Senin, 06 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 32

Part 32.

Perlahan kubuka lacinya.
Kemilau putih gemerlap menyambut mataku. Ingin kusentuh. Tapi ragu menahan tanganku.  Ada sebuah pulpen di atas sebuah kertas panjang.
Entah kenapa aku tergerak mengambil & melihatnya. Takut ada pesan penting di tulis di dalamnya.

Aku mengambil perlahan & hati-hati. Ujung kertas tertimpa logam yang gemerlap. Perhiasan. Nampaknya kalung. Adlan suka perhiasan perak? Aku bertanya dalam hati.  Terpaksa kuambil & kulihat. Kalung gemerlap yang indah itu ternyata kalung berukir nama. Namaku. Andini. Di setiap huruf i bertahta lambang cinta.  Rasa haru meraga. Mataku mengembun lagi.  Rasanya ingin mengambil dan memakai kalung itu di leherku. Tapi tidak, belum waktunya, dan bukan tanganku yang harus mengalungkannya. Tangan Adlan yang nanti akan mengalungkannya sendiri. Adlan akan sembuh. Allah akan menolongnya.

Kusimpan kembali kalung itu. Ku alihkan perhatianku pada kertas dan pulpen yang ada di atasnya. Jantungku berdegup kencang. Ku ambil perlahan.  Ku buka kertasnya. Kertas HVS ukuran A4 yang terlipat. Ku buka pelan-pelan.  Ada kwitansi diselipkan dilipatannya. Ku amati, kubaca seksama kwitansi itu.  Kwitansi dari Barokah Travel. Kwitansi pembayaran uang muka pemberangkatan umroh plus Mesir bulan Desember atas nama dua orang. Namaku & Adlan. Mataku menderaskan airnya.

Ku usap mataku. Ku usap hatiku. Kutarik nafas panjang.
Yaa Robb... Hanya itu yang bisa kubisikan dalam hati.
Aku mengumpulkan kekuatan untuk melangkah, untuk bangkit dari kesedihan-kesedihan yang terus menyergapku.

Aku melangkah ke meja. Mengambil tasku. Mencari kertas dan pulpen.
Aku mencatat Alamat Barokah Travel, juga nomor telponnya.
Kwitansi itu ku foto.
Aku melihat jam di layar Handphone, sudah jam empat lewat. Sudah waktunya membantu umi.

Aku memantaskan diri di depan cermin. Memastikan tak ada air mata dan guratan kesidahan di wajahku.  Aku tak ingin umi atau siapapun melihat ada sisa air mata, sisa kesedihan ataupun garis-garis keputus-asaan di air mukaku.

Aku membuka pintu kamar. Menuju dapur.
Ada bibi di sana. Tengah mengeluarkan semua belanjaan tadi pagi.
Aku langsung membantu.
Mencuci semua sayuran.
Memotong ayam.
Mengupas bawang dan menyiapkan bumbu-bumbu.

"Assalamualaikum". Suara Zamzam.
"Wa'alaikum salam". Aku menjawab dalam hati.
Kudengar umi menjawab dan langsung menyambut anak bungsu beserta menantunya.
"Abi mana?". Umi bertanya.
"Abi nginep di rumah sakit". Zamzam menjawab.
"Kalian mau mandi dulu?".
"Tadi Dinda mandi di Rumah Sakit, biar bisa langsung bantu umi". Dinda menjawab.
"Alhamdulillah, kalau mau.istirahat dulu gapapa". Umi menawarkan.
"Ngga Mi, tadi di rumah sakit kan kita ga ngapa-ngapain". Dinda menjelaskan.
"Kalau gitu, ayo langsung ke dapur, Andini sudah dari tadi.di sini". Umi mengajak.
"Andini?". Dinda bertanya.
Umi menganngguk.

Pekerjaan yang dilakukan dengan penuh cinta, dikerjakan bersama-sama memang penuh keberkahan. Yang lebih penting dari semuanya adalah semua diniatkan untuk kebaikan. Untuk mencari ridho Allah, untuk membahagiakan anak yatim. Semua terasa cepat selesai. Betul kata orang, jika semua dikerjakan lillaah, maka tidak akan ada lelah.

"Andini nanti nginep di kamar umi aja ya, abi nginep.di rumah sakit". Umi memintaku disela-sela aku menghitung dus nasi yang masih terlipat.
"Baik mi". Aku mengiyakan.

Menjelang jam sembilan malam akhirnya selesai juga semuanya.
Besok tinggal dihangatkan dan dikemas. Begitu kata umi.

Aku mengambil tasku di meja kamar Adlan. Memindahkannya ke kamar umi.
"Ga ganti baju?". Bertanya.
"Lupa ga bawa, Mi,".
"Mau pinjam baju Dinda?". Umi bertanya.
"Nanti kependekan". Jawabku.
"Pake baju umi aja ya, pasti kebesaran, tapi gapapa, ya". Umi menawarkan.
Aku tidak punya pilihan.

Kamar yang rapi dan wangi. Tidak seluas kamar Adlan memang. Mungkin orang tua zaman dulu lebih suka kesederhanaan. Namun ada satu yang unik di dinding kamar.  Ada delapan foto umi dan abi dengan bermacam-macam figura.
"Ini foto ulang tahun pernikahan umi dan abi, Zamzam yang buat". Umi menjelaskan, seolah tahu apa yang ada dalam benakku.
"Waktu SMA, sahabatnya Zamzam, Bambang, orang tuanya bercerai, Zamzam waktu itu bilang ke umi kalau dia takut umi sama abi bercerai juga. Sejak itu, kalau tiba hari ulang tahun pernikahan kami, Zamzam selalu mengajak kami ke studio untuk foto berdua, habis itu membayarkan kami untuk makan berdua. Ada-ada aja itu anak, padahal pernikahan kami kan baik-baik saja" Umi menjelaskan sambil tersenyum.
"Sesekali umi sama abi  bertengkar mah biasa, namanya juga rumah tangga, pasti ada aja masalah, cuma kan selama kita saling memaafkan, saling menerima kekurangan ya rukun lagi". Umi menambahkan.

"Mi...". Pintu diketuk. Suara Zamzam memanggil umi.
Umi keluar.

"Andini, Umi sama Zamzam mau ke rumah sakit ya. Andini di rumah ya sama Dinda". Umi terlihat cemas.
"Ada apa umi? Ada apa dengan Mas Adlan?". Kecemasan itu menular padaku.
"Gapapa, in syaa Allah Mas Adlan baik-baik saja. Do'akan saja". Umi keluar. Berangkat tanpa ganti baju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar