Part 36.
Karangan bunga yang cantik. Sebuah piala juga sebuah kado terbungkus koran aku terima sebagai hadiah dari teman-teman. Bukan hanya aku, tapi juga Furqon.
Ada dua jadwal sidang skripsi kali ini. Aku dan Furqon. Kami sama-sama lulus. Sudah menjadi tradisi di jurusan kalau yang lulus sidang akan mendapat hadiah spesial. Setelah itu dilanjut dengan acara makan-makan yang ditunjuk oleh penerima hadiah.
Aku beruntung bisa sidang bareng dengan Furqon. Artinya acara makan-makannya ditanggung berdua.
Aku dan Furqon sepakat untuk memesan paket nasi liwet lengkap dengan rujak serut dan kue-kue basah jadul sebagai snacknya. Kami makan di sekitar area masjid kampus sebelah kiri.
Semua penuh keberkahan dalam kebahagiaan.
"Andini, pertanyaan apa yang paling sulit tadi?". Maya bertanya.
"Apa ya?". Aku berfikir sejenak. Mencoba mengingat-ngingat".
"Itu, waktu Bu Liya menanyakan kalimat di pengantar : "Untuk yang tengah terbaring lama di peraduan tak bertepi, karya ini untukmu, semoga karya ini menjadi jalan bagimu untuk terjaga. Terima kasih dulu telah banyak membantu". Agak susah untuk kulanjutkan karena tiba-tiba kerongkonganku tercekat.
"Bu Liya mah emang suka aneh-aneh kalau nanya. Masa pengantar ditanyain". Maya menampakkan kekesalan.
"Iya sih, tapi aku jawab aja bahwa seseorang yang banyak membantu aku tengah terbaring koma. Bu Liya diam tak bertanya lagi".
"Eh, ini rujaknya enak banget, asli. Aku ntar kalau sidang mau pesan di catering yang sama ah". Maya mengalihkan perhatian.
Usai makan hidangan utama, Rijal sebagai ketua angkatan berdiri.
"Selamat kepada Andini dan Furqon, kalian telah lulus mendahului kami yang belum ketahuan nasibnya".
Semua bertepuk tangan.
"Sekarang tiba waktunya untuk membuka bingkisan bungkusannya, silahkan kepada Shohibul hajat untuk maju ke depan".
Aku dan Furqon maju. Jurusan kami terkenal kompak. Ada tradisi yang diwariskan entah oleh angkatan berapa. Untuk menjaga kekompakan. Begitu pesannya. Mungkin karena sebagian besar dari kami adalah mahasiswi, maka kekompakan harus diciptakan. Perempuan itu cenderung bersaing dengan perempuan. Begitu katanya. Mungkin memang benar, karena Allah dalam Al Quran surat Al Hujurot, berfirman " ..... Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.... "
"Buka ... buka ... buka".
Suasana riuh menyemangati.
Aku membuka dus rokok yang cukup besar.
Ada bola-bola stereofoam kecil memenuhi dusnya.
"Ingat, tidak boleh ada satu bola pun yang jatuh, karena kalau ada yang jatuh, setengah hadiah akan kita lelang dan uangnya akan menjadi milik kita bersama, akan masuk uang kas". Rijal mengingatkan.
Suasana semakin riuh.
"Ingat ya, waktunya 10 menit. Jika waktu sudah habis nanti kita akan bongkar bersama dan kalau masih ada hadiahnya akan di lelang ya" Rijal menjelaskan aturan lagi.
Siap? .... Musik". Rijal memberi komando.
Musik instrumen mengiringi pencarian hadiah.
Aku memasukan tanganku pelan-pelan. Mencari benda lain selain pasir stereofoam.
"Sendaaal". Aku berteriak memperlihatkan yang aku dapat.
Semua bertepuk tangan.
"Ayo apalagi Andini, cari lagi".
Teman-teman menyemangati kami.
"Dasiiii" Furqon berteriak sambil memperlihatkan sebuah dasi biru bergaris ungu.
"Ayo, lagi-lagi". Semua riuh menyemangati.
Aku mencari lagi. Tanganku pelan-pelan meraba-raba dasar kardus. Barangkali ada sesuatu di bagian dasarnya.
"Bukuuu". Aku mengangkat sebuah buku yang masih terbungkus rapi. Kulihat sekilas buku di tanganku. Asiyah Mawar Gurun Fir'aun karya Sibel Eraslan. Kusimpan buku di sebelah kanan dus. Tanganku mencari lagi.
"Bros"... Aku berteriak lagi sambil mengangkat tanganku menunjukkan bros berinisial namaku. Bros huruf A.
"Peciiii". Teriakan Furqon tak mengganggu konsentrasiku untuk mencari.
"Furqon batal, pasir sterofoamnya jatuuh" Seseorang berteriak. Disambut riuh teman-teman yang lain.
Furqon tak mengeluh. Dia hanya tertawa. Bahagia yang tiba diterjemahkan.
Aku ikut tertawa, sampai lupa bahwa waktu sepuluh menit yang tersisa tinggal sedikit lagi.
Hingga musik berhenti pertanda waktu habis.
"Oke, waktu habis, waktu habis". Rijal mengambil posisnya kembali.
"Sekarang kita akan periksa terlebih dahulu apakah isinya masih ada". Lanjut Rijal.
"Andini, mau menunjuk siapa?"Rijal bertanya.
"Yang pake kerudung pink" Jawabku.
"Yang pake kerudung pink.silahkan maju". Rijal mengomando.
Maya, Lusi, Anita berjalan ke depan.
"Ada tiga nih, siapa yang mau mengeksekusi?" Rijal bertanya.
Maya, Lusi dan Anita berdiskusi dalam tawa. Mereka hompimpah. Seperti anak kecil.
Akhirnya Lusi yang maju.
Lusi menumpahkan dus ke tas Ikea yang disediakan.
Ada kerudung, kaos kaki, dan bandana.
"Furqon, mau nunjuk siapa nih untuk.eksekusi?". Rijal bertanya.
"Siapa ya?". Furqon melihat ke arah teman-teman.
"Pengantin baru, Erika dan Saad". Semua riuh bertepuk tangan.
Erika dan Saad maju.
Ada pulpen Parker, payung, ikat pinggang dan dompet yang ditemukan.
"Oke, saatnya lelang barang yang punya Furqon nih. Mana yang mau dilelang?" Rijal bertanya.
Furqon menyerahkan dasi.
Dari lelang terkumpul uang sebanyak satu juta lima puluh ribu. Semua dana masuk uang kas.
Acara ditutup dengan bersalam-salaman. Kata selamat diucapkan teman-teman satu persatu.
Acara ini memang bukan perpisahan. Tapi selalu jadi acara terakhir yang penuh keceriaan dalam kebersamaan. Karena saat wisuda nanti acaranya sangat formalitas. Itu salah satu alasan kenapa acara ini diadakan.
Aku pulang. Kembali pada realita. Namun vibrasi euforia kebahagiaan tadi masih terbawa. Semangatnya masih kurasa. Semangat untuk mempersiapakan semua keperluan ke karantina tahfidz besok siang.
Mama menyiapkan aneka lauk kering siap saji yang awet.
"Siapa tahu nanti kamu kangen masakan rumah". Begitu kata mama. Meski hanya seorang ibu sambung. Mama sangat perhatian. Mungkin itu adalah cara mama untuk merebut hatiku. Meraih kedekatan dariku lebih dari sekedar penghormatan.
"Nanti sore kita bareng-bareng ke rumah sakit ya". Mama mengingatkan.
"Iya ma". Aku mengangguk.
Sore selalu memberikan keteduhan. Matahari tak lagi garang. Bayang-bayang mulai memanjang ke arah pulang. Sebelum akhirnya menghilang bersama malam. Semua ada masanya. Semua ada saatnya.
Dan kini saat bagiku untuk pamit sementara pada umi, abi juga Adlan. Aku berjanji, akan pulang sebulan sekali untuk menengok Adlan. Saatnya pamit di rumah sakit.
Ayah, mama, umi dan abi duduk di sofa. Entah apa yang mereka perbincangkan. Aku tak.peduli. aku hanya peduli pada Adlan yang terbaring di ranjangnya.
"Mas, Andini pamit yaa, maaf Andinj gak bisa membacakan Al Quran dulu untuk Mas Adlan. Tapi Andini tetap akan mendoakan Mas Adlan dengan Al Qur'an". Aku berbisik di.sisi Adlan.
"Mas, ayolah cepat bangun, ayolah cepat sembuh". Mataku mulai mengembun.
"Nanti kita menghafal Quran bareng-bareng, nanti kita berangkat umroh bareng". Bun dimata bulirnya mulai melintas di pipi. Adlan diam. Tak bergerak. Tak bereaksi. Hanya grafik layar penunjuk detak jantung yang menunjukkan tanda kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar