Minggu, 29 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 25

Part 25

"Rencananya kami akan menggunakan metode karantina tahfidz atau metode baca sepuluh menit setiap dua jam, metode ini menekankan pada interaksi dengan Al Quran"
Aku segera menjelaskan.
Zamzam menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan maknanya.

"Ini Mba, basonya"
Seorang perempuan berkerudung hitam dengan celemek pinggang  membawakan dua mangkuk baso.
"Terimakasih" aku segera memyambut.
"Mari makan dulu" aku tak menunda lagi.
"Bagaimana kabar Adlan?" Nura bertanya.
"Masih di ruang perawatan, masih koma" Zamzam menarik nafas panjang.

Di kamar rawat inap, Umi tengah membacakan Al Baqoroh di samping Adlan.
Aku mendekat, sambil memberi issyarat agar umi tetap mengaji.
Zamzam mendekat. Mengambil Al Quran yang dipegang umi, saat umi membacakan ayat kursyi.
Zamzam melanjutkan membaca Al Quran. Al Baqoroh tinggal 31 ayat lagi.

Umi beranjak, berjalan ke arah sofa. Aku mengikuti.
Abi, Dinda & Nura duduk di sofa. Dinda segera berdiri memberikan tempat pada umi. Lalu berjalan ke arah Zamzam.
"Abi, umi, in syaa Andini akan menjadi penghafal Al Quran, seperti yang diinginkan mas Adlan. Mas Adlan ingin mempunyai istri penghafal Al Quran, seorang hafidzoh". Aku menuturkan.
"Kalau itu memang niat tulus nak Andin, umi akan mendukung" umi tersenyum.
"JANGAN" tiba-tiba abi mengeluarkan suara cukup tegas & keras.
Tentu saja aku kaget.
Umi terdiam. Seolah dalam hidupnya tak pernah sekalipun membantah abi.
Nura terkesiap.
Zamzam menghentikan bacaannya & menoleh.
Dinda juga memandang ke arah kami. Menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Jangan jadi penghafal Al-Qur'an kalau niatnya untuk makhluq, untuk.kesembuhan Adlan. Bukan manusia yang menyembuhkan, bukan cita-citanya yang akan membuatnya bangun"
Aku makin terkesima dalam detak jantung yang terus meningkat iramanya.
"Kamu akan berat menjalaninya jika dari awal niatmu sudah salah. Kalau tujuanmu adalah makhluq, bukan Allah, maka kamu sedang menuju neraka"
Aku tak sanggup membendung air mata yang sudah mulai menggenang.

Umi memelukku. Nura mendekati.
Suasana hening sejenak.
"Abi tidak marah koq, abi hanya ingin Andini meluruskan niat" umi menenangkanku.

Abi mendekatiku.
"Menjadi penghafal Quran itu berarti menjadi keluarga Allah.  Maka perhatikan niatnya baik-baik. Karena salah satu manusia yang pertama kali masuk neraka adalah orang yang bergaul dengan Al Quran, tapi yang jadi tujuannya adalah manusia, bukan Allah".
Abi berkata lembut.
"Abi tak ingin anak abi ada yang salah jalan, salah niat".
Aku menganngguk.
Hanya itu yang bisa kulakukan.

Menjelang maghrib aku dan Nura pamit.
Aku berjalan ke arah tempat tidur, memandangi wajah Adlan sebelum pamit.
Bola matanya bergerak. Bibirnya tak bergerak, tapi aku merasa Adlan tersenyum padaku. Mataku mengembun lagi.

Pamit dalam keheningan. Hanya diantar pelukan & anggukkan. Aku & Nura melangkah.
"Nginep di rumah aku yuk" Dini menggandeng tanganku.
Aku diam.
Mungkin akan lebih baik juga nginep di rumah Nura.
"Aku ijin bapak dulu".

Rumah Nura, rumah yang penuh kehangatan dan keramaian. Nura, anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua kakaknya laki-laki kembar.. Dua adiknya perempuan semua. Belum ada yang berkeluarga. Semua masih serumah dengan orang tuanya. Tepatnya degan ibunya. Dua tahun lalu ayah Nura berpulang.

Ibu Nura punya butik. Cukup terkenal. Nura Jelita Butik. Orang mengenalnya dengan Nujab. Beberapa pelanggan dari luar kota sering datang ke Nujab untuk dibuatkan busana spesial. Ramadhan Nujab tidak buka. Kami ingin fokus ibadah. Begitu ibu Nura berprinsip.

"Eh, Andini, kenapa ga bilang-bilang kalau mau menginap?" Ibu Nura menyambut penuh kehangatan.
Ibu Nura seperti ibu angkatku. Sejak di bangku SMA, aku dan Nura, kemanapun bersama. Meski ketika kuliah tak satu fakultas, tapi itu tidak mengurangi kebersamaan kami.
"Mendadak Bu, kangen aja udah lama ga nginep.di sini".
*Mama bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik"
"Kak Andiiin" suara Arina & Arika kompak menyambutku.
Aku menyambutnya dengan pelukan.
Mereka selalu rebutan menyalamiku & memelukku & rebutan untuk bercerita tentang apa saja.
"Gimana nih kabarnya? Ada cerita apa?" aku bertanya.
"Aku punya ikan lohan baru, namanya si jenong" Arina si bungsu bercerita bercerita.
"Aku punya novel baru"
Bertemu mereka selalu memberikan keceriaan & kebahagiaan sendiri.

"Arina, Rika, biar kak Andin istirahat dulu" Ibu menyela.
"Duduk yuk" aku mengajak mereka.
"Assalamualaikuum" Hamid baru datang.
"Wa'alaikum salaam" kami serempak menjawab.
"Kakak bawa apa?" Rika berlari menuju Hamid.
Arina tetep duduk di sampingku.
"Ini ada somay kesukaan Arina & Rika" Hamid menyodorkan bungkusan ke Rika.
"Aku lagi mau baso" Arina setengah berteriak menyahut.
"Eh, ada Andin" Hamid baru menyadari kehadiranku.
"Apa kabar?" Hamid lanjut menyapa.
"Alhamdulillah baik" jawabku.
"Kalau mau baso, nanti kita keluar ya" Hamid lembut berkata pada Arina.
"Asyiiik" Arina tampak gembira.
"Tapi sholat maghrib duluu"  Hamid memberi syarat.

Ibu duduk di depan, di sebelah Hamid yang pegang kemudi. Aku berdua bersama Nura di tengah, Arina & Arika memilih duduk di belakang.
Tepat ketika mobil baru distrater, Hamdi datang dengan mobil Honda Jaz.
"Mau kemana?" Hamdi bertanya  setelah membuka jendela mobilnya.
"Nyari baso"  Hamid menjawab.
"Ikut". Hamdi berkata pendek.
"Siap" Hamid menjawab.
Hamdi menutup pagar.
Melihat ibu di depan, Hamdi langsung membuka pintu & aku terpaksa bergeser ke tengah.
Agak tidak nyaman memang, tapi tak ada pilihan.

"Mas, Andini mau buat rumah tahfidz, Mas Hamid punya referensi ga untuk.dijadikan contoh" Nura membuka percakapan.
"Waah, bagus itu, nanti aku mau bantu" Hamdi yang langsung mengomentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar