada yang ditanyakan, kita akan langsung ke sesi ruqyah. Kali ini akan dipandu oleh Ustadz Salman" Ustadz Ahmad menyerahkan mik pada Ustadz Salman.
"Baik ibu-ibu, demikian materi dari Ustadz Ahmad tadi. Semoga bisa Allah berikan pemahaman pada kita semua. Aamiin. Ustadz Ahmad ini Hafidz Quran & masih single"
Ustadz Ahmad tersenyum.
Ibu-ibu mulai ribut bergumam.
Aku tak peduli.

Handphone ku bergetar.
Aku berjalan keluar.
Bapak menelpon.
"Wa'alaikum salam wrwb." aku menjawab salam.
"Andini, bagaimana di sana?"
"Alhamdulillah baik Pak"
"Syukurlah"
"Bapak & mamah gimana di rumah?"
"Alhamdulillah baik"
"Alhamdulillah"
"Kemarin Bapak sama mamah nengok Adlan. Alhamdulillah kata dokter membaik, in syaa Allah besok akan dipindahkan lagi ke ruang rawat sebelumnya"
"Alhamdulillah" air mataku menetes.
"Semua akan baik-baik saja Andini. Semoga kita bisa bersabar" Begitu ayah bilang.
"Bagaimana di sana? Bagaimana kondisi Dinda? Bapak bertanya.
"Alhamdulillah membaik, Pak"
"Syukurlah, berarti lusa pulang ya? Jam berapa?"
"Kalau menurut jadwal pagi, jam 10, tapi Andin mau langsung ke rumah sakit ya Pak"
"Iya, yang penting kamu sehat" Bapak menarik nafas.
"Ya udah, jaga diri baik-baik ya. Assalamualaikum".
"Wa'alaikum salam".

Panggilan ku tutup.
Tapi tidak handphoneku.
Ada kabar dari umi yang mengirim foto Adlan. Aku bersyukur, selang yang dipasang nampaknya sudah berkurang.
Ada kabar dari Nura.
Seperti biasa, selalu sibuk dengan desain-desain batiknya.
"Bahkan kalau aku nanti nikah, pas akad pun aku akan pakai batik, batik putih tentunya" kalimat itu ditulis Nura dibawah sebuah batik putih bertinta emas.
"Cantik, pasti kalau pake ini kamu bakal tambah cantik" jawabku.
Nura membalas dengan emoticon love.

Aku membuka group Masjid kampus.
Ada undangan. Adira menikah dengan Hanif.
Ucapan do'a & selamat panjang memenuhi room chat.
Lalu kubuka group fakultas.
Kabar duka dari fakutas. Istri Dekan meninggal.
Di room chat ini dipenuhi dengan do'a bela sungkawa.
Kebahagian & kesedihan seolah selalu bersebelahan.  Seolah enggan saling meninggalkan, tidak mau saling menjauhi. Mungkin karena hidup adalah petualangan antara keduanya : kebahagiaan & kesedihan.

Aku buka group jurusan.
Ada foto skripsi yang sudah tercetak. Ajeng sudah lulus. Tinggal nunggu wisuda.
Ada foto Marlina memegang karangan bunga. Rupanya kemarin baru lulus sidang skripsi.
Seneng mengikuti berita di group yang satu ini. Selalu kompak & saling menyemangati.
"Andini, ayo, cepetan kamu nyusul ya"
Fani membalas ucapan selamatku untuk Marlina.
"In syaa Allah dalam waktu yang secepat-cepatnya & dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" balasku di room chat.
"MERDEKA" Dudi membalas.
Aku menjawab dengan emoticon tangan mengepal.

"Mba, nih aku bawakan makanan" Dinda datang dengan dua dus makan.
Aku menutup handphone.
"Makasih, sudah selesai ya?" tanyaku.
"Iya"
"Makan di atas yuk" ajakku.
Kami naik.

Alisa, Tania, Bu Fatma tengah makan di ruang tengah. Aku dan Dinda ikut duduk di kursi kosong.
"Aku tuh ya, waktu usia 27 tahun, di punggungku pernah dikasih sesuatu. Aku di bawa mama aku ke orang pintar, biar cepet nikah" Alisa bercerita.
"Dikasih apa?" Bu Fatma menjawab. Aku menyimak.
"Emas" Alisa menjawab.
"Itu susuk berarti" Tania menimpali.
"Iya kayaknya" Alisa menjawab.
"Susuk itu, kata Ustadz Salman rumahnya jin. Orang yang memasukan susuk ke tubuhnya berarti memasukan jin" Tania menjelaskan.
"Tania udah pernah kenal sama Ustadz Salman sebelumnya?" aku bertanya.
"Iya, ini aku ketiga kali ikut terapi intensif menginap di sini" Jawab Tania.
"Padahal udah sembuh ya, udah ga menunjukkan reaksi" Dinda menimpali.
"Aku senang materi-materinya, tiga kali ikut, temanya sama tapi paparan sama ceritanya selalu beda, lagian aku juga seneng jadi ketemu temen baru yang serasa saudara baru". Tania menjelaskan.

"Assalamualaikum, ada mba Dinda & mba Andini?" Ustadz Raihan datang menghampiri, mencari.
"Iya, ada apa ustadz?" aku mencoba sigap & balik bertanya.
"Ada yang mencari, Pak Zamzam"
Dinda bangkit berdiri, segera berjalan turun. Aku memilih diam disini. Menemani teman-teman yang masih makan.
"Ga turun, Neng?" Bu Fatma bertanya.

Sabtu, 07 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 19

Part 19.

Adzan subuh masih lima belas menit menuju waktunya untuk  berkumandang.
Ustadz Ahmad & team bergegas ke Masjid.

Kami para wanita tetap.di sini.
Menunggu datangnya waktu sholat subuh.
Beristighfar. Memohon ampun atas semua salah dan dosa, adalah hal yang paling baik dilakukan di waktu ini.
Waktu sahur juga merupakan salah satu waktu yang mustajab.
Kulantunkan istighfar.
Membuka file-file dosa yang tersimpan di memori, meminta pada Allah agar menghapuskannya.
Kulayangkan puja dan puji dengan menyebut asma indah-Nya,
Allohu yaa Rahmaan, Allohu Yaa Rohiim,
Duhai Engkau Robb Yang Maha Penyayang, ini hamba-Mu, datang padaMu memohon kasih dan SayangMu, karena tanpa kasih & sayangmu hidup hanyalah kehampaan.
Alloohu Yaa Fattaah, Yaa 'Aliim.
Duhai Robb yang membukakan jalan-jalan kemenangan, Engkau yang Maha Mengetahui keadaan setiap hamba, Engkau yang mengetahui segalanya.
Ini hamba-Mu, datang PadaMu, meminta agar Kau bukakan pintu-pintu pertolonganMu.
Sungguh Engkau Maha Tahu keadaan HambaMu, sungguh hanya Engkaulah yang bisa menuntun hamba menuju jalan keluar dari setiap masalah, dari setiap musibah.
Allohu Yaa Qoodiru Yaa Muqtadir, Engkaulah satu-satunya Yang Maha Menetapkan Taqdir
Allohu yaa BaarurRohiim, Engkau Yang Maha Baik, Maha Penyayang, setiap taqdirMu adalah kebaikan dalam kasihMu, maka berikanlah hamba hikmah dari setiap taqdir yang Kau tetapkan.
Allohu yaa Mujiib, yaa Mujiiba saailiin,
Duhai Engkau Yang Maha Mengabulkan do'a,
Sampaikan salam & sholawat kami kepada Nabi Yang Mulia, Muhammad saw., keluarganya, juga para sahabatnya & semua pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Duhai Engkau Yang Menberi setiap pinta, kabulkanlah do'a hamba, berilah kami jalan keluar dan kabar gembira.
Aamiin.

Adzan subuh kali ini bukan hanya terdengar merdu. Tapi juga menembus hati. Menenangkan orang yang mendengarkan.
Kami berjamaah di sini. Aku mengimami.
Usai salam, kusalami satu persatu. Saat kupegang tangan Tiara, terasa dingin. Dingin itu juga yang memucatkan wajahnya. Menahan sakit.
Tiara beringsut ke pinggir. Ia bersandar di dinding. Selalu begitu setiap hari.
Aku melanjutkan dzikir. Dalam do'a kusebut enam nama wanita yang tengah berobat di sini, setelah kusebut nama bunda, ayah, mama, umi, abi & Adlan.

Kuusapkan tangan ke seluruh wajah. Tepat setelah kata aamiin ku ucapkan.
Kudekati Tiara.
"Sakit Mba?" sapaku
"Iya" jawabnya sambil meringis.
"Mana yang sakit?"
"Tulang punggung"
Aku mengusap lembut bagian atas punggung Tiara. Aku tahu, usapanku tidak akan menghapus rasa sakitnya. Tapi aku berharap ia merasa nyaman.
"Apalagi yang dirasa, mba?"
"Mual" jawab tiara pendek.
Aku tak mungkin mengusap perutnya.
Tiara berkeringat. Dingin.
Tiba-tiba tangannya reflek menutup mulutnya.
Aku mencari kresek.
Beruntung, Dinda datang mengantarkan kresek. Tampakanya Dinda lebih faham.
Tania bergegas ke dapur.
Betul seperti dugaanku, Tania membuatkan teh hangat untuk Tiara.
Alisa mendekat, mencoba memahami apa yang terjadi. Bu Fatma, Bu Aina juga.
Semua sigap seolah ingin berlomba menolong Tiara.
Ah, belum lama di sini, tiba-tiba ikatannya seperti sebuah keluarga saja.

"Assalamualaikum" suara ustadz Ahmad, nampaknya baru kembali dari masjid.
"Ada apa ini?"
Ustadz Ahmad mendekat.
Saketika kami memberi jalan.
"Ini Tiara muntah, ustadz" jawabku.
Ustadz Ahmad membacakan ayat-ayat Al Quran.
Tiara muntah lagi. Wajahnya basah. Keningnya berkeringat. Pipinya basah oleh air mata. Bukan air mata tangis. Air mata yang keluar bersama muntah.
Tiara tampak lemas.
Ustadz Ahmad berhenti membacakan ayat-ayat Al Qur'an.
"Ambilkan madu" pinta Ustadz Ahmad pada ustadz Raihan.
Seperti biasa, Ustadz Raihan langsung cepat bergerak. Membawakan madu, sendok & aqua gelas. Tiara nampak meminum 2 sendok madu. Itupun dengan penuh perjuangan.

Suasana hening.
Ustadz Ahmad berjalan ke meja pembicara.
Kali ini pembicara tidak sendiri. Tapi berdua.
"Sudah kumpul semuanya?" Ustadz di sebelah Ustadz Ahmad bertanya. Kami saling mengamati, saling memperhatikan, saling mencari.
Kami baru sadar, Alisa tidak ada, entah sejak kapan.
"Alisha belum hadir, Ustadz" aku menjawab.
"Alisa?" sang Ustadz mencari file, lalu mengambilnya satu. Mungkin mencari data tentang Alisa.
"Ada bisa bantu memanggilkan Alisa?"
"Baik Ustadz", aku mengambil inisiatif. Naik ke lantai dua.
Mencari Alisha di kamarnya. Kamar paling depan. Tidak ada.
Aku mencari ke kamar tengah. Kamarku. Tidak ada juga.
Ku buka pintu kamar mandi kamar. Tidak ada juga.
Lanjut ke kamar paling belakang. Tidak ada juga.
Kamar mandi. Mungkin Alisa berada di kamar mandi.

Terdengar suara air deras mengocor.
Ku ketuk pintu kamar mandi
"Alisha, kamu di dalam kah?"
Tidak ada jawaban.
Ku ketuk lagi. Lebih keras, berharap suara ketukan pintu mengalahkan suara air.
Tidak ada jawaban.
Aku ketuk semakin keras.
Tidak ada jawaban.

"Ada apa Mba?" Ustadz Raihan bertanya.
"Alisa di dalam" jawabku.
Ustadz Raihan turun.
Aku mengetuk pintu lagi.
Tidak ada jawaban.

Ustadz Raihan mengambil alat. Linggis. Dengan alat itu, mencongkel pintu kamar mandi. Pintu sedikit rusak. Tapi terbuka.
Kupastikan pintu bisa kubuka lebar. Tapi sebelum kubuka, aku harus memastikan bahwa hanya aku masuk ke kamar mandi.
Aku memandang Ustadz Raihan sekilas. Kubungkukan badan seraya berucap "Terima kasih"
"Sama-sama"
Ustadz Raihan  bergegas ke bawah.
Kubuka pintu kamar mandi lebar-lebar.
Aku terkejut melihat apa.yang dlakukan Alisa.

Rabu, 04 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 18

Part 18.
"Dalam sebuah riwayat, Rosulullooh saw pernah ditanya oleh para sahabat, wahai Rosulullooh, apakah yang paling kuat di muka bumi ini?.
Ibu-ibu ada yang tahu? Apa yang paling kuat dimuka buni ini?"
Ustadz Maulana memandangi peserta satu persatu.
Tapi tak ada yang menjawab.
"Yang paling kuat di muka bumi ini adalah qolbun mukminan mukhlasin, hati orang mukmin yang ikhlas. Ibu-ibu tahu kan kenapa?
Ya betul, karena syetan tidak dapat mengalahkan, tidak dapat menggoda hati yang ikhlas"
Ustadz Maulana mengalihkan pandangan pada laptop.
"Coba perhatikan ibu-ibu, Allah itu menciptakan nafs, nufus ini sebagian ulama menerjamhkan sebagai nafsu. Mengapa Allah menciptkan nafsu? Agar manusia mempunyai keinginan. Keinginan terhadap apa? Harta, Tahta & Wanita. Dengan nafs ini manusia bisa bertahan hidup & melestarikan bumi. Hanya saja, banyak manusia yang berlebihan & akhirnya dikendalikan hawa nafsunya. Jika sudah seperti ini maka nafsunya harus disucikan. Ada yang tahu bagaimana cara mensucikannya?"
Ustadz Maulana menatap hadirin.
"Dengan taubat?" aku mencoba menjawab.
"Kurang tepat"
Peserta yang lain nampak sungkan untuk menjawab.
"Cara mensucikan nafsu terhadap harta adalah dengan bersedekah. Cara mensucikan diri dari nafsu terhadap tahta adalah zuhud & Qonaah, & cara mensucikan diri dari nafsu  terhadap wanita adalah dengan menikah. Faham sampai di sini?"
Aku mengangguk. Entah yang lain.
"Menikah itu adalah sunnah yang di dalamnya terdapat banyak kenikmatan, maka menikahlah"
"Ustadz". Tania mengacungkan tangannya.
"Bagaimana dengan yang belum bertemu dengan jodohnya"
"Allah menciptakan manusia itu berpasang-pasangan. Anda yakin? Anda beriman pada Allah, pada Al Quran?" ustadz Maulana bertanya
"Yakin Ustadz"
"Maka berikhtiarlah".

Sesi materi dengan Ustadz Maulana malam ini selesai.
Majlis ditutup dengan do'a akhir majlis.
Lampu sorot dimatikan. Artinya kamera tidak aktif lagi mengambil film. Aku lega.

"Sekarang kita mulai sesi ruqyah. Ibu-ibu konsentrasi semuanya ya, dengarkan & biarkan mukjizat Al Quran ini masuk ke dalam hati Anda"
Ustadz Maulana membacakan ayat-ayat Al Qur'an. Surat Al Fatihah.
"Ibu-ibu semuanya, biarkan ayat-ayat ini menembus hati Anda, menggetarkan & melembutkannya"
Al Fatihah dibacakan lagi.
"Iyaka na budu wa iyaka nasta'in" ... Ayat ini. Entahlah.
Tiba-tiba aku ingin menangis.
Air mata ini tak sanggup kubendung.
"Satu orang telah menangis, Al Quran telah menembus hatinya.
Ayo simak baik-baik ibu-ibu, biarkan Al Quran ini menembus hati Anda"
Alfatihah dibacakan lagi.
"Tiga orang telah tertembus hatinya"
Aku tidak tahu siapa yang menangis.

Tiba-tiba Alisa tertawa terbahak-bahak.
Ustadz Riza didampingi team berjaga-jaga.
Tubuh Alisa bergetar. Tawa Alisa mengeras.
Ustadz Maulana mengambil tongkat rotan. Tongkat yang tidak terlalu panjang. Dengan tongkat itu Ustadz Maulana menyentuh kepala Alisa.
Alisa terdiam. Tubuhnya tetap bergetar.

Dinda membuka kresek yang disediakan. Kresek untuk menanmpung muntah.
Aku waspada.
Lega rasanya melihat bukan darah yang dimuntahkan Dinda.

Sesi ruqyah berakhir. Ustadz Maulana menanyakan kondisi peserta satu persatu.
Aku mohon ijin pamit.

Aku ijin pada Dinda.
Aku merasa ga enak hati. Cemas.
Di kamar, aku membuka handphone.
Ada pesan dari umi & Zamzam.
Isinya sama, mengirimkan foto Adlan dari balik kaca. Karena di ruang ICU tidak boleh mengambil foto.

Tempat tidur kali ini menghadap ke arah kaca ruangan. Tidak dipojok seperti sebelumnya.
Selain oksigen. Beberapa selang di bagian dada. Mungkin sebagian di bagian perut. Karena tak terlihat jelas. Atau mungkin di bagian jari seperti dulu.
"Ya Allaah, hamba ikhlas" aku berbisik lirih di hati. Tapi mata ini mengembun.
"Semua akan baik-baik saja. Adlan akan membaik, Andini yakin itu"
Itu yang kubalas pada pesan umi, lalu kuteruskan pesannya pada Zamzam.

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Dinda & Tania belum juga naik.
Aku tak kuat menahan kantuk.
Kupasang alarm di angka 02.30. Aku ingin bermunajat.

Wajah itu begitu bersih. Cahayanya teduh.
Senyumnya. Senyumnya membiaskan kebahagiaan.
"Tunggu aku, kita akan sama-sama atkan mahkota cahaya"
"Mas" ... Aku mencoba menyapa, meraih tangannya.
Tapi suara musik yang berisik itu mengganggu.  Tanganku mencari-cari sumber suara musik. Handphoneku. Alram telah berbunyi. Aku menyentuh tanda snoze for 10'.

Aku terlelap kembali.
Asing. Aku merasa berada di sebuah rumah. Tempat yang terasa tak asing.
Ada banyak anak-anak.
Aku mencari satu wajah. Wajah yang bercahaya tadi. Tapi tak ada.
Lagi-lagi suara musik itu mengganggu. Aku mencoba tak peduli.
Tapi kali ini kesadaranku muncul.
Aku harus bangun.

Aku membuka mata.
Membaca istighfar. Membaca do'a.
Duduk sebentar, menyiapkan diri untuk aktifitas selanjutnya.

Tania terlelap. Dinda juga.
Aku bankit. Berjalan untuk mengambil wudhu.
Syukrul wudhu.
Sholat taubat.
Sholat hajat,
Ada munajat panjang dalam setiap jeda dua rokaatnya.

"Assalamualaikum, mba, waktunya tahajud, ditunggu di ruangan"
Suara ustadz Raihan bersama dengan ketukan pintu.
"Iya Ustadz" jawabku.
"Tolong bangunkan yang lain ya"
"Baik Ustadz"

"Dinda, bangun Dind, waktunya tahajud, sudah dipanggil oleh Ustadz", aku menepuk-nepuk kaki Dinda halus.
Tania nampaknya sudah terbangun saat pintu diketuk.
Aku berjalan ke kamar lain, membangunkan semua peserta, seperti yang diminta Ustadz Raihan.

"Sudah kumpul semua?"
Ustadz Ahmad bertanya.
"Sudah Ustadz" Tania menjawab.
Tahajud berjamaah dimulai.
Apa yang keluar dari hati, akan sampai ke hati.
Begitupun dengan ayat-ayat yang dibacakan oleh Ustadz Ahmad.
"Yaa ayatuhannafsul muthmainnah ... Irji'ii ilaa robbika rodhiyatan mardhiyah,
Fadkhulii fii ibaadi, wadkhuli jannati"

"Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
Masuklah ke dalam surga-Ku"
(Quran surat Al Fajr ayat 27 - 30)


Aku Bukan Cleopatra part 17

"Zamzam ada di RS, Mi?"
Aku mencoba menenangkan diri.
"Belum, tadi masih di kantor waktu umi telpon"
"Lagi di jalan?"
Aku memastikan"
"Iya"
"Mas Adlan masuk ICU, Mi?"
"Iya"
"Umi" aku menarik nafas panjang.
"Apa Andin harus ke RS sekarang?"
Umi diam.

Aku melihat sekeliling. Mencari Dinda. Dinda di depan. Tampaknya Dinda tengah muntah. Aku mendekati.
Aku bingung.  Dinda muntah darah.
Dengan sarung tangan musim dinginnya, Ustadz Riza menepuk-nepuk punggung Dinda sambil terus melantunkan ayat-ayat Allah.

Aku tak mungkin meninggalkan Dinda. Tak mungkin juga meminta Zamzam untuk kembali. Perlu waktu satu jam untuk menempuh perjalanan. Itupun jika tidak ada titik kemacetan.

"Umi, in syaa Allah Mas Adlan akan sembuh" akhirnya kupilih kata-kata itu.
"Andin yakin Mi"
"In syaa Allah besok Andin secepatnya ke RS, Dinda belum bisa ditinggal"
Terdengar suara isak tangis di telpon.
"Mi, waktu tanggal pernikahan, Andin mimpi Adlan memanggil Andin. Dalam mimpi itu Adlan bilang kalau Andin & Adlan ajan menggunakan mahkota cahaya. In syaa Allah Adlan akan sembuh. Umi yakin ya" aku mencoba menenangkan.
"Malam ini Andin akan sholat tahajud & berdoa' khusus untuk kesembuhan Mas Adlan. Umi juga ya. In syaa Allah do'a umi lebih maqbul. Umi sabar ya" aku meminta.
"Adlan sudah ditangani dengan baik di ICU" suara di telpon sana berganti suara Zamzam. Aku bersyukur Zamzam sudah di sana.
"In syaa Allah Adlan akan membaik" aku tidak tahu, kepada siapa ucapan itu ditujukan, kepadaku, atau kepada umi.
"In syaa Allah" jawabku.
"Kakak pamit dulu ya" aku mengakhiri percakapan.
Lega rasanya Zamzam tak bertanya tentang kondisi Dinda.

Kusimpan Handphoneku.
Kudekati Dinda.
Dinda masih muntah.
Aku khawatir.
Kulayangkan pandang. Mencari bantuan. Tapi team Ustadz Riza juga Tenga sibuk. Alisha berguling.
Bu Aina dipeluk erat anaknya agar tak maju menyerang ustadz Riza yang terus melantunkan Al Quran di sebelah Dinda.
Tiara tampak menangis sambil mencakar karpet.
Bu Fatma muntah-muntah hebat.
Tania khusyu menyimak.
Akhirnya aku cuma bisa diam.
Dan air mataku menderas lagi.

"Ibu-ibu sekalian, mari kita membacakan Al Ikhlas, Al Falaq & AnNaas, sambil mengangkat tangan kita & meniupkannya"
Semua mengikuti arahan Ustadz Riza, kecuali Alisa.
Dua orang team Ustadz Riza duduk seolah berjaga di dekat Alisa.  Satu orang menyipratkan air ke wajah Alisa.

Aku beranjak ke dapur. Ingin membuatkan teh hangat untuk Dinda. Pasti lemas sekali.
Ketika hendak kusodorkan. Ustadz Riza mengisyaratkan untuk tidak memberikan teh itu.
"Ustadz Raihan, tolong madu"
Seorang team berjalan menuju lemari obat. Mengambil sebotol madu & be era pa sendok plastik, lalu memberikan sesendok  pada Dinda.
Tidak hanya Dinda ternyata. Semua yang ada diruangan masing-masing mendapatkan sesondok madu.

Seperti sebelumnya, Ustadz Riza menanyakan kondisi setiap peserta & mencatatnya.
"Alisa, bisa mengendalikan diri & menguasai hatinya tidak? Usahakan jangan berteriak & berguling lagi ya. Kendalikan & kuatkan"
"Baik Ustadz" Alisa menjawab pendek.
"Ibu Aina juga, banyak-banyak istighfar ya Bu"
"Rasanya badan saya panas saat mendengarkan ayat2 Quran yang dibacakan Ustadz"
"In syaa Allah semakin sering mendengarkan, ibu akan semakin membaik" papar Ustadz Riza.
"Aamiin" bu Aina mengaminkan. Aku juga.
"Mba Dinda, alhamdulillah muntah darah ini pertanda bagus, artinya, sihir yang selama ini ada dalam tubuh Mba Dinda keluar".
Dinda menganngguk dalam lemah & lemas.
Aku bersyukur.

"Baik ibu-ibu, kali ini kita selesai sampai di sini. Nanti bada Isya akan ada pemaparan materi dari Ustadz Maulana mengenaik tazkitayunnafs"

Aku menghampiri Dinda.
"Ke atas yuk"
Dinda menganngguk.
Wajahnya pucat. Tapi mulai ada cahaya yang sulit kugambarkan. Dinda nampak cantik malam ini.

Makan malam telah tersedia. Aku mengambilkan untukku, juga untuk Dinda.
Tania sudah di kamar.
Ia menyisir rambut panjangnya yang seharian tersembunyi di balik khimar.
 Wajah putihnya nampak terawat.
"Makan yuuk" ajak Tania.
Aku & Dinda duduk di dekat Tania. Menikmati sajian makan malam. Nasi kotak lengkap dengan dua lauk hewani, satu lauk nabati
sayur & sambal.

"Mba Tania, sakit apa, sepertinya mba paling tenang diantara semua" aku memberanikan diri bertanya.
"Dulu aku seperti Alisa. Lebih parah malah. Aku sering mencakar roqi"
"Roqi?" Dinda bertanya.
"Iya, roqi itu peruqyah"
"Ooh" aku & Dinda spontan kompak.
"Aku sudah berobat kemana-mana, terakhir terapi di rumahku oleh Ustadz Ade, aku dimandikan air bidara.
Sekarang ingin ikutan lagi, untuk mendeteksi apakah masih ada gangguan atau tidak"
"Maa syaa Allah, nampaknya Mba Tania udah sembuh"
"Tapi aku masih ingin ikhtiar, aku masih berharap Allah berikan aku jodoh. Aku merasa masih terhalang jodoh. Kata salah satu ustadz, itu juga salah satu bentuk sihir"
"Usia Mba Tania berapa?" aku bertanya
"Empat puluh dua"
Aku sedikit kaget. Wajah cantik yang tampak masih muda itu ternyata sudah masuk kepala empat. Aku pikir semua orang akan berfikir sama seperti aku.
"Masa sih? Aku pikir dibawah usia Mba Alisa loh".
Tania tersenyum.
"Mba kerja?" tanyaku.
"Aku usaha"
"Bidang apa mba?"
"Rias pengantin & busana pengantinnya juga"
"Pantes awet muda" timpal Dinda
"Tadi Mba Andin terlihat reaksi juga ya, nangis, apa kena gangguan juga?" Tania menatapku.
Aku jadi berfikir, apa mungkin aku kena gangguan juga?
"Mba Andini ujiannya berat Mba,  pernikahannya batal karena ikhwannya kecelakaan & sekarang masih koma" Dinda membantu menjelaskan.
"Inna lillaah, pasti berat banget ya"
Aku hanya menganngguk. Kerongkonganku tercekat. Teringat percakapan tadi di telpon.
"Mba Andini & Dinda adik kakak ya?"
"Suami saya adiknya ikhwan calonnya Mba Andini yang sedang koma" Dinda kembali memaparkan.
"Kata orang, koma itu seperti sedang hidup dalam sebuah lorong, mereka bisa mendengar suara orang-orang disekelilingnya, tapi tidak bisa melihat. Mereka bicara, tapi kita tak mendengar".
Adzan Isya berkumandang. Tepat ketika kami sudah menyelesaikan makan siang kami.
"Jamaah yuk", aku mengambil inisiatif.

Tidak seperti sebelumnya, ruangan terapi sekarang nampak dihadiri banyak orang.
Beberapa tampak sibuk memasang penerangan. Lampu tambahan. Ada juga dua orang yang sibuk memasang alat perekam. Nampaknya akan disiarkan. Aku sedikit cemas.
Kudekati salah satu ustadz team Ustadz Riza.
"Ustadz, ini akan disiarkan langsung?"
"Iya, live lewat FB & Youtube chanelnya Ustadz Maulana"
"Nanti ibu-ibu yang diterapi ini juga akan live disiarkan?"
"Ngga Mba, hanya ceramahnya Ustadz Maulana aja, sesi ruqyah tidak akan disiarkan"
Aku menganngguk. Lega rasanya.

Ustadz Maulana tiba. Suasana hening. Nampaknya beliau sangat disegani. Terlihat semua  ustadz yang hadir menyambutnya dengan penuh hormat.

"Baik hadirin semuanya, hamba Allah yang dirahmati Allah, baik yang menyimak live melalui FB & chanel Youtube maupun yang hadir di sini, Assalamualaikum wr wb"
Kami menjawab salam.
"Alhamdulillah wa syukru lillaah,  wa bini'matillaah, kita bisa hadir di majlis ilmu ini, semoga Allah memberkahi pertemuan kita kali ini.  Baik hamba Allah semuanya. Kali ini saya akan membahas bagaimana pentingnya membersihkan hati untuk menjaga kesehatan kita, & bagaimana  pengaruh bersihnya hati terhadap kesehatan manusia baik secara fisik maupun psikis, baik secara jasmani maupun rohani"
"Bapak ibu, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh tubuhnya, jika rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya & segumpal daging itu adalah hati"

Aku menyimak.
Dinda menguap.
Beberapa peserta tampak lelah & mengantuk. Sayangnya ternyata rasa kantuk itu menular.
"Ibu-ibu, perhatikan baik-baik, yang mengantuk, hati-hati, berarti anda tengah dipalingkan syetan untuk mendapatkan keberkahan majlis ilmu ini"
Aku memperbaiki posisi duduk, berharap ngantuk terusir dengan posisi duduk tegak.

"Ibu-ibu ada yang tahu, penyakit hati atau qulub itu apa saja?"
"Iri, dengki, hasad, ujub" aku menjawab
"Baik, apakah itu sifat atau penyakit?"
Aku bingung.
"Itu adalah sifat syetan" Ustadz Maulana menjelaskan.
"Syifat syetan yang dibisikan kepada jiwa manusia. Kenapa syetan membisikan?"
"Supaya manusia menjadi temannya" aku menjawab lagi.
"Iya betul, syetan membisikan manusia untuk menjadi temannya di dunia, & ketika jadi teman syetan di dunia, diakhirat akan jadi apa?"
Semua diam, tidak ada yang menjawab.
"Akan jadi bahan bakar neraka" ustadz menjelaskan.
"Ibu-ibu, manusia itu berasal dari surga & orang-orang beriman akan Allah kembalikan ke surga. Maka ketika seorang hamba Allah yang mukmin mulai dijankiti sifat-sifat syetan, mulai dijangkiti penyakit hati, mulai menyimpang dari fitrah surga-Nya, Allah akan kirimkan sinyal-sinyal berupa ujian agar hamba yang mukmin itu kembali pada fitrahnya"
Aku menyimak.
"Sakit itu, baik jasmani maupun ruhani, bagi seorang muslim, bisa jadi ujian, bisa jadi adzab, tapi semua tujuannya sama yaitu untuk memperingatkan manusia agar kembali pada fitrahnya, agar kembali pada Allah"
Pikiranku menerawang. Adlan, sakitnya kali ini, termasuk yang manakah? Adzab kah, atau ujiankah?