Part 29.
Aku mengambil wudhu.
Menenangkan hatiku,
Menyegarkan jiwaku.
Sholat selalu menjadi obat untuk hati yang gelisah, untuk penat yang menyengat. Sholat tempatku mengadu atas semua pilu.
"Yaa Robb, entah apa yang terjadi pada sahabatku Nura, namun aku menginginkannya bahagia. Bahagia tanpa ada yang terluka, Bahagia nyata yang membawa kebaikan dan perbaikan untuk hidup dan kehidupannya"
"Ma, Andin ijin mau ke rumah sakit" aku pamit, tak lama setelah Hamdi & Ustadz Mukhlis pulang.
"Iya, salam untuk umi"
"Abis dari rumah sakit Andin mau ke rumah Nura"
"Sepertinya ada sesuatu yang penting" mama menebak.
"Jumat ini Nura mau lamaran"
"Alhamdulillah" mama tersenyum.
Aku diam.
"Ada apa Andini, koq sahabatnya mau dilamar ga ikut seneng"
"Ustadz Mukhlis yang mau melamar" aku menjawab datar
"Bagus kalau begitu" mama menegaskan.
"Ustadz Mukhlis sudah beristri"
"Apa?" sudah kuduga mama akan kaget.
"Andini berangkat ya ma".
Aku meluncur. Tapi rasanya agak aneh berangkat tanpa membawa sesuatu. Akhirnya aku memutar arah. Mencari martabak kesukaan Nura. Aku sekalian bungkuskan untuk umi dan abi.
Aku langsung menuju kamar Mas Adlan.
"Assalamualaikum" aku langsung masuk. Mencari umi dan abi. Tapi tidak ada. Hanya ada Zamzam dan Dinda tengah duduk berdua di sofa.
Aku merasa bersalah.
"Maaf" kata itu langsung keluar dari bibirku. Dari hatiku.
Dinda dan Zamzam serempak sedikit menjaga jarak.
"Umi sama abi kemana?" aku bertanya memecah rasa risih.
"Lagi cari makan dulu" Zamzam menjawab.
"Waaah, padahal aku udah bawain ini". Aku menyerahkan martabak telor & martabak keju ke Dinda.
"Dibuka dulu aja ya, Dinda suka kan?" aku menawarkan.
"Iya aku suka". Dinda menerima dengan senyum.
Aku beralih ke tempat pasien. Tempat Adlan terbaring dalam koma.
"Apa kabar Mas Adlan, semoga semua makin membaik yaa"
Aku yakin, apa yang aku ucapkan akan didengarnya, walaupun sama sekali tubuhnya tidak merespon.
"Andin bacain Quran ya Mas, semoga jadi obat & keajaiban untuk Mas Adlan"
Kubaca ta'awudz, kulantunkan juz ke dua puluh tujuh. Ayat pertama hingga ayat terakhir.
Kulantunkan do'a dalam hati, dalam embun air mata agar semua pedih pilu ini cepat berlalu.
Kulihat ke arah sofa. Hanya Zamzam dan Dinda. Umi dan Abi belum datang.
Aku pikir akan lebih baik jika aku tidak di sini.
"Aku mau ke rumah Nura dulu ya" aku langsung pamit.
"Koq cepat-cepat, ngga nunggu umi?" Zamzam bertanya.
"Ngga, aku harus segera ketemu Nura" jawabku
"Nampaknya penting" Dinda menduga.
"Iya, Nura hari Jumat ini mau dilamar"
"Alhamdulillah, akhirnya datang juga kabar gembira, siapakah yang melamar Nura?" Dinda kembali bertanya.
"Mr Em-Je" jawabku singkat. Dinda tidak mengenalnya, tapi Zamzam sangat kenal dengan nama itu.
"Mr Em-Je?" Zamzam bertanya, kaget dan tidak percaya.
"Mr Em-Je juga yang jadi narasumber kurikulum dan konsep rumah tahfidz nanti" aku menambhkan.
"Oh ya?" Zamzam kembali menunjukkan kekagetannya.
"Iya, aku pamit ya"
"Nura, kamu di rumah kan? Aku mau ke rumahmu ya?"
"Iya, aku lagi bantuin mama ngedesain baju pesanan"
Chat singkat itu membuat langkah kakiku semakin mantap.
Namun ada sedikit resah dalam hati. Apakah Hamdi sempat mengabari kejadian tadi? Sepertinya tidak. Laki-laki tidak mungkin seperti itu.
Jalanan tidak begitu macet. Belum jam pulang kerja. Masih jam ibu-ibu belanja. Tak banyak volume mobil memenuhi jalan. Aku bersyukur bisa datang lebih cepat.
Rumah Nura sepi jam di jam seperti ini. Arina dan Arika masih di sekolah. Aku langsung ke paviliun, ruang butik milik ibu Nura.
Benar saja. Nura tengah sibuk dengan coretannya.
"Masuk Andini, sini, bantu pilihkan aku mana sketsa terbaik" pinta Nura.
Aku duduk mendekat.
Sketsa Nura selalu cantik. Aku bingung memilihnya.
"Ini, kebaya model gini unik, akhirnya aku memilih satu"
Nura mengamati pilihanku.
"Setuju" katanya.
"Ini aku bawakan martabak"
Nura menyimpan kertas dan alat tulisnya.
Kami menikmati martabak bersama.
"Nura, in syaa Allah kita akan mulai jalankan rumah tahfidnya ya" aku bingung memulai pembicaraan
"Iya, aku siap membantu" Nura masih santai menjawab.
"Kita jadi pake kurikulum & konsepnya Mr Em-Je" aku memancing.
Raut muka Nura berubah.
"Hamdi sama ustadz Mukhlis tadi ke rumah" suaraku ku pelankan.
Nura diam.
"Hamdi bertanya ke aku, apa Nura cerita tentang Ustadz Mukhlis atau tidak". Aku menelan ludah.
"Kenapa kamu ga cerita ke aku, Nur?"
"Maafkan aku Andini, bukan aku tak percaya, tapi kamu sendiri sedang butuh suport" Nura menjelaskan.
"Tapi aku masih tak mengerti, bagaimana mungkin kamu mau menerima Mr Em-Je yang dulu meninggalkanmu demi wanita lain". Aku menatap Nura. Kali ini tak ada embun di matanya. Tak ada tangisan.
"Andini, tiga minggu yang lalu, aku ketemu Dewi, istri Mukhlis "
Aku terkesiap. Tak mampu mengucap kata.
"Dia ke Jakarta Tadinya mau menengok kakaknya Mukhlis di Jakarta. Sama sekali tak ada rencana menemuiku.Aku sendiri sebelumnya tak pernah membayangkan akan ketemu Dewi, semua serba mendadak dan diluar kendali aku".
Nura menarik nafas panjang.
" Dia datang tak sendiri, tapi bersama Santi, kakaknya Mukhlis. Malah Santi yang pertama kali mengontak aku, mengajak makan malam di luar, Santi baru memberitahu aku bahwa dia bersama Dewi tepat ketika aku baru saja sampai di cafe, aku tidak punya kesempatan untuk kembali"
Aku hanya bisa diam, fokus memasang telinga mendengar cerita Nura.
"Santi memperkenalkan aku pada Dewi, kamu tahu, Dewi sepertinya memendam kesedihan yang dalam"
"Lalu apakah kamu tega akan menambah kesedihannya lagi?". Akhirnya aku memotong cerita Nura.
Tapi Nura nampak tak peduli. Ia melanjutkan cerita.
"Aku Dewi, mungkin mba Nura baru mengenalku, tapi aku sudah mengenal Mba Nura sejak lama, tak lama setelah aku menikah, begitu Dewi bercerita, aku sendiri kaget, lalu nanya, darimana Dewi bisa tahu aku?"
Aku menatap Nura. Nura menarik nafas seperti enggan melanjutkan cerita. Tapi ia tahu kalau ia harus menyampaikan agar aku tak lagi berburuk sangka.
"Dewi bilang, dia memang mencintai Mukhlis, bahkan sejak kecil. Ibunya tahu & ibunya yang bersahabat dengan ibu Mukhlis sepakat untuk besanan. Mukhlis anak yang tidak berani melukai hati ibunya, maka kami menikah. Tapi aku tahu kalau Mukhlis menikah bukan karena Cinta, begitu Dewi bercerita. Dewi berusaha menumbuhkan cinta di hati Mukhlis, tapi hati nurani Dewi merasa kalau Mukhlis hanya menunaikan semua kewajibannya saja. Entahlah, sepertinya cinta itu tidak tumbuh, bahkan ketika anak kami lahir"
"Jadi mereka sudah punya anak?". Aku lagi-lagi tak bisa terima.
"Iya" Nura menjawab pendek.
"Dewi menawarkan Mukhlis untuk menikahi aku, tapi Dewi bilang Mukhlis meminta menunggu sampai anaknya selesai disapih. Dalam dua tahun Dewi berusaha menumbuhkan cinta di hati Mukhlis, tapi kata Dewi dia tidak berhasil, itulah kenapa dia datang ke Mba Santi"
"Kamu percaya pada semua yang dikatakan Dewi?". Aku mendesak Nura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar