Jumat, 20 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 23

Part 23
Kamu tahu seperti apa perasaanku?
Cemburu. Cemburu pada orang yang bahkan belum pernah aku melihat & mengenalnya.
Ah, mengapa pula Zamzam menceritakan semuanya.
Belum cukupkah baginya semua luka yang harus aku terima?
Saat aku tahu bahwa aku bertepuk sebelah tangan.
Saat aku tahu meski bersambut namun aku tak berhak meraihnya karena ternyata Allah tak mencatatkan dalam suratwnNya.
Tak cukupkah baginya derita gaun pengantin berdarah?
Tak cukupkah baginya ketika aku harus melihat hancurnya harapan bersanding di pelaminan pada tanggal yang telah ditetapkan?
Tak berartikah baginya pengorbananku selama mendampingi Dinda?

"Ahsana, hafidzhoh, santri dari Pesantren Miftahul Quran. Pesantren yg dibimbing Ustadz Umar.  Adlan & Ahsana sudah saling tukar CV, sudah nadzor, saling bertemu & melihat.  Setelah nadzor, kemudian sholat istikharah.  Adlan meminta waktu sepuluh hari. Hanya saja hari kelima, Ahsana masuk rumah sakit. Kanker otak stadium empat yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui. Tepat hari ke sepuluh, Adlan menemui Ahsana yang sudah terbaring kaku dalam senyuman. Ahsana meninggal"

Aku tidak tahu seperti apa perubahan air mukaku. Hanya saja ada penyesalan yang mendalam pada peasangka-prasangkaku, meski tak sempat kuungkapkan.
Aku hanya bisa diam.

Zamzam menarik nafas. Panjang & dalam.
"Ahsana sebenarnya mempunyai saudara kembar. Dan Adlan sempat berfikir untuk mencari saudara kembar Ahsana yaitu Ahsani. Orang tua Ahsana bercerai. Ahsana tinggal bersama keluarga ibunya & Ahsani tinggal bersama keluarga ayahnya.
Adlan sudah menemukan jejak Ahsani, sayangnya Ahsani hidup jauh dari hidayah. Ahsani menjalani profesi sebagai penyanyi di salah satu club malam"

Zamzam kembali menarik nafas panjang.
"Ustadz Umar sudah menawarkan beberapa santrinya yang hafidzhoh pada Adlan, tapi tak ada satupun yang bisa membuka hati Adlan, ibu & aku pun mencoba mencarikan beberapa alternatif, dengan kriteria utama : hafidzoh tapi belum juga berhasil. Sampai ketika kita bertemu di perpustakaan Aksara Menembus Makna, Adlan bertanya padaku tentang kak Andini & aku ceritakan semua yang aku tahu tentang Kakak"

Degup jantungku mengencang kembali.
"Aku sampaikan pada kak Adlan bahwa Kakak bukan seorang hafidzhoh. Namun Kak Adlan bilang, in syaa Allah nanti bisa belajar menjadi hafidzhoh"

Sekarang aku mengerti tentang mimpi-mimpiku selama ini.
Rasanya aku ingin menangis. Tapi tidak mungkin juga menangis ditempat yang cukup ramai.

"Waktu aku & kak Adlan pulang dari penjahit gaun pengantin, entah kenapa tiba-tiba kak Adlan teringat Ahsana. Di tengah jalan, ketika itu aku yang nyetir, kak Adlan bilang gantian, dia cape. Adlan Dia bilang, Andini akan jadi hafidzhoh yang lebih baik  dari Ahsana. Aku hanya mendengarkan. Disaat aku nyetir, tiba-tiba ada yang menyebrang, seorang akhwat berkerudung hijau berbaju hitam. Akhwat itu melihat ke arah kami & itu membuat aku kaget serta tidak mengendalikan diri. Aku pikir, jika kak Adlan yang menyetir pun pasti akan seperti aku"

"Siapa akhwatnya?" aku bertanya.
"Ahsana. Aku melihat Ahsana menyebrang sambil tersenyum ke arah kami"
"Bukankah Ahsana sudah meninggal? Bukankah kak Adlan melihat sendiri jenazahnya?" aku mendesak.
"Betul, bahkan kak Adlan ikut turun ke liang lahat saat pemakaman"
"Lalu?"
"Sepertinya Ahsani sudah berhijrah"
"Apa?" aku kaget.
"Apakah Mas Adlan akan mencari Ahsani?"

Zamzam menarik nafas panjang.
"Kemarin saat Dinda ikut terapi intensif, aku mencoba mencari  kabar. Aku berkunjung ke pesantren Ustadz Umar. Aku menanyakan tentang keluarga Ahsana. Alhamdulillah Ustadz Umar menceritakan bahwa Ahsani mengalami kecelakaan jatuh dari motor. Tulangnya patah & dibawa ke tempat pengobatan yang tidak jauh dari pesantren. Salah satu santri putra Ustadz Umar adalah terapis yang menangani pengobatan Ahsani yang kemudian menjadi istrinya"

Tiba-tiba dada ini terasa sangat lapang. Aku tidak tahu mana yang lebih luas saat itu. Savana ataukah dadaku.

"Aku menceritakan apa yang menimpa kak Adlan. Ustadz Umar ikut prihatin & beliau mendo'akan. Waktu itu obrolan kepotong sholat dzuhur. Saat aku pamit hendak pulang, Ustadz Umar bertanya, kira-kira, bisa ga calon istrinya Adlan mulai menyiapkan diri untuk jadi hafidzhoh?"

"Pesanan nomor 54" panggilan dari pengeras suara sudah diulang dua kali.
Zamzam melihat nomor pesanannya.
"Itu pesananku sudah selesai, aku sekalian pamit ya" Zamzam bangkit.

Aku masih berada di sini. Di suasana hati yang tidak bisa aku gambarkan.
Semua serba mendadak.
Semua serba mengagetkan.
Semua menyisakan satu pertanyaan.

Aku bertanya pada diri sendiri.
Bisakah aku jadi hafidzhoh?

Pertanyaan ini aku kirim lewat pesan singkat pada Nura.
"Nura, bisakah aku, Andini menjadi seorang hafidzhoh, penghapal Quran?"
"Bisa" jawab Nura pendek
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Tumben" Nura membalas dengan pertanyaan.
"Kamu dimana?" aku membalas dengan pertanyaan lagi.
"Kamu ga baca pesanku ya?, tadi aku kan dan bilang tepatnya agak lama, ini ada temannya Bunda ngedadak dateng pengen batik. Sorry ya"

Aku scroll ke atas. Ada foto bundanya Nura dengan temannya.
"Kalau kamu masih di rumah, aku pulang aja ya, aku mendadak pusing" balasku.
"Kamu marah?" Tanya Nura.
"Ngga, kamu ke rumah aku aja ya". Pintaku.
"Siap"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar