Part 34.
Akhirnya aku berhias juga. Menggunakan make up natiral dan sederhana. Namun bukan sebagai pengantin. Tapi sebagai keluarga pengantin. Nura & ibu memintaku.
Sang pengantin wanita, Nura sahabatku teramat jelita. Pengantin tercantik yang pernah kulihat. Warna putih cerah bertaburkan manik-manik perak di gaun dan khimarnya. Juga melati yang mengikuti lekuk mahkota bertahtakan mutiara. Melati yang menjuntai ke kedua sisi. Menyempurnakan cantiknya pengantin dalam senyumnya.
Keluarga pengantin pria telah datang.
Akad nikah akan segera di mulai. Akad nikah dilaksanakan di masjid.
Rombongan diterima dengan sambutan sholawat badar. Tepat di pintu masjid, ibu pengantin wanita mengalungkan rangkaian melati.
Semua duduk dengan tertib di rumah Allah yang teduh.
Pembawa acara membacakan susunan acara. Al Quran dilantunkan merdu oleh Hamdi. Arina membaca terjemahannya.
Penyampaian maksud kedatangan disampaikan oleh keluarga pengantin laki-laki yang kemudian dijawab oleh sesepuh kampung yang masih saudara jauh alm ayah Nura.
Akhirnya janji suci, sumpah atas sebuah ikatan yang besar diucapkan. Cinta telah menemukan jalannya. Mempersatukan dua insan yang telah Allah titipkan di hatinya cinta yang indah nan agung. Cinta untuk membentuk keluarga, melahirkan keturunan yang kelak akan melanjutkan tugas mulia di muka bumi, menjadi wakil Allah, menjadi penguasa yang memakmurkan bumi. Cinta nyata mempunyai tugas yang teramat sangat mulia. Menyemai kasih, menyambung rantai hidup dan kehidupan. Cinta bukan hanya tentang ketenangan, kenikmatan dalam kebersamaan, dan kebahagiaan. Tapi cinta adalah tugas untuk tetap menjaga indah dunia dalam harmoni aturan ilahi.
Hamid menjadi wali Nura.
Ada haru yang menyesak di dada, menjalar ke mata, menderaskan airnya. Harusnya ayah Nura yang duduk di sana, menjabat tangan Mukhlis memyerahkan hidup dan kehidupan Nura pada tamggungjawabnya. Tapi Nura, di alam sana, mungkin ayah Nura tengah bangga melihat anak-anaknya.
Nampaknya bukan hanya mataku yang basah. Tapi banyak mata yang menyaksikan peristiwa ini turut menitikkan airnya.
"Sah". Semua saksi dan yang hadir telah menyaksikan dan mengatakannya. Surat nikah ditandangani. Acara dilanjutkan dengan sungkeman. Acara yang selalu menebarkan rasa haru nan biru.
Setelah sungkeman, pengantin berpisah untuk sementara. Ya. Karena temu laki-laki dan tamu wanitanya pun di pisah. Pengantin laki-laki di halaman masjid yang cukup luas. Telah didirikan tenda di sana. Sajian telah dihidangkan. Kursi untuk pengantin dan orang tua laki-laki telah menanti di depan tirai pelaminan yang cantik.
Pun di tempat wanita. Di sebrang masjid. Di rumah Nura. Semarak riangnya tak kalah pula.
Pengantin yang jelita duduk diapit dua ibu sepuh yang garis gurat kecantikannya masih terlihat. Ibu Nura, cantik khas wanita Tasik dan Bunda Mukhlis yang anggun khas wanita ningrat dari Jogja.
Tak banyak tamu yang diundang. Hanya tetangga sekitar, keluarga, juga teman dan sahabat dari kampus Nura dan Mukhlis. Namun hidangan yang disajikan juga dekorasi pengantinnya tetap terlihat megah nan mewah dalam balutan syariah.
Waktunya pulang. Aku memeluk Nura. Erat. Ada bahagia yang kurasa meski tak sempurna, karena selalu ku ingat bahwa Nura tetap harus rela berbagi. Ah baiklah. Aku akan menemanimu dalam sendirimu, saat waktu terbagi. Selama aku bisa. Untuk sahabat tercinta apapun akan kulakukan.
Rumah selalu menjadi tempat yang paling nyaman. Dan ranjang selalu jadi tempat terindah untuk tetirah melepas lelah. Namun akhir-akhir ini dingin dan sepi sering menyergapku di gelap hari.
Pasrah berserah diri padaNya, semakin kutingkatkan dengan segala macam amalan. Namun belum juga mampu menjadi pengapusnya.
Ah, Nura kini telah bahagia. Semoga tak lama aku juga sama.
***
Kegiatan Rumah Tahfid sudah berjalan. Nura dan Mukhlis jadi pengasuhnya. Mereka tinggal di paviliun yang dibuat bapak.
Anak-anak lelaki yang tinggal di rumah tahfidz ini. Ada 16 anak menempati empat kamar. Ada dua orang pemuda hafidz Quran yang membimbing. Dua pemuda adalah mahasiswa reguler di salah satu PTN, sedang a lagi mahasiswa yang mengikuti kelas malam. Mereka berbagi jadwal tugas menyesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Kuliah yang murni dibiayai oleh yayasan yang kami dirikan.
Sambil mengurus keperluan anak-anak, aku memperhatikan bagaimana cara mereka belajar menghafal Quran. Lalu kupraktekan di rumah, atau di rumah sakit saat kubacakan Al Quran untuk Adlan. Sambil menyelam minum air. Sambil membaca dengan harapan dan do'a agar bisa jadi obat untuk Adlan, sambil kuniatkan bahwa aku ingin jadi ahli Quran, penghafal dan penjaga Quran.
Hari ini adalah khataman quran yang ketiga kalinya ku lakukan. Sudah dua kali aku melakukan syukuran bersama anak-anak rumah tahfidz.
"Ustadz, saya mohon Ustadz yang memimpin membacakan do'a". Aku meminta pada Mukhlis yang kini ku hormati sebagai ketua harian dari yayasan yang kami dirikan.
"Do'a khataman itu akan lebih afdhol jika dibacakan sendiri". Begitu Mukhlis menjawab.
"Apalagi kamu ingin menjadi hafidzoh, Andini". Nura menambahkan.
"Anti ingin jadi hafidzoh?" Mukhlis bertanya.
Aku menganngguk.
"Iya Mas, Andini dulu sering mimpi Adlan bangun dan membawakan Al Quran. Dalam mimpi itu Andini melihat wajah Adlan bercahaya". Nura menjelaskan.
"Waktu sebelum menikah, Adlan emang inginnya punya istri yang hafidzoh, siapa tahu kalau Andini jadi hafidzoh, Adlan bisa sembuh.". Nura menambahkan.
"Iya kan Andini?". Nura mencari penegasan.
Aku diam. Teringat pesan abi. Kata-katanya masih terngiang.
"Kalau Anti ingin menjadi hafidzoh demi kesembuhan seorang laki-laki, meski ia adalah calon suamimu, sebaiknya Anti menikah dengan laki-laki lain".
Rasanya seperti petir menggelar di siang hari.
Padahal belum hilang juga gaung suara abi yang tiba-tiba muncul dalam ingatan.
"Menikahlah dengan Hamid. Hamid masih menanti Anti, Andini". Mukhlis melanjutkan. Meski suaranya pelan dan lembut, tapi bagi aku seperti badai petir yang bersahut-sahutan.
"Hamid, masih menungguku?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar