Kamis, 26 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 24

Part 24.

Di rumah nampaknya lagi ada tamu.  Bahkan bapak sengaja meluangkan waktu. Pulang dari  kantornya sebagai kepala.bidang divisi pendidikan & latihan di salah satu BUMN.

Bu Nida & suami.  Mereka tetangga di sebelah kami. Menempati rumah yang kami kontrakan. Sudah lima tahun berturut-turut mereka menempati. Kami sudah seperti keluarga sendiri.  "Apakah rumahnya akan dijual?" begitu Bu Nida sering bertanya.
"Tidak, itu jatah amanah untuk Andini dari bundanya" jawaban ayah selalu sama.

"Assalamualaikum" aku menyapa & menyalami.
"Neng Andini, baru pulang dari kampus?" Bu Nida bertanya.
"Ngga Bu, abis janjian sama teman". Aku menjawab & ikut duduk bersama mama & bapak.
"Ini, Bu Nida mau pindah, Alhamdulillah sudah beli rumah di blok H, rumahnya Bu Hajah Lathifah" mama menjelaskan.
"Alhamdulillah, selamat ya Bu" aku tulus memberikan apresiasi.
"Semoga dapat pengontrak yang amanah ya Neng" Bu Nida mendo'akan.
"Sepertinya ga akan dikontrakan Bu, mau dijadikan rumah tahfidz" entah mengapa kalimat  itu yang keluar dari lisanku.
Bapak menatapku.
Mama juga.
Aku juga heran. Tapi sudahlah.

"Andini pamit ke atas dulu ya, ada yang harus diselesaikan" aku pamit.
Persis ketika aku mau naik tangga ke lantai 2, terdengar bunyi bel rumah "Assalamualaikum".
Aku segera berbalik arah.
Pasti Nura.

"Ayo masuk, kita ke atas aja" ajakku.
Nura menyapa mama & bapak.
Menyalami semua yang di ruang tamu.
"Mau minum apa?" tanyaku
"Lemon tea"
Aku ke dapur. Nura mengikuti.
Air panas, dua sachet tea, satu buah lemon & sedikit gula.
Jadilah 1 teko air lemon tea.

Kami naik ke atas. Ke kamarku.
Lemon tea hangat & beberapa toples kue kering menemani obrolan aku & Nura.
"Gimana orderan batiknya tadi"
"Itu tadi sekalian minta  dibuatin gamis tapi model kebaya"
"Ketat dong"
"Aku buat lipit di depan, kelihatan lurus tapi liputan yang banyak bikin leluasa, ga sempit"
"Atasnya?"
"Aku tawarkan kombinasi dari satin sutra sama brukat, nah milih brukatnya yang agak lama"
"Buat sekeluarga?"
"Iya, buat nikahan ponakannya"
Ada sedikit desiran yang mengiris hati saat mendengarnya.

"Ngomong-ngomong kamu kenapa tiba-tiba nanya bisa jadi hafidzoh? Itu oleh-oleh dari nemenin Dinda terapi bukan? Seolah mengerti Nura mengalihkan topik pembicaraan.
Aku menarik nafas panjang.
Sebelum kucerotakan pertemuanku dengan Zamzam.
Nura menyimak. Sempurna tanpa menyela.

"Aku mau buat rumah tahfidz" diujung cerita aku menyampaikan.
"What?" Nura kaget. "Bukannya mau jadi hafidzoh, harusnya nyari pesantren" Saran Nura.
"Aku mau belajar sambil mengelola rumah tahfidz, biar sekalian"
"Dimana?"
"Di sebelah, Bu Nida sudah punya rumah sendiri, rumah sebelah kosong"
"Bapak & mama sudah tahu?"
"Baru sekilas"
"Mereka mendukung?"
"Entahlah"
"Aku mau bantu" Nura bersemangat. Semangatnya menular padaku.
"Ayo kita kumpulkan info tentang metode-metode tahfidz yang bisa diadopsi"
Aku mengambil laptop.
Nura searching & mencatatkan beberapa hal.
Kami.berdiskusi, hingga tak terasa adzan ashar berkumandang. Alhamdulillaah, waktu bercengkrama denganNya tiba kembali. Tapi kali ini aku hanya kebagian jatah berdzikir. Mensujudkan hatiku, bukan ragaku.

"Nura, aku harus ke rumah sakit"  Usai Nura sholat, aku mengingatkan.
"Aku ikut"
"Iya hayu"

Kami turun & pamit pada mama & bapak.
"Sampaikan salam kami untuk umi & abi, pesan bapak"
"Oh iya sebentar, ini tolong bawakan makanan & kue untuk umi & abi" mama memberiku dua kresek penuh.

Rumah sakit, entah kenapa selalu terlihat dipenuhi banyak orang. Apa yang menyebabkan banyak orang ditimpa musibah sakit. Taqdir. Itulah jawaban sederhananya. Lalu untuk apa Allah menuliskan taqdir tersebut. Untuk memberi pahala.tentunya & terlebih dari itu, pada setiap ujian Allah titipkan setitik ilmuNya ketika yang sakit Allah jadikan inspirasi untuk hambaNya yang lain.

"Kita makan dulu ya, aku laper nih"
"Iya aku juga, keasyikan searching tadi kita, sampe lupa makan, maaf ya" Aku merasa bersalah.
"Gapapa, nyantai aja" Nura memjawab.

Kami mampir ke kantin.
Ini bukan waktu makan siang.
Tapi kantin masih saja penuh. Waktu makan snacks? Kayaknya di rumah sakit ga ada acara makan snack juga.
"Mau apa?" Tanyaku.
"Apa aja yang anget-anget"
"Soto apa baso?"
"Kwetiau siram ada ga?"
"Ini kantin rumah sakit, say, bukan food court di mall" jawabku.
Nura tertawa.
"Ya udah, baso" pilihnya.

Petugas kasir memberikan tanda nomor pesanan untuk disimpan di meja agar dia mudah saat mengantar pesanan nanti.
Aku mengamati sekeliling. Mencari meja yang menyisakan dua tempat duduk. Karena tidak mungkin juga nomornya di simpan di dua meja.
Beberapa meja hanya menyisakan hanya satu tempat duduk.
Ada meja yang menyisakan dua kursi. Namun sepasang insan tengah duduk di sana. Wanitanya menyenderkan kepala di bahu lelakinya. Tapi tangan lelakinya tidak merangkul bahu sang wanita seperti dalam sinetron atau kisah roman dalam novel.  Mungkin tengah berduka pikirku. Tak mungkin juga kan di tempat orang orang terkena duka sempet-sempetnya memadu asmara.

"Mau di situ?" Nura bertanya.
"Ganggu ngga ya?" Aku ragu.
"Ini tempat umum" Nura santai melangkah ke arah sana. Aku mencari-cari tempat lain. Tak ada.
Akhirnya aku  menyusul Nura.

"Permisi" Nura meminta ijin.
"Nura?" Seseorang bertanya. Aku hafal suara itu.
"Eh Dinda, kirain siapa" Jawab Dinda. "Ganggu ga nih?"
"Ngga, ayo duduk"
"Sendiri?" Zamzam bertanya.
"Sama Andini" jawab Nura.
Rasanya memang tidak nyaman, tapi tidak ada pilihan lain.
"Dari mana nih?" Zamzam bertanya.
"Dari rumah Andini" jawab Nura
"Ada proyek, dapat orderan seragam batik lagi nih?" Dinda bertanya.
"Iya betul, ada proyek, tapi bukan batik, kami mau buat rumah tahfidz Quran" Nura menjawab.
"Rumah tahfidz?" Zamzam bertanya.
"Iya, kami baru mau buat proposal & masih mencari-cari & mempelajari sistem mana yang akan kami adopsi"
Aku memilih diam.  Biar Nura sja yang menjelaskan.
"Saya ada kenalan yang punya pesantren tahfidz, pesantren Miftahul Jannah, pimpinan Ustadz Umar, mungkin bisa jadi referensi" Zamzam menawarkan.
Entah kenapa, aku kurang suka mendengar saran itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar