Part 39.
Bapak duduk.di depan.
Aku di belakang bersama mama.
Sepanjang jalan bapak dan Hamid asyik berbincang tentang investasi. Mereka nampak sangat klop.
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku hanya menangkap bagaimana membesarkan dan membuka rumah tahfidz dengan dana-dana investasi yang memungkinkan.
Hamid banyak membicarakan tentang konsep sedekah.
"Bagi saya, Pak, sedekah itu seperti menyimpan harta di langit. Ketika sudah tersimpan di langit maka ia akan terus berputar seperti siklus air. Ketika harta kita sudah banyak dalam arti persentasenya, Allah akan turun pada kita lagi, menyirami dan menumbuh suburkan benih-benih kebaikan entah harta entah kebaikan yang kita semai di bumi. Dalam Al Quran disebutkan sedekah itu seperti kita menumbuhkan tujuh ratus daun dari apa yang kita tanam. Bayangkan, tujuh ratus daun itu berapa tangkai. Nah, tiap tangkainya kita bisa perbanyak lagi dan terus begitu.
Itu ketika kita hidup di dunia".
Hamid terdiam sejenak.
Bapak dari tadi memyimak. Aku juga. Mama pun begitu.
"Ketika kita mati, apa yang kita simpan di langit akan meresap ke tanah kan. Sementara kita jasad kita berada di tanah. Bagi saya itulah permisalan yang pas bahwa kebaikan dan sedekah yang kita simpan di langit akan jadi pahala yang tidak putus-putusnya. Semakin besar yang kita tanam di langit, semakin berlimpah yang turun dan menyerap ke tanah, sampai pada jasad yang di dalamnya".
"Masuk akal juga". Bapak menganngguk.
"Selain itu pak, saat hujan adalaj saat yang penuh keberkahan, diantantaranya Allah jadikan sebagai waktu yang mustajab. Semakin banyak kita menyimpan harta dan kebaikan di langit semakin banyak do'a kita yang Allah kabulkan. Sudah banyak kisahnya Pak".
Hamid kembali menjelaskan.
"Nak Hamid ngga kepengen menikah?". Bapak bertanya.
"Kepengen tentunya Pak?"
"Belum dapat yang sesuai kriteria bukan?".
Hamid hanya tersenyum. Tak menjawab.
Vila Dewi. Akhirnya kami sampai juga. Tidak terlalu jauh jalan raya. Sekitar dua kilo meter. Tapi nuansa pegunungan sangat terasa.
Hamid segera menuju resepsionis.
Aku, bapak dan mama duduk di kursi-kursi kayu di lobi. Kursi jati ukir yang unik.
Tak lama Nura dan Mukhlis menyusul.
"Andini udah bilang ke Ummu Fatin kan kalau kita mau studi banding?". Bapak memastikan.
"Sudah Pak, nanti Abi Fatin yang akan menjelaskan secara detail di kantornya. Ga jauh dari RPQ, kata Ummu Fatin begitu".
"Andin mau ikut bermalam di.sini atau mau langsung ke RPQ?"
"Andin minta ijin sampai magjrib Pak".
Hanya sekitar satu jam saja aku berada di Vila Dewi. Aku harus segera kembali sebelum maghrib. Bapak dan Hamid mengantarkan. Mama, Nura dan suaminya memilih beristirahat menikmati indahnya suasana alam pegunungan di Vila Dewi.
"Assalamualaikum". Aku langsung menyapa teman-teman.
Bapak dan Hamid bertemu dengan abi Fatin.
Aku ke dapur menghangatkan masakan.
Usai sholat Isya, Bapak dan Hamid pamit. Aku salim. Lalu menuju ke ruang dapur. Acara belum dimulai.
Ku keluarkan mangkuk plastik sekali pakai.yang sengaja ku bawa tadi dari rumah.
Delapan belas mangkuk. Tidak ada yang penuh. Tapi lumayan untuk dicicipi. Sepertinya teman-teman di sini juga masih pada kenyang, walaupun jadwal makannya sebelum maghrib.
"Teman-teman aku bawain sop seafood nih sama fuyunghai". Aku memanggil semua setengah berteriak.
Semua datang. Beberapa masih menggunakan mukena & membawa mushaf Al Quran.
"Enak, Din. Ini siapa yang masak?". Adila bertanya.
"Kakak aku, yang tadi mengantar". Jawabku.
"Kakak apa kakaaak?". Tiara meledek setengah bercanda.
"Anak tinggal kan ga punya kakak". Nauli ikut-ikutan.
Aku merasa tersadarkan kembali.
"Kakak angkat, kakaknya sahabat aku".
"Dalam islam ga ada kakak angkat loh, adanya kakak sepersusuan". Tiara kembali mengutarakan pendapatnya.
Aku terdiam. Iya. Aku sudah tahu. Namun aku sering lupa.
"Foto dulu ya, ayo merapat ke meja" aku mengambil komando.
Semua memilih mengikuti.
Lalu ku foto dengan beberapa pose.
Foto terbaik aku kirim ke Hamid.
"Kak, kata teman-teman sopnya enaak. Fuyunghainya juga. Makasih banyak ya".
Ada misi tersembunyi dalam foto itu. Aku berharap dan berdoa' salah satu temanku di sini bisa membuka mata dan membuka hati Hamid. Itu tujuan dan alasanku minta jatah sop yang dimasak Hamid
Pengajian malam akan segera di mulai. Kami bergegas ke aula. Di belakang RPQ.
"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)"
Abi Fatin membacakan hadits.
Kami menyimak.
"Syukur adalah aktifitas menyebut-nyebut nikmat pemberian Allah. Dan ini kita tidak akan sanggup menghitung semuanya. Namun tetap menjadi kewajiban bagi kita sebagai seorang hamba untuk menyebutnya. Mengatakannya dengan lisan. Ya Allah saya bersyukur atas nikmat darimu berupa ... Sebutkan. Sebutkan yang kita bisa, setiap bangun tidur dan sebelum kita tidur. Biasakan untuk berterima kasih pada Allah. Dan syukur yang pertama kali harus dilakukan adalah bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan untuk mensyukuri".
Abi Fathin terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
"Adapun Sabar itu adalah tetap istiqomah apapun keadaanya. Maka sabar merupakan tingkat sukur yang lebih tinggi. Apapun dan bagaimanapun keadaannya. Sesulit apapun situasinya, kita tetap istiqomah untuk menerima dan mensyukuri pemberian Allah. Maka jika kita bersabar atas musibah, itu artinya kita tetap bersyukur pada Allaah walaupun saat musibah, pemberian Allah dirasa pahit. Tapi karena kita harus tetap istiqomah bersyukur. Maka ketika kita sabar saat tertimpa musibah artinya kita tetap bersyukur apapun keadannya".
Jleb. Perkataan Abi Fatin terasa menampar kesadaranku. Terbayang Adlan yang tengah terbaring lama dalam koma.
"Yaa Allah, ampuni hambaMu yang selama ini tak pernah bersyukur".
Aku mencoba menerjemahkan pesan yang disampaikan abi Fatin dalam kalimat do'aku.
"Yaa Allah, ampuni hamba. Yaa Allah hamba bersyukur padaMu atas kesadaran untuk bersyukur, atas ilmu yang kau berikan tentang syukur. Yaa Allah, hamba bersyukur telah kau pertemukan dengan Adlan. Yaa Allah, meskipun Adlan tengah terbaring koma setelah sekian lama, dan entah sampai kapan akan terjaga, jika sakitnya itu adalah jalan kebaikan untuk kami, hamba terima ya Allah. Terima kasih ya Allah. Karena dengan perantara sakitnya Adlan, hamba bisa mendekat padaMu, mencari jalan untuk menjadi ahliMu".
Tak bisa ku tahan air yang mengalir begitu saja dari mataku.
"Andini?". Tiara berbisik di telingaku. Tangannya memeluk pundakku.
Aku menahan agar tak terisak di tangan tiara.
Biarlah mata ini mengalirkan airnya. Melarutkan duka sesalku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar