Part 38.
"Andini betah di sana?". Hamid bertanya. Kata-kata dan tatapannya selalu menyejukkan, mengayomi. Begitulah seharusnya seorang kakak. Dari dulu.penilaian dan pikiranku tidak berubah.
"Iya Kak, programnya bagus dan suasananya juga enak. Sejuk dan teduh. Dingin sih sebenarnya. Namanya juga masih daerah puncak". Aku menjelaskan.
"Apa nanti kita mau ke sana untuk studi banding?". Aku menawarkan.
"Setuju". Hamdi menjawab.
"Inget Ratna loh Mas". Nura mengingatkan.
"Tenaaaang". Hamid menjawab dengan senyum yang lebar.
"Idenya bagus juga". Mukhlis ikut bicara.
"Tapi kalau studi banding yang bagus itu tidak bisa disambil. Tidak bisa sekilas. Harus punya waktu khusus, misal sehari atau dua hari". Mukhlis melanjutkan.
"Aku setuju". Hamid mendukung.
"Aku ada teman yang vila di daerah puncak, cukup luas. Nanti aku bisa lobi untuk sewa vilanya". Hamid tampak antusias.
"Kalau cukup luas, mungkin kapan-kapan kita bisa ajak santri kita untuk nginep di vila temennya Mas Hamid". Nura mengusulkan.
"Bagaimana kalau nanti pas tasmy pengambilan sanad, kita laksanakan di puncak, di sana juga". Nura melanjutkan.
"Itu kapan?". Aku merasa ketinggalan informasi.
"Dua bulan lagi". Muhklis menjawab.
"Mungkin Andini juga nanti.bisa sekalian ikut". Hamid menyarankan.
"Iya, aku pengen ikut". Aku menyetujui usul Hamid.
"Berarti kita harus survey nih". Hamdi menyahut.
"Setuju". Tiba-tiba bapak ikut bicara. Rupanya baru datang.
"Maaf tadi tamunya lama, alhamdulillah kita dapat donatur tetap lagi". Ujar bapak.
"Alhamdulillah". Semua kompak menjawab.
"Kapan surveynya?". Hamdi bertanya.
"Kalau besok sekalian mengantar Andini, bagaimana?". Bapak menawarkan.
"Besok saya ada deadline pekerjaan, Pak". Hamdi menjawab.
"Yang lain?". Bapak bertanya pada forum.
"Saya bisa ijin, in.syaa Allah bisa ngambil cuti sehari atau dua hari". Hamid menjawab.
"Mukhlis?". Bapak menatap Mukhlis.
"In syaa Allah bisa, Pak".
"Besok jam berapa?". Nura bertanya.
"Abis dzuhur ya Pak, Andin mau.ke rumah sakit dulu". Aku meminta persetujuan bapak.
"Baiklah, besok jam satu kita berangkat dari sini ya, dari rumah tahfidz.". Bapak memutuskan.
"Sebelum berangkat besok kita makan-makan dulu ya, syukuran Mas Hamid, dua hari.lalu.resmi jadi CEO". Nura mengumkan.
"Subhanallah... CEO termuda sepertinya, selamat ya". Bapak berdiri, menyalami dan memeluk Hamid.
"Selamat ya Mas". Aku meletakan tangan di dada & sedikit membungkukan badan.
"Terima kasih". Hamid membalas dengan senyum.
"Makan-makannya di mana nih?". Hamdi bertanya.
"Di rumah tahfidz ajaa, mas Hamid sendiri yang masak". Nura menjelaskan.
"Hamid bisa masak.ya?". Bapak bertanya dalam kekaguman.
"Iya Pak, masakan Kak Hamid enak, chef hotel bintang lima kalah deh". Aku menjelaskan.
Hamid hanya tersenyum.
"Pernah belajar jadi chef?". Bapak bertanya.
"Ngga, cuma hobbi aja,". Hamid merendah.
"Makanan udah siap". Tiba-tiba mama datang.
"Kalau ngobrol terus nanti masakannya keburu dingin loh". Ujar mama.
"Ayo, kita makan dulu, nanti.sehabis makan baru kita rapat". Bapak mengajak.
****
"Umi apa kabar? Semoga sehat & selalu dalam kebaikan". Aku menyapa umi lewat pesan.
"Umi, pagi ini Andin mau ke rumah sakit, Umi ada di rumah sakit, kan?. Aku memastikan.
"Alhamdulillah sehat, Andin lagi pulang?"
"Iya Mi, sengaja mau nengok Mas Adlan".
"Syukurlah"
"Gimana Mi kabar Mas Adlan?"
"Masih seperti biasa. Oh iya, hari ini ada syukuran khataman lagi. In syaa Allah nanti dibagikan untuk karyawan rumah sakit di paviliun tulip". Umi menjelaskan.
Aku tertegun. Baru syukuran khataman?. Kalau.menurut hitunganku harusnya kan dua pekan lalu. Ada apakah gerangan?. Namun aku tak berani bertanya. Aku harus menghormati umi.
"Baik Mi, nanti jam delapan pagi Andin ke sana".
Semula aku akan berangkat jam sepuluh. Tapi nampaknya aku harus berangkat lebih awal. Bukan hanya sekedar membantu syukuran, tapi nampaknya aku harus banyak membacakan Al Quran untuk Adlan. Aku ingin Al Quran jadi obat buat Adlan. Jadi keajaiban. Kapan datangnya? Aku hanya harus sabar menunggu.
Suasana rumah sakit tak berubah. Sebulan kutinggalkan semuanya masih sama.
Aku ditemani mama.
Umi menyambutku. Memeluk kami satu persatu.
Aku meraih tangan umi, salam takdzim.
Ada bibi dan Bi Lina tengah mengurus bungkusan nasi kotak yang akan dibagikan.
Tapi aku tak melihat Dinda. Zamzam juga tak ada. Mungkin mereka tengah membagikan bingkisan.
"Eeh, Neng Andin, kapan datang?". Bi Lina menyambutku. Memelukku.
"Kemarin sore Bi".
"Neng Andin tambah cantik". Bibi tersenyum memujiku.
"Ah bibi bisa aja".
"Ada yang bisa Andin bantu, Bi?". Aku menawarkan diri.
"Ga usah, in.syaa bibi sama bi Lina bisa koq".
"Koq cuma berdua Bi?". Aku bertanya.
"Dinda kan harus mengurus Zamzam. Udah dua minggu sakit thypes". Bibi menjelaskan.
"Yaa Allaah, Zamzam sakit,?". Aku bertanya.
"Udah dua minggu". Bibi menjawab.
Mungkin ini yang menyebabkan khataman tertunda. Tapi kenapa tak sampai kabar padaku. Aku menghela nafas. Bukan hakku untuk mengetahui keadaan dan kehidupan Zamzam.
Aku mendekat ke ranjang tempat Adlan berbaring.
Ku buka Al Quran.
"Yaa Robb, mungkin begitu banyak dosa-dosa yang menghalangi doa kami. Kami.sadar ya Robb, namun kami akan tetap meminta, berilah keajaiban pada kami. Jadikan Al Quran ini mukjizat untuk kesembuhan Mas Adlan". Aku berdoa.
Kulantunkan Al Quran.
Larut dalam setiap indah untaian kalimatnya. Syahdu menyapu kalbu.
"Andin, sudah jam setengah dua belas". Mama tiba-tiba sudah di sampingku. Aku lupa. Ini bukan di RPQ, Rumah Penghafal Quran. Tapi aku bersyukur. Lima.juz telah kuselsaikan.
"Umi, Andin pamit ya. Alhamdulillah, nanti umi bisa mulai lanjut baca quran dari juz enam".
"Cepat sekali". Umi seakan takjub.
"Kebiasaan di karantina mi".
"Alhamdulillah".
Aku dan mama langsung ke rumah tahfidz.
Suasana sudah ramai. Anak-anak santri.sedang menikmati makanan yang disajikan Hamid.
Para pengurusnya yang belum.
Menunggu mama dan aku, begitu kata bapak.
Masakan masakan Mas Hamid memang selalu enak.
Bapak nampak sangat menikmati. Mama juga.
"Kalau masih banyak sisa Andin mau bungkus ya untuk teman-teman". Aku meminta ijin pada Hamid.
"Boleh".
"Makasih banyak Kak, temen-temen pasti seneng".
Hamid tersenyum.
Kami.bersiap berangkat dengan dua mobil. Nura dengan suaminya.
Aku, mama, bapak dan Hamid menggunakan mobil Hamid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar