Selasa, 07 Januari 2020

Aku Bukan Cleopatra part 33

Part 33.

Aku memilih untuk tidak bertanya. Aku memilih berbaik sangka. Aku memilih menenangkan hati dan aku memilih mendekat pada Allah. Aku memilih berwudhu. Aku memilih bersujud. Aku memilih menyampaikan gundahku padaNya. Aku memilih melarutkan resahku dalam lantunan kalam ilahi.
Kubaca juz terakhir.
Kusempurnakan dengan do'a khatam Quran.
"Ya Allaah yaa Robb, ijinkan setiap huruf yang hamba baca menjadi pertolonganMu untuk kami".

Malam menuntunku ke peraduan.
Malam tanpa mimpi. Hingga saatnya terjaga.
Jam di dinding menunjuk ke angka tiga. Dua jarum tengah sampai di titik yang sama.

Setelah lantunan do'a dalam syukur, aku beranjak. Kembali menjalankan tugas utamaku sebagai hamba yaitu ibadah.
Yaa Robb, bismillaah. Semua pemberianMu hari ini padaku akan kupersembahkan untuk mencari ridhoMu.
Hamba siap menerima limpahan rahmat dan karuniaMu. Hamba siap membahagiakan diri hamba dan membahagiakan sesama.
Hamba siap menebar kebermanfaatan diri hamba untuk sesama.
Afirmasi pagi kubisikan lirih di hati. Meski lirih, kuharap setiap katanya kuat menghujam di benak, kuat membulatkan tekad, kuat menggerakkan raga melaksanakan semua dengan IjinNya.

Usai sholat subuh, kulipat mukena dan sajadah. Tugas pagi menanti, mengemas bingkisan untuk di bagi di rumah yatim sebagai sarapan pagi. Sebelum melangkah, ku buka layar kaca mungilku. Layar kaca jendela dunia dalam kemayaannya.
Ratusan pesan masuk. Dari semua group yang kuikuti, Dari Nura, dari mama, dari bapak dan dari umi.
Hanya pesan dari umi yang kupilih untuk kubaca "Andin, nanti langsung ke panti asuhan ya, setelah itu, mampirlah ke rumah sakit, sebentar saja"
"Baik Mi, ada yang sekalian mau dibawakan?"
Tidak langsung dijawab. Mungkin umi tengah melepas lelah. Atau tengah khusyuk tengadah meminta pada Allah Yang Maha Pemurah.

Tepat pukul tujuh pagi aku dan Dinda tiba di panti asuhan.
Seorang ustadz menyambutku.
"Assalamualaikum, ustadz, mohon berkenan menerima hantaran untuk sarapan anak-anak". Aku menyampaikan maksud.
"Wa'alaikum salam, terima kasih banyak Mba, anak-anak pasti senang menerimanya". 
"Alhamdulillah". Aku senang menerimanya.
"Apakah ada do'a khusus yang ingin dibacakan agar diaminkan oleh anak-anak?" Ustadz bertanya.
Ah, tak terpikir sama sekali olehku.
"Sebentar Ustadz, saya tulis dulu". Aku mohon ijin.

"Yaa Allah Yaa Rohmaan, ijinkanlah Adlan untuk segera bangun dari koma-nya. Ijinkan ia untuk bisa bekerja kembali, hidup dalam kebahagiaan bersama kami,
Yaa Allaah, yaa Fataah yaa 'Aliim, tuntun kami untuk mencari dimana  pertolonganMu Engkau simpan, pada siapa pertolonganMu untuk kami, Engkau titipkan.
Yaa Allah, Mukmiin, Yaa Muhaimin, jagalah kami dan lindungi kami dari keputus-asaan, dan temani kami dalam melalui masa-masa sulit ini, jangan pernah tinggalkan kami, kuatkan kesabaran kami dan bukakan hikmah untuk kami dari musibah dan ujian ini.
Yaa Allaah Yaa Qudduus, Yaa Salaam,
Ingatkan kami untuk.selalu membersihkan niat dari selainMu. Tolong kami agar hanya menjadikan Engkau, menjadikan ridhoMu sebagai tujuan dari segala tujuan.
Yaa Allaah, Yaa Arhamarrohimiin, kasihanilah kami, sayangi kami, dan ijinkan kami menjadi salah seorang yang Kau pilih untuk menjadi keluargaMu, penghafal dan penjaga Al Quran, ayat-ayatMu.
Yaa Allaah, yaa Mujiiba sailin. Kepada siapa lagi kami harus meminta, selain kepadaMu?".
Ada beberapa tetes air mata membasahi kertas do'a yang kutulis. Sebagian mengenai tintanya. Kupandangi lagi. Masih bisa terbaca. Lalu kuserahkan kertas itu pada sang ustadz.
Ustadz itu tercenung mencermati kalimat-kalimat yang kutulis. Kutangkap ada haru dan sendu di raut mukanya. Tapi aku tahu, dia tidak mungkin menangis.

Aku pamit, pada Ustadz dan istrinya yang sibuk menata hantaran. Kusalami adik-adik yatim satu persatu sambil kupeluk & kuusap kepalanya.

Aku dan Dinda, meluncur ke rumah sakit. Pagi, jalanan selalu penuh melayani.mereka yang hendak beraktivitas ke tempat tujuan. Anak-anak yang riang ke sekolah. Orang-orang dewasa yang hendak bekerja. Semua terjadwal di waktu yang sama, menciptakan kemacetan di beberapa tempat.  Memperlambat sampai ke tempat. Termasuk ke tempat yang jadi tujuan aku dan Dinda ; Rumah Sakit.

Begitu sampai, kami bergegas. Aku tak sabar, ingin tahu sebenarnya terjadi. Namun aku ingat, pasti abi, umi Zamzam dan paman belum sarapan.
"Kita ke kantin dulu ya Dind," aku mengajak.
"Lupa ya Mba, kita kan udah bawain lebih, ini" Dinda menunjukkan bungkusan yang dibawa dalam tas belanja.
"Maa syaa Allah, aku lupa". Seruku.
"Iya aku faham, Mba Andin pasti pikirannya cuma ke Mas Adlan". Dinda seolah memahami. Aku tersenyum.

"Assalamualaikum". Kami masuk.
Dinda memilih duduk di sofa, menemani Zamzam. Aku memilih ke tempat tidur pasien.
"Bagaimana keadaan Adlan, mi?". Aku cemas berkata.
"Tadi malam Adlan mengigau memanggil umi".
Aku terkesiap dalam harap.
"Terus?". Aku berharap dalam cemas.
"Tapi tak lama, dan tak sadarkan diri lagi". Umi.diam sejenak, sebelum melanjutkan.
"Tapi kata dokter, tingkat kesadarannya membaik". Umi menunjuk alat grafik yang dipasang di dinding. Alat yang terpasang dengan kabel. Entah kabel yang mana. Yang dijantungkah? yang di perut kah? Atau yang dijepitkan di jari. Aku tak mengerti.
Aku hanya bisa menarik nafas.
Masih harus berjuang.
Masih harus berdoa'.

"Umi pulang dulu aja, istirahat". Aku menyarankan.
"Bibi Mina lagi di jalan, sebentar lagi sampai".
"Iya Mi". Aku menjawab.

Semua meninggalkan ruangan. Kecuali aku.
Serba salah rasanya. Akhirnya aku memilih ke luar pintu.
Melihat-lihat pesan di layar handphone ku.

Kubuka pesan dari mama, dari bapak. Pesannya senada, minta disampaikan salam dan minta aku menjaga diri baik-baik.

Tak lama setelah itu Bi Mina, adik kedua umi datang.
"Assalamualaikum, Andin, koq diluar?". Bi Mina bertanya.
"Iya Bi, maaf, mau nelpon dulu"

"Assalamualaikum, Nur"
"Wa'alaikum Salam, Andini, baru saja aku mau nelpon". Suara riang Nura yang khas.
"Waah, kita sehati dong, gimana kabar peserta rumah tahfid? Sudah ada yang daftar?". Aku langsung pada topik pembicaraan.
"Iya, alhamdulilaah udah ada sepuluh orang yang daftar".
"Oke, sip, alhamdulillah"
"Andini, aku mau ngasih kabar, pernikahanku di majukan, in syaa Allah hari Ahad depan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar