Sabtu, 04 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 30

Part 30.

Nura menarik nafas panjang. Diam. Aku menunggu, tak ingin mengganggu. Aku bisa membayangkan seberat apa beban yang ia tanggung.
"Santi yang membuatku percaya". Akhirnya Nura bersuara.
"Santi sangat faham kalau aku tidak ingin melukai siapa-siapa, Santi mengerti betul kalau aku tidak ingin menjadi perebut suami orang"
"Lalu?". Aku masih tak mengerti.
"Santi bilang mungkin Em-Je memang statusnya sebagai suami tapi sebagai kakak, Santi tahu betul kalau hatinya tidak bisa melupakan Nura, jadi Nura bukan perebut suami orang karena dari awal, hati Em-Je milik Nura"
Nura kembali diam. Aku ikut diam.
"Kau tahu Andin, apa yang membuatku menangis?". Aku menggeleng.
"Tangisan Dewi". Jawaban Nura sama sekali tak terduga.
"Dewi menangis, memintaku agar mau menikah dengan Mukhlis agar Dewi terbebas dari rasa bersalah. Dewi bilang, jika ada yang merebut Mukhlis, dialah orangnya, hanya saja dia datang lebih dulu. Dewi terus memintaku untuk menikah dengan Mukhlis, sampai hatiku luluh. Dewi meyakinkan aku kalau Mukhlis bisa bersikap adil, bahkan Dewi bilang kalau dia bersedia memberikan jatah bermalamnya untuk aku, Dewi bilang dia hanya tak ingin menjadi janda demi anaknya, demi ibunya". Kali ini mata Nura mengembun.

"Kamu percaya dengan apa yang dikatakan Dewi?". Aku lupa kalau Nura sudah menjelaskannya tadi. Tapi aku belum puas.
"Kamu bisa menerima separuh hidupnya? Separuh waktunya?". Aku hanya ingin Nura sadar tentang apa yang telah diputuskannya.
"Andini, aku terbiasa hidup jauh dari ayah, bukan mendua memang, tapi karena pekerjaan. Aku terbiasa melihat ibu berjuang sendiri. Aku yakin aku bisa" Nura menjelaskan.
"Beda, Nuur, beda. Ayahmu pergi untuk kerja, tapi suamimu nanti pergi pada wanita lain". Aku masih belum bisa menerima.
"Kalau bukan Dewi yang menjelaskannya, mungkin aku akan menolak, tapi air mata Dewi, sikap Dewi, dukungan Santi, sedikit demi sedikit membangun keyakinanku". Nura menjelaskan. Lalu kembali terdiam. Aku rasanya tak punya hak untuk mempertanyakan lagi.
"Aku hanya minta satu syarat pada Dewi". Akhirnya Nura menjelaskan.
"Aku tidak ingin Dewi hadir di pernikahanku & pertemuan serta pembicaraan saat itu adalah yang pertama & terakhir. Aku tahu Dewi terkejut, Santi juga. Tapi aku harus melindungi dan menjaga hatiku, juga hati Dewi" Nura akhirnya bisa membuatku tenang.
"Dewi setuju?". Aku ingin memastikan.
Nura menganngguk.

Kupeluk Nura. Ah, sahabatku yang cantik, yang baik, malang sekali nasibmu. Jika aku dalam posisinya, aku tak akan kuat, tak akan sanggup.
Namun lihatlah, Allah tidak pernah salah menuliskan taqdirNya. Dan semua taqdir yang dituliskanNya selalu indah pada hikmahnya.

Handphoneku bergetar. Panggilan masuk dari umi.
"Assalamualaikum, iya Mi,".
"Andini, sudah ke rumah sakit?"
"Sudah Mi, ini lagi ke rumah Nura dulu. Di Rumah Sakit tadi ada Zamzam sama Dinda, umi tadi kemana?". Aku balik bertanya.
"Umi belanja, kan besok kita mau khataman Quran di rumah yatim"
"Ga jadi pesen ke cateringnya Bu Indah, Mi?"
"Ngga, jadinya umi pengen masak sendiri, biar barokahnya banyak"
"Andin bantu Mi, nanti Andin nginep deh"
"Ga usah, ada bibi sama Dinda koq yang bantu, Andin istirahat aja"
"Ngga apa-apa Mi, Andin pengen bantu"
"Ya udah, nanti aja kalau udah sempat, baru ke sini"
"Ada yang perlu Andin bawaain atau Andin beliin ga Mi?"
"Ngga usah, in syaa Allah semua udah lengkap"
"Baik Mi, assalamualaikum".
Aku menutup telpon.

"Kamu mau ke rumah Adlan?" Nura bertanya.
"Iya, mau bantu-bantu buat besok. Kamu mau ikut ga Nur, ke rumah yatim Ar Rohmah?"
"Pengen sih, tapi kerjaanku masih banyak".
"Ya sudah ga apa-apa, sini, mana yang bisa aku bantu"
"Ga usah, udah kamu ke rumah umi aja gih".
Aku pamit.

Aku kirim pesan ke mama & bapak. Ijin kalau malam ini mau menginap di rumah umi.

Rumah yang penuh dengan keteduhan, rumah yang penuh dengan kesejukan. Rumah yang rimbun dengan dedaunan.
Pohon mangga belum.berbuah. pohon belimbing sudah berbunga. Pohon jambu air, pohon jambu biji.  Sama dua pohon pepaya. Satu pepaya buah, satu pepaya bunga yang tidak berbuah.
Abi senang berkebun. Begitu kata umi. Adlan yang sering telaten membantu.
Enak aku pikir, kalau lagi pada berbuah bisa rujakan tiap hari tanpa harus belanja aneka buahnya.

"Assalamualaikum". Aku menunggu jawaban & menunggu sambutan untuk dipersilahkan. Ini bukan rumahku.
"Wa'alaikum salam". Umi membukakan pintu.
"Ayo masuk"
Aku melangkah. Masuk ke.ruang tamu. Sofa yang empuk membuatku nyaman duduk.

Bibi membawakan minum, pisang dan potongan buah melon, semangka dan setoples kue. Di rumah umi, nampaknya buah tak pernah absen.
Kesegaran dan kenyamanan, membuat lelahku hilang sementara.
"Ayo dicicipin". Umi menyodorkan piring kecil.lengkap dengan garpu.
Aku mengambil potongan buah.

"Tadi belanja di mana, mi?".
"Di pasar induk biar murah"
"Rencananya mau masak apa, Mi?"
"Nasi bakar, ayam goreng, tahu tempe. sambal, lalap, dan ikan asin"
Aku tercenung. Itu menu dewasa. Khawatir anak-anak tidak suka. Tapi aku tidak berani menyampaikan saran. Apalagi umi sudah belanja.
"Biasanya umi suka buat kebuli ayam" akhirnya aku mencoba juga memberikan alternatif.
Umi diam sejenak.
"Iya juga ya, lebih praktis" akhirnya umi mempertimbangkan.
"Mau masak.sekarang Mi?"
"Nanti aja kita mulai jam lima, Andin istirahat dulu ya, sambil siap-siap sholat ashar". Umi menawarkan.
Aku menganngguk.
"Ayo ikut umi".

Umi melangkah. Aku ikut di belakang.
"Ini kamar Adlan" Umi membukakan pintu.
Dan jantungku menambah kecepatan degupannya. Ada desir desir halus melintas hati.

Umi masuk. Aku mengikuti.
Harum aroma lavender menyambut kami.
Kamar yang cukup luas. Bagi lelaki, kamar seukuran empat kali luma meter, mungkin sangat luas.

Tempat tidur ukuran queen tertata rapi tertutup bed cover batik warna hijau.
Satu lemari baju tiga pintu dengan cermin di pintu tengahnya.
Ada bufet yang tidak terlalu tinggi dengan televisi di dindingnya.
Ada sepasang meja dan kursi di sudut kanan dekat jendela. Jendela yang menghadap halaman sisi kanan rumah. Halaman yang rimbun.
Ada lukisan kaligrafi besar di dinding sebelah kiri. Lukisan yang diapit dua figura foto cukup besar. Foto Adlan sendiri dan satu lagi foto keluarga saat Adlan masih kecil.

"Istirahat dulu ya". Umi mempersillahkan. Meninggalkanku dalam kesendirian.
Pintu ditutup.
Aku menuju meja.
Ada laptop dan beberapa buku di atasnya.
Aku duduk di kursinya.
Ku amati buku-buku yang ada.
Jadikanlah ia bidadari. Judul buku yang tampak menarik. Aku membukanya. Penasaran dengan isinya.
Hmm, nampaknya ini salah satu bekal yang Adlan siapkan.

Aku membuka lembar demi lembar.  Dihalaman tengah, aku menemukan kertas terlipat.
Aku membukanya. Membaca tulisannya.

Andini bidadariku,
Aku bukan lelaki sempurna seperti yang kau bayangkan.
Aku hanya ingin menjagamu, membersamaimu meraih bahagia.

Andini bidadariku,
Kelak kau akan temukan aneka kelemahanku sebagai insan,
Kelak kau akan dapatkan semua kekuranganku sebagai manusia,
Namun ketahuilah, tak kan pernah berkurang harapanku untuk membawamu pada bahagia surga,
Tak kan pernah surut langkahku menuntunmu, memimpinmu menuju keindahan abadi yang kita impikan.

Andini bidadariku,
Selemah apapun dirimu,
Seberapapun kekuranganmu,
Aku akan menerimanya.
Satu yang aku ingin, tutupilah semuanya dengan hafalanmu, dengan Al Quran.

Ada embun dimataku.
Embun yang kutahan agar tak menjelma deras di pelupuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar