Part 28.
"Umi, aku pamit dulu, harus ketemu bapak di kantor" aku mencium tangan umi
"Koq buru-buru" Abi bertanya
"Iya Bi, mendadak besok harus ketemu promotor rumah tahfidz"
"Syukurlah, semoga lancar" Abi mendukung.
"Siapa promotornya?" Zamzam tiba-tiba mendekat.
"Belum tahu, Hamdi yang ngurusin"
"Hamdi?" Zamzam mengerutkan kening.
"Temennya Hamdi di Jogja, kakak juga belum tahu, tapi temen Hamdi katanya punya rumah tahfidz yang cukup berkembang di Jogja" aku menjelaskan.
Aku menangkap raut muka kurang suka di wajah Zamzam.
"Nura dan kedua kakaknya in syaa Allah akan membantu penuh" aku menambahkan.
Zamzam terdiam di sisi Dinda.
"Kalau Zamzam & Dinda bisa bantu, alhamdulillah, itu lebih baik, kita akan bisa jadi team kompak" Aku menawarkan.
"Sepertinya ngga dulu, kami sedang fokus program promil" Dinda menolak halus.
"Semoga Allah segera anugrahkan momongan yang sehat, sholih, lucu dan banyak". Aku tulus mendukung dengan do'a.
"Aamiin". Umi & Dinda kompak mengaminkan.
Zamzam dan abi tak.terdengar suaranya.
Mungkin mengaminkan dalam hati.
"Pak, bisa siang di rumah ga?"
Aku meminta via telpon.
"Ada apa Andini? Ada sesuatu yang penting?"
"Andini mau bicara masalah rumah tahfidz"
"Ga bisa nanti malam aja?"
"Malam kayaknya suka lupa atau suka cape, please"
"Baiklah" akhirnya ayah mengalah.
Aku mengarahkan mobilku ke rumah makan kebuli, rumah makan kesukaan ayah.
Empat porsi nasi kebuli. Empat porsi gule kambing, tiga porsi sate, kupesan untuk dibawa ke rumah. Khawatir mama belum menyediakan masakan tambahan.
"Ma, bapak udah kasih tahu belum kalau mau makan siang di rumah?" aku menelpon mama.
"Iya brusan bapak udah ngabarin"
"Andin udah belikan makan siangnya Ma, nasi kebuli, mama ga usah masak lagi"
"Iya, ini mama bikin acar aja sama asinan"
"Oke".
Aku meluncur ke rumah.
Bapak belum sampai. Mungkin harus ada yang harus dibereskan.
"Assalamualaikum" aku langsung ke dapur.
Terdengar suara mama & bi Inay menjawab salam "Wa'alaikum salam"
Mama masih di dapur. Membuat asinan dan acar.
Bi Inay menggoreng kerupuk.
Aku langsung menata makanan di meja.
"Maaf ya Ma, mendadak"
"Gapapa"
"Besok mau Andin mau ketemu promotor rumah tahfidz" aku mulai menjelaskan.
Mama.mendengarkan.
"Kamu serius mau buat rumah tahfidz?" Mama bertanya.
"Iya Ma, nanti Nura, Hamdi & Hamid mau bantu"
"Hamdi & Hamid?, apa nanti kamu ga akan sungkan?"
"Ngga Ma, bagi Andin mereka semuanya seperti kakak sendiri, semua sudah faham koq" aku menegaskan.
"Syukurlah" Mama tersenyum.
Akhirnya bapak datang.
Kami makan bersama.
Di sela-sela makan, aku menceritakan apa yang disampaikan Zamzam tentang keinginan Adlan untuk menjadi istri seorang hafidzhoh.
Menyampaikan suatu niatan sambil makan ternyata memang efektif. Efektif menekan rasa sedihku. Efektif menyampaikan maksud yang langsung disetujui bapak.
Bapak hanya kaget mengapa semua terburu-buru.
"Kalau memang perlu, nanti rumahnya bisa direnovasi dulu, bisa ditingkatkan" Bapak sangat mendukung.
"Nanti lihat perkembangan aja Pak, Andin ingin semuanya jalan dulu" aku menjawab.
Akhirnya hari untuk bertemu promotor datang juga.
Hamdi akan mengajaknya ke rumahku. Pagi ini jam 10.00.
"Assalamualaikum" Suara Hamdi terdengar.
"Wa'alaikum salam" aku menjawab.
Bi Inay membukakan pintu dan mempersikahkan masuk.
Hamdi datang dengan seseorang.
Seseorang yang membuatku kaget dan teramat sangat kaget. Mr MJ. Mister Em-Je, dulu kami memanggilnya begitu.
Hamdi sepertinya faham akan kekagetanku.
"Andin, ini Mr Em-Je, masih ingat kan? Kalau sekarang di Jogja lebih dikenal sebagai Ustadz Mukhlis Jundulloh"
Aku menganngguk.
"Ustadz, ini Andin, sahabatnya Nura,
Mr Em-Je, orang yang kini dipanggil Ustadz tersenyum.
"Assalamualaikum, tamunya udah datang ya" Mama datang sembari membawa nampan berisikan aneka kue dan empat teh botol yang masih berembun.
Mama tidak langsung beranjak.
Aku bersyukur. Kehadiran mama cukup meredam kekagetanku.
"Jam berapa dari Jogja, Ustadz?". Mama bertanya. Hanya saja, panggilan Ustadz untuk Mr Em-Je masih asing di telingaku.
"Kemarin sore, Tante, semalam menginap di rumah kakak"
"Mari di minum, maaf nih seadanya". Mama mempersilahkan.
Rasanya memang kurang sopan, tapi aku mengambil minum lebih dulu. Mama nampak memperhatikan tingkahku.
Hamdi mengikutiku, mengambil dua botol minum dan menyerahkan yang satunya pada Ustadz Em-Je.
Hmm, mungkin bagiku lebih familiar memanggilnya dengan panggilan itu. Aneh rasanya memanggilnya dengan panggilan Ustadz Mukhlis Jundullooh.
"Bagaimana rencana rumah tahfidnya?" Mama memecah keheningan.
"Oh iya Tante, Ustadz Mukhlis akan mempresentasikan program kerjanya & memperlihatkan beberapa dokumentasi kegiatan di rumah tahfidz Jogja". Hamdi menjelaskan.
Ustadz Em-Je mengeluarkan laptopnya.
"Filenya disimpan di laptop?" aku bertanya "Ada yang disimpan di flashdisk ga, biar kita nontonnya di TV aja".
"Ada, tapi lebih enak kalau dilihat dari laptop langsung, biar bisa dijelaskan sambil jeda" Ustadz Em-Je menjawab.
"Kalau gitu, pake HDMI aja, kita lihat di TV" aku menawarkan semua setuju.
Kami pindah ke ruang tamu.
Presentasi di mulai.
Profile rumah tahfidz Ruby itu yang pertama kali dipresentasikan. Setelah itu profile pembina. Profile Ustdz Em-Je. Aku jadi mengerti, kenapa orang-orang jadi sangat menghormati dan menghargainya. Aku faham, rasanya tak pantas aku memanggilnya dengan ustadz Em-Je. Dia sudah banyak berubah.
Terakhir Ustadz Mukhlis mempresentasikan program dan kurikulum rumah tahfidz dengan sistem buka cabang.
Mama nampak takjub & kagum. Pantas memang. Programnya bagus, hasilnya nyata.
"Baik, saya pikir, ini bagus untuk kami adopsi, selanjutnya mungkin mengenai perjanjian kerja sama" aku membuka pembicaraan lagi.
"Perlu survey tempat kah?" aku mengajak.
Kami beranjak ke rumah sebelah. Rumah warisan bunda untukku. Aku berharap semua pahalanya akan mengalir untuk bunda.
Ustadz Mukhlis melihat-lihat dengan seksama.
Ada empat kamar tidur, ruang tamu, dan ruang keluarga yang cukup luas karena bersatu dengan ruang makan.
"Nanti apakah Ustadz Mukhlis sesekali akan menengok ke sini?" aku bertanya.
"In syaa Allah Ustadz Mukhlis akan tinggal di sini, di Bogor, nanti sesekali menengok ke Jogja" Hamdi menjelaskan.
Aku kaget. Pikiranku langsung tertuju pada Nura.
Ustadz Mukhlis adalah satu-satunya pria yang dicintai Nura. Dari dulu bahkan sampai sekarang. Beberapa pria telah datang melamar Nura, tapi Nura belum bisa membuka hati.
"Aku tidak mungkin hidup dengan seorang pria sementara hatiku masih mencintai pria lain" Begitu Nura berkata.
"Tapi Nura, Mr Em-Je telah menikah"
Biasanya Nura hanya diam. Diam yang disusul dengan tamgis.
Nura yang malang.
"Aku tahu Mr Em-Je juga mencintaimu, tapi itu dulu, sekarang dia telah menikah dengan wanita pilihan ibunya, aku tahu ini berat, aku tahu ini melukaimu, tapi aku ingin kamu bahagia Nura"
Nura hanya menjawab dengan tangis.
"Andin, nampaknya Dapurnya perlu diperbaiki" Mama menepuk bahuku, seolah tahu kalau pikiranku tengah melihat kenangan pahit. Meski bukan tentangku. Tidak. Tentang Nura, tentang sahabatku, berarti tentang aku.
"Iya Ma" aku hanya bisa menjawab pendek.
"Nanti biar bapak yang mengurusnya" mama berkata pada Ustadz Mukhlis.
Pintu pagar rumah di tutup.
Kami kembali ke rumah. Mama dan Ustadz Mukhlis berjalan di depan. Aku masih di depan pagar. Hamdi berjalan menyusul mama.
"Hamdi" aku memanggil Hamdi untuk berhenti.
Hamdi menoleh dan mendekat.
"Kenapa Ustadz Mukhlis pindah ke Bogor, apa ada hubungannya dengan Nura?" aku merasa curiga.
Hamdi terdiam sejenak.
"Nura tidak menceritakan apapun padamu?" Hamdi balik bertanya.
"Tidak" aku makin penasaran.
"Hari Jumat nanti, keluarga Mukhlis akan melamar Nura"
Rasanya seperti petir di siang bolong tiba-tiba terdengar menggelegar memekakan telinga.
"Apa?" aku bertanya.
"Bagaimana dengan istri Mr Em-Je?"
"Istrinya sudah memberikan ijin" Hamdi menjawab datar. Aku tak mengerti mengapa Hamdi bisa sedatar itu. Ini peristiwa besar tentang adiknya. Tentang Nura. Tentang sahabatku.
"Istrinya ikut dalam lamaran nanti?" aku bertanya.
"Tidak, istrinya mengurus rumah tahfidz di Jogja"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar