Part 21
Aku menggeleng.
"Kenapa?" Bu Fatma bertanya.
"Ga enak Bu" jawabku
"Koq ga enak, kan tadi Ustadz Raihan bilang yang dicari berdua" Bu Fatma masih belum puas.
"Takut ganggu"
"Koq ganggu?"
"Yang mencari Dinda itu suaminya, Zamzam. Zamzam itu calon adik iparku"
"Adik ipar?"
"Iya Bu"
"Andini sendiri kapan menikah?"
Orang bilang, memang bagi lajang paling tidak enak ketika ditanya kapan nikah.
Pernikahan & kematian adalah sama-sama catatan taqdir., Maka pernikahan itu seperti kematian, waktunya, masih Allah rahasiakan sampai tiba peristiwanya.
Untungnya, sampai sekarang, tidak ada yang menyandingkan pertanyaan kapan menikah dengan kapan meninggal.
Menikah tentang bahagia, tentang syukur & meninggal tentang duka, tentang sabar.
Biasanyan kata suka selalu disandingkan dengan duka.
Tapi tidak untuk pernikahan & kematian.
Andai saja dua kata itu disandingkan, mungkin akan enggan orang bertanya "Kapan menikah?"
Aku ingin menghindar dari pertanyaan itu.
Namun, aku mencoba melihat bahwa Bu Fatma bertanya karena perhatian, karena sayang. Sama sekali bukan bermaksud menyakiti. Toh mereka belum tahu apa yang tengah terjadi.
"Kami sudah merencanakan pernikahan, tanggal sudah ditentukan, undangan sudah disebar, tapi qidarullooh, Adlan, kakaknya Zamzam mengalami koma setelah kecelakaan. Kecelakaan itu terjadi saat mereka berdua dalam perjalanan pulang setelah mengambil gaun pengantin"
Aku mencoba tidak menngis.
Tapi Bu Fatma matanya mengembun. Tania, bahkan Alisa juga.
"In syaa Allah itu yang terbaik" Bu Fatma mengelus punggungku.
Aku mengangguk.
"Mungkin aku terlalu bangga & terlalu mencintai. Mungkin aku telah memberhalakan rencana pernikahanku, itukah sebabnya Allah mengambilnya dariku agar aku sadar bahwa harus Allah saja yang jadi tujuan."
Aku mencoba menjelaskan pada mereka, dan terutama pada diriku sendiri.
Hening sejenak.
Tiba-tiba ada kehangatan mengusap punggungku. Tangan bu Fatma.
Tangan itu lalu mendekap punggungku.
Aku tak bisa menahan lagi.
Aku balas memeluknya.
Tangisku pecah.
Manusia tercipta peka. Selalu merasa ketika ada yang berbeda. Seperti saat itu. Walaupun dadaku berguncang ditengah derasnya air mata.
Aku merasa ada yang berbeda ketika Alisa & Tania memperbaiki posisi duduknya.
Aku merasa ada sesuatu ketika Bu Fatma melinggarkan pelukannya.
Aku melepaskan diri.
Mataku mengikuti arah pandang mata Bu Fatma, arah pandang mata Tania & Alisa juga.
Aku terkejut. Ada Zamzam & Dinda. Berdiri seolah mengamati kami, menunggu waktu yang tepat.
"Maaf kalau mengganggu" Zamzam mungkin merasa bersalah.
"Ngga, ngga apa-apa" jawabku.
"Kak Andini, ini ada titipan dari Umi" Zamzam memberikan dua tas belanja yang aku tidak tahu apa isinya.
"Untuk kakak?" aku menegaskan.
"Iya, untuk Dinda sudah" aku melihat Dinda memegang satu tas belanjaan.
"Iya mba, ini punya aku" Dinda menunjukkan.
Rasanya ingin menayakan mana satu tas bingkisan lagi untuk Dinda, tapi rasanya tidak sopan.
"Terima kasih" aku mengambil dua tas itu.
Aku membuka satu tas. Sudah kuduga. Isinya kue-kue kesukaanku. Ada brownies, ada boleh pisang, ada bolu ketan, ada klapetart, ada satu toples kripik sale pisang.
Aku ingin membuka bingkisan satunya lagi. Aneka lauk.
Ada rendang, ada satu toples peyek teri. Ada kering kentang. Ada abon.
Aku merasa bersyukur, sekaligus merasa ragu juga merasa bersalah. Kenapa umi menitipkannya padaku, bukan pada Dinda.
Kutepis pikiranku.
"Alhamdulillah ada banyak snack kiriman nih" aku mengeluarkan kue-kue, membukanya. Menyodorkannya pada Bu Fatma, Alisa & Tania.
"Kak Andini, aku pamit" Zamzam yang dari tadi kuabaikan menyadarkan kesadaranku akan keberadaannya.
"Oh iya" aku bangkit.
"Makasih ya & sampaikan salam untuk umi"
Zamzam turun, Dinda juga. Tangan Dinda menggandeng tangan Zamzam.
"Semoga mereka selalu bahagia hingga ke surga" do'aku dalam hati.
Jam 10 nanti jadwal ke kebun bidara. Memetik bunga untuk mandi daun bidara. Dilanjut siangnya dzuhur bekam. Setelah itu lanjut kajian & terapi lagi.
Aku hanya pendamping. Aku hanya ikut sesi materi & mendampingi Dinda saat terapi.
Dinda yang malang, Dinda yang tegar.
Dinda yang kuat.
Dinda yang beruntung.
****
Ada dua orang akhwat bercadar yang datang untuk membekam.
Dinda dibekam di bagian ubun-ubun, bagian rambutnya digunting dulu sebelum dibekam. Alisa dibekam di bagian punggung. Yang lain aku tak memperhatikan.
Aku memilih turun. Mencari angin segar di halaman belakang.
Di ruang tengah tampak Ustadz Ahmad tengah membuka Al Quran.
Tiba-tiba terpikir olehku untuk konsultasi terkait kondisi Adlan.
"Assalamualaikum, Ustadz"
"Wa'alaikum salam wrwb"
"Ustadz, boleh minta waktunya sebentar?"
"Iya silahkan"
"Ustadz, saya mau bertanya, apa yang sebenarnya terjadi pada orang yang sedang koma?"
"Koma itu seperti tidur, nyawa orang yang koma sedang Allah tahan. Bisa Allah kembalikan untuk hidup di dunia, bisa Allah ambil untuk kemudian hidup di alam kubur, alam barzakh"
"Paling lama, biasanya berapa waktu?"
"Wallohu'alam. Ada cerita yang pernah saya dengar, seorang ayah koma sampai sepuluh tahun lebih. Ketika sadar, dia mendapati seorang gadis yang dia tidak kenal, kemudian mengusirnya. Padahal gadis itu anaknya yang ketika dia koma berumur 9 tahun. Anak gadisnya menangis terharu & bersyukur sambil berkata, ayah, ini aku anakmu"
Ada harapan yang membumbung tinggi di hati.
"Ustadz, untuk yang sedang koma, terapi apa yang bisa diberikan?"
"Bacakan Al Quran. Al Quran itu syifa, obat untuk semua penyakit"
"Semua surat?"
"Coba untuk seminggu pertama, bacakan surat Al Baqoroh, di dekatnya & bibacakan juga pada sebaskom air. Gunakan airnya untuk melap badan pasien. Seminggu kedua, bacakan Al Baqoroh & Al Imron sama pada air juga. Setelah itu bacakan Al quran keseluruhan. Jangan lupa juga anggota keluarga untuk melakukan sholat istikharah, meminta petunjuk pada Allah jalan terbaik untuk menjemput kesembuhan".
Aku menganngguk.
"Baik Ustadz, terimakasih"
"Sama-sama"
Aku mundur, melanjutkan rencana semula, menikmati udara segar di halaman belakang.
Pohon jati terlihat rapi menempati posisnya. Rapi berbaris pada jarak yang sama di depan belakangnya juga kiri & kanannya. Daunnya yang lebar meneduhkan panas yang membakar.
Di kursi belakang aku menikmati semua keteduhan ini.
Allah Maha Adil.
Bersama panas yang membakar ada keteduhan yang Allah betikan.
Bersama kesulitan ada kemudahan.
Bersama kesedihan ada bahagia.
Bersama air mata akan ada tawa jika kita mau menciptanya.
Sebagai hamba aku hanya harus merubah keadaan.
Karena Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri.
Yupz, aku harus mengubah pikiranku, perasaanku agar bisa mencari penyeimbang deritaku.
Pun aku harus memaksimalkan ikhtiarku tanpa menuhankan ikhtiar itu sendiri.
Semilir angin yang sejuk menerpa wajahku. Kantuk menjemputku.
"Andini, ini Al Quran, ini mahar yang aku berikan"...
Wajah yang bersinar itu datang lagi.
"Adlan, kamu kah itu?"
Wajah itu tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar