Part 27.
"Nur, aku mau ke kampus, ngedadak nih, mumpung Pak Dian kosong hari ini" pesan itu kusampaikan pada Nura.
Aku tak menunggu balasan.
Karena.seminggu ini Nura harus bantuin ibu menyelesaikan beberapa pesanan pelanggan.
Kampus. Terasa lama aku tak menjejakkan kaki. Tapi aku juga tak akan berlama-lama lagi di sini. Aku harus cepat-cepat selesai agar bisa fokus pada target selanjutnya : rumah tahfidz.
"Andiiin, apa kabar?" Sheila, Hera, Rama, Imam & Adila menyapaku di parkiran. Sepertinya mereka hendak pergi bersama.
"Alhamdulillah baik".
Aku memeluk Sheila, Hera & Adila.
"Mau ke mana nih?"
"Biasa, mau cari yang enak-enak" Hera menjawab.
"Sudah mulai aktif lagi?" Imam bertanya.
"In syaa Allah, kan tinggal konsul bab terakhir perbaikan-perbaikan dan daftar sidang" jawabku.
"Sukses yaa" Rama & Adila kompak.
"Makasih" jawabku.
Aku berjalan ke ruang kaprodi. Ruangan Pak Dian.
"Assalamualaikum, aku mengetuk pintu, lanjut membukanya"
"Wa'alaikum salam wrwb, Andin, ayo silahkan"
Aku duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Bapak ikut prihatin atas apa yang menimpa Andin" ucapan itu rasanya menyobek hatiku lagi.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Pasti semuanya berat & teramat sangat berat. Tapi bapak yakin, in syaa Allah Andin bisa melaluinya"
"In syaa Allah pak, makasih"
"Gimana Mas Adlannya sekarang?"
"Masih koma, Pak"
"In syaa Allah akan ada keajaiban". Pak Dian meyakinkan.
"Aamiin"
Pak Dian mengambil kacamatanya.
"Mana, analisa & bab terakhir sudah selesai?" Pak Dian bertanya.
"Sudah Pak" aku menyerahkan bundelan tipis kertas-kertas draft skripsiku.
Pak.Dian membuka-buka sekilas.
"Nampaknya bagus, besok bisa diambil ya, besok sore"
"Di kampus Pak?"
"Di rumah bapak aja"
"Baik Pak".
Aku meninggalkan ruangan.
Banyak teman sahabat menyapaku. Sebagian dari mereka mengucapkan rasa keprihatinan. Aku tahu, mereka mencoba menyampaikan kasih sayang lewat empati yang mereka tunjukkan. Tapi semakin banyak yang berucap, aku merasa semakin terpuruk, semakin asing, semakin jauh dan berbeda dari mereka.
Aku mencoba mengumpulkan puing-puing harapan. Aku mencoba mengais ngais ketegaran. Aku mencoba merangkainya. Menyusunnya dan membentuknya menjadi penopang langkah. Bismillaah. Aku bisa melewatinya. Ini hanya ujian. Ini akan berlalu. Semua akan baik-baik saja.
Allah hanya sedang melembutkan hatiku dengan musibah ini.
Iya, hatiku hancur, mimpiku berantakan terhempas badai.
Tidak mengapa. Dari hati yang hancur aku akan punya hati yang lembut. Dari mimpi yang porak poranda aku akan membangun istana.
Mimpiku akan kuraih lagi. Mimpi membangun bahtera rumah tangga, rumah surga.
"Andini hari ini mau ke rumah sakit?" pesan singkat masuk dari umi.
"In syaa Allah Mi, ini lagi di kampus, habis itu aku langsung ke rumah sakit"
"Hati-hati di jalan".
"In syaa Allah"
Rumah sakit menjadi tidak asing lagi bagiku. Keberadaanku juga mungkin tidak asing bagi sebagian dari mereka. Petugas parkir sudah familiar denganku. Petugas kantin sudah tahu pesanan favoritku. Beberapa perawat dan dokter aku sudah merasa sangat dekat dengan mereka.
"Assalamualaikum" aku langsung masuk ke ruang perawatan.
"Wa'alaikum salam". Umi menyambutku dengan pelukan hangatnya.
Abi di samping umi. Tersenyum menyalamiku.
"Gimana urusan kampusnya?" Abi bertanya.
"Alhamdulillah beres, mudah-mudahan bisa segera sidang"
"Alhamdulillah" Abi tersenyum senang.
Kami duduk di sofa.
"Mas Adlan gimana Mi? Ada perkembangan?" aku membuka percakapan.
"Belum, nampaknya kita harus semakin mengencangkan do'a" Umi menarik nafas panjang.
"In syaa Allah Mas Adlan sembuh Mi" aku meyakinkan umi. Meyakinkan dan menenangkan diriku sendiri.
Aku tak berani menatap mata umi. Aku.khawatir melihat ada kesedihan di sana. Aku khawatir kesedihan itu menular padaku, merobohkan harapan yang sudah kubangun dengan susah payah.
"Umi, Andin mau bacain Quran" aku mohon ijin. Umi mengangguk.
Aku membacakan surat Ar Rohman. Aku harus berjuang melapangkan dada yang sesak, meluruhkan duka yang menyekat di kerongkongan. Aku tidak boleh menangis di depan Adlan, meski dia terbaring koma. Tidak. Aku harus kuat .
Al Waqiah Al Hadid hingga surat At Tahrim kubacakan tartil.
Ku tutup dengan do'a. Semoga setiap hurufnya jadi keajaiban untuk kami.
Kupandangi wajah Adlan. Masih sama. Bersih, bercahaya. Tak ada reaksi. Hanya nafas yang terlihat. Juga denyutan jantung yang terekam dari alat yang dipasangkan.
Semua akan membaik. Berkali-kali aku meyakinkan diri.
"Assalamualaikum"
Dinda bersama Zamzam masuk.
"Wa'alaikum salam" kami menjawab.
Dinda menyalami umi & abi. Takdzim. Zamzam langsung ke arahku. Ke tempat Adlan berbaring.
"Ada perkembangan?" Zamzam bertanya.
"Belum" hanya satu kalimat yang bisa kusampaikan.
Handphoneku bergetar.
Panggilan masuk.dari Hamid.
Aku ijin keluar pada umi & abi, juga Zamzam serta Dinda.
"Assalamualaikum, Andini"
"Wa'alaikum salam"
"Besok ada waktu kosong kah? Temen aku yang di Jogja kebetulan besok mendadak harus ke rumah kakaknya di Jakarta, sebelum ke kakaknya aku minta waktu untuk ketemuan sama kita"
"Besok?" Aku agak kaget
Tidak ada komentar:
Posting Komentar