Senin, 30 Desember 2019

Aku Bukan Cleopatra part 26

Part 26

Hamdi dan Hamid. Kembar identik. Kalau tidak ada bekas jahitan luka di kening Hamdi, aku tak akan bisa membedakan mana Hamid mana Hamdi. Hamdi lebih aktif, begitu kata ibu Nura. Mungkin karena sikap aktifnya itu, Hamdi pernah jatuh sampai keningnya harus dijahit.
Satu hal lagi yang membedakan, rambut Hamdi lebih ikal. Waktu mereka mahasiswa, aku bisa membedakan, karena Hamdi memanjangkan rambutnya meskipun dia aktifis masjid. Sementara Hamid selalu tampil rapi berwibawa.

"Baru tahap rencana & pembuatan proposal koq, biar terarah kerjanya" aku membalas.
"Di mana nanti lokasinya?" Hamdi bertanya.
"Di sebelah rumah Andini"Nura menjawab.
"Ada alumni aktifis masjid AtTawab yang punya rumah tahfidz di Jogja, anak binaannya udah banyak yang menjuarai lomba tahfidz tingkat internasional" Hamdi menjelaskan.
"Tapi Andin maunya nanti santrinya ga boleh ada satupun yang ikut lomba atau dipopulerkan lewat sosmed atau apapun" aku menegaskan.
"Loh kenapa?" Hamdi bertanya kaget "itu kan syi'ar" tambahnya.
Aku diam.
Dari kaca spion depan, aku tahu Hamid memperhatikan aku, seolah menunggu jawabanku.
"Kita ingin menjaga kemurnian niat, kita ingin santri kita cukup viral di langit saja, di dunia tidak usah dipublish" Nura membantu menjawab. Meringankan bebanku.
Dari spion, Hamid tersenyum.
"Baguslah kalau begitu" Hamdi akhirnya setuju.
"Nura sama Andini ngurusin administrasi & persiapannya, urusan metode dan lain-lain nanti aku yang ngurus sama temen aku" Hamdi nampak bersemangat.
"Looh, nanti studio & geraimu bagaimana Mas?" Nura bertanya.
"Nanti bisa aku atur" Jawab Hamdi santai.

Hamdi pemilik studio foto juga pemilik dua gerai kamera & gerai handphone di sebuah mall ternama. Selain itu, dia punya chanel dakwah di YouTube. Aku mau memimpin diriku sendiri. Begitu prinsipnya.
Berbeda dengan Hamid yang menjadi manager Riset & Development di salah satu perusahaan farmasi terbesar di kota ini, bahkan di negri ini.
Aku tidak tahu, kenapa lulusan statistik bisa menduduki jabatan tersebut.

Di zaman serba modern seperti sekarang ini, nyari apapun di mall pasti ada. Termasuk baso. Lebih dari itu, selain baso banyak pilihan. Termasuk untuk Arina & Rika, mereka lebih memilih ayam crispy. Menu favorite anak-anak dimanapun.
Aku dan Nura tetep dengan pilihanku ; baso. Ibu memilih kwetiau siram seafood. Hamid memilih mie seafood & Hamdi kemanapun, dimanapun dari dulu hanya punya satu pilihan : nasi goreng.

"Mau belanja dulu ga, Bu?" Hamid menawarkan pada ibu.
"Nura, ada yang perlu dibeli ga?" ibu balik.bertanya pada Nura.
"Aku mau es cream" Rika bersuara.
"Aku juga" Arina menyahut.
"Aku mau nyari buah aja" Nura menjawab.
Hanya itu. Hanya Nura yang ingin buah & Arina serta Rika yang ingin es krim. Tapi entah kenapa akhirnya troli belanjaan jadi penuh saat tiba di kasir. Itulah wanita.
Hamid membayarkan semuanya dengan kartu debitnya.

"Dik Andini bagaimana skripsi nya? Data olahan kemarin, sudah dianalisa?" Hamid bertanya sambil menyetir.
"Alhamdulillah udah beres, udah  sampai kesimpulan & penutup juga, tinggal konsultasi sama dosen pembimbing" jawabku.
"Makasih ya mas, udah mau bantuin" aku kembali mengucapkan terima kasih.
Hamid hanya tersenyum.

"Aku mau tidur bareng sama Kak Andini" Arina menggelayut di tanganku, tepat ketika kami memasuki pintu rumah.
"Aku juga" Rika menggelayut di tangan yang satunya lagi.
"Gini aja, Kak Andin bacain cerita di kamar kalian sampai tertidur ya" jawabku.
"Asyiiiik" mereka sontan.bersorak.
"Ayo gosok.gigi & wudhu dulu"
Merekapun segera bergerak melaksanakan yang diperintahkan.

Wajah anak-anak selalu membawa kedamaian. Aku menciumi pipi Arina & Arika setelah mereka terlelap di negri kapuk. Lalu aku keluar. Ke kamar sebelah, kamar Nura.

"Andin, kamu ga keberatan Hamdi ikutan bantu rumah tahfidz?" Nura bertanya seolah ragu.
"Kenapa harus keberatan, aku malah bersyukur, nanti kita bagi-bagi tugas aja. Aku urusan tempat & semua keperluan santri. Kamu bagian promosi & nyari santri. Hamdi bagian kurikulum & management, Hamid bagian dana usaha, eh tapi Hamid mau ga ya bantuin?" aku balik bertanya.
"Mau aja kayaknya, tapi mungkin ga seserius Hamdi". Nura menjawab.
"Alhamdulillah" aku bersyukur.

"Andini..." suara Nura melembut dan terdengar pelan.
"Kamu baik-baik saja kan?" Nura bertanya hati-hati.
Aku diam.
Nura memeluk.
Aku menangis.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan" hanya itu yang bisa kulakukan.
"Kami akan membantu" Nura meyakinkan.

Sahabat itu seperti malaikat tak bersayap. Mendekap saat dada terasa begitu sesak. Menuntun saat kita tak tahu kemana harus mencari. Mendampingi, saat hati terasa sepi sendiri. Menyemangati, saat lemah dan lelah menyapa diri. Mengulurkan tangan saat kita terpuruk sendiri.
Kita harus selamat sampai ke surga. Saling bergandeng, saling menuntun. Begitu aku & Nura pernah bersepakat.

Adzan subuh berkumandang.
Lembut alunannya membelai lembut jiwaku. Mengajaku terjaga, beranjak dari belaian malam yang telah usai.
Nura masih di atas sajadahnya.  Aku duduk.
"Biasakan membaca do'a bangun tidur itu dengan mulut yang tersenyum, kan kita sedang bersyukur. Jadikan hal yang kita lakukan pertama kali dalam hari-hari kita adalah tersenyum". Begitu pesan Ustadzah Lina saat training Wanita Tangguh. Aku telat mengetahuinya. Tapi telat masih lebih baik dari tidak tahu sama sekali.

Aku melangkah ke kamar mandi. Membersihkan diri.
Mungkin aku cukup lama di kamar mandi & karena ketika aku keluar, Nura sedang tilawah.
Aku mengambil quran. Membaca terjemahannya.
Itu yang kulakukan kalau sedang berhalangan. Aku haru laporan ke group one day one juz.
Tiba-tiba hatiku berdesir, ada rasa perih yang menyelusup.
Teringat perkataan abi. Lalu aku bertanya pada diri sendiri. Aku melakukan ini untuk.siapa? Untuk apa? Untuk diriku sendiri? Supaya tidak ditegur karena tidak laporan.
Akhirnya aku berbicara pada diriku sendiri, berbisik.pada Allah "Ya Allah, aku lakukan semua ini untuk.mencari ridhoMu, maka tolonglah aku"".

"Kamu ada rencana ke kampus?" Andin bertanya.
"Belum" jawabku.
"Ngga coba kontak Pak Dian?"
"Kemarin udah sih, baru say hallo aja"
"Ntar kalau ke kampus bilang-bilang ya" pinta Nura.
"Iya, siap"  aku menjawab
Nura membereskan sajadahnya. Lalu ke kamar mandi.

"Nura, Andin, ... Sarapan sudah siap" Suara ibu dibalik pintu.
"Baik Bu" jawabku.
Ternyata sudah jam setengah tujuh.
Tumben Arina & Arika tidak terdengar suaranya. Biasanya suka rame.

Aku & Nura ke ruang makan.
"Surprise..." Arika & Arina setengah berteriak.
"Pagi ini aku sama Arina yang nyiapin sarapan buat kak Andin" Rika ceria menyambut.
"Dibantu Mas Hamid" Rika menambahkan.
Hamid masih di dekat kompor.
"Waaah, makasih banyak, pasti enaak" aku mencoba memberi apresiasi.
Kami duduk.di meja.
"Bu, Hamdi mana?"  Nura bertanya.
"Masih di kamar, nanti nyusul katanya" Ibu menjawab.

Nasi uduk, telur dadar di iris, tahu goreng, tempe mendoan, empal sapi, sambal & kerupuk.
Menu sarapan yang sangat spesial.
Kami tengah menikmati ketika Hamdi akhirnya datang bergabung.
"Minggu depan, temen aku yang dari Jogja mau dateng, presentasi sambil lihat-lihat tempat" Hamdi menyampaikan.
"Minggu depan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar