Part 36.
Rumah Penghafal Quran. Plang besar di gapura depan. Rumahnya cukup luas. Ada garasi cukup untuk dua kendaraan roda empat. Ada halaman berumput yang cukup luas. Di ujung kanan halaman ada target panahan. Sepertinya untuk refreshing para peserta.
Aku disambut Ummu Fathin, ibu pengasuh dan penanggung jawab di sini. Beliau menyalami dan memeluk aku juga mama. Pelukan hangat keibuan. Aku merasa aku akan betah dan nyaman di tempat ini.
"Andini dari Bogor ya?". Ummu Fatin bertanya.
Aku menganngguk.
"Jam berapa dari Bogor?".
"Jam sembilan, Umm, macet tadi di jalan".
"Jalur puncak emang selalu macet". Ummu Fatin menjelaskan.
"Ngomong-ngomong, apa nih targetnya nanti selama di sini?". Ummu Fatin bertanya lagi
"Pengennya sih minimal hafal 15 juz dan mutqin".
"Alhamdulillah, semoga Allah mengabulkan".
"Aamiin".
"Sudah hafal berapa juz?".
"Belum Umm, baru mau mulai nih". Ya sudah, gapapa.
"Ayo, tasnya di simpan di kamar dulu, nanti dianter Mba Sarah".
Ummu Fatin masuk ke dalam. Lalu kembali bersama seorang gadis cantik berkerudung biru.
"Ini Sarah". Ummu Fatin mengenalkan.
Aku mengangguk.
"Saya Andini".
Aku masuk bersama Sarah.
Ada tiga kamar dalam rumah ini. Dalam tiap kamar ada tiga tempat tidur tingkat. Setiap kamar ditemani satu pembina yang sudah hafidzoh.
Sarah memberikan aku sebuah quran hafalan, sebuah buku pedoman dan aturan juga sebuah buku agenda untuk pencatatan prestasi.
"Dipelajari dulu ya, kalau ada yang tidak mengerti, silahkan ditanyakan". Sarah berpesan.
"Iya, terima kasih". Aku mengangguk.
Lalu ku buka buku pedoman dan peraturan.
Jadwal yang cukup padat.
Kegiatan dimulai pukul tiga dini hari untuk tahajud. Siswa waktu digunakan untuk menghafal sambil menunggu adzan subuh.
Selepas subuh sampai j enam pagi ada pengajian.
Jam enam sampai jam delapan waktunya olahraga, makan dan bersih-bersih serta aktifitas individu.
Jam delapan sampai jam 4 waktu untuk membaca Al Quran dan setoran.
Jam empat sampai maghrib waktunya bersih-bersih dan jadwal pribadi ditambah makan malam. Makan sebelum maghrib itu lebih sehat. Begitu kata Sarah.
Maghrib sampai isya waktunya sholat diselingi dzikir & sholawat.
Selepas isya ada pengajian lagi hingga pukul sembilan malam.
Setelah itu jadwal ke negri kapuk.
Sangat padat.
"Andini, mama sama bapak pamit dulu". Mama memanggilku.
"Semoga betah dan barokah ya". Bapak memelukku.
"In syaa Allah, Pak". Jawabku.
Aku memeluk mama.
"Nanti kalau ada apa-apa, telpon ya". Mama berpesan.
"Nanti hubungi nomor Mba Sarah aja, Ma, Andini baru bisa dihubungi jam sembilan sampai sepuluh malam".
"Nanti mama minta nomornya ya".
"Iya ma".
Aku mengantar mama dan bapak ke mobil mereka.
"Semoga ga macet lagi ya ma".
Aku melambaikan tangan.
Sunyi rasanya berada di tempat baru. Agak berat rasanya harus memulai semua yang serba baru. Lingkungan baru, teman baru, kegiatannya juga baru.
Tapi aku bisa. In syaa Allah.
Demi sebuah cita-cita mulia. Menjadi penghafal Quran.
Aku berjalan ke ruangan tengah. Ruang keluarga yang luas.
Semua peserta berkumpul di sini, meski tidak duduk melingkar. Semua bebas mengambil posisi.
Semua tengah khusyu. Membaca dan menghafal.
Aku tidak bisa mengganggu. Bukan waktu yang tepat untuk berkenalan ataupun memperkenalkan diri.
Aku mengikuti apa yang mereka kerjakan. Membaca & mengahafalkan.
Di sini, suasana kekeluargaan yang hangat penuh canda hanya pada dua waktu. Pagi dan sore. Itupun diselingi dengan dzikir pagi dan petang sebagai bagian dari program.
Di luar waktu itu kami harus fokus dan serius.
Seminggu di sini, aku bisa menghafal satu juz.
Termasuk lambat bila dibanding yang lain. Mungkin karena aku adalah peserta yang paling tua. Tapi tidak menyutkan semangatku.
Minggu ke empat, aku ijin pulang selama dua hari. Menengok yang sakit. Begitu alasannya.
Mama dan bapak menjemput.
Kamarku masih sama seperti saat aku tinggalkan. Rapi. Bi Inay tiap hari membersihkan walaupun rasanya tidak ada yang perlu.dibersihkan.
"Nanti malam ada rapat di rumah tahfidz, Andini mau hadir?". Bapak menawarkan.
"Iya Pak, mau". Aku antusias menyambut.
"Rapat di mana.Pak?". Aku bertanya.
"Di rumah kita, biar nyaman dan mama ingin sekedar syukuran".
"Syukuran apa Pak?".
"Hari ulang tahun pernikahan kami".
"Ya Allaah, Bapak, maaf Andin lupa, maaf Andin ga sempet beliin kado".
"Gapapa, hafalanmu, in syaa Allah jadi kado untuk kami". Bapak tersenyum.
Aku memeluk bapak.
Aku bersyukur, sejak menjadi pembina yayasan rumah tahfidz, bapak banyak berubah menjadi lebih baik.
Selepas maghrib, Nura datang bersama Mukhlis. Wajahnya sudah tidak sepucat dulu. Mungkin tubuhnya sudah bisa menyesuaikan dengan kehadiran janin di perutnya.
Tak lama kemudian, Hamdi dan Hamid datang.
Mama menyajikan makan pembuka. Buah dan aneka kue.
"Gimana, Andini, betah ga di sana?". Hamid bertanya.
"Betah kak, alhamdulillah". Aku menjawab.
"Ada berapa orang pesertanya". Giliran Hamdi bertanya.
"Lima belas orang". Jawabku.
"Ntar kapan-kapan nengok ke.sana boleh ya?". Hamdi bertanya.
"Nengok? Mau apa nengok?". Nura bertanya. Pertanyaan yang tendensius.
"Siapa tahu salah satu temen Andini yang di sana adalah jodohku". Hamdi menjawab. Aku kira dia.bercanda.
"Laah, Ratna mau dikemanain, kak?". Nura nampak agak sewot.
"Mau dijadikan yang kesatu". Hamdi tertawa. Mukhlis tersenyum. Sesama lelaki mungkin begitu. Tapi aku melihat raut muka yang menunjukkan rasa tak.suka di wajah Nura. Juga di wajah Hamid. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar